***
Emak mengenakan gamis putihnya, lengkap dengan jilbab instan dengan warna senada, pakaian hari raya Idul Fitri tiga tahun yang lalu, katanya. Baju yang aku dan bang Ilham beli dan kirimkan ke emak dikampung.
Ada senyum yang selalu melekat di wajahnya, senyum yang sulit diartikan. Begitupun bapak, sejak siang tadi ia selalu berdiri di depan pintu, pun menggunakan pakaian warna senada dengan emak. Kopiahnya pun tak pernah terlepas sejak tadi.
Taufik tidak terlihat, kata bapak, ia akan sibuk untuk sementara waktu. Aku duduk di sudut ruangan tamu ini, memeluk lutut seraya terus memperhatikan jam dinding berputar.
Ah, padahal katanya, paling lama tiga jam lagi ia akan sampai, tapi, rindu ini sudah tidak bisa kutahan. Jam pun seakan enggan untuk berputar.
***
"Nia, ayo sholat ashar dulu," ucapan Intan membuatku memalingkan wajah kepadanya.
"Intan? Kamu kok disini?" tatapan iba terlihat jelas di matanya ketika melihatku.
"Ayo, sebentar lagi udah mau sampe," ujarnya, aku bangkit perlahan. Intan memapahku ke dapur. Entah mengapa kaki ini tak kuat untuk terus berjalan. Kulihat bapak masih tegak berdiri.
"Bapak udah shalat?" entah dengan siapa ku ajukan pertanyaan ini.
“Emak dan bapak, sudah sholat sedari tadi,” mbok Inah menjawab pertanyaanku, ketika aku melaluinya.
Mengapa mereka semua ada disini?
Kesadaranku seketika pulih, ketika basuhan air pertama membasahi wajahku.
“Abaanngg!” teriakku. Badanku luruh kelantai, tak kuhiraukan lantai kamar mandi yang basah.“Ya Allah, Nia. Sadar, jangan begini,” Intan menerobos masuk, air matanya ikut serta turun ketika ia memelukku.
“Ngucap, Nia,” diusapnya air mataku. Dengan dibantu Intan, akhirnya aku bisa berwudhu.
Badanku bergetar ketika sujud terakhir kulakukan, kuserahkan semuanya kepada Allah, do’a kupanjatkan. Tepat ketika kuakhiri sholat dengan salam, suara sirene ambulance terdengar memasuki halaman rumah.
Tamu yang selalu diharapkan pulang oleh emak dan bapak, canda dan senyum yang selama ini kurindukan telah datang. Bapak berlari, emak ikut serta bangkit dari duduknya.
Entah siapa yang memulai, suara tangisan semakin keras terdengar ditelingaku. Aku tak sanggup berdiri, hanya mampu melihat kerumunan orang keluar dari rumahku.Bapak masuk dengan beberapa pria, dengan mengangkat sebuah tubuh manusia yang sudah terbungkus rapi oleh kain batik, mata bapak memerah, tangisnya jatuh tanpa ada seoang pun yang bisa mengusapnya.
“Engkau pulang, Bang,” ucapku lirih.
Bapak meletakkan jenazah bang Ilham, di tempat yang telah disiapkan oleh warga sekitar, emak tepat duduk di samping jenazah.
“Le, kamu pulang, le,” tanpa tangis, emak mengusap lembut bagian tubuh bang Ilham.
Terdengar beberapa warga mulai membaca ayat suci Al-qur’an. Kudekati emak, duduk disampingnya, melihat jenazah bang Ilham tangisku pun pecah.
“Bang, kenapa tinggalin Nia? Bapak dan emak masih rindu, Abang udah janji kan, akan pulang hari raya tahun ini. Kenapa Abang pulang sekarang? Bang, bangun,” racauku.
Lelaki cinta pertamaku memelukku, badannya bergetar.
“Pak, bang Ilham sudah pulang, Bapak kenapa menangis?” ucapku yang membuat bapak makin terisak.
“Sadar, nduk. Istighfar, nyebut gusti Allah,” diciumnya pucuk kepalaku yang masih menggunakan mukena.
