Home / Urban / STEMPEL MISKIN UNTUK KELUARGAKU / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of STEMPEL MISKIN UNTUK KELUARGAKU : Chapter 1 - Chapter 10

49 Chapters

Pulang Kampung

“Bang, bolehkah Nia pulang? Menemani Bapak dan Emak di kampung?” tanyaku. Kutatap lekat wajah bang Ilham, abang kandungku, yang tengah menyesap kopi hitamnya, seakan ia terkejut mendengar permintaanku. “Ke ...kenapa, Dek?” ujarnya terbata. “Alhamdulillah, Nia sebentar lagi akan wisuda. Nia ingin membahagiakan bapak dan emak, Bang,” Sudah empat tahun aku mengikuti laki-laki berbadan tegap yang duduk di depanku ini. Sejak meninggalnya kak Intan, istrinya, yang meninggalkan Bela, keponakanku yang saat itu masih berusia delapan tahun. Bang Ilham meminta izin pada bapak dan emak, agar aku bisa menemani Bela yang saat itu masih sedih atas kehilangan ibunya. Sejak saat itulah, aku mulai tinggal dengan bang Ilham dan Bela, jauh meninggalkan bapak dan emak, dan adik bungsu kami, Taufik.   Bang ilham mengalihkan pandangannya dariku, ditatapnya langit malam,
Read more

Hutang di Bayar Lunas

<span;>Hutang dibayar Lunas"Berapa hutang Emak saya, Mbok? Saya bayar lunas semuanya," ujarku tegas. Mbok Inah sama terkejutnya dengan emak. Raut wajah mbok Inah segera berubah masam, diraihnya buku kecil yang ada di meja dapurnya dengan kasar. Usia mbok Inah lebih muda dari emak, tetapi entah mengapa tidak ada hormatnya sedikitpun dengan bapak dan emak. Padahal, usia anaknya juga masih tingkat sekolah dasar. "Owh, jadi anak kebanggaanmu udah pulang, toh," ujarnya sarkas."Maaf, Mbok, berapa hutang Emak semuanya?" ucapku kembali lembut. Emak menggenggam tanganku seraya menepuk pelan tanganku, mengisyaratkan agar aku tidak emosi. "Dua ratus lima puluh ribu," Mbok Inah menatapku jengah. "Emak mau belanja apa lagi?" kutarik lengan Emak lembut, dan menuntunnya ke depan. 
Read more

Rahasia yang Mulai Terungkap

Sepanjang jalan pulang dari kedai mbok Inah, tidak hentinya aku beristighfar, menyesali perbuatanku. Aku tahu ini salah, tetapi setidaknya memang mbok Inah harus diberikan sedikit teguran. “Nia! Nia!” terdengar teriakan suara wanita dari arah belakangku. Kulihat mbah Sarmi berjalan cepat, badan tambunnya bergoyang ketika ia dengan cepat menghampiriku. “Kenapa, Mbah?”“Hah, hah, tu … tunggu sebentar,” ujarnya seraya mengatur nafasnya yang terdengar ngos-ngosan. “Kamu baik-baik saja, kan, Nia?” “Maksud Mbah? Nia baik-baik saja kok” kuputar badanku beberapa kali di hadapan mbah Sarmi, sambil tersenyum jahil.  “Kamu ini, Mbah serius.” “Alhamdulillah, Mbah.” “Kamu itu, yo, kok berani-beraninya semburin Inah. Tapi, Alhamdulillah juga, akhirnya ada yang mewakili isi hati dari ibu-ibu kampu
Read more

Suara Merdu dari Surau

*Kekayaan sejati bukan diukur dari banyaknya harta yang kamu miliki, melainkan diukur dari hatimu yang merasa cukup.* ***Ketukan pintu mbah Sarmi mengagetkan kami, ku usap sisa airmata yang ada di pipi. Mbah Sarmi bergegas membukakan pintu. “Kamu … !” Kuintip melalui celah kain yang menjadi pembatas ruang tengah dan ruang dapur. Mbok Inah? “Ada apa lagi, Nah?” tanya mbah Sarmi. “Mbah kan, yang bilang ke warga-warga sini, kalau tadi pagi aku dimarahi sama si Nia?” tandasnyaHei, namaku disebut. Kubiarkan saja dulu mbah Sarmi melayani mbok Inah, aku penasaran apa yang akan terjadi. “Su’udzon kamu, Nah. Nyebut gusti Allah, kamu sendiri tahu, kalau disana bukan Mbah saja, kan?” “Halah, tapi Mbah yang lebih senior. Mereka mana berani sama aku, apalagi ceritain kejadian tadi,” “Senior?
Read more

Api dan Airmata

*Jangan berduka, apa pun yang hilang darimu akan kembali lagi dalam wujud lain (Jalaludin Rumi)**** ‘ORANG MISKIN (KELUARGA ARMAN) DILARANG BELANJA’ Tulisan dengan arang hitam itu terlihat jelas dimataku. Dua orang wanita yang tengah belanja segera beranjak ketika melihat kedatangan kami. Belum sempat kakiku melangkah, cekalan tangan Taufik di bahuku membuatku menolehnya. “Biar Taufik aja, Kak.” Diraihnya batang kayu seukuran tangan orang dewasa yang ada di samping jalan setapak ini. Aku terkejut, gawat. “Fik, jangan pakai kekerasan,” kali ini aku yang mencekal tangannya. “Taufik!” Suara bariton bapak terdengar  dari belakang. Derapan langkah besar juga terdengar jelas menuju arah kami. “Apakah Bapak pernah mengajari kalian seperti ini?” ucapnya pelan, tapi mampu membuatku dan Taufik berhenti untuk menghi
Read more

