Home / Romansa / Love between Cubicles! / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Love between Cubicles!: Chapter 1 - Chapter 10

14 Chapters

1. Nasib Nahas di Hari Ulang Tahun

Alarm pukul lima pagi berbunyi nyaring. Aku terbangun dan merasa pusing. Mengumpat kecil, kucari-cari ponsel sialan itu di bawah bantal di sebelahku. Aha, dapat! Dengan segera kumatikan alarm yang memang berbunyi setiap jam lima pagi itu. Seandainya ini adalah hari Minggu, tentu aku lebih suka kembali ke alam mimpi dan bangun jam satu atau dua siang. Lalu, menyeduh kopi, memesan pizza dan bermalas-malasan sepanjang hari sambil membaca novel atau menonton drama Korea di Netflix. Sayang, sungguh sayang, ini adalah hari Senin! Permulaan minggu yang biasanya menentukan kelancaran pekerjaanku seminggu penuh. Jika aku bersemangat di hari Senin pagi dan memperoleh banyak keberuntungan selama seharian penuh itu, biasanya hari-hari selanjutnya akan terasa mudah. Tetapi, sebaliknya, jika hari Senin-ku kacau dan banyak kutemui kegagalan sepanjang hari itu, sudah bisa dipastikan hari-hari berikutnya akan terasa berat, seperti di neraka. Sayangnya, pagi ini aku tak merasakan sedikitpun s
Read more

2. Kejutan dari Bu Inka

Ojek online membawaku membelah jalanan kota yang mulai memadat. Aku sempat berselisih paham dengan driver karena menurutku dia bodoh, tak kunjung bisa menemukan lokasiku. Jelas-jelas aku sudah menuliskan titik jemput di halte bus Rawasari, tetapi dia masih juga meneleponku untuk bertanya. Aku memang tidak suka menerima telepon di tengah keramaian.Akhirnya sepeda motor berbodi lebar yang membuat kedua pahaku pegal itu berhenti di depan kantorku yang berada di sebuah gedung berlantai lebih dari sepuluh. Aku membayarnya dengan selembar lima puluh ribuan dan sialnya tidak ada uang kembalian. Yah, mau tidak mau, aku harus merelakan uang sebesar lima belas ribu melayang. Padahal lumayan untuk beli gado-gado siang nanti."Ikhlas nih, Buk?""Ikhlas. Ambil aja, Pak." jawabku ketus.Ojek online itu mengegas motornya setelah mengucapkan terima kasih. Dia bukan saja membuatku kesal karena tidak punya uang kembalian, tetapi juga karena menyapaku dengan panggilan "Ibu
Read more

3. Pria dalam Setelan Hitam

Seluruh perwakilan sub-divisi sudah duduk manis mengelilingi meja rapat. Aku juga sudah berkoordinasi dengan kepala OB terkait hal konsumsi. Asal tahu saja, orang-orang di kantor ini bermulut lebar semua. Rapat sebentar saja, mereka menuntut adanya camilan. Tak jarang beberapa orang hanya datang untuk setor muka dan menikmati kue.Ada tiga divisi besar di bawah managemen kantor ini, yaitu, HRD, Keuangan dan Procurement. Masing-masing divisi punya satu atau dua sub-divisi. Total ada delapan sub-divisi yang itu berarti ada sebelas kepala yang menjadi anggota rapat, di luar Bu Lauren dan aku.Aku sudah menyiapkan slide presentasi dengan bahan yang diberikan Bu Lauren satu jam yang lalu. Tak sia-sia rupanya aku dulu pernah ikut kursus singkat membuat tampilan power point yang menarik. Bu Lauren selalu senang dengan tampilan presentasi yang kukerjakan. Setelah yakin semuanya beres (seperti memeriksa pointer dan mengecek suhu ruangan) aku baru bisa menyandarkan punggungku ke
Read more

