Bapak hanya diam, ketika Taufik menjelaskan bahwa pengumpulan berkas sudah ditutup.
"Apa kampus lain, masih ada yang buka pendaftaran, nduk?" tanya Bapak.
"Ada, Pak. Tapi … ." kugantungkan kalimatku.
Kesempatan untuk mendapatkan beasiswa bidikmisi akan hilang. Itu alasan utama mengapa Taufik begitu kekeh untuk ikut SNMPTN, karena tidak dipungut biaya sama sekali. Diterima melalui SNMPTN berarti Taufik, sudah tidak perlu lagi mengikuti jalur tes. Selain itu, biaya kuliah calon mahasiswa yang diterima melalui jalur SNMPTN biasanya lebih murah dibandingkan jika diterima melalui jalur Mandiri.
"Tetapi, kenapa, nduk?" tanya emak. Sholat isya sudah usai sedari tadi kami laksanakan, tapi emak masih menggunakan mukenanya.
"Taufik tidak mau kuliah, Pak!" ucap Taufik seketika. Membuat kami mengalihkan pandangan ke arahnya.
“Bunda, besok Bela pulang,” ucap Bela, ada kesedihan tersirat dari suaranya.“Hem,” gumamku. Sebenarnya aku sudah tahu, semalam kak Lestari sudah memberitahukan kepulangan mereka kepada kami. Suaminya, mas Amir mendapatkan telepon dari atasannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan penting, yang tidak bisa digantikan oleh orang lain.“Bunda,” panggilnya lagi, seraya mengguncang-guncangkan tanganku.“Eh, iya. Terus, Bela kapan lagi kerumah nenek?”“Insyaallah, setiap ada libur panjang dari pesantren, Bela akan datang, Bunda,” ucapnya. Aku perhatikan Bela yang sedang sibuk menyusun baju-bajunya ke dalam koper berwarna tosca. Gadis yang semakin beranjak besar itu, semakin mirip dengan almarhum bang Ilham. Pagi tadi Bela pingsan, ketika mengunjungi makam papanya. Kami harus melarikannya ke puskesmas, setelah beberapa kali me
Pembicaraan bang Satria dan mas Amir semalam, selalu terngiang di telingaku. Hey, Nia, apa yang kau pikirkan? Bukankah kalian memang tidak memiliki hubungan apa pun, batinku.***Pukul tiga dini hari, keluarga iparku telah bersiap untuk pulang. Bela, yang masih menahan kantuknya, menyalami kami satu persatu.“Cucu Nenek, jaga kesehatan, ya,” emak menciumi tiap sudut wajah cucu satu-satunya itu, Bela memeluk erat emak. Emak menangis ketika Taufik berpamitan, ia menyalami seraya memeluk kaki emak. Semua yang melihat, mengeluarkan air mata.“Mak, Taufik pergi, ya. Doakan Taufik bisa sukses, bisa membanggakan Emak, Bapak, dan Kak Nia,” ucapnya“Iya, le. Emak ikhlas, pergilah, le, kejar cita-citamu, ya.”Bapak sedari tadi hanya diam, tidak mengeluarkan suaranya. Bapak hanya menepuk p
Apa?!Awas kamu tante Diah! Perang saudara sepertinya harus terjadi.Terdengar bapak memanggil dari dalam kamar, aku dan Intan bergegas masuk.“Kenapa, Pak? Ada yang sakit?” tanyaku seraya duduk di pinggir tempat tidur bapak, deritan kayu terdengar ketika Intan juga ikut duduk disampingku.“Emakmu, mana, nduk?”“Emak, masih menemani pak lek Marno dan yang lainnya di depan, Pak. Bapak mau bicara sama emak?”“Bapak, mau ke depan,” ujarnya seraya menggerakan tubuhnya.“Bapak masih sakit, Nia panggil emak saja, ya?”“Hehehe, Bapak nggak apa-apa, nduk. Ayo, bantu Bapak bangun,” Aku dan Intan membantu bapak berdiri, dengan tertatih bapak berjalan menuju ruang tengah.&ldq
