“Nia?! Calon mantu Ibu, kan?” tanya wanita paruh baya, lagi. Untuk memastikan apakah memang benar aku yang bang Satria maksud, mungkin.
Intan mencubit lenganku, ah, Intan sudah berapa kali kamu menyakiti tubuhku. Kulihat bang Satria menggaruk tengkuknya yang mungkin tidak gatal.
“Ayo, Nduk. Kita duduk, dulu,” Ibu Indah, begitu panggilannya, ketika beliau memperkenalkan dirinya padaku dan Intan.
Ibu Indah mempersilahkan aku duduk di ruangan yang lain dan beliau pun mulai bercerita.
“Satria itu anak Ibu yang nomor dua dan yang nikah itu, juga anak Ibu yang pertama, Sari namanya,” ku lemparkan senyum pada ibu Indah yang terlihat ada tatapan sendu di matanya.
“Alhamdulillah, Sari kemarin sudah ijab qabul,” bu Indah memandangku dalam.
“Jadi, mbak Sari menikah dengan s
Hari ini, adalah jadwalku mengajar.Setelah sehari sebelumnya, aku juga meminta pada Intan, untuk menyimpan akta tanah dan surat-surat penting lainnya. Katanya, bapak dan ibunya akan menyimpan surat berharga itu ke sebuah bank swasta di kecamatan, tempat mereka biasa menyimpan uang.Bukan hal sepele, ketika perang sudah dimulai. Aku takut terjadi hal yang tidak diinginkan dan aku yakin, tante Diah akan melakukan segala cara untuk dapat kembali mengambil akta tanah ladang tersebut.“Aku selalu merepotkanmu, Tan,” ucapku, ketika kami sudah duduk di kantin sekolah.“Hei, Nia. Kali ini aku yang direpotkan, tapi lihatlah nanti. Mungkin aku akan merepotkanmu lebih dari ini,” candanya, tetapi tatapan mata Intan membuatku semakin yakin, bahwa dia memang ikhlas membantuku.“Bu Nia. Kata pak Wahyu, Bu Nia disuruh menghadap ke ruan
*Jangan sepelekan hal yang kecil, karena sesuatu yang besar itu berasal dari hal-hal yang kecil*Ya Allah, semoga bapak dan emak baik-baik saja, tolong jaga mereka, doaku dalam hati.***Bunyi alaram menbangunkanku, tepat pukul empat pagi. Semalam aku tidak ingat, pukul berapa aku tertidur. Karena perbuatan tante Diah membuatku, semalaman tidak bisa konsentrasi untuk mempelajari beberapa indikator perlombaan.Tempat tidur di ranjang sebelahku bergerak, bukankah semalam kosong, pikirku.“Ah, maaf. Semalam kamu sudah tertidur, jadi saya tidak membangunkamu, ketika saya datang.” Wanita dengan menggunakan baju tidur dan menggunakan hijab biru itu tersenyum seraya bangkit dari tempat tidurnya.“Iya, tidak apa-apa, Mbak … .”“Putri, nama saya Putri. Saya perw
Alhamdulillah, sudah kesekian kalinya emak mengucap syukur. Air mata beliau tak terbendung lagi, setelah aku membacakan pesan kak Lestari kepada emak."Emak boleh ngomong sama, Lestari?" Emak mengucapkan kalimat yang sedari tadi tidak aku pikirkan. Ku anggukkan kepala, tanda setuju.TuutTuut"Assalamualaikum, Mak." Suara yang sangat kami rindukan, terdengar dari seberang telepon."Le, Taufik, anaknya Emak."Terdengar Taufik terisak, membuatku harus menghapus air mata di pipi untuk kesekian kalinya."Alhamdulillah sehat, Mak. Emak disana sehat?"Tidak terdengar suara apapun, kecuali suara tangis emak yang semakin keras."Mak," ucapku setelah beberapa detik emak masih saja menghapus air matanya. Kuelus pundak emak, yang semakin ringkih.
