"Beneran kan, Tan? Kamu sudah rekam semuanya?" Aku masih memperhatikan Intan yang masih mencari file rekaman di hp miliknya.
Intan tidak menjawab pertanyaanku, matanya masih serius menatap benda pipih di tangannya.
"Tan?"
"Sebentar, Nia. Jangan ganggu dulu. Aku masih belum menemukan foldernya,"
Ah, aku tidak begitu berharap pada rekaman yang sempat Intan tadi lakukan. Setidaknya, aku sudah mengetahui semua rahasia Hendra dan tante Diah. Kuarahkan pandanganku ke luar jendela, hari ini begitu cerah. Matahari tidak malu menampakkan sinarnya.
Getaran hp di atas meja membuatku kembali menatap benda pipih yang sudah ketinggalan oleh zamannya. Nomor yang tidak kukenal, yang artinya nomor tersebut belum tersimpan di hp ku.
"Halo, Assalamualaikum," ucapku
"Waalaikumsalam. Benar dengan Ibu Nia
“Takwalah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada, dan ikutilah kejelekan itu dengan kebaikan yang menghapusnya, dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (HR At-Tirmidzi)***Apa?! Kejutan apa lagi ini?Padahal sebelumnya aku mendengar bahwa Hendra menyuruh seseorang untuk menggugurkan kandungan, apakah itu sumi? Tidak mungkin.Karena, kedua bapak mereka adalah saudara tiri. Jadi, siapa?"Mana uangnya?" tanya Hendra tanpa basa-basi."Sabar, Hen. Kenapa sih, muka di tekuk gitu?" Terdengar sumi menarik sebuah kursi."Itu, teman kamu, si Meri, minta tanggung jawab, dia hamil,"Apa?! Jadi … ."Hahaha, kamu nya saja yang ceroboh." Terdengar Sumi tertawa mengejek, ah, tidak ayah, tidak ibu, anak semua sa
Apa?!"Apa tante tidak tahu malu? Atau sudah tidak punya malu, lagi?" Aku mengeraskan rahang, dadaku kembang kempis, menahan amarah yang bergejolak.Tante Diah mendongakkan wajahnya padaku, mata sinisnya tepat mengarah pada mataku. Ck, tante pikir aku tidak tahu, jika tante punya niat terselubung, batinku."Heh, anak kecil, jangan urus urusan orang dewasa," ujar tante Diah, ia kini telah berdiri."Abang minta, kamu keluar sekarang Diah. Persiapkan saja dirimu, dan kau Wahyu … ." Tunjuk Bapak, beliau lalu menghampiri paman Wahyu yang masih mematung di depan pintu.Mungkin karena takut akan terjadi tindak kekerasan, aku segera memegang lengan bapak."Bawa segera Diah dari rumah ini. Bersiaplah, kalian sudah Abang laporkan ke polisi,"Tante Diah dan paman Wahyu terkejut, mungkin mereka tidak menyang
Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tetapi mata belum juga mau berkompromi. Mataku menatap bungkusan kado yang masih tertutup rapat, di atas meja belajar tua ku.Hey, mengapa aku bisa sampai lupa membuka hadiah dari sekolah, pikirku. Ck, semua masalah tante Diah menyita waktu dan pikiranku.Kuraih bungkusan yang berwarna ungu dengan motif bunga. Dengan perlahan, aku membuka setiap isolatif yang tertempel di setiap sisinya. Mataku membulat sempurna, ketika melihat sebuah kotak hp dengan merk s****ng, walaupun bukan keluaran terbaru, tetapi setidaknya ini lima kali lebih bagus daripada hp yang aku miliki sekarang.Alhamdulillah, ucapku bersyukur.Rasa terkejutku belum sampai disitu saja, sebuah amplop putih juga terlihat di dalamnya. Aku mulai membuka amplop dari ujung sisinya, rasa terkejut kembali menghinggapiku, beberapa lembar uang merah tertata rapi. Tiga juta? Apaka
