“Ke ...kenapa, Dek?” ujarnya terbata.
“Alhamdulillah, Nia sebentar lagi akan wisuda. Nia ingin membahagiakan bapak dan emak, Bang,”
Sudah empat tahun aku mengikuti laki-laki berbadan tegap yang duduk di depanku ini. Sejak meninggalnya kak Intan, istrinya, yang meninggalkan Bela, keponakanku yang saat itu masih berusia delapan tahun. Bang Ilham meminta izin pada bapak dan emak, agar aku bisa menemani Bela yang saat itu masih sedih atas kehilangan ibunya. Sejak saat itulah, aku mulai tinggal dengan bang Ilham dan Bela, jauh meninggalkan bapak dan emak, dan adik bungsu kami, Taufik.
Bang ilham mengalihkan pandangannya dariku, ditatapnya langit malam, desahan nafas panjangnya terdengar.
“Abang paham, Dek. Mungkin memang ini saatnya, kamu pulang,” ucapnya, tanpa sekalipun memandangku.
Bang Ilham hanyalah karyawan kantor biasa, Alhamdulillah, dengan gaji tidak seberapa, mampu menguliahkanku. Jatuh bangun kami lalui bersama, bang Ilham tetap bersikeras untuk tetap menguliahkanku. Akhirnya, aku bekerja sampingan, dengan membuka jasa les privat di rumah, bisa membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Kapan rencana kamu pulang, Dek?”
“Setelah acara wisuda, Bang. Tepatnya dua hari setelah acara, Nia juga sudah pesan tiket Bus,” kuputar-putar sendok yang ada di dalam gelas.
Helaan nafas Bang Ilham makin jelas terdengar. Ya, keputusan untuk pulang ke kampung memang sudah lama aku rencanakan, dan baru saat ini aku memberitahukannya kepada bang Ilham.
“Bela juga sebentar lagi akan melanjutkan sekolahnya ke pesantren, Dek. Jadi, Abang ditinggal sendiri nih, ya,” ujarnya terkekeh, menunjukkan lesung pipit di pipi kanannya.
“Apa rencana kamu di kampung, Dek?”
“Nia sudah tanya teman-teman disana, Bang. Alhamdulillah, sekolah dasar yang ada di kampung sebelah menerima tenaga pengajar. Nia juga sudah mendaftarkan diri,” ujarku lancar.
“Alhamdulillah, pergunakan ilmu yang kamu dapat disini sebaik-baiknya ya, Dek. Jangan mengharap pamrih, kerjakan dengan ikhlas. Insyaallah, Allah akan memberi lebih,” diusapnya pucuk kepalaku, ada setetes air mata di ujung mata bang Ilham. Ah, kupeluk erat bang Ilham, tangisku pecah.
“Maafkan Nia, Bang,” ujarku“Sudah, sudah. Abang juga minta maaf, pulanglah. Abang ikhlas,” dipeluknya tubuhku erat. Perpisahan ini bukanlah yang kupinta, entah mengapa perasaanku tidak enak beberapa hari ini. Kemarin malam, aku juga bermimpi, bertemu bapak dan emak yang memakai baju putih. Hal ini tidak pernah kuceritakan pada siapapun, termasuk bang Ilham, karena takut akan membuatnya khawatir.
***
Alhamdulillah, hari ini acara wisuda dilaksanakan. Kulihat bang Ilham sudah siap, ketampanannya bertambah dengan setelah yang dikenakannya. Bela juga sudah selesai menggunakan jilbab panjangnya.'Kata umi, perempuan itu berdosa, kalau tidak menutup rambutnya, Bunda,' ujarnya waktu itu, padahal usianya masih sembilan tahun.
“Bunda cantik,” ujarnya mengagetkanku.
“Ponakan Tante, yang lebih cantik,” ku cubit pipi tembemnya.
“Ayo, kita berangkat, mobilnya sudah datang, tuh,” ujar bang Ilham.
Kugenggam tangan Bela menuju mobil yang telah dipesan bang Ilham sebelumnya. Pagi tadi, sempat ku hubungi bapak dan emak via telepon, mengabarkan bahwa hari ini aku wisuda. Emak menangis bahagia, namun wajahnya tidak terlihat, karena keluargaku di kampung belum ada gawai buatan cina yang bisa menampilkan wajah seseorang.
