Sepanjang jalan pulang dari kedai mbok Inah, tidak hentinya aku beristighfar, menyesali perbuatanku. Aku tahu ini salah, tetapi setidaknya memang mbok Inah harus diberikan sedikit teguran.
“Nia! Nia!” terdengar teriakan suara wanita dari arah belakangku. Kulihat mbah Sarmi berjalan cepat, badan tambunnya bergoyang ketika ia dengan cepat menghampiriku.
“Kenapa, Mbah?”
“Hah, hah, tu … tunggu sebentar,” ujarnya seraya mengatur nafasnya yang terdengar ngos-ngosan.
“Kamu baik-baik saja, kan, Nia?”
“Maksud Mbah? Nia baik-baik saja kok” kuputar badanku beberapa kali di hadapan mbah Sarmi, sambil tersenyum jahil.
“Kamu ini, Mbah serius.”“Alhamdulillah, Mbah.”
“Kamu itu, yo, kok berani-beraninya semburin Inah. Tapi, Alhamdulillah juga, akhirnya ada yang mewakili isi hati dari ibu-ibu kampung. Tau gak Nia, sepulang kamu dari sana, Inah langsung nutupin kedainya. Kena serangan jantung kali ya tu orang. Bilangnnya, ada urusan mendadak, mau pergi kondangan. Padahal, setahu Mbah, gak ada tuh hari ini syukuran di kampung-kampung sini,” ucap Mbah Sarmi tanpa jeda.
“Iya, Mbah?”
“Iya, tapi sebelum itu Inah juga ngomong … .” Mbah Sarmi menjeda kalimatnya, dia tampak berpikir untuk melanjutkan perkataannya.
“Gak apa-apa, Mbah, ngomong aja,”
“Inah bilang, kalau keluarga kalian kena kutuk, untuk selamanya jadi miskin,”
Cih! Aku berdecak kesal, percuma tadi aku menyesal. Rupanya mbok Inah belum insaf juga dengan perkataanku. Baiklah, mungkin memang harus dengan pembuktian, mulut mbok Inah akan mingkem untuk selamanya. Kami melanjutkan perjalanan, rumah mbah Sarmi tidak begitu jauh dari rumahku, hanya berselang tiga rumah. Perumahan di kampung tidak seperti perumahan di kota, yang saling berdekatan. Tetapi, satu rumah dengan rumah lainnya terpisah oleh ladang, sehingga jaraknya sedikit berjauhan.
“Oia, nduk. Bagaimana dengan beasiswa Taufik? Apa pak Gunawan memberikan surat rekomendasinya?” Mbah Sarmi melanjutkan pertanyaannya seiring dengan langkah kaki kami. Kuhentikan langkah kakiku, membuat mbah Sarmi pun menghentikan langkahnya.“Kenapa, nduk?”
“Beasiswa? Taufik, Mbah?”
“Lah, iyo. Taufik, adik mu yang ganteng itu. Emang Taufik di kampung ini ada dua?” ucap mbah Sarmi.
Kupegang erat pergelangan tangah mbah Sarmi, kutatap lekat wajahnya yang sudah menginjak usia lima puluh tahun itu. Mbah Sarmi sedikit terkejut dengan perubahan wajahku.
“Mbah, tolong. Ceritakan apa saja yang terjadi dengan keluarga Nia, selama Nia pergi dengan bang Ilham empat tahun lalu,”
Mbah Sarmi menatapku dengan sayu, ada kesedihan terpancar dari wajahnya. Aku tahu, pasti sesuatu hal telah terjadi dengan keluargaku.
“Setelah ashar, datanglah ke rumah Mbah. Tapi, jangan tahu emak mu, ya.”
Aku mengangguk, melepaskan tanganku dari tubuh mbah Sarmi. Baiklah, sepertinya memang harus aku sendiri yang mencari jawaban dari semua kejadian-kejadian yang telah terjadi. Untuk mendapat jawaban dari bapak dan emak, sepertinya akan sia-sia.
***“Tetap gak bisa, Mak,” suara berbisik bapak terdengar sayup-sayup di telingaku.
“Ya Allah, Pak. Terus kita harus bagaimana? Taufik juga udah pasrah. Emak gak terima, Pak,” jawab emak cepat.
“Tenang, Mak. Besok, kan Bapak ke kantor camat lagi,”
Kutinggalkan dapur tempat bapak dan emak yang masih saling berbisik. Aku yakin, ini pasti masalah beasiswa Taufik.
***Seperti biasanya, setelah emak selesai shalat ashar, ia akan membaca beberapa ayat suci Al-qur’an. Kulirik jam yang ada di dinding, tepat pukul tiga lewat empat puluh lima menit. Bapak juga belum pulang dari masjid kampung. Taufik sejak subuh tidak terlihat, kata emak ke rumah temannya, Andi, yang berada di kabupaten.
