Ojek online membawaku membelah jalanan kota yang mulai memadat. Aku sempat berselisih paham dengan driver karena menurutku dia bodoh, tak kunjung bisa menemukan lokasiku. Jelas-jelas aku sudah menuliskan titik jemput di halte bus Rawasari, tetapi dia masih juga meneleponku untuk bertanya. Aku memang tidak suka menerima telepon di tengah keramaian.
Akhirnya sepeda motor berbodi lebar yang membuat kedua pahaku pegal itu berhenti di depan kantorku yang berada di sebuah gedung berlantai lebih dari sepuluh. Aku membayarnya dengan selembar lima puluh ribuan dan sialnya tidak ada uang kembalian. Yah, mau tidak mau, aku harus merelakan uang sebesar lima belas ribu melayang. Padahal lumayan untuk beli gado-gado siang nanti.
"Ikhlas nih, Buk?"
"Ikhlas. Ambil aja, Pak." jawabku ketus.
Ojek online itu mengegas motornya setelah mengucapkan terima kasih. Dia bukan saja membuatku kesal karena tidak punya uang kembalian, tetapi juga karena menyapaku dengan panggilan "Ibu". Huh, memangnya penampilanku setua itu?
Sudah banyak orang berdatangan di gedung perkantoran ini. Aku menyapa beberapa orang yang kukenal. Kucuci tangan di wastafel yang disediakan dan melewati security yang menodongkan thermogun ke dahiku. Meski kurang tidur, ternyata aku tidak demam. Ternyata, fisikku kuat juga, ya.
Bersama segerombolan karyawan, aku masuk ke sebuah lift. Aku hampir saja ketinggalan. Ketika pintu lift akan menutup, tiba-tiba seorang pria dalam setelan hitam datang entah dari mana. Ekspresi wajahnya seperti berkata "Tunggu aku, kumohon!", tetapi terlambat; pintu lift tertutup dan aku tak sudi bergerak menekan tombol 'hold'.
Aku tersenyum sinis pada pria yang tak pernah kulihat sebelumnya itu dan sepertinya menangkap senyumku karena kedua matanya menyipit seperti mengirim suatu pesan padaku. Tiba-tiba aku merasa tidak asing dengan sepasang mata itu dan ini bukanlah firasat yang baik.
"Selamat pagi, Bang Jono...! Selamat pagi, Elsa..." Kusapa satpam dan anak front office dengan semangat berlebih. "Ciee..yang pacaran pagi-pagi..."
"Eh..selamat pagi Mbak Am." jawab Jono salah tingkah yang langsung disikut oleh Elsa.
"Ih, Bang Jono. Kan saya sudah bilang, saya nggak suka dipanggil Am." protesku kesal.
"Iya, nih, Bang Jono. Susah dibilangin." Elsa membelaku. "Maafin Bang Jono ya, Kak."
"Tuh, Elsa aja tahu kalau saya nggak suka dipanggil Am. Saya sukanya dipanggil..."
"Kak Mbik!" Sambar Elsa sambil mengacungkan jari telunjuknya ke udara.
"Hiiih. Elsa!" teriakku histeris. "Emangnya saya kambing yang suka mengembik apa?"
"Hihihihi." Kedua sejoli itu malah kompak tertawa.
Pusing dengan ulah keduanya, aku memilih segera masuk ruangan setelah terlebih dulu menempelkan jari telunjuk ke mesin absen. Aku tahu bahwa aku terlambat dua puluh menit dan berencana membereskannya dengan menyodorkan sekotak martabak telur spesial ke kepala personalia, Pak Hadi Suwongso.