Kupandangi tubuh yang kaku di depanku, apakah ini pertanda ucapanmu kemarin bang? Untuk menjaga bapak dan emak, apakah karena kau akan meninggalkan kami?“Ham, lihat. Akhirnya kita pakai seragam yang sama, kan? Emak, bapak dan adikmu, Nia, pakai pakaian sama berwarna putih, nanti Taufik emak suruh pakai juga, ya. Ini keinginanmu kan, le? Emak ikhlas, emak ridho,” ujar emak.
Seketika emak pingsan disebalahku. Beberapa warga mengangkat tubuh emak ke kamar, aku pun mengikuti, mbok Inah mengusap minyak kayu putih ke hidung emak.Setelah musyawarah dengan bebapa warga, jenazah bang Ilham segera dimakamkan, sebelumnya dishalatkan lagi di masjid kampung. Bapak membawa keranda paling depan sebelah kanan, Taufik berada disebelah kiri. Sepertinya ia baru selesai dari menggali kubur, terlihat dari sandal yang ia gunakan, tanah tebal yang masih menempel.
***
Malam beranjak, setelah tahlilan pertama selesai, warga pun pulang. Emak sudah beberapa kali pingsan, selama proses pemakaman jenazah bang Ilham. Sekarang, ia masih duduk melafalkan ayat al-qur’an, matanya masih meneteskan air mata. Bapak menggulung tikar yang ada dihalaman, alhamdulillah, tahlilan pertama banyak warga yang datang, sehingga harus duduk diluar rumah.
Taufik membereskan sisa piring yang ada di ruang tamu, turut serta Intan ikut membantu.
‘Malam ini, aku nginap ya,’ ucapnya, ketika kami berjalan meninggalkan pemakaman kampung.
Bang, kami rindu.
Teringat kembali, ketika menerima kabar, bahwa bang Ilham kecelakaan dijalan ketika ia hendak menuju tempat kerjanya. Motornya ditabrak oleh bus yang mengalami rem blong. Setelah diskusi dengan mertua bang Ilham dan Bela, jenazah bang Ilham dikuburkan di kampung. Jenazah bang Ilham disana juga telah selesai dimandikan, dikafani dan di sholati, sebelum diberangkatkan ke kampung. Bela tak ikut serta, kondisi lemah menyebabkan ia harus tetap tinggal. Ia hanya berpesan kepada bapak, kakeknya, akan segera menyusul setelah kondisinya membaik. *** Tujuh hari telah terlewati, semalam tahlilan ketujuh bang Ilham telah dilaksanakan. Emak sepertinya sudah ikhlas, tak terlihat lagi air matanya. Kini ia sudah mulai tersenyum, walau tidak banyak kata yang keluar dari mulutnya.“Kak, besok aku mau ke kabupaten, mungkin nginap,” Taufik menyerahkan selembar kertas padaku.
‘Formulir Pendaftaran Kampus N”
Kubaca dengan teliti, syarat-syarat yang harus dilengkapi.
“Fik, Kakak belum mengerti tentang surat rekomendasi dari camat? Untuk apa? Bukankah itu tidak perlu? Disini juga tidak ada tertulis untuk melampirkan surat itu?” tanyaku beruntun. Aku berjalan melewati pintu dapur, melihat kebun yang sudah tujuh hari ini tidak terurus. Taufik mengikutiku dari belakang.
Ditariknya nafas dalam dan menghebuskannya perlahan.
“Ceritanya panjang, kak,”
“Apa?” tanyaku penasaran.
Gubraakk … terdengar suara benda terjatuh dari arah samping rumah.