"Beneran kan, Tan? Kamu sudah rekam semuanya?" Aku masih memperhatikan Intan yang masih mencari file rekaman di hp miliknya.Intan tidak menjawab pertanyaanku, matanya masih serius menatap benda pipih di tangannya."Tan?""Sebentar, Nia. Jangan ganggu dulu. Aku masih belum menemukan foldernya,"Ah, aku tidak begitu berharap pada rekaman yang sempat Intan tadi lakukan. Setidaknya, aku sudah mengetahui semua rahasia Hendra dan tante Diah. Kuarahkan pandanganku ke luar jendela, hari ini begitu cerah. Matahari tidak malu menampakkan sinarnya.Getaran hp di atas meja membuatku kembali menatap benda pipih yang sudah ketinggalan oleh zamannya. Nomor yang tidak kukenal, yang artinya nomor tersebut belum tersimpan di hp ku."Halo, Assalamualaikum," ucapku"Waalaikumsalam. Benar dengan Ibu Nia
“Takwalah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada, dan ikutilah kejelekan itu dengan kebaikan yang menghapusnya, dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (HR At-Tirmidzi)***Apa?! Kejutan apa lagi ini?Padahal sebelumnya aku mendengar bahwa Hendra menyuruh seseorang untuk menggugurkan kandungan, apakah itu sumi? Tidak mungkin.Karena, kedua bapak mereka adalah saudara tiri. Jadi, siapa?"Mana uangnya?" tanya Hendra tanpa basa-basi."Sabar, Hen. Kenapa sih, muka di tekuk gitu?" Terdengar sumi menarik sebuah kursi."Itu, teman kamu, si Meri, minta tanggung jawab, dia hamil,"Apa?! Jadi … ."Hahaha, kamu nya saja yang ceroboh." Terdengar Sumi tertawa mengejek, ah, tidak ayah, tidak ibu, anak semua sa
Apa?!"Apa tante tidak tahu malu? Atau sudah tidak punya malu, lagi?" Aku mengeraskan rahang, dadaku kembang kempis, menahan amarah yang bergejolak.Tante Diah mendongakkan wajahnya padaku, mata sinisnya tepat mengarah pada mataku. Ck, tante pikir aku tidak tahu, jika tante punya niat terselubung, batinku."Heh, anak kecil, jangan urus urusan orang dewasa," ujar tante Diah, ia kini telah berdiri."Abang minta, kamu keluar sekarang Diah. Persiapkan saja dirimu, dan kau Wahyu … ." Tunjuk Bapak, beliau lalu menghampiri paman Wahyu yang masih mematung di depan pintu.Mungkin karena takut akan terjadi tindak kekerasan, aku segera memegang lengan bapak."Bawa segera Diah dari rumah ini. Bersiaplah, kalian sudah Abang laporkan ke polisi,"Tante Diah dan paman Wahyu terkejut, mungkin mereka tidak menyang
Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tetapi mata belum juga mau berkompromi. Mataku menatap bungkusan kado yang masih tertutup rapat, di atas meja belajar tua ku.Hey, mengapa aku bisa sampai lupa membuka hadiah dari sekolah, pikirku. Ck, semua masalah tante Diah menyita waktu dan pikiranku.Kuraih bungkusan yang berwarna ungu dengan motif bunga. Dengan perlahan, aku membuka setiap isolatif yang tertempel di setiap sisinya. Mataku membulat sempurna, ketika melihat sebuah kotak hp dengan merk s****ng, walaupun bukan keluaran terbaru, tetapi setidaknya ini lima kali lebih bagus daripada hp yang aku miliki sekarang.Alhamdulillah, ucapku bersyukur.Rasa terkejutku belum sampai disitu saja, sebuah amplop putih juga terlihat di dalamnya. Aku mulai membuka amplop dari ujung sisinya, rasa terkejut kembali menghinggapiku, beberapa lembar uang merah tertata rapi. Tiga juta? Apaka
“Jangan kamu pikir, aku takut dengan kamu, Nia,” tantang Sumi. Ia masih berdiri tegak dengan gelas yang masih ada di genggamannya.“Jadi, kamu pikir aku juga takut, gitu?” tekan ku, dingin.Si rambut jagung tidak berkutik, ia malah sibuk membersihkan tasnya yang ikut tersiram dengan jus jeruk, pun dengan Lastri, ia juga sibuk membersihkan tubuhnya dengan tisu. Sesekali mata Lastri melirik tajam padaku.“Ayo, Tan. Kita pergi saja dari sini, banyak lalat yang mendengung,” ucapku sinis seraya menatap Sumi. Aku meraih tas yang ada di kursi, berjalan menuju kasir dan segera membayar makanan yang belum sempat masuk ke dalam mulutku.“Heh, Nia! Bayarnya jangan pakai uang receh, atau apabila kamu nggak sanggup bayar, biar kita-kita saja yang bayarin makanan kamu. Secara, kamu kan ... .” Sumi tidak melanjutkan teriakannya, karena seorang