*Kekayaan sejati bukan diukur dari banyaknya harta yang kamu miliki, melainkan diukur dari hatimu yang merasa cukup.*
***
Ketukan pintu mbah Sarmi mengagetkan kami, ku usap sisa airmata yang ada di pipi. Mbah Sarmi bergegas membukakan pintu.
“Kamu … !”
Kuintip melalui celah kain yang menjadi pembatas ruang tengah dan ruang dapur. Mbok Inah?
“Ada apa lagi, Nah?” tanya mbah Sarmi.
“Mbah kan, yang bilang ke warga-warga sini, kalau tadi pagi aku dimarahi sama si Nia?” tandasnya
Hei, namaku disebut. Kubiarkan saja dulu mbah Sarmi melayani mbok Inah, aku penasaran apa yang akan terjadi.
“Su’udzon kamu, Nah. Nyebut gusti Allah, kamu sendiri tahu, kalau disana bukan Mbah saja, kan?”
“Halah, tapi Mbah yang lebih senior. Mereka mana berani sama aku, apalagi ceritain kejadian tadi,”
“Senior? Makanan apa tu, Nah?” jawab mbah Sarmi lugu.
Aku terkikik geli mendengar percapakan beda generasi tersebut.
“Pokoknya, Mbah harus tanggung jawab!” ucap mbok Inah ketus.
“Tanggung jawab? Emang kamu hamil anakku?”
Kubekap mulutku agar tidak menimbulkan suara, ah, mbah Sarmi bisa juga bercanda di saat seperti ini. Kembali kubuka tirai, terlihat mbok Inah mengepalkan kedua tangannya dan tanpa kata, langsung menarik tangan mbah Sarmi dengan kasar. Mbah Sarmi terkejut, jika saja ia tidak memegang gagang pintu, mungkin ia akan jatuh tersungkur.
“Pokoknya, Mbah harus katakan sama warga kampung, kalau … .”
“Hei, Mbok. Lepaskan tangan Mbah Sarmi,” ujarku seraya keluar dari balik layar.
Mbah Sarmi dengan cepat melepaskan tangannya dari genggaman mbok Inah, yang masih terkejut dengan kehadiranku di tengah-tengah mereka.
“Inah, Inah, kualat kamu sama orang tua,” ucap mbah Sarmi seraya mengelus tangannya.
“Kamu, lagi. Si miskin,” ucap mbok Inah sarkas, sambil melipat tangan didepan dada.
“Mau Mbok, apa sih?”
“Mau saya? Kamu harus minta maaf dan mengatakan kepada warga kampung, kalau kamu yang salah,”
“Oke, dimana saya harus melakukannya?”
“Kita ke surau, sekarang,”
Baiklah mbok, ku ikuti permainanmu kali ini. Tanpa melepas mukenanya, mbah Sarmi telah jalan bersisian denganku. Sedangkan mbok Inah, berada didepan kami, berjalan dengan angkuhnya.
Sampai di surai, kulihat beberapa warga sudah duduk disana, melihat kedatangan kami, suasana menjadi semakin ramai. Kulihat dipojok surau duduk mbak Risma dan mbak Atun, tertunduk ketika pandanganku tepat melihatnya. Mbah Sarmi semakin erat menggenggam tanganku.
“Nih, mic nya sudah hidup,” Mbok Inah menyodorkan sebuah mic padaku. Aku tertegun.
“Untuk apa, Mbok?” tanyaku lugu
“Ya, kamu umumkan lah. Biar semua warga kampung dengar dan tahu kalau kamu yang salah,” ucapnya tegas.
Kugaruk alisku yang tidak gatal, sebuah ide gila muncul dipikiranku.
“Baiklah, Mbok. Jika itu memang keinginanmu,” kuraih mic yang masih ada di tangan mbok Inah. Senyumnya mengembang, sedangkan warga yang hadir mulai tenang tanpa mengeluarkan suara.
“Nia, kamu yakin, nduk?” mbah Sarmi berbisik pelan di belakang punggung ku.
“Sangat yakin, Mbah,” jawabku cepat.