Alhamdulillah, acara wisudaku selesai, didampingi oleh bang Ilham untuk menerima ijazah. Kebahagiaanku bertambah, karena mendapatkan predikat cumlaude.
***
“Kalau sudah sampai, kabari Abang ya, Dek,” kusalami takzim tangan bang Ilham. Kami sudah berada di terminal, kebisingan kendaraan yang hilir mudik dan hiruk pikuk manusia tidak menghalangi air mataku jatuh.“Terus beri kabar, ya. Abang tidak bisa mengantar kamu pulang,” ujarnya haru.
“Iya, Bang,”
Kunaiki bus yang sudah memberikan tanda akan segera berangkat. Enam belas jam perjalanan sampai di kabupaten, ditambah dua jam perjalanan lagi untuk sampai di kampung Asri, kampung kelahiranku.
“Assalamu’alaikum,” kulambaikan tangan ketika sudah berada di pintu bus.
“Wa’alaikumsalam,” ujarnya, dengan cepat bang Ilham menghapus jejak air matanya.
***
Beberapa saat lagi, bus akan sampai di kabupaten. Kubuka gawai yang ada di tas kecilku.Tuut
Tuut
Kuhubungi Taufik, untuk menjemputku di terminal. Tanpa sepengetahuan bapak dan emak, aku berencana untuk memberikan surprise dengan kepulanganku.“Halo, Kak. Taufik udah di terminal, Kak Nia udah dimana?” ucap Taufik, begitu telepon tersambung.
“Sebentar lagi, Fik. Mungkin beberapa menit lagi,” jawabku.
“Oke, kak,” telepon dimatikan begitu saja olehnya.
Ah, kupandangi jalan yang dilalui, begitu banyak perubahan yang terjadi. Selama empat tahun, tidak pernah sekalipun aku pulang, bukan karena tidak mau. Tapi aku paham bagaimana keuangan bang Ilham, sedikit banyaknya aku tidak mau membebaninya.
‘Nduk, kita itu orang susah. Walaupun kita susah harta, tapi kita tidak boleh susah hati. Allah maha kaya, Allah tahu mana yang baik untuk kita. Jika kita kaya hati, insyaallah kita bahagia,’ ucapan bapak mengingatkanku ketika akan melepaskanku pergi.
Bus berhenti, kulangkahkan kaki keluar dari bus, seraya sopir menuruni beberapa barang, kuhubungi kembali Taufik.
“Dek, dimana? Kakak sudah sampai,” belum ada jawaban dari ujung telepon, tiba-tiba seorang pria tinggi bertopi meraih tas yang ada di depanku.
“Hei, siapa kamu?” kutarik ujung bajunya kuat.
“Tadaaaa ... Kak Nia, ini Taufik,” ujarnya.
“Taufik?”
Diraih dan diciumnya punggung tanganku. Laki-laki yang kini lebih tinggi dariku itu, membawa beberapa barang bawaanku menuju kereta roda dua tua milik bapak. Roda dua yang sudah sering turun mesin itu masih setia dengan keluargaku.
Taufik menata barang bawaanku, kupandangi adikku satu-satunya itu. Tahun ini, seharusnya ia akan melanjutkan ke perguruan tinggi.‘Lihat nanti gimananya, Bang,’ jawabnya, ketika aku dan bang Ilham menanyakannya setelah menerima ijazah sekolah menengah atasnya.
Roda dua bapak melaju pelan, kalau dipaksakan nanti batuk kak, ujar Taufik ketika kutanyakan mengapa ia membawanya sangat santai sekali. Perjalanan yang kurindukan, menikmati ciptaanNya gunung-gunung dan sawah terlihat di sepanjang perjalanan.
Tiba-tiba terlihat mobil sedan berwarna merah yang ada di belakang kendaraanku, membunyikan klakson nya secara barbar.
“Dek, mobil itu kenapa?” tanyaku sedikit teriak, agar Taufik bisa mendengarnya.
Taufik melirik ke kaca spion yang sudah sedikit retak dan mulai melambatkan kendaraan.
“Heh, Taufik,” teriak seorang perempuan muda turun dari mobil tersebut, setelah menyalip kendaraan kami.
“Gak usah belagu ya. Udah dibilangin, kalau kamu tu ga pantas dapat beasiswa itu,”
Aku hanya bisa melongo, memperhatikan perempuan tersebut marah-marah sambil berkacak pinggang. Apa yang terjadi? siapa wanita ini? beasiswa?.
