Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tetapi mata belum juga mau berkompromi. Mataku menatap bungkusan kado yang masih tertutup rapat, di atas meja belajar tua ku.
Hey, mengapa aku bisa sampai lupa membuka hadiah dari sekolah, pikirku. Ck, semua masalah tante Diah menyita waktu dan pikiranku.
Kuraih bungkusan yang berwarna ungu dengan motif bunga. Dengan perlahan, aku membuka setiap isolatif yang tertempel di setiap sisinya. Mataku membulat sempurna, ketika melihat sebuah kotak hp dengan merk s****ng, walaupun bukan keluaran terbaru, tetapi setidaknya ini lima kali lebih bagus daripada hp yang aku miliki sekarang.
Alhamdulillah, ucapku bersyukur.
Rasa terkejutku belum sampai disitu saja, sebuah amplop putih juga terlihat di dalamnya. Aku mulai membuka amplop dari ujung sisinya, rasa terkejut kembali menghinggapiku, beberapa lembar uang merah tertata rapi. Tiga juta? Apaka
“Jangan kamu pikir, aku takut dengan kamu, Nia,” tantang Sumi. Ia masih berdiri tegak dengan gelas yang masih ada di genggamannya.“Jadi, kamu pikir aku juga takut, gitu?” tekan ku, dingin.Si rambut jagung tidak berkutik, ia malah sibuk membersihkan tasnya yang ikut tersiram dengan jus jeruk, pun dengan Lastri, ia juga sibuk membersihkan tubuhnya dengan tisu. Sesekali mata Lastri melirik tajam padaku.“Ayo, Tan. Kita pergi saja dari sini, banyak lalat yang mendengung,” ucapku sinis seraya menatap Sumi. Aku meraih tas yang ada di kursi, berjalan menuju kasir dan segera membayar makanan yang belum sempat masuk ke dalam mulutku.“Heh, Nia! Bayarnya jangan pakai uang receh, atau apabila kamu nggak sanggup bayar, biar kita-kita saja yang bayarin makanan kamu. Secara, kamu kan ... .” Sumi tidak melanjutkan teriakannya, karena seorang
Cinta terindah antara dua insan yang belum halal adalah saling mendoakan dalam diam, tanpa saling mengetahui.***Nia, sebuah panggilan nama yang cukup sederhana. Tapi mampu membuat hatiku menulisnya begitu istimewa. Cinta dalam diam, perasaan yang terus ku pendam tanpa berani aku utarakan.Awal bertemu dengannya, ketika ia membawa sebuah keranjang makanan, berjalan menuju kantin. Aku yang sedang berjaga di depan pintu gerbang sekolah, sebagai Ketua Osis, tidak mampu mengalihkan pandangannya kepadaku.Aku mengikuti setiap langkahnya, senyum yang terus melekat di wajahnya, entah mengapa bisa membuat jantungku lebih cepat berdetak. Sejak hari itu, aku selalu membeli nasi yang ia titipkan di kantin, bukan karena ingin bertemu dengannya, tetapi memang, masakan yang ia bawa selalu terasa enak di mulutku.Setahun telah berjalan, tapi aku masi
Readers, tinggalkan jejak like dan komentarnya, ya. Biar ane semangat nulisnya. 🥰Setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan. Jodoh menjadi rahasia-Nya, yang terkadang membuat hamba-Nya bertanya-tanya siapa dan kapan akan dipertemukan dengan jodoh.Karena tidak semua cinta harus mengungkapkan, terkadang diam adalah cara terbaik. Maka di sepertiga malamku namamu kupinjam untuk kudoakan berulang kali.***"Kamu, kenapa sih, Tan?" tanyaku, ketika kami sudah sampai di rumahku.Mengingat kejadian tadi, membuatku kembali melihat lutut yang berdenyut nyeri. Intan bukannya membantuku, ia malah tergesa memperbaiki posisi motor dan memaksa ku untuk segera naik kembali, sebelum Bripka Agus mendekati kami, Intan sudah menarik gas motor, kencang."Nggak ada apa-apa, kok. Ayo, ah, aku lapar." Kuperhatikan Intan yang