“Jangan kamu pikir, aku takut dengan kamu, Nia,” tantang Sumi. Ia masih berdiri tegak dengan gelas yang masih ada di genggamannya.“Jadi, kamu pikir aku juga takut, gitu?” tekan ku, dingin.Si rambut jagung tidak berkutik, ia malah sibuk membersihkan tasnya yang ikut tersiram dengan jus jeruk, pun dengan Lastri, ia juga sibuk membersihkan tubuhnya dengan tisu. Sesekali mata Lastri melirik tajam padaku.“Ayo, Tan. Kita pergi saja dari sini, banyak lalat yang mendengung,” ucapku sinis seraya menatap Sumi. Aku meraih tas yang ada di kursi, berjalan menuju kasir dan segera membayar makanan yang belum sempat masuk ke dalam mulutku.“Heh, Nia! Bayarnya jangan pakai uang receh, atau apabila kamu nggak sanggup bayar, biar kita-kita saja yang bayarin makanan kamu. Secara, kamu kan ... .” Sumi tidak melanjutkan teriakannya, karena seorang
Cinta terindah antara dua insan yang belum halal adalah saling mendoakan dalam diam, tanpa saling mengetahui.***Nia, sebuah panggilan nama yang cukup sederhana. Tapi mampu membuat hatiku menulisnya begitu istimewa. Cinta dalam diam, perasaan yang terus ku pendam tanpa berani aku utarakan.Awal bertemu dengannya, ketika ia membawa sebuah keranjang makanan, berjalan menuju kantin. Aku yang sedang berjaga di depan pintu gerbang sekolah, sebagai Ketua Osis, tidak mampu mengalihkan pandangannya kepadaku.Aku mengikuti setiap langkahnya, senyum yang terus melekat di wajahnya, entah mengapa bisa membuat jantungku lebih cepat berdetak. Sejak hari itu, aku selalu membeli nasi yang ia titipkan di kantin, bukan karena ingin bertemu dengannya, tetapi memang, masakan yang ia bawa selalu terasa enak di mulutku.Setahun telah berjalan, tapi aku masi
Readers, tinggalkan jejak like dan komentarnya, ya. Biar ane semangat nulisnya. 🥰Setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan. Jodoh menjadi rahasia-Nya, yang terkadang membuat hamba-Nya bertanya-tanya siapa dan kapan akan dipertemukan dengan jodoh.Karena tidak semua cinta harus mengungkapkan, terkadang diam adalah cara terbaik. Maka di sepertiga malamku namamu kupinjam untuk kudoakan berulang kali.***"Kamu, kenapa sih, Tan?" tanyaku, ketika kami sudah sampai di rumahku.Mengingat kejadian tadi, membuatku kembali melihat lutut yang berdenyut nyeri. Intan bukannya membantuku, ia malah tergesa memperbaiki posisi motor dan memaksa ku untuk segera naik kembali, sebelum Bripka Agus mendekati kami, Intan sudah menarik gas motor, kencang."Nggak ada apa-apa, kok. Ayo, ah, aku lapar." Kuperhatikan Intan yang
“Nia, adalah calon istri saya!” Bang Satria kembali mengulang kalimat yang sama, ada penegasan ketika ia mengucapkannya kembali.Apa? Aku? Calon istrinya? Ya Allah, apakah ini mimpi indahku, tetapi mengapa ada pak Gunawan, di mimpiku ini. Ck.“A … Apa maksud, Bapak?” Pak Gunawan kini beralih menatap bang Satria.“Apa saya harus mengulang tiga kali, Pak Gunawan?” Bang Satria telah berjalan, mendekat.Aku masih terpaku, tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Ucapan bang Satria mampu melumpuhkan otakku untuk berhenti berpikir.“Apa Bapak tidak salah? Bagaimana mungkin seorang pejabat, mau menikahi seorang anak dari keturunan miskin?” Pak Gunawan terkekeh, ia kini melihatku dan bapak bergantian. Tatapan seolah kami adalah makhluk rendahan.Hening.&ld
Semakin kita melindungi anak dari rasa kecewa, kekecewaan berikutnya di masa depan akan lebih berat baginya.***“Alhamdulillah, akhirnya laku, juga,” ucap Taufik, ia menampilkan senyum manisnya.“Hei, Apa maksud ucapanmu, Fik? Apa adik bungsuku ini tidak tahu, jika Kakakmu adalah orang termanis di rumah ini, selain Ibu?” tanyaku seraya mengejeknya.Pagi tadi, ibu memintaku untuk menghubungi Taufik. Berbekal handphone baru, akhirnya gambar Taufik terlihat lebih jelas. Entah bagaimana membalas kebaikan keluarga kak Lestari, karena Taufik lulus berkas masuk IPDN, mereka memberikan sebuah handphone baru untuknya.“Kapan acaranya, Kak?” tanya Taufik.“Lamaran dulu, toh, le,” jawab ibu“Loh, bukannya kemarin kata Ibu sudah lamaran?” Taufik menyern