Bu Inka Lauren belum datang ketika aku tiba di mejaku. Kami berada di dalam satu ruangan dengan mejanya yang lebih besar. Sebagai sekertarisnya, Bu Lauren menghendaki aku selalu ada di sisinya ketika jam kerja supaya jika sewaktu-waktu membutuhkanku, dia dapat dengan mudah menemukanku. Aku suka bekerja dengan bosku itu di luar alasan jobdecs yang banyak dan detil. Perusahaan yang berani menggajiku dengan nominal delapan digit dengan kepala belasan pastilah mengharapkan hasil kerja yang sempurna dan detil. Di luar hal-hal professional, aku merasa Bu Inka Lauren tidak saja seorang mentor, tetapi sudah seperti seorang teman bagiku. Ada banyak kesamaan di antara kami, salah satunya adalah kami sama-sama masih single di usia yang tak lagi muda. Ya, kami berbagi keresahan yang sama. Kami berbagi beban sebagai perawan tua. Bedanya, Bu Lauren, demikian dia biasa disapa, terlihat lebih santai dan bersikap masa bodoh dengan gunjingan-gunjingan. Dia lebih terlatih dariku, tentu saja.
“Oh, segarnya ruangan ini.”
Suara Bu Lauren menyadarkanku dari lamunan singkat.
“Pagi, Mom. Cantik deh, blusnya.” Aku memang menyapanya ‘mom’ alih-alih ‘bu’. Kecuali kalau sedang rapat besar di hadapan top management.
“Ih, kamu bisa aja deh, ngerayunya. Pagi…pagi…” Bu Lauren menanggapai candaanku dengan riang. “Breakfast yet?”
Aku mengangguk sambil menepuk-nepuk perut. “I’m full.”
“Bagus! Kita membutuhkan energi yang besar hari ini, Beb!”
Bu Lauren memang menyinggung soal perubahan besar yang akan terjadi di divisi kami dalam rapat internal terakhir sebulan yang lalu. Tetapi, waktu itu dia tidak ingin membocorkan lebih dulu. Aku sebagai sekertarisnya saja juga tidak diberi kisi-kisi soal perubahan yang dimaksud. Rumor yang beredar mengatakan jika Bu Lauren akan naik jabatan dan otomatis posisi yang didudukinya sekarang sebagai Manager Kantor akan beralih kepadaku. Meski bersemangat dan senang dengan kemungkinan itu, aku memilih pura-pura tak peduli dan tidak berusaha mengoreknya dari Bu Lauren.
“Bisa jadwalkan meeting dadakan jam sebelas nanti, Honey?” pinta Bu Lauren, “dan kopi pagiku, jangan lupa.”
Bu Lauren memang sering memanggilku ‘honey, ‘yang’ atau ‘beb.’ Jika belum lama kenal kami, orang pasti berpikir kami berdua menjalin hubungan yang tidak biasa. Hampir enam tahun mengenal bosku itu, aku yakin betul Bu Lauren masih suka lelaki. Jadi, tidak mungkin ada apa-apa di antara kami.
Aku mengetik pesan di grup whatssap khusus Kantor 1 untuk memberitahu orang-orang soal rapat dadakan jam sebelas hari ini. Orang-orang yang sudah membaca pesan tersebut langsung merespon dengan satu kata; ‘siap,’ ‘oke,’ atau ‘baik.’
Aku melirik ponsel sekali lagi dan kulihat Bu Lauren mengetikkan sesuatu yang sepertinya akan sangat panjang karena lama sekali dia menyelesaikannya.
Bu Lauren: Selamat ulang tahun, sekertaris kesayangan kita @Kinasih. Semoga Tuhan selalu memberkati dengan kesehatan dan kebahagiaan berlimpah.
Ternyata bosku itu mengetik ucapan ulang tahun untukku di grup. Kata-kata ucapannya memang sesingkat dan sepadat itu, tetapi diikuti oleh aneka macam emoticon dengan jumlah yang sangat kelewatan banyaknya sampai membuat mataku sakit. aku bingung kenapa tiba-tiba Bu lauren selebay ini.
Tak pelak orang-orang di grup mulai merespon pesan itu dengan ucapan selamat ulang tahun yang bertubi-tubi diikuti oleh permintaan traktiran makan siang. Hellin, seorang staff keuangan mengucapkan selamat ulang tahun untukku disertai doa-doa semoga aku lekas menemukan jodoh tahun ini.
Kulesatkan tatapan mata tajam pada Bu Lauren. Dia tahu aku tidak suka merayakan ulang tahun dan selama ini lebih suka memberi pesta kejutan secara lebih privat. Bu Lauren balas menatapku dengan sorot mata meminta maaf. Tangan kanannya terangkat ke udara dengan simbol damai yang dibuat oleh kedua jarinya.