@@@Apalagi ini? ada yang jatuh? sengaja atau ga ya, mak?
tunjuk tangan donk mak yang bacanya susah karena terhalang airmata. 😭
*Segala perbuatan sekecil apapun, nantinya pasti akan dipertanggungjawabkan****Gubrak, terdengar seperti ada barang yang terjatuh.Bergegas kulihat sisi rumah, Taufik mengikuti, ternyata emak menjatuhkan sampah yang ada dalam karung."Emak kenapa?" kubimbing emak berjalan memasuki rumah melalui pintu dapur. Taufik kembali mengumpulkan sampah yang sedikit berserakan."Emak duduk aja, biar Nia dan Taufik yang beberes." Wajah emak masih meyiratkan kesedihan, terlihat jelas ada kerinduan dimatanya."Emak nggak kenapa-kenapa, nduk. Oia, sudah beberapa hari ini kamu izin tidak sekolah. Apa tidak jadi masalah?""Alhamdulillah, sekolah kasih izin untuk cuti selama tujuh hari, Mak. Besok Nia juga udah kembali mengajar," jelasku.Sepertinya nanti saja aku tanyakan kembali perihal surat Taufik, masalah pendaftaran sekolahnya harus segera cepat diselesaikan."Assalamu'alaik
*Kekayaan, umur, dan popularitas itu seperti minum dari air lautan yang asin. Semakin kau minum, semakin haus yang kamu dapatkan.* - Shaykh Ahmad Musa Jibril***“Taufik!”Seorang pria bertubuh tambun, telah berdiri di hadapan kami. Wajahnya menahan amarah, terlihat jelas juga dari gestur tubuhnya.“Bilang sama bapakmu yang miskin itu, apa maksudnya ia menemui camat Jatisari? Kau pikir aku takut, hah!?” ucapnya emosi.Aku dan Taufik segera bangkti dari duduk.“Ck, kalau bapak tidak takut, kenapa sekarang, Bapak seperti cacing kepanasan?” tantang Taufik, ia membusungkan sedikit dadanya.“Apa kau bilang?! Anak bau kencur seperti mu tidak pernah diajari sopan santun, apa? Dasar miskin akhlak, cuih!” ludahnya ke sembarang temp
*Sifat utama pemimpin adalah beradab dan mulia hati.* - Abu Hamid Al Ghazali@@@"Fik, kapan rencana kamu, ke kampus?" tanyaku, seraya menggunakan sepatu sekolah. Hari ini, aku akan berangkat ke sekolah dengan Intan.'Besok, aku jemput ya' pesannya semalam."Insyaallah, lusa Taufik akan berangkat, Kak,""Oke,"Intan telah berdiri di hadapanku, menggunakan gamis berwarna maroon, ia terlihat makin cantik dengan jilbab dengan warna senada."Loh, kok nggak pakai baju dinas,Tan?" tanyaku seraya berjalan beriringan, menuju motornya yang telah terparkir di halaman rumah."Nanti sepulang sekolah, aku mau ke kecamatan. Mau menyerahkan undangan," ungkapnya seraya menghidupkan motor."Undangan?""Hehe
*Seorang muslim tak akan pernah meninggalkan muslim yang lain yang sedang tak berdaya saat dibutuhkan.*@@@[Nia, jam sembilan aku jemput ke rumah, ya], Intan mengirimiku pesan, setelah sebelumnya ku tunaikan sholat subuh terlebih dahulu.[Nggak usah, Tan. Nanti aku diantar sama Taufik saja. Dia juga sekalian mau keluar], send, langsung tercentang biru.[Oke, deh. Dandan yang cantik ya, bentar lagi jumpa sama babang ganteng], diakhiri pesannya dengan emot love. Tidak ku balas lagi pesan Intan, setelah mendengar emak memanggilku.“Nduk, jam berapa kamu ke sekolah?” tanya emak yang sudah berdiri didepan pintu kamarku.“Jam sembilan, Mak. Kenapa, Mak?”“Oh, soalnya emak belum masak kalau kamu perginya sepagi ini,” ujarnya meninggalkanku. Ku Ikuti langkah em
