Suara tangisan mbok Inah yang mengucapkan kata maaf, terdengar sampai ke dapur. Hingga bapak mengucapkan suatu kalimat yang membuatku terkejut.
“Apa??” teriakku, Taufik seketika langsung membekap mulutku sambil melototkan matanya.
“Nia, Taufik, kemari!” panggil bapak tegas.
“I … iya, Pak,” Taufik menoyor kepalaku pelan, ia berjalan mendahuluiku.
“Duduk!” perintah bapak ketika kami sudah berada di ruang tamu.
“Kamu, Nia. Minta maaf sama Inah, atas apa yang telah kamu lakukan di surau.”
Jika bapak sudah menyatakan pendapatnya pada kami, berarti itu adalah suatu perintah yang harus segera dilaksanakan. Kulihat emak, sebagai tanda protes. Emak hanya mengangguk, menyetujui kalimat bapak. Kuperbaiki posisi duduk ku, menghadap mbok Inah. Tiba-tiba mbok Inah berdiri, berjalan menghampiri dan langsung memelukku.
“Maafkan, Mbok, ya Nia. Maafkan,” tangisnya semakin keras. Aku yang kebingungan langsung melihat ke arah bapak, terlihat ia tersenyum.
“I … iya, Mbok. Maafkan Nia juga, ya. Nia salah, karena sudah mempermalukan Mbok di kampung kita,” ujarku, menepuk pelan punggungnya.
Setelah drama tangisan selesai, mbok Inah dan lek Ipul pamit pulang. Ada kantongan kresek hitam di sudut ruangan. Taufik sepertinya sadar, ia meraih dan langsung membukanya. Gula, minyak, teh dan sembako kecil lainnya.
“Dari mbok Inah, ya, Mak?” tanya Taufik, emak hanya mengangguk.
***
Shalat isya kami laksanakan berjamaah di rumah, Taufik yang menjadi imamnya. Lelaki itu terlihat semakin dewasa, aku lupa menanyakan perihal surat rekomendasi tersebut? Sepengetahuanku, untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tidaklah perlu menggunakan surat rekom dari camat, cukup dari sekolah saja. Ah, ini nanti juga akan aku tanyakan, tetapi ada hal yang lebih penting lagi, terkait ucapan bapak tadi pagi dengan mbok Inah dan lek Ipul.
“Pak, boleh Nia bertanya?” ujarku mendekati bapak, yang sedang mengganti chanel TV yang masih berukuran kotak tersebut. Taufik menyerngitkan dahinya seraya menggeleng, ku tahu, ia melarangku untuk menanyakan masalah tersebut kepada bapak.
“Tanya apa, nduk?”
“Maaf ya, Pak, karena telah mendengar semua percakapan bapak dan mbok Inah pagi tadi. Bukannya Nia mau ikut campur, tapi … .” kugantungkan kalimatku, menarik nafas dalam-dalam sebelum memulainya kembali.
“Soal tanah?” celetuk emak yang muncul dari dapur, membawa sepiring pisang goreng yang asapnya masih terlihat mengepul.
Aku mengangguk, bapak memperbaiki posisi duduknya.
“Hem, memang sudah seharusnya kalian tahu,” tutur bapak seraya memperbaiki posisi duduknya, Taufik segera mendekat, duduk disampingku.
“Setelah Taufik lahir, keluarga Ipul menjual tanahnya, mereka butuh uang untuk keperluan sekolah Ipul. Alhamdulillah, saat itu Bapak ada pegangan uang, karena baru panen. Tetapi saat Ipul berumur dua puluh lima tahun, dia melarikan seorang gadis, Inah. Keluarga Inah marah dan akan menuntut, jika permintaan mereka tidak dipenuhi, yaitu mahar sebidang tanah untuk Inah,” jelas bapak.
“Jadi, Bapak kasih tanah kita?!” potong Taufik cepat, terlihat emak mendelik ke arahnya.
“Hehehe, ya nggak gitu juga, lek,” bapak terkekeh lucu menjawabnya
“Karena keluarga Ipul sudah tidak lagi memiliki tanah, maka mereka minta tolong untuk mencicil kembali tanah yang mereka jual. Karena Bapak kasihan, dan kita dianjurkan tolong menolong, Bapak akhirnya menjualnya,” ada jeda kembali, Bapak melahap pisang yang sudah tersaji dihadapannya.
“Terus, Pak?” tuntut ku
“Sabar, nduk,” sahut emak.
“Ipul tahu, masalah tanah yang menjadi utangnya. Jadi, setelah ia menikah, ia menemui bapak, mengatakan bahwa ia tidak sanggup untuk membelinya kembali. Waktu itu, ia mengatakan dan meminta izin pada Bapak, untuk membolehkan sementara menempati tanah kita sebagai lahan rumahnya.” Bapak menghirup nafasnya dalam.