“Tes, tes, 1, 2, 3.” Layaknya seperti MC, aku pun mengetes suaraku.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya Nia, putri dari bapak Arman dan emak Halimah, mengumumkan ke warga kampung Kesuma, bahwa saya dengan sadar menyatakan tidak bersalah atas kejadian yang terjadi di kedai Mbok Inah. Saya hanya menanyakan, mengapa hutang kedua orang tua saya yang berjumlah tujuh puluh lima ribu, ketika saya bayar menjadi dua ratus lima puluh ribu. Sekian dan terimakasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” kuucapkan dengan perlahan, agar terdengar jelas oleh warga selain yang ada di surau.
Seketika surau mendadak sunyi seperti kuburan, para warga melongo melihatku. Kuletakkan mic disembarang tempat, meraih lengan mbah Sarmi untuk segera beranjak. Tepat diambang pintu, terdengar ibu-ibu berteriak.
“Mbok Inaaahhhh … .”
***Pukul 07.45 aku sudah duduk rapi di dipan depan rumah. Menunggu kedatangan Intan, yang akan menjemputku untuk pergi bersama ke sekolah. Sudah beberapa kali aku menguap, menghapus jejak air mata yang keluar. Setelah kejadian di surau, bapak dan emak menjemputku, dan setelahnya aku di sidang oleh mereka. Lima jam, bapak dan emak menceramahiku bergantian.
Ah, bagaimana keadaan mbok Inah sekarang, ya? Kabarnya ia pingsan setelah mendengar pengumuman itu, dan dibawa ke puskesmas kampung Padi. Rasa bersalah kembali hinggap, mungkin setelah pulang dari sekolah aku akan singgah ke kedainya.
Tin
TinSeorang gadis berbaju dinas coklat dengan jilbab senada duduk di kereta roda duanya.
“Intan! Kamu Intan? Makin cantik aja,” ujarku menghampirinya.
“Nanti aja temu kangennya. Yuk, naik, hari pertama jangan terlambat,” ucapnya seraya menyerahkan helm padaku.
Setiba di sekolah, Intan mengantarkanku menemui kepala sekolah. Pak Wahyu, dengan kepala plontosnya memberikan arahan dan bimbingan.
“Ayo, saya antar keruangan guru. Sekalian akan saya kenalkan dengan guru lainnya,” kuanggukkan kepalaku sebagai tanda setuju. Ku Ikuti langkah kakinya yang melewati beberapa ruangan kelas siswa.
“Bukannya, kamu yang bersuara merdu itu, ya? Yang dari kampung Kesuma, kan?” ujar seorang guru berjilbab merah. Sontak guru yang ada diruangan melihat ke arahku, ah, apalagi ini, batinku.
*** "Ha ha ha, enak ya sekarang, jadi terkenal," tawa Intan pecah saat honda yang dikendarainya meluncur meninggalkan sekolah."Dih, iya kalau terkenal jadi artis kota, lah, ini," ucapku, aku yang duduk diboncengan sedikit mengeraskan suara, agar ia bisa mendengarnya.
"Tan, menurutmu, salah gak, apa yang kulakukan kemarin?"
"Hem, menurutku kelakuan mbok Inah, sudah di luar batas. Mungkin hanya kau yang bisa menyadarkannya," candanya.
Tak lagi ku balas ucapan Intan, kami terdiam sampai gapura kampung Kesuma terlihat.
***"Fik, temani Kakak, yuk,"
"Kemana, Kak?"
"Jenguk mbok Inah,"
Taufik memuntahkan minuman dari mulutnya, memandang heran padaku.
"Gak salah, Kak,"
"Hem, entah kenapa, Kakak kepikiran ucapan bapak dan emak semalam,"
"Yowes, aku antarkan sekarang aja,"
Kami bercanda sepanjang perjalanan, adikku yang kini lebih tinggi dariku itu mulai menunjukkan kemiripan dengan bang Ilham. Paras dan wataknya hampir sama.
"Kak, lihat," Taufik menunjuk dengan ujung dagunya.
Mataku membulat sempurna, ketika membaca sebuah tulisan dengan arang di papan bawah kedai mbok Inah.