Jantungku rasanya mau lepas, ketika bapak sudah berdiri di hadapanku. Karena melamun, salam bapak pun tak terdengar.
“Terkejut, Nduk? Anak gadis, gak baik melamun,” ujarnya terkekeh.
“Nggak, Pak. Oia, Nia izin sebentar ya, Pak. Mau ke rumah … .” ucapanku terhenti, aku bingung tidak tahu mau kerumah siapa. Ah, kenapa tidak kupikirkan dari tadi, alasan apa agar aku bisa menemui mbah Sarmi. Ayo, berpikir Nia, batinku.
“Intan, mau kerumah Intan,” tegasku. Deal, bertambah pula dosaku, membohongi orang yang tak pernah mengajariku untuk berbohong. Setelah izin kudapatkan, kuraih telepon genggam yang berada di meja tamu dan beranjak keluar rumah.
***
Kutoleh beberapa kali ke belakang, takut emak ataupun bapak berada di sekitar rumah. Kupercepat langkahku menuju rumah mbah Sarmi, terlihat pintu depannya tertutup rapat. Tidak mau membuang waktu untuk menggedor pintu depan rumah mbah, karena masih takut terlihat oleh bapak dan emak, bergegas langkahku menuju pintu dapur.
“Assalamu’alaikum, Mbah,” ucapku pelan. Aku merasa seperti pencuri yang takut tertangkap tangan, mengendap sambil melirik ke kanan dan ke kiri. Walau terhalang oleh ladang di kanan dan kiri rumah mbah Sarmi, tapi masih bisa terlihat jelas oleh rumah lainnya.
“Waalaikumsalam,” jawab seseorang dari dalam rumah.
“Mbah,”
“Eh, Nia, masuk, nduk.” Mbah Sarmi masih menggunakan mukena, mungkin ia baru selesai shalat.
“Duduk dulu. Kamu kok lewat belakang, sih,” tanyanya sambil menuntunku keruangan tengah. Rumah mbah Sarmi cukup besar, ia janda beranak tiga. Semua anaknya telah menikah, dan tinggal di kabupaten.
“Mbah, masih sendiri aja nih?” kunaik turunkan alis mataku untuk menggodanya.
“Oalah, anak bau kencur. Gigi tinggal dua aja, Mbah tinggal dipanggil yang diatas,” selorohnya sambil menoyor kepalaku pelan.
“Gak boleh ngomong gitu juga, Mbah, ajal ga ada yang tahu. Mungkin saja besok ada yang melamar duluan sebelum dipanggil … .” ku tunjuk jari ku ke atas sambil tersenyum manis.
“Moh aku,” ujarnya, membuat kami tertawa lepas.
“Mbah, ceritakan yang Mbah tahu ya, jangan ada yang ditutup-tutupi,” pintaku. Suasana menjadi hening, mbah Sarmi menundukkan kepalanya, helaan nafas panjangnya terdengar.
"Awal kamu pergi, bapak dan emak mu baik-baik saja. Uang yang kalian kirim cukup dan bahkan lebih, untuk memenuhi kebutuhan mereka, apalagi untuk keperluan sekolah Taufik. Adikmu juga beruntung, dengan kecerdasannya, di kelas satu dia mendapatkan beasiswa, uang spp nya hanya dibayar setengah," mbah Sarmi menarik nafas dalam, menjeda ucapannya.
Seketika aku teringat, ketika dengan senangnya Taufik menelpon, bahwa ia mendapat peringkat satu umum di sekolahnya.
"Di tahun kedua kamu pergi, disitulah banyak kejadian yang menimpa keluargamu. Camat terpilih, Gunawan mulai sibuk mengurusi dan mengusik keluargamu. Dari mulai merebut lahan bapakmu, tidak memberikan bantuan pupuk dari pemerintah. Padahal semua masyarakat kampung dapat bantuan, nduk. Terakhir, Taufik mendapatkan beasiswa keperguruan tinggi, tapi ya itu, si Gunawan tidak mau kasih rekom,"
Aku tercengang mendengar penuturan dari mbah Sarmi. Begitu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku, tapi kuurungkan, setelah mbah Sarmi selesai cerita dulu, baru akan aku tanyakan.
"Andre, anak Gunawan yang begajulan, yang malah mendapat rekomendasi. Warga disini udah maklum dengan kelakuan camat itu, tapi karena keturunan pejabat, yaaa, kamu tahu sendiri kan, nduk."
Apakah karena ini, bapak akan berangkat besok ke kantor camat? Untuk meminta surat rekomendasi? Tapi surat yang bagaimana? Ah, kepalaku semakin pusing.
"Mbah, berarti lahan yang digarab bapak selama ini?" kugantung kalimat tanyaku.
