Mohon tinggalkan jejak like dan komentarnya, ya Mak.
***
"Barang siapa menyalakan api fitnah, maka dia sendiri yang akan menjadi bahan bakarnya." - Ali bin Abi Thalib
***
Aku terkejut, ketika ibu Jamilah mengatakan sesuatu yang buruk tentang, menuduh menggunakan pelet kepada bang Satria. Tidak sampai disitu, yang membuatku lebih terkejut lagi, saat Intan mengayunkan sebuah penggaris panjang.
Plak!
Intan mengarahkannya tepat mengenai lengan bu Jamilah.
"Intan," pekikku.
"Dasar, Ibu itu seharusnya nggak percaya dengan yang begituan. Apa Ibu tahu, Ibu bisa dituntut dengan pasal pencemaran nama baik, mau?" Intan mengetuk meja bu Jamilah dengan penggaris yang masih di genggamnya. Intan seperti memperagakan ketika ia sedang mengajar anak didiknya.
Aku masih memp
Biar nulisnya semangat, jangan lupa tinggalkan like dan komentarnya ya.***"Dasar miskin," desis Lastri yang masih bisa aku dengar."Sekolahkan dulu tuh, mulut," Intan mengatakan sesuatu yang kembali membuat Lastri mengeluarkan caciannya."Kalian beraninya, main keroyokan. Ayo maju! Aku nggak bakalan takut sama kamu, kamu dan kamu," ucap Lastri, ia menunjuk wajahku, Taufik dan Intan, satu persatu secara bergantian."Sudahlah Lastri. Lebih baik kamu pulang saja, dan bantu adikmu, Hendra. Satu hal yang aku minta untuk yang terakhir kalinya. Jangan bicarakan aku di belakangku, karena dengan berbicara di belakangku, berarti kau cukup menghargai keberadaanku untuk tidak bertingkah di depan mataku." Aku menatap Lastri sinis, terlihat dari wajahnya ia sudah tidak lagi memiliki kata-kata pedasnya. Ia diam, mematung yang artinya ia memben
Terima kasih yang sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya.🍀🍀🍀“Kak, apa kita tidak mengundang warga sekitar?” Taufik memperhatikan baju batik yang tergantung di depan pintu lemarinya. Baju yang akan ia kenakan pada hari lamaranku.“Kakak nggak tahu, Fik. Kemarin Emak bilang cukup mengundang perangkat desa dan beberapa warga yang ada di dekat rumah saja,” ucapku.Sudah sepuluh hari berlalu sejak pak Gunawan datang kerumahku. Bripka Agus juga sudah memberi kabar, bahwa bukti rekaman yang disembunyikan di rumah Sumi sudah ditemukan. Tante Diah? Sehari sebelum polisi ke rumahnya, tante Diah dan paman Wahyu sudah meninggalkan rumah. Pun dengan Sumi, mereka hilang tanpa jejak.Pak Lek Marno juga sudah memberikan keterangannya kepada pihak penyidik. Beliau mengatakan yang sebenarnya, bahwa paman Wahyu dan tante Diah-lah yang meng
Tolong bantu author biar lancar menulis ya Mak. Dengan tinggalkan like dan komentarnya. Terima kasih.🍀🍀🍀"Iya, Mas tenang saja. Aku sudah membawa botolnya."Tante Diah mengakhiri sambungan teleponnya.Gubrak!"Ni … Nia. Sejak kapan kamu berdiri disitu?" tante Diah terlihat gugup, ketika aku dengan sengaja membuka pintu tengah, penghubung dapur dengan ruang depan dengan cukup keras."Barusan saja, Tante. Nia kebelet," ujarku berlalu dihadapannya."Oh, iya.""Tante lagi apa? Malam-malam menelpon, penting?""Kok, kamu tahu Tante lagi telponan?" Tante Diah menatapku, curiga."Tuh, Tante Diah bawa handphone. Kalau cuma mau updated status, bisa juga kan, di kamar," ucapku seraya menunjuk handphone tante Diah.&nbs
“Halo,”“...”“Apa!? Innalillahiwainnailaihirojiun,” ucap Taufik. Aku memandang taufik, bingung.Tante Diah masih tidak sadarkan diri, emak sudah beberapa kali mencoba untuk menyadarkannya dengan mengoleskan minyak angin ke hidung tante Diah.Taufik mengambil alih telepon, ketika tante Diah tiba-tiba tidak sadarkan diri setelah menerima telepon dari Sumi. Bukan kabar baik yang diterima, paman Wahyu ditemukan sudah tidak bernyawa di jalan dekat rumah mereka. Tubuh paman Wahyu ditemukan oleh salah satu warga yang sedang melintas dan saat ini sudah dibawa ke rumah sakit yang ada di kecamatan.🍀🍀🍀Detik waktu terus berjalan, aku dan emak sibuk dengan pikiran masing-masing. Tante Diah memaksa ikut ke rumah sakit, setelah ia sadar dari pingsannya. Sekarang tinggal aku dan emak, menunggu kabar dari Taufik.Besok adalah hari lamaranku, tetapi tidak terlihat ada kesibuk