“Akan ada sedikit kejutan untukmu. Kuharap kamu akan menyukainya”
Alisku bertaut. “Well, kuharap itu bukan kejutan yang menyebalkan.”
Bu Lauren meletakkan ponselnya di meja dan mulai menatapku serius. "Menyebalkan atau tidak, itu tergantung perspektifmu."
Seluruh perwakilan sub-divisi sudah duduk manis mengelilingi meja rapat. Aku juga sudah berkoordinasi dengan kepala OB terkait hal konsumsi. Asal tahu saja, orang-orang di kantor ini bermulut lebar semua. Rapat sebentar saja, mereka menuntut adanya camilan. Tak jarang beberapa orang hanya datang untuk setor muka dan menikmati kue.Ada tiga divisi besar di bawah managemen kantor ini, yaitu, HRD, Keuangan dan Procurement. Masing-masing divisi punya satu atau dua sub-divisi. Total ada delapan sub-divisi yang itu berarti ada sebelas kepala yang menjadi anggota rapat, di luar Bu Lauren dan aku.Aku sudah menyiapkan slide presentasi dengan bahan yang diberikan Bu Lauren satu jam yang lalu. Tak sia-sia rupanya aku dulu pernah ikut kursus singkat membuat tampilan power point yang menarik. Bu Lauren selalu senang dengan tampilan presentasi yang kukerjakan. Setelah yakin semuanya beres (seperti memeriksa pointer dan mengecek suhu ruangan) aku baru bisa menyandarkan punggungku ke
Lelaki dalam balutan setelan serba hitam dengan kemeja soft peach itu berdiri di samping Bu Lauren dan membungkuk memberi salam sebelum dipersilakan duduk. Bu Lauren bilang namanya Bob Dylan. Aku ingat dia adalah lelaki yang gagal masuk lift tadi pagi gara-gara aku enggan menekan tombol hold. Tiba-tiba perutku bergejolak. Aku merasa tidak nyaman. Siapakah Bob Dylan dan untuk apa dia ada di sini?“Saudara-saudara,” Bu Lauren memulai lagi, “saya punya suatu hal penting yang akan saya sampaikan. Tadinya saya ingin mengumumkannya tepat pada harinya, tetapi karena satu dan lain hal, saya rasa itu tidak bijak.”Semua pasang mata yang ada di ruangan ini menuju ke satu titik. Bu Lauren. Perutku bergejolak lagi. Apakah Bu Lauren akan mengumumkan pertunangan? Atau malah pernikahan? Dengan lelaki berondong itu? Rasanya tidak mungkin. Pasti sesuatu yang akan disampaikan oleh bosku itu jauh lebih buruk dari sekadar pengumuman perubahan yang menyangkut status
Kutatap pantulanku yang tampak letih di cermin. Rambut panjang sebahuku kucepol dengan asal di bagian atas, menyisakan anak-anak rambut yang tak rapi di bagian kening. Muka yang baru saja kubasuh dengan air dingin tampak pucat dan tak menarik. Aku cukup beruntung dengan warna kulit cerah dan sedikit warisan proporsi wajah yang manis dari nenekku. Tetapi, itu tidak cukup menolong. Pukul tiga sore di tempat kerja begini hanya menyisakan sepasang alis yang telah pudar warna arangnya, sepasang bibir yang pucat dan kering dan sisa keringat yang mungkin saja menguarkan bau tak sedap.Aku mengeluh lagi di depan cermin. Seharusnya aku belajar dari para gadis itu. Kini aku menyesal mengkritik penampilan dan gaya hidup mereka. Bu Lauren juga menyebalkan. Buat apa dia menyuruhku untuk menemani Pak Bob makan malam? Memangnya dia tak berani makan malam sendiri? Oh, tidak…Aku kembali ke ruang Manajer Kantor dan mendapati Bu Lauren dan Pak Bob sedang serius berdiskusi. Bu Ana