“Nia, adalah calon istri saya!” Bang Satria kembali mengulang kalimat yang sama, ada penegasan ketika ia mengucapkannya kembali.Apa? Aku? Calon istrinya? Ya Allah, apakah ini mimpi indahku, tetapi mengapa ada pak Gunawan, di mimpiku ini. Ck.“A … Apa maksud, Bapak?” Pak Gunawan kini beralih menatap bang Satria.“Apa saya harus mengulang tiga kali, Pak Gunawan?” Bang Satria telah berjalan, mendekat.Aku masih terpaku, tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Ucapan bang Satria mampu melumpuhkan otakku untuk berhenti berpikir.“Apa Bapak tidak salah? Bagaimana mungkin seorang pejabat, mau menikahi seorang anak dari keturunan miskin?” Pak Gunawan terkekeh, ia kini melihatku dan bapak bergantian. Tatapan seolah kami adalah makhluk rendahan.Hening.&ld
Semakin kita melindungi anak dari rasa kecewa, kekecewaan berikutnya di masa depan akan lebih berat baginya.***“Alhamdulillah, akhirnya laku, juga,” ucap Taufik, ia menampilkan senyum manisnya.“Hei, Apa maksud ucapanmu, Fik? Apa adik bungsuku ini tidak tahu, jika Kakakmu adalah orang termanis di rumah ini, selain Ibu?” tanyaku seraya mengejeknya.Pagi tadi, ibu memintaku untuk menghubungi Taufik. Berbekal handphone baru, akhirnya gambar Taufik terlihat lebih jelas. Entah bagaimana membalas kebaikan keluarga kak Lestari, karena Taufik lulus berkas masuk IPDN, mereka memberikan sebuah handphone baru untuknya.“Kapan acaranya, Kak?” tanya Taufik.“Lamaran dulu, toh, le,” jawab ibu“Loh, bukannya kemarin kata Ibu sudah lamaran?” Taufik menyern
Apa maksud ucapan bang Satria? Sebelumnya?"Kenapa? Apa Bapak takut?" Bang Satria mulai melepaskan tangannya dari badan pak Gunawan.Pak Gunawan hanya membalas dengan tatapan tidak sukanya."Silahkan duduk, Pak Gunawan. Anggap saja rumah sendiri," sindir Bripka Agus.Pak Gunawan duduk di seberang ku. Kami berhadapan, tatapan ingin membunuhnya tidak membuatku takut. Mengapa aku harus takut? Sedangkan aku tidak melakukan kesalahan apapun."Pak, kami telah mengantongi bukti-bukti terkait Hendra yang menjual serta memakai narkoba jenis sabu." ujar Bripka Agus yang telah duduk bersisian dengan bang Agus."Apa?! Jadi, bukan karena laporan terkait pencurian berkas Taufik?" Pak Gunawan menyebut nama adikku. Mata Pak Gunawan hampir keluar karena rasa terkejutnya.Berarti, beliau tidak tahu sama sekali, bahwa anak laki-laki se
Mohon tinggalkan jejak like dan komentarnya, ya Mak.***"Barang siapa menyalakan api fitnah, maka dia sendiri yang akan menjadi bahan bakarnya." - Ali bin Abi Thalib***Aku terkejut, ketika ibu Jamilah mengatakan sesuatu yang buruk tentang, menuduh menggunakan pelet kepada bang Satria. Tidak sampai disitu, yang membuatku lebih terkejut lagi, saat Intan mengayunkan sebuah penggaris panjang.Plak!Intan mengarahkannya tepat mengenai lengan bu Jamilah."Intan," pekikku."Dasar, Ibu itu seharusnya nggak percaya dengan yang begituan. Apa Ibu tahu, Ibu bisa dituntut dengan pasal pencemaran nama baik, mau?" Intan mengetuk meja bu Jamilah dengan penggaris yang masih di genggamnya. Intan seperti memperagakan ketika ia sedang mengajar anak didiknya.Aku masih memp
Biar nulisnya semangat, jangan lupa tinggalkan like dan komentarnya ya.***"Dasar miskin," desis Lastri yang masih bisa aku dengar."Sekolahkan dulu tuh, mulut," Intan mengatakan sesuatu yang kembali membuat Lastri mengeluarkan caciannya."Kalian beraninya, main keroyokan. Ayo maju! Aku nggak bakalan takut sama kamu, kamu dan kamu," ucap Lastri, ia menunjuk wajahku, Taufik dan Intan, satu persatu secara bergantian."Sudahlah Lastri. Lebih baik kamu pulang saja, dan bantu adikmu, Hendra. Satu hal yang aku minta untuk yang terakhir kalinya. Jangan bicarakan aku di belakangku, karena dengan berbicara di belakangku, berarti kau cukup menghargai keberadaanku untuk tidak bertingkah di depan mataku." Aku menatap Lastri sinis, terlihat dari wajahnya ia sudah tidak lagi memiliki kata-kata pedasnya. Ia diam, mematung yang artinya ia memben