Terima kasih yang sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya. Biar author semangat lagi nulisnya. 🍀🍀🍀Tunggu dulu, mengapa tante Diah ingin lamaranku ditunda? Ah, bukankah memang ini yang ia mau. Ia menggagalkan acara dengan cairan itu. Cairan yang sampai sekarang, aku belum tahu apa khasiatnya.“Assalamualaikum,” ucapan salam terdengar dari arah luar.“Waalaikumsalam,” jawab kami serentak.“Bripka Agus?!”Apa maksud kedatangan beliau, pikirku. Apakah ini ada hubungannya dengan kematian paman Wahyu.Pria yang mengenakan pakaian lengkap dengan aksesorisnya tersebut, masih berdiri tegap ketika bapak menghampirinya. Dengan jabatan yang melekat pada dirinya, Bripka Agus tidak segan mencium punggung tangan bapak.“Saya hanya ingin mengabarka
Terlihat sebuah kertas dengan tulisan “SELAMAT BERBAHAGIA SEPUPUKU, KAK NIA’.***Aku memegang erat kebaya, bukan tangis yang ada dalam dada. Emosi sudah merasuki jiwa, Sumi, jangan kamu pikir bisa selamat dari ini semua. Kamu harus mempertanggungjawabkan atas apa yang telah kamu lakukan, batinku.“Tan, ikut aku,” panggilku pada Intan yang sedang melipat mukenanya di ruang tamu. Ia mengikutiku dari belakang.“Lihatlah!” Aku menunjuk baju kebaya yang aku letakkan di atas tempat tidur. Mulut Intan terperangah melihat baju yang tidak jelas bentuknya.“Sumi,” lirihnya. Ya, Intan pun bisa menebak siapa pelakunya.“Kamu sholat dulu, jangan kemana-mana. Tetap di kamar.” Intan keluar dari kamar, entah apa yang akan dilakukannya. Aku mengambil baju kebaya yang dikenakan ketika wisuda dulu, dari dalam lemari. Hem, masih muat, batinku. Setidaknya baju
Terima kasih sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya. Dengan meninggalkan jejak, author makin semangat nulisnya.🍀🍀🍀Apakah ini balasan atau hanya sekedar teguran-Mu, ya Allah.Tanah kuburan paman Wahyu belumlah kering, tetapi tante Diah kembali mendapatkan cobaan. Kami masih terpaku di depan ruang ICU. Sudah empat jam berlalu, tetapi belum ada tanda-tanda dokter keluar dari ruangan.Tante Diah sudah tertidur di bangsal sebelah, karena tidak bisa diam dan diajak kompromi. Perawat berinisiatif menyuntikkan obat penenang.Sudah beberapa kali Taufik mengucek matanya, lelah dan kantuk menghampiri kami semua. Emak menyandarkan kepalanya pada bahuku. Sejenak, aku memejamkan mata, melepas penat. Intan masih menunggu di rumah."Bagaimana?" Bapak sudah berdiri di depanku."Belum selesai, Pak. Bapak dari mana saja?" Taufik mengikuti langkah bapak, duduk di seberang kursi tunggu. Emak sepertinya
Terima kasih sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya.🍀🍀🍀Dua minggu telah berlalu sejak Sumi sadar dan sejak itu pula Bapak tidak pernah lagi mengunjungi Sumi dan tante Diah di rumah sakit. Taufik juga sudah berangkat, mengikuti tahap tes selanjutnya tiga hari yang lalu. Insyaallah, ia akan kembali untuk mengikuti acara pernikahanku.Alhamdulillah, ketenangan kembali dalam keluargaku. Masalah ladang bapak? Sudah beberapa bulan ini bapak tidak pernah lagi menyetorkan sepeserpun uang kepada pak Gunawan. Sekarang kami masih mengolah ladang seperti biasanya. Pak Gunawan juga tidak pernah lagi menampakkan wajahnya di hadapan kami. Kabar yang aku dengar, pak Gunawan sudah dinonaktifkan dari jabatannya sebagai kepala desa. Ah, mungkin beliau masih sibuk mengurus kedua anaknya yang masih setia di dalam bilik jeruji.Aku juga sudah mencabut laporan terkait penjambreta