Tanah Bapak

*Ilmu itu lebih baik daripada harta karena harta itu harus kamu jaga, sementara ilmu akan menjagamu.* - Ali bin Abi Thalib***Suara tangisan mbok Inah yang mengucapkan kata maaf, terdengar sampai ke dapur. Hingga bapak mengucapkan suatu kalimat yang membuatku terkejut. “Apa??” teriakku, Taufik seketika langsung membekap mulutku sambil melototkan matanya. “Nia, Taufik, kemari!” panggil bapak tegas. “I … iya, Pak,” Taufik menoyor kepalaku pelan, ia berjalan mendahuluiku. “Duduk!” perintah bapak ketika kami sudah berada di ruang tamu. “Kamu, Nia. Minta maaf sama Inah, atas apa yang telah kamu lakukan di surau.” Jika bapak sudah menyatakan pendapatnya pada kami, berarti itu adalah suatu perintah yang harus segera dilaksanakan. Kulihat emak, sebagai tanda protes. Emak hanya mengangguk, menyetujui kalimat bapak. Kuperba
Read more

Baju Seragam

*Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu.* - Imam Syafi’i***Emak mengenakan gamis putihnya, lengkap dengan jilbab instan dengan warna senada, pakaian hari raya Idul Fitri tiga tahun yang lalu, katanya. Baju yang aku dan bang Ilham beli dan kirimkan ke emak dikampung. Ada senyum yang selalu melekat di wajahnya, senyum yang sulit diartikan. Begitupun bapak, sejak siang tadi ia selalu berdiri di depan pintu, pun menggunakan pakaian warna senada dengan emak. Kopiahnya pun tak pernah terlepas sejak tadi. Taufik tidak terlihat, kata bapak, ia akan sibuk untuk sementara waktu. Aku duduk di sudut ruangan tamu ini, memeluk lutut seraya terus memperhatikan jam dinding berputar. Ah, padahal katanya, paling lama tiga jam lagi ia akan sampai, tapi, rindu ini sudah tidak bisa kutahan. Jam pun seakan enggan untuk berputar.  *** "Nia, ayo sholat ashar dulu,"
Read more

Tamu tak Diundang

*Segala perbuatan sekecil apapun, nantinya pasti akan dipertanggungjawabkan* *** Gubrak, terdengar seperti ada barang yang terjatuh. Bergegas kulihat sisi rumah, Taufik mengikuti, ternyata emak menjatuhkan sampah yang ada dalam karung. "Emak kenapa?" kubimbing emak berjalan memasuki rumah melalui pintu dapur. Taufik kembali mengumpulkan sampah yang sedikit berserakan. "Emak duduk aja, biar Nia dan Taufik yang beberes." Wajah emak masih meyiratkan kesedihan, terlihat jelas ada kerinduan dimatanya. "Emak nggak kenapa-kenapa, nduk. Oia, sudah beberapa hari ini kamu izin tidak sekolah. Apa tidak jadi masalah?" "Alhamdulillah, sekolah kasih izin untuk cuti selama tujuh hari, Mak. Besok Nia juga udah kembali mengajar," jelasku. Sepertinya nanti saja aku tanyakan kembali perihal surat Taufik, masalah pendaftaran sekolahnya harus segera cepat diselesaikan. "Assalamu'alaik
Read more

Gunawan Sukardi, si Kepala Desa

 *Kekayaan, umur, dan popularitas itu seperti minum dari air lautan yang asin. Semakin kau minum, semakin haus yang kamu dapatkan.*  - Shaykh Ahmad Musa Jibril  *** “Taufik!”  Seorang pria bertubuh tambun, telah berdiri di hadapan kami. Wajahnya menahan amarah, terlihat jelas juga dari gestur tubuhnya.   “Bilang sama bapakmu yang miskin itu, apa maksudnya ia menemui camat Jatisari? Kau pikir aku takut, hah!?” ucapnya emosi.  Aku dan Taufik segera bangkti dari duduk.  “Ck, kalau bapak tidak takut, kenapa sekarang, Bapak seperti cacing kepanasan?” tantang Taufik, ia membusungkan sedikit dadanya.  “Apa kau bilang?! Anak bau kencur seperti mu tidak pernah diajari sopan santun, apa? Dasar miskin akhlak, cuih!” ludahnya ke sembarang temp
Read more

Dia, Camat?

 *Sifat utama pemimpin adalah beradab dan mulia hati.* - Abu Hamid Al Ghazali  @@@  "Fik, kapan rencana kamu, ke kampus?" tanyaku, seraya menggunakan sepatu sekolah. Hari ini, aku akan berangkat ke sekolah dengan Intan.  'Besok, aku jemput ya' pesannya semalam.  "Insyaallah, lusa Taufik akan berangkat, Kak,"  "Oke,"  Intan telah berdiri di hadapanku, menggunakan gamis berwarna maroon, ia terlihat makin cantik dengan jilbab dengan warna senada.  "Loh, kok nggak pakai baju dinas,Tan?" tanyaku seraya berjalan beriringan, menuju motornya yang telah terparkir di halaman rumah.   "Nanti sepulang sekolah, aku mau ke kecamatan. Mau menyerahkan undangan," ungkapnya seraya menghidupkan motor.  "Undangan?"  "Hehe
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status