“Ayo, Kak. Naik, kita pulang,” ucap Taufik membuyarkan lamunanku.
Segera kunaiki kembali roda dua bapak, Taufik segera tancap gas.
“Hei, orang miskin. Jangan belagu ya,” teriak wanita tersebut tanpa henti.
Kuperhatikan wanita itu yang makin lama semakin jauh, wajahnya seperti tidak asing, kucoba untuk mengingatnya, tetapi nihil. Ah, mungkin nanti saja kutanyakan dengan Taufik, apa hubungannya dengan wanita muda tersebut.
***
Dari kejauhan, aku sudah bisa melihat rumah dengan atap seng yang sudah mulai berkarat, pintu rumah kecil tempat aku dilahirkan itu terlihat terbuka. Taufik membelokkan kendaraan ke halaman rumah, belum sempat aku turun, terdengar suara bapak dari dalam.“Bukankah, kami layak mendapatkan bantuan tersebut, Pak?” suara bapak terdengar begitu lembut, suara yang selalu kurindukan.
“Sudah saya bilang berapa kali, Pak Arman. Bapak tidak bisa mengajukan bantuan tersebut,” ujar seorang laki-laki lain terdengar marah.
“Tapi, Pak ...?”
“Saya tidak akan mengajukannya, permisi,”
Seorang laki-laki berpakaian rapi, mengenakan celana kain dan baju batik keluar dengan wajah marahnya. Kuanggukan kepala ketika ia melewatiku.
“Miskin, belagu lagi,” ucapnya ketus, terdengar ditelingaku.
Apalagi ini, siapa pria ini, apa maksud ucapannya. Ini juga akan kutanyakan nanti dengan bapak dan emak.
“Assalamu’alaikum,” ucapku. Bergegas kulangkahkan kakiku masuk, bapak dan emak terkejut melihatku. Kupeluk emak yang duduk di dipan ruang tamu, air mataku membasahi kerudung emak, begitupun emak, diciumnya pipiku berkali-kali.
“Anak gadis emak, udah pulang,” ucapnya sambil terus menciumi pipiku.
“Kok ga bilang-bilang, kamu mau pulang, Nduk,” ucap bapak, kulirik bapak, matanya memerah, bukan karena marah, tapi ada jejak air mata di pipinya.
“Mau buat kejutan, untuk Bapak dan Emak,” sahut Taufik yang muncul di depan pintu sambil membawa barang bawaanku.
“Hehehe, iya Pak,” kuhampiri bapak, memeluknya erat. Bau keringatnya pun selalu kurindukan, wajah yang tidak lagi muda, kulit bapak sudah mulai berkerut di wajah dan tangannya.
“Bapak dan Emak, sehat?" tanyaku,
"Alhamdulillah, sehat Nduk," ucap Ibu.
"Yowes, kamu istirahat dulu. Emak mau ke kedai Mbok Inah dulu, ya. Mau belanja banyak, terus masak enak," seru Ibu seraya bangkit dari duduknya.
"Nia juga ikut ya, Mak," kupeluk lengan emak seraya berjalan keluar rumah.
Kedai Mbok Inah tidak terlalu jauh dari rumahku, dengan berjalan santai saja, cukup memakan waktu lima belas menit. Di sepanjang perjalanan aku selalu bercerita tentang kegiatanku selama tinggal dengan bang Ilham, dan emak pun selalu bertanya dengan semangatnya. Tanganku tidak pernah melepas pergelangan tangan emak.
"Kamu tunggu disini ya, Emak kebelakang dulu," ucap Emak setelah sampai di kedai Mbok Inah. Terlihat orang-orang hilir mudik, kuanggukan kepala ketika ada seorang wanita tersenyum padaku. Sudah sepuluh menit berlalu, tetapi emak belum muncul juga.
"Mak," kupanggil emak seraya masuk kedalam kedai. Terdengar emak berkata seraya menangis.
"Nanti, kalau ada uang, saya bayar ya, Mbok," suara emak terdengar lirih.
"Kamu itu ya, kalau miskin gak usah belanja banyak. Yang kemarin juga belum bayar, kan? Mau uang darimana untuk bayar semuanya? Apa anakmu Ilham, gak kirimin uang?"
Degh
Segera kuhampiri emak, kutatap wajahnya yang terkejut melihatku.