“Ya, itu. Mungkin Inah tidak tahu, makanya setelah kejadian kemarin, ia merasa bersalah dan minta maaf pada Bapak dan Emakmu.”
Aku tertegun mendengar penjelasan bapak, ternyata … .
Ya, mbok Inah pasti merasa sangat, sangat menyesal, apalagi melihat luka di kepala bapak yang masih diperban. Kejadian kebakaran saat itu, ketika Siti, anak mbok Inah yang masih terjebak di kobaran api rumahnya, dengan sigap bapak masuk menerobos, hingga tidak melihat sebuah balok jatuh dan menimpa kepalanya.“Jadi, kita nggak miskin, donk, Pak,” ungkap Taufik dengan lugu.
“Hust, gak baik ngomong gitu, lek,”
“Terus, selanjutnya bagaimana, Pak? Mbok Inah, masih tinggal disana?” tanyaku lagi.
“Ya iyalah, nduk. Memangnya mau kemana lagi,” tegasnya.
Ucapan bapak membuatku semakin yakin, untuk selanjutnya mbok Inah tidak akan berbuat hal aneh lagi dengan keluargaku.
***“Kamu nggak pergi sekolah, nduk.” Emak terlihat sibuk di dapur, mengolah makanan untuk sarapan, sambal pete dan sayur bayam rebus ditambah tempe mendoan. Sarapan sederhana, tapi mampu membuat yang melihatnya harus bersiap melepaskan ikat pinggang.
“Hari ini, Nia tidak ada jadwal ngajar, Mak,”
“Lah toh, terus?”
“Kalau tidak ada jadwal, berarti tidak perlu ke sekolah, Mak. Kecuali, ada kepentingan dan panggilan dari sekolah,” kupotong tempe yang sudah tersaji di nampan kecil.
“Nduk, apa abangmu, Ilham, nggak mau nikah lagi?”
Pertanyaan emak menghentikan kegiatanku.
Teringat dua tahun yang lalu, ketika aku, Bela dan bang Ilham sedang berada di warung makan. Bang Ilham memperhatikan sepasang suami istri dan anaknya yang seumuran dengan Bela, bercanda ria.“Abang, nikah lagi, aja,” kupelankan suaraku, agar tidak terdengar oleh Bela.
“Entahlah, dik. Sepertinya Abang masih cinta sama kakakmu, Abang masih belum bisa membuka hati Abang untuk orang lain,” senyumnya kecut.
“Nduk, ditanya kok malah melamun,” emak memukul pundakku pelan, membuyarkan lamunanku.
“Eh, kenapa nggak Emak tanya aja langsung.”
Kuambil telepon genggamku di atas meja dapur. Kutekan aplikasi berwarna hijau, mencari kontak bang Ilham, sejurus kemudian kutekan gambar video. Handphone yang kubeli masih jauh dari kata bagus, merk yang masih belum diakui oleh pasar nasional, gambar yang belum berstandar HD. Tapi aku bersyukur setidaknya aku masih bisa melihat orang tercintaku yang jauh melalui barang tersebut.
Tersambung, terlihat bang Ilham sedang menggunakan topi kerjanya.“Assalamu’alaikum, emak,” ujarnya tersenyum, menampakkan lesung pipitnya.
“Wa’alaikumsalam, anak emak. Ganteng pisan anak emak. Mau berangkat kerja, lek?” kuserahkan handphone ku kepada emak.
“Iya, Mak. Emak sehat?”
“Alhamdulillah sehat, kamu kabarnya gimana, lek? Cucu Emak, sehat? Betah di pesantren? Jangan telat makan, badan kamu kurusan, lek,”
Kubiarkan emak dan anak sulungnya bertukar kabar. Ku goreng tempe yang telah dipotong tadi. Taufik datang dari arah pintu dapur, dengan sarung yang masih menggantung di lehernya. Sejurus kemudian, ia pun ikut duduk disamping emak.
“Kak, nih. Bang ilham mau ngomong,” kembaran bang Ilham itu menyerahkan handphone ku kembali.
“Nia,”
“Iya, Bang,” jawabku cepat, tak seperti biasanya, bang Ilham memanggil namaku. Ia tersenyum, senyum yang kini kurindukan.
“Gimana ngajarnya? Jangan cerewet ya ngajarnya, jangan juga dipukulin siswanya,” bang Ilham tertawa, ku tampakkan wajah cemberut.
“Nia, jangan lupa jaga kesehatan, jaga emak dan bapak, bilangin juga sama Taufik, lanjutkan sekolah. Insyaallah, Abang ada tabungan. Jangan tinggalkan sholat ya, doakan Abang sehat, lancar rezekinya,” lanjutnya.
