Readers, tinggalkan jejak like dan komentarnya, ya. Biar ane semangat nulisnya. 🥰
Setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan. Jodoh menjadi rahasia-Nya, yang terkadang membuat hamba-Nya bertanya-tanya siapa dan kapan akan dipertemukan dengan jodoh.
Karena tidak semua cinta harus mengungkapkan, terkadang diam adalah cara terbaik. Maka di sepertiga malamku namamu kupinjam untuk kudoakan berulang kali.
***
"Kamu, kenapa sih, Tan?" tanyaku, ketika kami sudah sampai di rumahku.
Mengingat kejadian tadi, membuatku kembali melihat lutut yang berdenyut nyeri. Intan bukannya membantuku, ia malah tergesa memperbaiki posisi motor dan memaksa ku untuk segera naik kembali, sebelum Bripka Agus mendekati kami, Intan sudah menarik gas motor, kencang.
"Nggak ada apa-apa, kok. Ayo, ah, aku lapar." Kuperhatikan Intan yang
“Nia, adalah calon istri saya!” Bang Satria kembali mengulang kalimat yang sama, ada penegasan ketika ia mengucapkannya kembali.Apa? Aku? Calon istrinya? Ya Allah, apakah ini mimpi indahku, tetapi mengapa ada pak Gunawan, di mimpiku ini. Ck.“A … Apa maksud, Bapak?” Pak Gunawan kini beralih menatap bang Satria.“Apa saya harus mengulang tiga kali, Pak Gunawan?” Bang Satria telah berjalan, mendekat.Aku masih terpaku, tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Ucapan bang Satria mampu melumpuhkan otakku untuk berhenti berpikir.“Apa Bapak tidak salah? Bagaimana mungkin seorang pejabat, mau menikahi seorang anak dari keturunan miskin?” Pak Gunawan terkekeh, ia kini melihatku dan bapak bergantian. Tatapan seolah kami adalah makhluk rendahan.Hening.&ld
Semakin kita melindungi anak dari rasa kecewa, kekecewaan berikutnya di masa depan akan lebih berat baginya.***“Alhamdulillah, akhirnya laku, juga,” ucap Taufik, ia menampilkan senyum manisnya.“Hei, Apa maksud ucapanmu, Fik? Apa adik bungsuku ini tidak tahu, jika Kakakmu adalah orang termanis di rumah ini, selain Ibu?” tanyaku seraya mengejeknya.Pagi tadi, ibu memintaku untuk menghubungi Taufik. Berbekal handphone baru, akhirnya gambar Taufik terlihat lebih jelas. Entah bagaimana membalas kebaikan keluarga kak Lestari, karena Taufik lulus berkas masuk IPDN, mereka memberikan sebuah handphone baru untuknya.“Kapan acaranya, Kak?” tanya Taufik.“Lamaran dulu, toh, le,” jawab ibu“Loh, bukannya kemarin kata Ibu sudah lamaran?” Taufik menyern
Apa maksud ucapan bang Satria? Sebelumnya?"Kenapa? Apa Bapak takut?" Bang Satria mulai melepaskan tangannya dari badan pak Gunawan.Pak Gunawan hanya membalas dengan tatapan tidak sukanya."Silahkan duduk, Pak Gunawan. Anggap saja rumah sendiri," sindir Bripka Agus.Pak Gunawan duduk di seberang ku. Kami berhadapan, tatapan ingin membunuhnya tidak membuatku takut. Mengapa aku harus takut? Sedangkan aku tidak melakukan kesalahan apapun."Pak, kami telah mengantongi bukti-bukti terkait Hendra yang menjual serta memakai narkoba jenis sabu." ujar Bripka Agus yang telah duduk bersisian dengan bang Agus."Apa?! Jadi, bukan karena laporan terkait pencurian berkas Taufik?" Pak Gunawan menyebut nama adikku. Mata Pak Gunawan hampir keluar karena rasa terkejutnya.Berarti, beliau tidak tahu sama sekali, bahwa anak laki-laki se
Mohon tinggalkan jejak like dan komentarnya, ya Mak.***"Barang siapa menyalakan api fitnah, maka dia sendiri yang akan menjadi bahan bakarnya." - Ali bin Abi Thalib***Aku terkejut, ketika ibu Jamilah mengatakan sesuatu yang buruk tentang, menuduh menggunakan pelet kepada bang Satria. Tidak sampai disitu, yang membuatku lebih terkejut lagi, saat Intan mengayunkan sebuah penggaris panjang.Plak!Intan mengarahkannya tepat mengenai lengan bu Jamilah."Intan," pekikku."Dasar, Ibu itu seharusnya nggak percaya dengan yang begituan. Apa Ibu tahu, Ibu bisa dituntut dengan pasal pencemaran nama baik, mau?" Intan mengetuk meja bu Jamilah dengan penggaris yang masih di genggamnya. Intan seperti memperagakan ketika ia sedang mengajar anak didiknya.Aku masih memp