"Berapa hutang Emak saya, Mbok? Saya bayar lunas semuanya," ujarku tegas.
@@@
Jangan dibully ya Mak, masih belajar nulis. Kasih saran aja mak, kalau bisa kasih cinta 🥰.Ilhamnya juga jangan di bully. Nanti akan ada episode kemana uang yang selalu dikirim Ilham untuk orang tuanya. Love u emak keyceehh.
<span;>Hutang dibayar Lunas"Berapa hutang Emak saya, Mbok? Saya bayar lunas semuanya," ujarku tegas.Mbok Inah sama terkejutnya dengan emak. Raut wajah mbok Inah segera berubah masam, diraihnya buku kecil yang ada di meja dapurnya dengan kasar. Usia mbok Inah lebih muda dari emak, tetapi entah mengapa tidak ada hormatnya sedikitpun dengan bapak dan emak. Padahal, usia anaknya juga masih tingkat sekolah dasar."Owh, jadi anak kebanggaanmu udah pulang, toh," ujarnya sarkas."Maaf, Mbok, berapa hutang Emak semuanya?" ucapku kembali lembut. Emak menggenggam tanganku seraya menepuk pelan tanganku, mengisyaratkan agar aku tidak emosi."Dua ratus lima puluh ribu," Mbok Inah menatapku jengah."Emak mau belanja apa lagi?" kutarik lengan Emak lembut, dan menuntunnya ke depan.
Sepanjang jalan pulang dari kedai mbok Inah, tidak hentinya aku beristighfar, menyesali perbuatanku. Aku tahu ini salah, tetapi setidaknya memang mbok Inah harus diberikan sedikit teguran.“Nia! Nia!” terdengar teriakan suara wanita dari arah belakangku. Kulihat mbah Sarmi berjalan cepat, badan tambunnya bergoyang ketika ia dengan cepat menghampiriku.“Kenapa, Mbah?”“Hah, hah, tu … tunggu sebentar,” ujarnya seraya mengatur nafasnya yang terdengar ngos-ngosan.“Kamu baik-baik saja, kan, Nia?”“Maksud Mbah? Nia baik-baik saja kok” kuputar badanku beberapa kali di hadapan mbah Sarmi, sambil tersenyum jahil.“Kamu ini, Mbah serius.”“Alhamdulillah, Mbah.”“Kamu itu, yo, kok berani-beraninya semburin Inah. Tapi, Alhamdulillah juga, akhirnya ada yang mewakili isi hati dari ibu-ibu kampu
*Kekayaan sejati bukan diukur dari banyaknya harta yang kamu miliki, melainkan diukur dari hatimu yang merasa cukup.****Ketukan pintu mbah Sarmi mengagetkan kami, ku usap sisa airmata yang ada di pipi. Mbah Sarmi bergegas membukakan pintu.“Kamu … !”Kuintip melalui celah kain yang menjadi pembatas ruang tengah dan ruang dapur. Mbok Inah?“Ada apa lagi, Nah?” tanya mbah Sarmi.“Mbah kan, yang bilang ke warga-warga sini, kalau tadi pagi aku dimarahi sama si Nia?” tandasnyaHei, namaku disebut. Kubiarkan saja dulu mbah Sarmi melayani mbok Inah, aku penasaran apa yang akan terjadi.“Su’udzon kamu, Nah. Nyebut gusti Allah, kamu sendiri tahu, kalau disana bukan Mbah saja, kan?”“Halah, tapi Mbah yang lebih senior. Mereka mana berani sama aku, apalagi ceritain kejadian tadi,”“Senior?