Kulirik emak yang menghapus air matanya dengan punggung tangan, begitupun Taufik, ia tertunduk dalam. Tak sadar, air mataku pun jatuh.
“Loh, kok nangis, kenapa dik?”
“Nggak apa-apa, Bang. Emak lagi ngiris bawang, nih,” ujarku seraya memasang wajah sedih yang kubuat aneh, bang Ilham tertawa melihat tingkahku.
“Yowes, Abang berangkat kerja dulu, ya. Salam sama bapak,” ucapnya seraya menutup telepon dengan ucapan salam.
*** Kututup aplikasi berlogo F, beranjak ke dapur untuk mengambil minuman. Masih diambang pintu dapur, dering teleponku berbunyi.Bang Ilham menelpon.
“Assalamu’alaikum, Bang?” ucapku.
“Benar ini dengan keluarga Ilham,” suara pria yang tidak kukenal terdengar dari seberang sana.
“I … iya. Ini siapa? Ini handphone bang Ilham, kan” tanyaku ragu, ada kecemasan terbesit di dalam hati.
“Iya, Ilham … .” Spontan handphone yang kugenggam terjatuh setelah mendengar ucapan pria itu.
@@@
Yeee, bersambung lagi gais,,,
Kira-kira Ilham kenapa ya? Hemm. Makan goreng pisang dulu yuk.*Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu.* - Imam Syafi’i***Emak mengenakan gamis putihnya, lengkap dengan jilbab instan dengan warna senada, pakaian hari raya Idul Fitri tiga tahun yang lalu, katanya. Baju yang aku dan bang Ilham beli dan kirimkan ke emak dikampung.Ada senyum yang selalu melekat di wajahnya, senyum yang sulit diartikan. Begitupun bapak, sejak siang tadi ia selalu berdiri di depan pintu, pun menggunakan pakaian warna senada dengan emak. Kopiahnya pun tak pernah terlepas sejak tadi.Taufik tidak terlihat, kata bapak, ia akan sibuk untuk sementara waktu. Aku duduk di sudut ruangan tamu ini, memeluk lutut seraya terus memperhatikan jam dinding berputar.Ah, padahal katanya, paling lama tiga jam lagi ia akan sampai, tapi, rindu ini sudah tidak bisa kutahan. Jam pun seakan enggan untuk berputar.***"Nia, ayo sholat ashar dulu,"
*Segala perbuatan sekecil apapun, nantinya pasti akan dipertanggungjawabkan****Gubrak, terdengar seperti ada barang yang terjatuh.Bergegas kulihat sisi rumah, Taufik mengikuti, ternyata emak menjatuhkan sampah yang ada dalam karung."Emak kenapa?" kubimbing emak berjalan memasuki rumah melalui pintu dapur. Taufik kembali mengumpulkan sampah yang sedikit berserakan."Emak duduk aja, biar Nia dan Taufik yang beberes." Wajah emak masih meyiratkan kesedihan, terlihat jelas ada kerinduan dimatanya."Emak nggak kenapa-kenapa, nduk. Oia, sudah beberapa hari ini kamu izin tidak sekolah. Apa tidak jadi masalah?""Alhamdulillah, sekolah kasih izin untuk cuti selama tujuh hari, Mak. Besok Nia juga udah kembali mengajar," jelasku.Sepertinya nanti saja aku tanyakan kembali perihal surat Taufik, masalah pendaftaran sekolahnya harus segera cepat diselesaikan."Assalamu'alaik
*Kekayaan, umur, dan popularitas itu seperti minum dari air lautan yang asin. Semakin kau minum, semakin haus yang kamu dapatkan.* - Shaykh Ahmad Musa Jibril***“Taufik!”Seorang pria bertubuh tambun, telah berdiri di hadapan kami. Wajahnya menahan amarah, terlihat jelas juga dari gestur tubuhnya.“Bilang sama bapakmu yang miskin itu, apa maksudnya ia menemui camat Jatisari? Kau pikir aku takut, hah!?” ucapnya emosi.Aku dan Taufik segera bangkti dari duduk.“Ck, kalau bapak tidak takut, kenapa sekarang, Bapak seperti cacing kepanasan?” tantang Taufik, ia membusungkan sedikit dadanya.“Apa kau bilang?! Anak bau kencur seperti mu tidak pernah diajari sopan santun, apa? Dasar miskin akhlak, cuih!” ludahnya ke sembarang temp