4. Bob Dylan

Lelaki dalam balutan setelan serba hitam dengan kemeja soft peach itu berdiri di samping Bu Lauren dan membungkuk memberi salam sebelum dipersilakan duduk. Bu Lauren bilang namanya Bob Dylan. Aku ingat dia adalah lelaki yang gagal masuk lift tadi pagi gara-gara aku enggan menekan tombol hold. Tiba-tiba perutku bergejolak. Aku merasa tidak nyaman. Siapakah Bob Dylan dan untuk apa dia ada di sini?“Saudara-saudara,” Bu Lauren memulai lagi, “saya punya suatu hal penting yang akan saya sampaikan. Tadinya saya ingin mengumumkannya tepat pada harinya, tetapi karena satu dan lain hal, saya rasa itu tidak bijak.”Semua pasang mata yang ada di ruangan ini menuju ke satu titik. Bu Lauren. Perutku bergejolak lagi. Apakah Bu Lauren akan mengumumkan pertunangan? Atau malah pernikahan? Dengan lelaki berondong itu? Rasanya tidak mungkin. Pasti sesuatu yang akan disampaikan oleh bosku itu jauh lebih buruk dari sekadar pengumuman perubahan yang menyangkut status
Read more

5. Gadis Hujan

Kutatap pantulanku yang tampak letih di cermin. Rambut panjang sebahuku kucepol dengan asal di bagian atas, menyisakan anak-anak rambut yang tak rapi di bagian kening. Muka yang baru saja kubasuh dengan air dingin tampak pucat dan tak menarik. Aku cukup beruntung dengan warna kulit cerah dan sedikit warisan proporsi wajah yang manis dari nenekku. Tetapi, itu tidak cukup menolong. Pukul tiga sore di tempat kerja begini hanya menyisakan sepasang alis yang telah pudar warna arangnya, sepasang bibir yang pucat dan kering dan sisa keringat yang mungkin saja menguarkan bau tak sedap.Aku mengeluh lagi di depan cermin. Seharusnya aku belajar dari para gadis itu. Kini aku menyesal mengkritik penampilan dan gaya hidup mereka. Bu Lauren juga menyebalkan. Buat apa dia menyuruhku untuk menemani Pak Bob makan malam? Memangnya dia tak berani makan malam sendiri? Oh, tidak…Aku kembali ke ruang Manajer Kantor dan mendapati Bu Lauren dan Pak Bob sedang serius berdiskusi. Bu Ana
Read more

6. Metamorfosis

Aku kembali ke masa kini. Kupandangi Pak Bob dan secarik post it itu bergantian. Hanya orang-orang dari SMANSA Petir yang memanggilku Gadis Hujan. Itu pun angkatan tertentu saja. Generasi Tiktok tentu tidak kenal seseorang dari sekolah mereka yang dipanggil demikian. Lama kutatap wajah calon bos baruku itu dari tempatku duduk dalam diam. Diam-diam aku berpikir jangan-jangan Pak Bob dulunya bersekolah di SMA yang sama denganku.Aku ingat ada seorang kakak kelas yang bernama Bob juga ketika SMA dulu. Tetapi entah siapa nama lengkapnya. Jika melihat penampilannya, rasanya tidak ada mirip-miripnya dengan Pak Bob calon bos baruku itu.Bob si kakak kelas berbadan tinggi kurus dengan rambut belah tengah yang terlihat konyol. Dan yang paling membuat orang risih adalah gigi majunya yang dipasang semacam kawat gigi yang keberadaannya justru makin mengundang orang untuk mengejek. Ya, seingatku Bob si kakak kelas adalah pecundang sekolah yang sering jadi sasaran risak bukan saja o
Read more

7. Ayam dan Kentang

Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa
Read more

8. Perasaan Insecure pada Perempuan Cantik

Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Read more

9. Pernah Cantik di Masa Lalu

Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Read more

10. Mimpi

Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status