*Jangan berduka, apa pun yang hilang darimu akan kembali lagi dalam wujud lain (Jalaludin Rumi)****‘ORANG MISKIN (KELUARGA ARMAN) DILARANG BELANJA’Tulisan dengan arang hitam itu terlihat jelas dimataku. Dua orang wanita yang tengah belanja segera beranjak ketika melihat kedatangan kami.Belum sempat kakiku melangkah, cekalan tangan Taufik di bahuku membuatku menolehnya.“Biar Taufik aja, Kak.” Diraihnya batang kayu seukuran tangan orang dewasa yang ada di samping jalan setapak ini. Aku terkejut, gawat.“Fik, jangan pakai kekerasan,” kali ini aku yang mencekal tangannya.“Taufik!”Suara bariton bapak terdengar dari belakang. Derapan langkah besar juga terdengar jelas menuju arah kami.“Apakah Bapak pernah mengajari kalian seperti ini?” ucapnya pelan, tapi mampu membuatku dan Taufik berhenti untuk menghi
*Ilmu itu lebih baik daripada harta karena harta itu harus kamu jaga, sementara ilmu akan menjagamu.* - Ali bin Abi Thalib***Suara tangisan mbok Inah yang mengucapkan kata maaf, terdengar sampai ke dapur. Hingga bapak mengucapkan suatu kalimat yang membuatku terkejut.“Apa??” teriakku, Taufik seketika langsung membekap mulutku sambil melototkan matanya.“Nia, Taufik, kemari!” panggil bapak tegas.“I … iya, Pak,” Taufik menoyor kepalaku pelan, ia berjalan mendahuluiku.“Duduk!” perintah bapak ketika kami sudah berada di ruang tamu.“Kamu, Nia. Minta maaf sama Inah, atas apa yang telah kamu lakukan di surau.”Jika bapak sudah menyatakan pendapatnya pada kami, berarti itu adalah suatu perintah yang harus segera dilaksanakan. Kulihat emak, sebagai tanda protes. Emak hanya mengangguk, menyetujui kalimat bapak. Kuperba
*Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu.* - Imam Syafi’i***Emak mengenakan gamis putihnya, lengkap dengan jilbab instan dengan warna senada, pakaian hari raya Idul Fitri tiga tahun yang lalu, katanya. Baju yang aku dan bang Ilham beli dan kirimkan ke emak dikampung.Ada senyum yang selalu melekat di wajahnya, senyum yang sulit diartikan. Begitupun bapak, sejak siang tadi ia selalu berdiri di depan pintu, pun menggunakan pakaian warna senada dengan emak. Kopiahnya pun tak pernah terlepas sejak tadi.Taufik tidak terlihat, kata bapak, ia akan sibuk untuk sementara waktu. Aku duduk di sudut ruangan tamu ini, memeluk lutut seraya terus memperhatikan jam dinding berputar.Ah, padahal katanya, paling lama tiga jam lagi ia akan sampai, tapi, rindu ini sudah tidak bisa kutahan. Jam pun seakan enggan untuk berputar.***"Nia, ayo sholat ashar dulu,"
*Segala perbuatan sekecil apapun, nantinya pasti akan dipertanggungjawabkan****Gubrak, terdengar seperti ada barang yang terjatuh.Bergegas kulihat sisi rumah, Taufik mengikuti, ternyata emak menjatuhkan sampah yang ada dalam karung."Emak kenapa?" kubimbing emak berjalan memasuki rumah melalui pintu dapur. Taufik kembali mengumpulkan sampah yang sedikit berserakan."Emak duduk aja, biar Nia dan Taufik yang beberes." Wajah emak masih meyiratkan kesedihan, terlihat jelas ada kerinduan dimatanya."Emak nggak kenapa-kenapa, nduk. Oia, sudah beberapa hari ini kamu izin tidak sekolah. Apa tidak jadi masalah?""Alhamdulillah, sekolah kasih izin untuk cuti selama tujuh hari, Mak. Besok Nia juga udah kembali mengajar," jelasku.Sepertinya nanti saja aku tanyakan kembali perihal surat Taufik, masalah pendaftaran sekolahnya harus segera cepat diselesaikan."Assalamu'alaik
*Kekayaan, umur, dan popularitas itu seperti minum dari air lautan yang asin. Semakin kau minum, semakin haus yang kamu dapatkan.* - Shaykh Ahmad Musa Jibril***“Taufik!”Seorang pria bertubuh tambun, telah berdiri di hadapan kami. Wajahnya menahan amarah, terlihat jelas juga dari gestur tubuhnya.“Bilang sama bapakmu yang miskin itu, apa maksudnya ia menemui camat Jatisari? Kau pikir aku takut, hah!?” ucapnya emosi.Aku dan Taufik segera bangkti dari duduk.“Ck, kalau bapak tidak takut, kenapa sekarang, Bapak seperti cacing kepanasan?” tantang Taufik, ia membusungkan sedikit dadanya.“Apa kau bilang?! Anak bau kencur seperti mu tidak pernah diajari sopan santun, apa? Dasar miskin akhlak, cuih!” ludahnya ke sembarang temp