'ORANG MISKIN (KELUARGA ARMAN) DILARANG BELANJA,
@@@Aww, aww
Bersambung dulu mak ya.😍😍*Jangan berduka, apa pun yang hilang darimu akan kembali lagi dalam wujud lain (Jalaludin Rumi)****‘ORANG MISKIN (KELUARGA ARMAN) DILARANG BELANJA’Tulisan dengan arang hitam itu terlihat jelas dimataku. Dua orang wanita yang tengah belanja segera beranjak ketika melihat kedatangan kami.Belum sempat kakiku melangkah, cekalan tangan Taufik di bahuku membuatku menolehnya.“Biar Taufik aja, Kak.” Diraihnya batang kayu seukuran tangan orang dewasa yang ada di samping jalan setapak ini. Aku terkejut, gawat.“Fik, jangan pakai kekerasan,” kali ini aku yang mencekal tangannya.“Taufik!”Suara bariton bapak terdengar dari belakang. Derapan langkah besar juga terdengar jelas menuju arah kami.“Apakah Bapak pernah mengajari kalian seperti ini?” ucapnya pelan, tapi mampu membuatku dan Taufik berhenti untuk menghi
*Ilmu itu lebih baik daripada harta karena harta itu harus kamu jaga, sementara ilmu akan menjagamu.* - Ali bin Abi Thalib***Suara tangisan mbok Inah yang mengucapkan kata maaf, terdengar sampai ke dapur. Hingga bapak mengucapkan suatu kalimat yang membuatku terkejut.“Apa??” teriakku, Taufik seketika langsung membekap mulutku sambil melototkan matanya.“Nia, Taufik, kemari!” panggil bapak tegas.“I … iya, Pak,” Taufik menoyor kepalaku pelan, ia berjalan mendahuluiku.“Duduk!” perintah bapak ketika kami sudah berada di ruang tamu.“Kamu, Nia. Minta maaf sama Inah, atas apa yang telah kamu lakukan di surau.”Jika bapak sudah menyatakan pendapatnya pada kami, berarti itu adalah suatu perintah yang harus segera dilaksanakan. Kulihat emak, sebagai tanda protes. Emak hanya mengangguk, menyetujui kalimat bapak. Kuperba
*Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu.* - Imam Syafi’i***Emak mengenakan gamis putihnya, lengkap dengan jilbab instan dengan warna senada, pakaian hari raya Idul Fitri tiga tahun yang lalu, katanya. Baju yang aku dan bang Ilham beli dan kirimkan ke emak dikampung.Ada senyum yang selalu melekat di wajahnya, senyum yang sulit diartikan. Begitupun bapak, sejak siang tadi ia selalu berdiri di depan pintu, pun menggunakan pakaian warna senada dengan emak. Kopiahnya pun tak pernah terlepas sejak tadi.Taufik tidak terlihat, kata bapak, ia akan sibuk untuk sementara waktu. Aku duduk di sudut ruangan tamu ini, memeluk lutut seraya terus memperhatikan jam dinding berputar.Ah, padahal katanya, paling lama tiga jam lagi ia akan sampai, tapi, rindu ini sudah tidak bisa kutahan. Jam pun seakan enggan untuk berputar.***"Nia, ayo sholat ashar dulu,"
*Segala perbuatan sekecil apapun, nantinya pasti akan dipertanggungjawabkan****Gubrak, terdengar seperti ada barang yang terjatuh.Bergegas kulihat sisi rumah, Taufik mengikuti, ternyata emak menjatuhkan sampah yang ada dalam karung."Emak kenapa?" kubimbing emak berjalan memasuki rumah melalui pintu dapur. Taufik kembali mengumpulkan sampah yang sedikit berserakan."Emak duduk aja, biar Nia dan Taufik yang beberes." Wajah emak masih meyiratkan kesedihan, terlihat jelas ada kerinduan dimatanya."Emak nggak kenapa-kenapa, nduk. Oia, sudah beberapa hari ini kamu izin tidak sekolah. Apa tidak jadi masalah?""Alhamdulillah, sekolah kasih izin untuk cuti selama tujuh hari, Mak. Besok Nia juga udah kembali mengajar," jelasku.Sepertinya nanti saja aku tanyakan kembali perihal surat Taufik, masalah pendaftaran sekolahnya harus segera cepat diselesaikan."Assalamu'alaik