“Kau?!” pak Gunawan mengacungkan jarinya ke arahku.Keadaan berubah menjadi tegang, Bang Satria yang tidak tahu menahu pun menatap kami secara bergantian. Intan tampak menahan emosi, tangannya ikut terkepal.Sejak mengetahui kelakuan pak Gunawan terhadap keluargaku, bendera perang pun sekarang siap aku kibarkan."Pak, apa anda tidak malu, membuat keributan di depan umum? Oh, atau biar sekalian saja, pak Camat tahu kelakuan Bapak yang sebenarnya," ucapku santai.Pak Gunawan seketika tersadar atas kelakuannya, dia menurunkan tangannya dari wajahku."Pak Gunawan, ada masalah apa dengan saudara Nia?" tanya bang Satria."Eh, itu Pak, itu … . Tidak ada Pak, tidak ada masalah apa-apa," ucapnya gelagapan."Saya duluan, Pak," ujar pak Gunawan berlalu tanpa menunggu ja
Brak!Semua mata mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang dibuka secara paksa. Pak Gunawan berdiri dengan wajah merahnya, emosi sudah menguasai tubuhnya."Siapa yang menangkap anak saya?" Sebuah pertanyaan yang entah kepada siapa ia ajukan. Pak Gunawan berjalan cepat ke arahku."Kamu, lagi? Keluarga miskin yang selalu mengganggu!" ucapnya."Pak, mohon maaf. Jika Bapak membuat keributan disini, maka kami tidak akan segan, untuk menangkap Bapak," ujar seorang polisi yang sudah berdiri di samping pak Gunawan."Halah, kamu tidak perlu menasehati saya, masih pangkat rendah saja, sok-sokan mau menasehati orang tua," kali ini, telunjuknya sudah di hadapan perwira polisi tersebut, memang, dilihat dari seragamnya ia masihlah berpangkat Inspektur Polisi Dua.Pak Gunawan sepertinya tidak gentar mendapat teguran dari polisi tersebut
Bapak hanya diam, ketika Taufik menjelaskan bahwa pengumpulan berkas sudah ditutup."Apa kampus lain, masih ada yang buka pendaftaran, nduk?" tanya Bapak."Ada, Pak. Tapi … ." kugantungkan kalimatku.Kesempatan untuk mendapatkan beasiswa bidikmisi akan hilang. Itu alasan utama mengapa Taufik begitu kekeh untuk ikut SNMPTN, karena tidak dipungut biaya sama sekali. Diterima melalui SNMPTN berarti Taufik, sudah tidak perlu lagi mengikuti jalur tes. Selain itu, biaya kuliah calon mahasiswa yang diterima melalui jalur SNMPTN biasanya lebih murah dibandingkan jika diterima melalui jalur Mandiri."Tetapi, kenapa, nduk?" tanya emak. Sholat isya sudah usai sedari tadi kami laksanakan, tapi emak masih menggunakan mukenanya."Taufik tidak mau kuliah, Pak!" ucap Taufik seketika. Membuat kami mengalihkan pandangan ke arahnya.
“Bunda, besok Bela pulang,” ucap Bela, ada kesedihan tersirat dari suaranya.“Hem,” gumamku. Sebenarnya aku sudah tahu, semalam kak Lestari sudah memberitahukan kepulangan mereka kepada kami. Suaminya, mas Amir mendapatkan telepon dari atasannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan penting, yang tidak bisa digantikan oleh orang lain.“Bunda,” panggilnya lagi, seraya mengguncang-guncangkan tanganku.“Eh, iya. Terus, Bela kapan lagi kerumah nenek?”“Insyaallah, setiap ada libur panjang dari pesantren, Bela akan datang, Bunda,” ucapnya. Aku perhatikan Bela yang sedang sibuk menyusun baju-bajunya ke dalam koper berwarna tosca. Gadis yang semakin beranjak besar itu, semakin mirip dengan almarhum bang Ilham. Pagi tadi Bela pingsan, ketika mengunjungi makam papanya. Kami harus melarikannya ke puskesmas, setelah beberapa kali me
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya), Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32).Pernikahan merupakan suatu bentuk keseriusan dua orang dalam sebuah hubungan. Selain sebagai bentuk cinta dan kasih sayang, pernikahan dalam Islam merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.Selain itu, menikah juga menjadi salah satu cara memperkuat ibadah. Hal ini sesuai dengan hadits tentang pernikahan yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang hamba menikah, maka telah sempurna separuh agamanya. Maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya.”🍀🍀🍀“Bagaimana? Apa masih ada yang tertinggal?” Intan memperhat
“Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula (begitu pula sebaliknya). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang melimpah (yaitu: Surga)” (Qs. An Nuur (24) : 26).Ya Allah, dengan Rahmat dan Ridho-Mu perkenankanlah tautan cinta buah hati kami :<span;>Nia ApriliaPutri ke-2 dari Bpk. Arman Wahyudi & Ibu HalimahDengan<span;>Satria ArigayoPutra ke-2 dari Bpk. Bagus Ambarga & Ibu Puji Indah KasturiAkad nikah dan resepsi, Insya Allah akan dilaksanakan pada :Hari : Sabtu, 16 Oktober 2021
Terimakasih sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya.❤❤❤Apa yang kita tanam, itu juga yang akan kita tuai. Pepatah nasehat yang tepat disandandangkan untuk Lastri, wanita yang seumuran denganku itu terlihat sangat mengenaskan menggunakan pakaian orange dari balik meja.Hari ini, aku sengaja mengunjungi Lastri ke Polres. Ada begitu banyak pertanyaan yang harus aku ajukan untuknya.“Apa yang kamu inginkan, Lastri? Dari keluargaku, tentunya.”Lastri hanya mencebikkan mulut, aura marah masih terlihat jelas dari kedua matanya.“Aku tidak pernah membuat masalah denganmu, pun dengan keluarga kamu, Lastri. Jadi, mengapa kamu selalu mencari masalah?”Dua orang polisi wanita ikut serta menemani kami di ruangan yang terbilang cukup sempit ini. Dengan sedikit memohon kepada Br
Aku sudah mengelilingi pemakaman ini sebanyak dua kali, tidak kuhiraukan semak belukar yang meliliti gamis. Nihil, tidak ada tanda-tanda keberadaan Bella.Jejak langkah Bella ditanah juga tidak terlihat. Ya Allah, Bella kamu dimana?Kutarik nafas pelan, Nia kamu harus tenang. Tenang. Aku kembali menaiki motor, setidaknya aku tidak perlu dulu mengabarkan kehilangan Bella. Mungkin saja Bella singgah ke rumah … tidak mungkin. Bella tidak tahu siapa pun kecuali rumah mbah Sarmi dan mbok Inah. Kuputar kemudi motor, menuju kedai mbok Inah, pegal gas kutarik kuat. Masih terasa, sisa-sisa rumput liar masih menggantung di gamisku.“Assalamualaikum. Mbok, Mbok Inah.”Aku berteriak memanggil namanya. Tumben kali ini, kedai mbok Inah tertutup rapat, tapi masih terlihat pintu samping terbuka.“Waalaikumsalam. Lewat samping,” ujar seseorang dari dalam rumah.“Mbok, apakah Bella ada d
“Pak, bagaimana ini?”Bapak memandang tante Diah yang berada di balik kaca. Sedangkan emak, memberanikan diri masuk ke dalam ruangan. Mencoba untuk mengajak tante Diah berbicara. Sudah dua hari, tante Diah belum sadarkan diri. Kemarin, dokter mengatakan kondisi tante Diah sempat drop. Tetapi kembali stabil, malah lebih baik dari sebelumnya, ujarnya.‘Karena hantaman di kepala, ibu Diah belum sadarkan diri. Tetapi ia akan bereaksi jika mendengar suara orang-orang yang dikenalnya.’Mendengar ucapan dokter, emak dua hari ini selalu menyempatkan diri menjenguk tante Diah. Sebenarnya bapak tidak mau berada di rumah sakit, tetapi emak ngotot, tetap memaksa bapak ikut serta.“Taufik, jadi pulang?” Bapak berjalan ke arah kursi yang ada di samping pintu.“Jadi, Pak. Insyaallah, sore sudah sampai.”“Hem.”Aku mengikuti bapak, ya