*Sifat utama pemimpin adalah beradab dan mulia hati.* - Abu Hamid Al Ghazali@@@"Fik, kapan rencana kamu, ke kampus?" tanyaku, seraya menggunakan sepatu sekolah. Hari ini, aku akan berangkat ke sekolah dengan Intan.'Besok, aku jemput ya' pesannya semalam."Insyaallah, lusa Taufik akan berangkat, Kak,""Oke,"Intan telah berdiri di hadapanku, menggunakan gamis berwarna maroon, ia terlihat makin cantik dengan jilbab dengan warna senada."Loh, kok nggak pakai baju dinas,Tan?" tanyaku seraya berjalan beriringan, menuju motornya yang telah terparkir di halaman rumah."Nanti sepulang sekolah, aku mau ke kecamatan. Mau menyerahkan undangan," ungkapnya seraya menghidupkan motor."Undangan?""Hehe
*Seorang muslim tak akan pernah meninggalkan muslim yang lain yang sedang tak berdaya saat dibutuhkan.*@@@[Nia, jam sembilan aku jemput ke rumah, ya], Intan mengirimiku pesan, setelah sebelumnya ku tunaikan sholat subuh terlebih dahulu.[Nggak usah, Tan. Nanti aku diantar sama Taufik saja. Dia juga sekalian mau keluar], send, langsung tercentang biru.[Oke, deh. Dandan yang cantik ya, bentar lagi jumpa sama babang ganteng], diakhiri pesannya dengan emot love. Tidak ku balas lagi pesan Intan, setelah mendengar emak memanggilku.“Nduk, jam berapa kamu ke sekolah?” tanya emak yang sudah berdiri didepan pintu kamarku.“Jam sembilan, Mak. Kenapa, Mak?”“Oh, soalnya emak belum masak kalau kamu perginya sepagi ini,” ujarnya meninggalkanku. Ku Ikuti langkah em
“Kau?!” pak Gunawan mengacungkan jarinya ke arahku.Keadaan berubah menjadi tegang, Bang Satria yang tidak tahu menahu pun menatap kami secara bergantian. Intan tampak menahan emosi, tangannya ikut terkepal.Sejak mengetahui kelakuan pak Gunawan terhadap keluargaku, bendera perang pun sekarang siap aku kibarkan."Pak, apa anda tidak malu, membuat keributan di depan umum? Oh, atau biar sekalian saja, pak Camat tahu kelakuan Bapak yang sebenarnya," ucapku santai.Pak Gunawan seketika tersadar atas kelakuannya, dia menurunkan tangannya dari wajahku."Pak Gunawan, ada masalah apa dengan saudara Nia?" tanya bang Satria."Eh, itu Pak, itu … . Tidak ada Pak, tidak ada masalah apa-apa," ucapnya gelagapan."Saya duluan, Pak," ujar pak Gunawan berlalu tanpa menunggu ja
Brak!Semua mata mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang dibuka secara paksa. Pak Gunawan berdiri dengan wajah merahnya, emosi sudah menguasai tubuhnya."Siapa yang menangkap anak saya?" Sebuah pertanyaan yang entah kepada siapa ia ajukan. Pak Gunawan berjalan cepat ke arahku."Kamu, lagi? Keluarga miskin yang selalu mengganggu!" ucapnya."Pak, mohon maaf. Jika Bapak membuat keributan disini, maka kami tidak akan segan, untuk menangkap Bapak," ujar seorang polisi yang sudah berdiri di samping pak Gunawan."Halah, kamu tidak perlu menasehati saya, masih pangkat rendah saja, sok-sokan mau menasehati orang tua," kali ini, telunjuknya sudah di hadapan perwira polisi tersebut, memang, dilihat dari seragamnya ia masihlah berpangkat Inspektur Polisi Dua.Pak Gunawan sepertinya tidak gentar mendapat teguran dari polisi tersebut
Bapak hanya diam, ketika Taufik menjelaskan bahwa pengumpulan berkas sudah ditutup."Apa kampus lain, masih ada yang buka pendaftaran, nduk?" tanya Bapak."Ada, Pak. Tapi … ." kugantungkan kalimatku.Kesempatan untuk mendapatkan beasiswa bidikmisi akan hilang. Itu alasan utama mengapa Taufik begitu kekeh untuk ikut SNMPTN, karena tidak dipungut biaya sama sekali. Diterima melalui SNMPTN berarti Taufik, sudah tidak perlu lagi mengikuti jalur tes. Selain itu, biaya kuliah calon mahasiswa yang diterima melalui jalur SNMPTN biasanya lebih murah dibandingkan jika diterima melalui jalur Mandiri."Tetapi, kenapa, nduk?" tanya emak. Sholat isya sudah usai sedari tadi kami laksanakan, tapi emak masih menggunakan mukenanya."Taufik tidak mau kuliah, Pak!" ucap Taufik seketika. Membuat kami mengalihkan pandangan ke arahnya.