*Kekayaan, umur, dan popularitas itu seperti minum dari air lautan yang asin. Semakin kau minum, semakin haus yang kamu dapatkan.* - Shaykh Ahmad Musa Jibril***“Taufik!”Seorang pria bertubuh tambun, telah berdiri di hadapan kami. Wajahnya menahan amarah, terlihat jelas juga dari gestur tubuhnya.“Bilang sama bapakmu yang miskin itu, apa maksudnya ia menemui camat Jatisari? Kau pikir aku takut, hah!?” ucapnya emosi.Aku dan Taufik segera bangkti dari duduk.“Ck, kalau bapak tidak takut, kenapa sekarang, Bapak seperti cacing kepanasan?” tantang Taufik, ia membusungkan sedikit dadanya.“Apa kau bilang?! Anak bau kencur seperti mu tidak pernah diajari sopan santun, apa? Dasar miskin akhlak, cuih!” ludahnya ke sembarang temp
*Sifat utama pemimpin adalah beradab dan mulia hati.* - Abu Hamid Al Ghazali@@@"Fik, kapan rencana kamu, ke kampus?" tanyaku, seraya menggunakan sepatu sekolah. Hari ini, aku akan berangkat ke sekolah dengan Intan.'Besok, aku jemput ya' pesannya semalam."Insyaallah, lusa Taufik akan berangkat, Kak,""Oke,"Intan telah berdiri di hadapanku, menggunakan gamis berwarna maroon, ia terlihat makin cantik dengan jilbab dengan warna senada."Loh, kok nggak pakai baju dinas,Tan?" tanyaku seraya berjalan beriringan, menuju motornya yang telah terparkir di halaman rumah."Nanti sepulang sekolah, aku mau ke kecamatan. Mau menyerahkan undangan," ungkapnya seraya menghidupkan motor."Undangan?""Hehe
*Seorang muslim tak akan pernah meninggalkan muslim yang lain yang sedang tak berdaya saat dibutuhkan.*@@@[Nia, jam sembilan aku jemput ke rumah, ya], Intan mengirimiku pesan, setelah sebelumnya ku tunaikan sholat subuh terlebih dahulu.[Nggak usah, Tan. Nanti aku diantar sama Taufik saja. Dia juga sekalian mau keluar], send, langsung tercentang biru.[Oke, deh. Dandan yang cantik ya, bentar lagi jumpa sama babang ganteng], diakhiri pesannya dengan emot love. Tidak ku balas lagi pesan Intan, setelah mendengar emak memanggilku.“Nduk, jam berapa kamu ke sekolah?” tanya emak yang sudah berdiri didepan pintu kamarku.“Jam sembilan, Mak. Kenapa, Mak?”“Oh, soalnya emak belum masak kalau kamu perginya sepagi ini,” ujarnya meninggalkanku. Ku Ikuti langkah em
“Kau?!” pak Gunawan mengacungkan jarinya ke arahku.Keadaan berubah menjadi tegang, Bang Satria yang tidak tahu menahu pun menatap kami secara bergantian. Intan tampak menahan emosi, tangannya ikut terkepal.Sejak mengetahui kelakuan pak Gunawan terhadap keluargaku, bendera perang pun sekarang siap aku kibarkan."Pak, apa anda tidak malu, membuat keributan di depan umum? Oh, atau biar sekalian saja, pak Camat tahu kelakuan Bapak yang sebenarnya," ucapku santai.Pak Gunawan seketika tersadar atas kelakuannya, dia menurunkan tangannya dari wajahku."Pak Gunawan, ada masalah apa dengan saudara Nia?" tanya bang Satria."Eh, itu Pak, itu … . Tidak ada Pak, tidak ada masalah apa-apa," ucapnya gelagapan."Saya duluan, Pak," ujar pak Gunawan berlalu tanpa menunggu ja
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya), Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32).Pernikahan merupakan suatu bentuk keseriusan dua orang dalam sebuah hubungan. Selain sebagai bentuk cinta dan kasih sayang, pernikahan dalam Islam merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.Selain itu, menikah juga menjadi salah satu cara memperkuat ibadah. Hal ini sesuai dengan hadits tentang pernikahan yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang hamba menikah, maka telah sempurna separuh agamanya. Maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya.”🍀🍀🍀“Bagaimana? Apa masih ada yang tertinggal?” Intan memperhat
“Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula (begitu pula sebaliknya). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang melimpah (yaitu: Surga)” (Qs. An Nuur (24) : 26).Ya Allah, dengan Rahmat dan Ridho-Mu perkenankanlah tautan cinta buah hati kami :<span;>Nia ApriliaPutri ke-2 dari Bpk. Arman Wahyudi & Ibu HalimahDengan<span;>Satria ArigayoPutra ke-2 dari Bpk. Bagus Ambarga & Ibu Puji Indah KasturiAkad nikah dan resepsi, Insya Allah akan dilaksanakan pada :Hari : Sabtu, 16 Oktober 2021
Terimakasih sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya.❤❤❤Apa yang kita tanam, itu juga yang akan kita tuai. Pepatah nasehat yang tepat disandandangkan untuk Lastri, wanita yang seumuran denganku itu terlihat sangat mengenaskan menggunakan pakaian orange dari balik meja.Hari ini, aku sengaja mengunjungi Lastri ke Polres. Ada begitu banyak pertanyaan yang harus aku ajukan untuknya.“Apa yang kamu inginkan, Lastri? Dari keluargaku, tentunya.”Lastri hanya mencebikkan mulut, aura marah masih terlihat jelas dari kedua matanya.“Aku tidak pernah membuat masalah denganmu, pun dengan keluarga kamu, Lastri. Jadi, mengapa kamu selalu mencari masalah?”Dua orang polisi wanita ikut serta menemani kami di ruangan yang terbilang cukup sempit ini. Dengan sedikit memohon kepada Br
Aku sudah mengelilingi pemakaman ini sebanyak dua kali, tidak kuhiraukan semak belukar yang meliliti gamis. Nihil, tidak ada tanda-tanda keberadaan Bella.Jejak langkah Bella ditanah juga tidak terlihat. Ya Allah, Bella kamu dimana?Kutarik nafas pelan, Nia kamu harus tenang. Tenang. Aku kembali menaiki motor, setidaknya aku tidak perlu dulu mengabarkan kehilangan Bella. Mungkin saja Bella singgah ke rumah … tidak mungkin. Bella tidak tahu siapa pun kecuali rumah mbah Sarmi dan mbok Inah. Kuputar kemudi motor, menuju kedai mbok Inah, pegal gas kutarik kuat. Masih terasa, sisa-sisa rumput liar masih menggantung di gamisku.“Assalamualaikum. Mbok, Mbok Inah.”Aku berteriak memanggil namanya. Tumben kali ini, kedai mbok Inah tertutup rapat, tapi masih terlihat pintu samping terbuka.“Waalaikumsalam. Lewat samping,” ujar seseorang dari dalam rumah.“Mbok, apakah Bella ada d
“Pak, bagaimana ini?”Bapak memandang tante Diah yang berada di balik kaca. Sedangkan emak, memberanikan diri masuk ke dalam ruangan. Mencoba untuk mengajak tante Diah berbicara. Sudah dua hari, tante Diah belum sadarkan diri. Kemarin, dokter mengatakan kondisi tante Diah sempat drop. Tetapi kembali stabil, malah lebih baik dari sebelumnya, ujarnya.‘Karena hantaman di kepala, ibu Diah belum sadarkan diri. Tetapi ia akan bereaksi jika mendengar suara orang-orang yang dikenalnya.’Mendengar ucapan dokter, emak dua hari ini selalu menyempatkan diri menjenguk tante Diah. Sebenarnya bapak tidak mau berada di rumah sakit, tetapi emak ngotot, tetap memaksa bapak ikut serta.“Taufik, jadi pulang?” Bapak berjalan ke arah kursi yang ada di samping pintu.“Jadi, Pak. Insyaallah, sore sudah sampai.”“Hem.”Aku mengikuti bapak, ya