Terima kasih sudah meninggalkan jejak like dan komentar nya. 🌹🌹🌹Aku terhenyak, membaca status Lastri.'HAMPIR SAJA!!! BERDOALAH, BELUM TENTU BESOK KAMU BISA SELAMAT’Tunggu, apakah yang ia maksud adalah kejadian menyerempet tadi? Tapi bukankah orang yang berada di dalam sel, tidak boleh membawa handphone dan benda-benda lainnya?Malam semakin larut, angin malam masuk begitu saja dari celah-celah dinding kamarku.Ake kembali melihat status Lastri. Benar, statusnya dibuat saat aku sudah berada di rumah. Aku mengambil gambar dari status yang dibuat olehnya. Otakku kembali berjalan, ini bisa dijadikan bukti. Walaupun aku masih belum yakin, apakah benar ditujukan untukku. 🍀🍀🍀[Assalamualaikum. Mohon izin Bripka Agus, apakah hari ini ada waktu?].Tercentang dua tetapi masih berwarna
Sudah tiga minggu terlewati. Satu bulan lagi, acara pernikahanku akan dilaksanakan. Tidak pernah terdengar kabar tentang tante Diah. Terkadang, setelah pulang mengajar, aku menyempatkan untuk melewati rumah Tante Diah. Rumah peninggalan paman Wahyu tersebut, masih di segel oleh rentenir. Karena, setiap aku melewatinya, masih sering terlihat dua orang pria, menjaga rumah.Bapak dan emak juga tidak pernah bertanya atau mencari tahu keberadaan tante Diah. Tapi seiring waktu, setelah pengusiran tante Diah dari rumah. Pernah terdengar dari emak, bahwa bapak pernah mencari tahu keberadaan adiknya itu, melalui lek Ipul.Alhamdulillah, Taufik kembali mengukir prestasinya. Ia lulus ketika mengikuti tes kesehatan, tes psikologi, integritas dan kejujuran. Pengumuman resmi sebagai praja IPDN akan diumumkan akhir bulan depan. Taufik juga akan pulang dua hari lagi, setelah menyelesaikan segala urusannya.🍀🍀🍀Semalam, aku d
Terima kasih sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya.🍀🍀🍀Mungkin Intan juga memberitakan aksi Sumi pada Bripka Agus, karena setelah bapak mematikan ponsel, sebuah pesan aku terima dari Bripka Agus yang mengirim lokasi kejadian.Bapak segera menelpon lek Ipul untuk mengantarkan kami. Lokasi yang terbilang cukup jauh, butuh waktu satu jam untuk mencapai sungai tersebut.Jembatan yang digunakan Sumi terlihat ramai oleh penduduk setempat, garis polisi terpasang di tengah jembatan. Ah, benarkan Sumi melakukan bunuh diri? Ini semua bagai mimpi bagiku.Tante Diah sudah beberapa kali pingsan, isak tangisnya tidak mampu melawan suara arus sungai yang ada di depan mata. Polisi dan beberapa relawan terlihat sibuk mencari jasad Sumi menggunakan kapal boat.“Nia,”Bripka Agus berdiri di seberang garis polisi, tanpa mengenakan pakaian dinasnya. Aku berjalan mendekat, meninggalkan tante D
Terima kasih sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya.🍀🍀🍀Dua minggu telah berlalu sejak Sumi sadar dan sejak itu pula Bapak tidak pernah lagi mengunjungi Sumi dan tante Diah di rumah sakit. Taufik juga sudah berangkat, mengikuti tahap tes selanjutnya tiga hari yang lalu. Insyaallah, ia akan kembali untuk mengikuti acara pernikahanku.Alhamdulillah, ketenangan kembali dalam keluargaku. Masalah ladang bapak? Sudah beberapa bulan ini bapak tidak pernah lagi menyetorkan sepeserpun uang kepada pak Gunawan. Sekarang kami masih mengolah ladang seperti biasanya. Pak Gunawan juga tidak pernah lagi menampakkan wajahnya di hadapan kami. Kabar yang aku dengar, pak Gunawan sudah dinonaktifkan dari jabatannya sebagai kepala desa. Ah, mungkin beliau masih sibuk mengurus kedua anaknya yang masih setia di dalam bilik jeruji.Aku juga sudah mencabut laporan terkait penjambreta