"Entah bagaimana caranya, lahan itu bisa beralih ke pak Gunawan, mbah juga gak ngerti. Bapakmu bisa menggarap lahan tersebut, karena bapakmu bayar perbulan. Uang yang kalian kirimlah yang selalu dijadikan bapakmu agar bisa tetap menggarap lahan tersebut."
"Astagfirullah," kuusap dadaku yang mulai sesak.
Mbah Sarmi mengusap matanya dengan ujung mukena yang masih ia kenakan.
"Emakmu yang selama ini cerita ke Mbah, mereka tidak mau merepotkan kalian. Karena mereka juga tahu, bagaimana kondisi kalian disana," diusapnya bahuku pelan.
"Emak ga ada cerita tentang lahan itu, Mbah?"
"Nggak, nduk. Emak cuma bilang, harus bayar dengan pak camat. Jadi bapak, emak dan Taufik hidup dari hasil lahan tersebut. Emak sering berhutang, tapi … ."
Aku menangis, mbah Sarmi memeluk tubuhku erat. Ya Allah, bapak dan emak tidak pernah berkeluh kesah kepada anak-anaknya. Sehingga, aku dan bang Ilham tidak pernah tahu kejadian yang telah menimpa keluargaku.
Tok
Tok TokSuara pintu dapur mbah Sarmi diketuk oleh seseorang, kami saling berpandangan, kuhapus sisa air mata yang ada di pipi.
Mbah Sarmi beranjak membukakan pintu.
"Kamu … ."
@@@ peace, masih ada kejutan lainnya ya beib. 🥰*Kekayaan sejati bukan diukur dari banyaknya harta yang kamu miliki, melainkan diukur dari hatimu yang merasa cukup.****Ketukan pintu mbah Sarmi mengagetkan kami, ku usap sisa airmata yang ada di pipi. Mbah Sarmi bergegas membukakan pintu.“Kamu … !”Kuintip melalui celah kain yang menjadi pembatas ruang tengah dan ruang dapur. Mbok Inah?“Ada apa lagi, Nah?” tanya mbah Sarmi.“Mbah kan, yang bilang ke warga-warga sini, kalau tadi pagi aku dimarahi sama si Nia?” tandasnyaHei, namaku disebut. Kubiarkan saja dulu mbah Sarmi melayani mbok Inah, aku penasaran apa yang akan terjadi.“Su’udzon kamu, Nah. Nyebut gusti Allah, kamu sendiri tahu, kalau disana bukan Mbah saja, kan?”“Halah, tapi Mbah yang lebih senior. Mereka mana berani sama aku, apalagi ceritain kejadian tadi,”“Senior?
*Jangan berduka, apa pun yang hilang darimu akan kembali lagi dalam wujud lain (Jalaludin Rumi)****‘ORANG MISKIN (KELUARGA ARMAN) DILARANG BELANJA’Tulisan dengan arang hitam itu terlihat jelas dimataku. Dua orang wanita yang tengah belanja segera beranjak ketika melihat kedatangan kami.Belum sempat kakiku melangkah, cekalan tangan Taufik di bahuku membuatku menolehnya.“Biar Taufik aja, Kak.” Diraihnya batang kayu seukuran tangan orang dewasa yang ada di samping jalan setapak ini. Aku terkejut, gawat.“Fik, jangan pakai kekerasan,” kali ini aku yang mencekal tangannya.“Taufik!”Suara bariton bapak terdengar dari belakang. Derapan langkah besar juga terdengar jelas menuju arah kami.“Apakah Bapak pernah mengajari kalian seperti ini?” ucapnya pelan, tapi mampu membuatku dan Taufik berhenti untuk menghi
*Ilmu itu lebih baik daripada harta karena harta itu harus kamu jaga, sementara ilmu akan menjagamu.* - Ali bin Abi Thalib***Suara tangisan mbok Inah yang mengucapkan kata maaf, terdengar sampai ke dapur. Hingga bapak mengucapkan suatu kalimat yang membuatku terkejut.“Apa??” teriakku, Taufik seketika langsung membekap mulutku sambil melototkan matanya.“Nia, Taufik, kemari!” panggil bapak tegas.“I … iya, Pak,” Taufik menoyor kepalaku pelan, ia berjalan mendahuluiku.“Duduk!” perintah bapak ketika kami sudah berada di ruang tamu.“Kamu, Nia. Minta maaf sama Inah, atas apa yang telah kamu lakukan di surau.”Jika bapak sudah menyatakan pendapatnya pada kami, berarti itu adalah suatu perintah yang harus segera dilaksanakan. Kulihat emak, sebagai tanda protes. Emak hanya mengangguk, menyetujui kalimat bapak. Kuperba
*Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu.* - Imam Syafi’i***Emak mengenakan gamis putihnya, lengkap dengan jilbab instan dengan warna senada, pakaian hari raya Idul Fitri tiga tahun yang lalu, katanya. Baju yang aku dan bang Ilham beli dan kirimkan ke emak dikampung.Ada senyum yang selalu melekat di wajahnya, senyum yang sulit diartikan. Begitupun bapak, sejak siang tadi ia selalu berdiri di depan pintu, pun menggunakan pakaian warna senada dengan emak. Kopiahnya pun tak pernah terlepas sejak tadi.Taufik tidak terlihat, kata bapak, ia akan sibuk untuk sementara waktu. Aku duduk di sudut ruangan tamu ini, memeluk lutut seraya terus memperhatikan jam dinding berputar.Ah, padahal katanya, paling lama tiga jam lagi ia akan sampai, tapi, rindu ini sudah tidak bisa kutahan. Jam pun seakan enggan untuk berputar.***"Nia, ayo sholat ashar dulu,"
*Segala perbuatan sekecil apapun, nantinya pasti akan dipertanggungjawabkan****Gubrak, terdengar seperti ada barang yang terjatuh.Bergegas kulihat sisi rumah, Taufik mengikuti, ternyata emak menjatuhkan sampah yang ada dalam karung."Emak kenapa?" kubimbing emak berjalan memasuki rumah melalui pintu dapur. Taufik kembali mengumpulkan sampah yang sedikit berserakan."Emak duduk aja, biar Nia dan Taufik yang beberes." Wajah emak masih meyiratkan kesedihan, terlihat jelas ada kerinduan dimatanya."Emak nggak kenapa-kenapa, nduk. Oia, sudah beberapa hari ini kamu izin tidak sekolah. Apa tidak jadi masalah?""Alhamdulillah, sekolah kasih izin untuk cuti selama tujuh hari, Mak. Besok Nia juga udah kembali mengajar," jelasku.Sepertinya nanti saja aku tanyakan kembali perihal surat Taufik, masalah pendaftaran sekolahnya harus segera cepat diselesaikan."Assalamu'alaik
*Kekayaan, umur, dan popularitas itu seperti minum dari air lautan yang asin. Semakin kau minum, semakin haus yang kamu dapatkan.* - Shaykh Ahmad Musa Jibril***“Taufik!”Seorang pria bertubuh tambun, telah berdiri di hadapan kami. Wajahnya menahan amarah, terlihat jelas juga dari gestur tubuhnya.“Bilang sama bapakmu yang miskin itu, apa maksudnya ia menemui camat Jatisari? Kau pikir aku takut, hah!?” ucapnya emosi.Aku dan Taufik segera bangkti dari duduk.“Ck, kalau bapak tidak takut, kenapa sekarang, Bapak seperti cacing kepanasan?” tantang Taufik, ia membusungkan sedikit dadanya.“Apa kau bilang?! Anak bau kencur seperti mu tidak pernah diajari sopan santun, apa? Dasar miskin akhlak, cuih!” ludahnya ke sembarang temp
*Sifat utama pemimpin adalah beradab dan mulia hati.* - Abu Hamid Al Ghazali@@@"Fik, kapan rencana kamu, ke kampus?" tanyaku, seraya menggunakan sepatu sekolah. Hari ini, aku akan berangkat ke sekolah dengan Intan.'Besok, aku jemput ya' pesannya semalam."Insyaallah, lusa Taufik akan berangkat, Kak,""Oke,"Intan telah berdiri di hadapanku, menggunakan gamis berwarna maroon, ia terlihat makin cantik dengan jilbab dengan warna senada."Loh, kok nggak pakai baju dinas,Tan?" tanyaku seraya berjalan beriringan, menuju motornya yang telah terparkir di halaman rumah."Nanti sepulang sekolah, aku mau ke kecamatan. Mau menyerahkan undangan," ungkapnya seraya menghidupkan motor."Undangan?""Hehe
*Seorang muslim tak akan pernah meninggalkan muslim yang lain yang sedang tak berdaya saat dibutuhkan.*@@@[Nia, jam sembilan aku jemput ke rumah, ya], Intan mengirimiku pesan, setelah sebelumnya ku tunaikan sholat subuh terlebih dahulu.[Nggak usah, Tan. Nanti aku diantar sama Taufik saja. Dia juga sekalian mau keluar], send, langsung tercentang biru.[Oke, deh. Dandan yang cantik ya, bentar lagi jumpa sama babang ganteng], diakhiri pesannya dengan emot love. Tidak ku balas lagi pesan Intan, setelah mendengar emak memanggilku.“Nduk, jam berapa kamu ke sekolah?” tanya emak yang sudah berdiri didepan pintu kamarku.“Jam sembilan, Mak. Kenapa, Mak?”“Oh, soalnya emak belum masak kalau kamu perginya sepagi ini,” ujarnya meninggalkanku. Ku Ikuti langkah em