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya), Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32).Pernikahan merupakan suatu bentuk keseriusan dua orang dalam sebuah hubungan. Selain sebagai bentuk cinta dan kasih sayang, pernikahan dalam Islam merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.Selain itu, menikah juga menjadi salah satu cara memperkuat ibadah. Hal ini sesuai dengan hadits tentang pernikahan yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang hamba menikah, maka telah sempurna separuh agamanya. Maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya.”🍀🍀🍀“Bagaimana? Apa masih ada yang tertinggal?” Intan memperhat
“Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula (begitu pula sebaliknya). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang melimpah (yaitu: Surga)” (Qs. An Nuur (24) : 26).Ya Allah, dengan Rahmat dan Ridho-Mu perkenankanlah tautan cinta buah hati kami :<span;>Nia ApriliaPutri ke-2 dari Bpk. Arman Wahyudi & Ibu HalimahDengan<span;>Satria ArigayoPutra ke-2 dari Bpk. Bagus Ambarga & Ibu Puji Indah KasturiAkad nikah dan resepsi, Insya Allah akan dilaksanakan pada :Hari : Sabtu, 16 Oktober 2021
Terimakasih sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya.❤❤❤Apa yang kita tanam, itu juga yang akan kita tuai. Pepatah nasehat yang tepat disandandangkan untuk Lastri, wanita yang seumuran denganku itu terlihat sangat mengenaskan menggunakan pakaian orange dari balik meja.Hari ini, aku sengaja mengunjungi Lastri ke Polres. Ada begitu banyak pertanyaan yang harus aku ajukan untuknya.“Apa yang kamu inginkan, Lastri? Dari keluargaku, tentunya.”Lastri hanya mencebikkan mulut, aura marah masih terlihat jelas dari kedua matanya.“Aku tidak pernah membuat masalah denganmu, pun dengan keluarga kamu, Lastri. Jadi, mengapa kamu selalu mencari masalah?”Dua orang polisi wanita ikut serta menemani kami di ruangan yang terbilang cukup sempit ini. Dengan sedikit memohon kepada Br
Aku sudah mengelilingi pemakaman ini sebanyak dua kali, tidak kuhiraukan semak belukar yang meliliti gamis. Nihil, tidak ada tanda-tanda keberadaan Bella.Jejak langkah Bella ditanah juga tidak terlihat. Ya Allah, Bella kamu dimana?Kutarik nafas pelan, Nia kamu harus tenang. Tenang. Aku kembali menaiki motor, setidaknya aku tidak perlu dulu mengabarkan kehilangan Bella. Mungkin saja Bella singgah ke rumah … tidak mungkin. Bella tidak tahu siapa pun kecuali rumah mbah Sarmi dan mbok Inah. Kuputar kemudi motor, menuju kedai mbok Inah, pegal gas kutarik kuat. Masih terasa, sisa-sisa rumput liar masih menggantung di gamisku.“Assalamualaikum. Mbok, Mbok Inah.”Aku berteriak memanggil namanya. Tumben kali ini, kedai mbok Inah tertutup rapat, tapi masih terlihat pintu samping terbuka.“Waalaikumsalam. Lewat samping,” ujar seseorang dari dalam rumah.“Mbok, apakah Bella ada d
“Pak, bagaimana ini?”Bapak memandang tante Diah yang berada di balik kaca. Sedangkan emak, memberanikan diri masuk ke dalam ruangan. Mencoba untuk mengajak tante Diah berbicara. Sudah dua hari, tante Diah belum sadarkan diri. Kemarin, dokter mengatakan kondisi tante Diah sempat drop. Tetapi kembali stabil, malah lebih baik dari sebelumnya, ujarnya.‘Karena hantaman di kepala, ibu Diah belum sadarkan diri. Tetapi ia akan bereaksi jika mendengar suara orang-orang yang dikenalnya.’Mendengar ucapan dokter, emak dua hari ini selalu menyempatkan diri menjenguk tante Diah. Sebenarnya bapak tidak mau berada di rumah sakit, tetapi emak ngotot, tetap memaksa bapak ikut serta.“Taufik, jadi pulang?” Bapak berjalan ke arah kursi yang ada di samping pintu.“Jadi, Pak. Insyaallah, sore sudah sampai.”“Hem.”Aku mengikuti bapak, ya