Terima kasih sudah meninggalkan jejak like dan komentar nya. 🌹🌹🌹Aku terhenyak, membaca status Lastri.'HAMPIR SAJA!!! BERDOALAH, BELUM TENTU BESOK KAMU BISA SELAMAT’Tunggu, apakah yang ia maksud adalah kejadian menyerempet tadi? Tapi bukankah orang yang berada di dalam sel, tidak boleh membawa handphone dan benda-benda lainnya?Malam semakin larut, angin malam masuk begitu saja dari celah-celah dinding kamarku.Ake kembali melihat status Lastri. Benar, statusnya dibuat saat aku sudah berada di rumah. Aku mengambil gambar dari status yang dibuat olehnya. Otakku kembali berjalan, ini bisa dijadikan bukti. Walaupun aku masih belum yakin, apakah benar ditujukan untukku. 🍀🍀🍀[Assalamualaikum. Mohon izin Bripka Agus, apakah hari ini ada waktu?].Tercentang dua tetapi masih berwarna
Sudah tiga minggu terlewati. Satu bulan lagi, acara pernikahanku akan dilaksanakan. Tidak pernah terdengar kabar tentang tante Diah. Terkadang, setelah pulang mengajar, aku menyempatkan untuk melewati rumah Tante Diah. Rumah peninggalan paman Wahyu tersebut, masih di segel oleh rentenir. Karena, setiap aku melewatinya, masih sering terlihat dua orang pria, menjaga rumah.Bapak dan emak juga tidak pernah bertanya atau mencari tahu keberadaan tante Diah. Tapi seiring waktu, setelah pengusiran tante Diah dari rumah. Pernah terdengar dari emak, bahwa bapak pernah mencari tahu keberadaan adiknya itu, melalui lek Ipul.Alhamdulillah, Taufik kembali mengukir prestasinya. Ia lulus ketika mengikuti tes kesehatan, tes psikologi, integritas dan kejujuran. Pengumuman resmi sebagai praja IPDN akan diumumkan akhir bulan depan. Taufik juga akan pulang dua hari lagi, setelah menyelesaikan segala urusannya.🍀🍀🍀Semalam, aku d
Terima kasih sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya.🍀🍀🍀Mungkin Intan juga memberitakan aksi Sumi pada Bripka Agus, karena setelah bapak mematikan ponsel, sebuah pesan aku terima dari Bripka Agus yang mengirim lokasi kejadian.Bapak segera menelpon lek Ipul untuk mengantarkan kami. Lokasi yang terbilang cukup jauh, butuh waktu satu jam untuk mencapai sungai tersebut.Jembatan yang digunakan Sumi terlihat ramai oleh penduduk setempat, garis polisi terpasang di tengah jembatan. Ah, benarkan Sumi melakukan bunuh diri? Ini semua bagai mimpi bagiku.Tante Diah sudah beberapa kali pingsan, isak tangisnya tidak mampu melawan suara arus sungai yang ada di depan mata. Polisi dan beberapa relawan terlihat sibuk mencari jasad Sumi menggunakan kapal boat.“Nia,”Bripka Agus berdiri di seberang garis polisi, tanpa mengenakan pakaian dinasnya. Aku berjalan mendekat, meninggalkan tante D
Terima kasih sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya.🍀🍀🍀Dua minggu telah berlalu sejak Sumi sadar dan sejak itu pula Bapak tidak pernah lagi mengunjungi Sumi dan tante Diah di rumah sakit. Taufik juga sudah berangkat, mengikuti tahap tes selanjutnya tiga hari yang lalu. Insyaallah, ia akan kembali untuk mengikuti acara pernikahanku.Alhamdulillah, ketenangan kembali dalam keluargaku. Masalah ladang bapak? Sudah beberapa bulan ini bapak tidak pernah lagi menyetorkan sepeserpun uang kepada pak Gunawan. Sekarang kami masih mengolah ladang seperti biasanya. Pak Gunawan juga tidak pernah lagi menampakkan wajahnya di hadapan kami. Kabar yang aku dengar, pak Gunawan sudah dinonaktifkan dari jabatannya sebagai kepala desa. Ah, mungkin beliau masih sibuk mengurus kedua anaknya yang masih setia di dalam bilik jeruji.Aku juga sudah mencabut laporan terkait penjambreta