"Tan, pulang sekolah nanti, kamu bisa nemenin aku, nggak?"Hari ini aku tidak memiliki jadwal mengajar, kuhubungi Intan setelah selesai melaksanakan shalat subuh melalui panggilan telepon."Kemana?""Hem, ke rumah bang Satria," jawabku pelan"Apa?!""Iya, bang Satria mengundang kita untuk menghadiri acara syukuran di rumahnya,""Beneran?! Oke, oke. Aku akan temenin kamu. Kita berangkat pukul dua, ya," Aku mengiyakan keputusan Intan. Setelah menutup telepon, terlihat di layar handphone sebuah pesan, dari tante Diah.[Silahkan kamu lapor tante, Nia. Tante juga nggak takut], ku letakkan kembali handphoneku ke meja yang ada di sudut kamar, tanpa ada niat untuk membalas pesan tante Diah.Seperti dugaanku tadi, tante Diah pun langsung menelpon ku, karena pesan yang ia kirimkan tidak
“Nia?! Calon mantu Ibu, kan?” tanya wanita paruh baya, lagi. Untuk memastikan apakah memang benar aku yang bang Satria maksud, mungkin.Intan mencubit lenganku, ah, Intan sudah berapa kali kamu menyakiti tubuhku. Kulihat bang Satria menggaruk tengkuknya yang mungkin tidak gatal.“Ayo, Nduk. Kita duduk, dulu,” Ibu Indah, begitu panggilannya, ketika beliau memperkenalkan dirinya padaku dan Intan.Ibu Indah mempersilahkan aku duduk di ruangan yang lain dan beliau pun mulai bercerita.“Satria itu anak Ibu yang nomor dua dan yang nikah itu, juga anak Ibu yang pertama, Sari namanya,” ku lemparkan senyum pada ibu Indah yang terlihat ada tatapan sendu di matanya.“Alhamdulillah, Sari kemarin sudah ijab qabul,” bu Indah memandangku dalam.“Jadi, mbak Sari menikah dengan s
Hari ini, adalah jadwalku mengajar.Setelah sehari sebelumnya, aku juga meminta pada Intan, untuk menyimpan akta tanah dan surat-surat penting lainnya. Katanya, bapak dan ibunya akan menyimpan surat berharga itu ke sebuah bank swasta di kecamatan, tempat mereka biasa menyimpan uang.Bukan hal sepele, ketika perang sudah dimulai. Aku takut terjadi hal yang tidak diinginkan dan aku yakin, tante Diah akan melakukan segala cara untuk dapat kembali mengambil akta tanah ladang tersebut.“Aku selalu merepotkanmu, Tan,” ucapku, ketika kami sudah duduk di kantin sekolah.“Hei, Nia. Kali ini aku yang direpotkan, tapi lihatlah nanti. Mungkin aku akan merepotkanmu lebih dari ini,” candanya, tetapi tatapan mata Intan membuatku semakin yakin, bahwa dia memang ikhlas membantuku.“Bu Nia. Kata pak Wahyu, Bu Nia disuruh menghadap ke ruan
*Jangan sepelekan hal yang kecil, karena sesuatu yang besar itu berasal dari hal-hal yang kecil*Ya Allah, semoga bapak dan emak baik-baik saja, tolong jaga mereka, doaku dalam hati.***Bunyi alaram menbangunkanku, tepat pukul empat pagi. Semalam aku tidak ingat, pukul berapa aku tertidur. Karena perbuatan tante Diah membuatku, semalaman tidak bisa konsentrasi untuk mempelajari beberapa indikator perlombaan.Tempat tidur di ranjang sebelahku bergerak, bukankah semalam kosong, pikirku.“Ah, maaf. Semalam kamu sudah tertidur, jadi saya tidak membangunkamu, ketika saya datang.” Wanita dengan menggunakan baju tidur dan menggunakan hijab biru itu tersenyum seraya bangkit dari tempat tidurnya.“Iya, tidak apa-apa, Mbak … .”“Putri, nama saya Putri. Saya perw
Alhamdulillah, sudah kesekian kalinya emak mengucap syukur. Air mata beliau tak terbendung lagi, setelah aku membacakan pesan kak Lestari kepada emak."Emak boleh ngomong sama, Lestari?" Emak mengucapkan kalimat yang sedari tadi tidak aku pikirkan. Ku anggukkan kepala, tanda setuju.TuutTuut"Assalamualaikum, Mak." Suara yang sangat kami rindukan, terdengar dari seberang telepon."Le, Taufik, anaknya Emak."Terdengar Taufik terisak, membuatku harus menghapus air mata di pipi untuk kesekian kalinya."Alhamdulillah sehat, Mak. Emak disana sehat?"Tidak terdengar suara apapun, kecuali suara tangis emak yang semakin keras."Mak," ucapku setelah beberapa detik emak masih saja menghapus air matanya. Kuelus pundak emak, yang semakin ringkih.