Terima kasih sudah meninggalkan jejak like dan komentar nya. 🌹🌹🌹Aku terhenyak, membaca status Lastri.'HAMPIR SAJA!!! BERDOALAH, BELUM TENTU BESOK KAMU BISA SELAMAT’Tunggu, apakah yang ia maksud adalah kejadian menyerempet tadi? Tapi bukankah orang yang berada di dalam sel, tidak boleh membawa handphone dan benda-benda lainnya?Malam semakin larut, angin malam masuk begitu saja dari celah-celah dinding kamarku.Ake kembali melihat status Lastri. Benar, statusnya dibuat saat aku sudah berada di rumah. Aku mengambil gambar dari status yang dibuat olehnya. Otakku kembali berjalan, ini bisa dijadikan bukti. Walaupun aku masih belum yakin, apakah benar ditujukan untukku. 🍀🍀🍀[Assalamualaikum. Mohon izin Bripka Agus, apakah hari ini ada waktu?].Tercentang dua tetapi masih berwarna
Sudah tiga minggu terlewati. Satu bulan lagi, acara pernikahanku akan dilaksanakan. Tidak pernah terdengar kabar tentang tante Diah. Terkadang, setelah pulang mengajar, aku menyempatkan untuk melewati rumah Tante Diah. Rumah peninggalan paman Wahyu tersebut, masih di segel oleh rentenir. Karena, setiap aku melewatinya, masih sering terlihat dua orang pria, menjaga rumah.Bapak dan emak juga tidak pernah bertanya atau mencari tahu keberadaan tante Diah. Tapi seiring waktu, setelah pengusiran tante Diah dari rumah. Pernah terdengar dari emak, bahwa bapak pernah mencari tahu keberadaan adiknya itu, melalui lek Ipul.Alhamdulillah, Taufik kembali mengukir prestasinya. Ia lulus ketika mengikuti tes kesehatan, tes psikologi, integritas dan kejujuran. Pengumuman resmi sebagai praja IPDN akan diumumkan akhir bulan depan. Taufik juga akan pulang dua hari lagi, setelah menyelesaikan segala urusannya.🍀🍀🍀Semalam, aku d
Terima kasih sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya.🍀🍀🍀Mungkin Intan juga memberitakan aksi Sumi pada Bripka Agus, karena setelah bapak mematikan ponsel, sebuah pesan aku terima dari Bripka Agus yang mengirim lokasi kejadian.Bapak segera menelpon lek Ipul untuk mengantarkan kami. Lokasi yang terbilang cukup jauh, butuh waktu satu jam untuk mencapai sungai tersebut.Jembatan yang digunakan Sumi terlihat ramai oleh penduduk setempat, garis polisi terpasang di tengah jembatan. Ah, benarkan Sumi melakukan bunuh diri? Ini semua bagai mimpi bagiku.Tante Diah sudah beberapa kali pingsan, isak tangisnya tidak mampu melawan suara arus sungai yang ada di depan mata. Polisi dan beberapa relawan terlihat sibuk mencari jasad Sumi menggunakan kapal boat.“Nia,”Bripka Agus berdiri di seberang garis polisi, tanpa mengenakan pakaian dinasnya. Aku berjalan mendekat, meninggalkan tante D
Terima kasih sudah meninggalkan jejak like dan komentarnya.🍀🍀🍀Dua minggu telah berlalu sejak Sumi sadar dan sejak itu pula Bapak tidak pernah lagi mengunjungi Sumi dan tante Diah di rumah sakit. Taufik juga sudah berangkat, mengikuti tahap tes selanjutnya tiga hari yang lalu. Insyaallah, ia akan kembali untuk mengikuti acara pernikahanku.Alhamdulillah, ketenangan kembali dalam keluargaku. Masalah ladang bapak? Sudah beberapa bulan ini bapak tidak pernah lagi menyetorkan sepeserpun uang kepada pak Gunawan. Sekarang kami masih mengolah ladang seperti biasanya. Pak Gunawan juga tidak pernah lagi menampakkan wajahnya di hadapan kami. Kabar yang aku dengar, pak Gunawan sudah dinonaktifkan dari jabatannya sebagai kepala desa. Ah, mungkin beliau masih sibuk mengurus kedua anaknya yang masih setia di dalam bilik jeruji.Aku juga sudah mencabut laporan terkait penjambreta