Biar nulisnya semangat, jangan lupa tinggalkan like dan komentarnya ya.***"Dasar miskin," desis Lastri yang masih bisa aku dengar."Sekolahkan dulu tuh, mulut," Intan mengatakan sesuatu yang kembali membuat Lastri mengeluarkan caciannya."Kalian beraninya, main keroyokan. Ayo maju! Aku nggak bakalan takut sama kamu, kamu dan kamu," ucap Lastri, ia menunjuk wajahku, Taufik dan Intan, satu persatu secara bergantian."Sudahlah Lastri. Lebih baik kamu pulang saja, dan bantu adikmu, Hendra. Satu hal yang aku minta untuk yang terakhir kalinya. Jangan bicarakan aku di belakangku, karena dengan berbicara di belakangku, berarti kau cukup menghargai keberadaanku untuk tidak bertingkah di depan mataku." Aku menatap Lastri sinis, terlihat dari wajahnya ia sudah tidak lagi memiliki kata-kata pedasnya. Ia diam, mematung yang artinya ia memben
Terima kasih yang sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya.🍀🍀🍀“Kak, apa kita tidak mengundang warga sekitar?” Taufik memperhatikan baju batik yang tergantung di depan pintu lemarinya. Baju yang akan ia kenakan pada hari lamaranku.“Kakak nggak tahu, Fik. Kemarin Emak bilang cukup mengundang perangkat desa dan beberapa warga yang ada di dekat rumah saja,” ucapku.Sudah sepuluh hari berlalu sejak pak Gunawan datang kerumahku. Bripka Agus juga sudah memberi kabar, bahwa bukti rekaman yang disembunyikan di rumah Sumi sudah ditemukan. Tante Diah? Sehari sebelum polisi ke rumahnya, tante Diah dan paman Wahyu sudah meninggalkan rumah. Pun dengan Sumi, mereka hilang tanpa jejak.Pak Lek Marno juga sudah memberikan keterangannya kepada pihak penyidik. Beliau mengatakan yang sebenarnya, bahwa paman Wahyu dan tante Diah-lah yang meng
Tolong bantu author biar lancar menulis ya Mak. Dengan tinggalkan like dan komentarnya. Terima kasih.🍀🍀🍀"Iya, Mas tenang saja. Aku sudah membawa botolnya."Tante Diah mengakhiri sambungan teleponnya.Gubrak!"Ni … Nia. Sejak kapan kamu berdiri disitu?" tante Diah terlihat gugup, ketika aku dengan sengaja membuka pintu tengah, penghubung dapur dengan ruang depan dengan cukup keras."Barusan saja, Tante. Nia kebelet," ujarku berlalu dihadapannya."Oh, iya.""Tante lagi apa? Malam-malam menelpon, penting?""Kok, kamu tahu Tante lagi telponan?" Tante Diah menatapku, curiga."Tuh, Tante Diah bawa handphone. Kalau cuma mau updated status, bisa juga kan, di kamar," ucapku seraya menunjuk handphone tante Diah.&nbs
“Halo,”“...”“Apa!? Innalillahiwainnailaihirojiun,” ucap Taufik. Aku memandang taufik, bingung.Tante Diah masih tidak sadarkan diri, emak sudah beberapa kali mencoba untuk menyadarkannya dengan mengoleskan minyak angin ke hidung tante Diah.Taufik mengambil alih telepon, ketika tante Diah tiba-tiba tidak sadarkan diri setelah menerima telepon dari Sumi. Bukan kabar baik yang diterima, paman Wahyu ditemukan sudah tidak bernyawa di jalan dekat rumah mereka. Tubuh paman Wahyu ditemukan oleh salah satu warga yang sedang melintas dan saat ini sudah dibawa ke rumah sakit yang ada di kecamatan.🍀🍀🍀Detik waktu terus berjalan, aku dan emak sibuk dengan pikiran masing-masing. Tante Diah memaksa ikut ke rumah sakit, setelah ia sadar dari pingsannya. Sekarang tinggal aku dan emak, menunggu kabar dari Taufik.Besok adalah hari lamaranku, tetapi tidak terlihat ada kesibuk