Aku kembali ke masa kini. Kupandangi Pak Bob dan secarik post it itu bergantian. Hanya orang-orang dari SMANSA Petir yang memanggilku Gadis Hujan. Itu pun angkatan tertentu saja. Generasi Tiktok tentu tidak kenal seseorang dari sekolah mereka yang dipanggil demikian. Lama kutatap wajah calon bos baruku itu dari tempatku duduk dalam diam. Diam-diam aku berpikir jangan-jangan Pak Bob dulunya bersekolah di SMA yang sama denganku.Aku ingat ada seorang kakak kelas yang bernama Bob juga ketika SMA dulu. Tetapi entah siapa nama lengkapnya. Jika melihat penampilannya, rasanya tidak ada mirip-miripnya dengan Pak Bob calon bos baruku itu.Bob si kakak kelas berbadan tinggi kurus dengan rambut belah tengah yang terlihat konyol. Dan yang paling membuat orang risih adalah gigi majunya yang dipasang semacam kawat gigi yang keberadaannya justru makin mengundang orang untuk mengejek. Ya, seingatku Bob si kakak kelas adalah pecundang sekolah yang sering jadi sasaran risak bukan saja o
Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa
Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
“Ada apa ini, kok muka Ambika merah banget?” celetuk Bu Lauren sekembalinya dia dari kamar mandi. “Kamu apain, Bob?” Sebelum sempat Bob membuka mulut, aku duluan menyahut, “Nggak papa kok, Mom. Cuma digombalin dikit sama Bob. Dasar, Bob kurang kerjaan.” Meski sedikit mengernyitkan dahi karena mungkin bingung dengan tingkah kami berdua, Bu Lauren tak mengusut lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. Wanita yang selalu tampil modis dan harum itu segera kembali ke mejanya dan memeriksa pekerjaan. Aku pun kembali ke mejaku dengan kertas artikel yang sudah beres dan segera mengirim email ke bulletin Pandawa. Di sela-sela pekerjaan itu entah kenapa mataku selalu otomatis mencuri pandang ke arah Bob tiap kali ada kesempatan. Sialnya, terhitung beberapa kali aku terpergok sendiri oleh Bob ketika sedang mencuri lih
Setelah berpanjang kali lebar memberi penjelasan pada ibu-ibu kompleks dan satpam mengenai hubunganku dengan Bob, akhirnya kami bisa berangkat kerja dengan tenang. Aku menghela nafas lega tatkala kami sudah sampai di basement tempat parkir gedung perkantoran. Sampai kami masuk lift dengan aku menenteng kantong belanja bekas berisi wadah-wadah makanan yang dibuat Bob tadi, semuanya masih aman terkendali. Maksudku, sepertinya tidak ada yang memergoki kami berdua. Meski jika seseorang dari kantor memergoki kami berangkat bersama, reaksinya tidak akan seheboh ibu-ibu kompleks, tetap saja aku tak punya energi lagi untuk menghadapi hal seperti ini. Selagi lift bergerak ke atas, Bob sibuk memeriksa pantulannya di dinding lift sambil berdeham-deham. Entahlah, mungkin dia sedang kerasukan jiwa Narcissus. Kuakui dia memang selalu tampil sempurna dengan setelan berkelas dan gel mahal pada rambutnya, tetapi menurutku seh
Dengan mata masih menyipit karena baru bangun tidur, aku berjalan dengan panik menuruni tangga dan menuju pintu ruang tamu. Ketika pintu telah terbuka, kudapati Bob berdiri di ambang pintu dengan pakaian yang sudah rapi. Melihat ekspresi yang disuguhkannya, sepertinya dia sedang menghakimiku yang masih belum mandi, bahkan baru bangun tidur di jam segini. “Apa?” kataku galak. “Jangan berani-berani mengejekku karena masih berantakan jam segini, ya. Ini karena aku nggak bisa tidur nyenyak semalam. Lagian ngapain sih ke sini pagi-pagi.” Tanpa menjawab todongan pertanyaanku, Bob menerobos portal lenganku seperti yang dia lakukan kemarin. Di ruang tengah, rupanya dia bertemu Bubu yang memang tak kumasukkan kembali ke kandangnya. “Hey, buddy! Kok semalam aku nggak lihat kucing ini?” tanya Bob yang mulai bermain-main dengan Bubu. Kelihatannya Bubu pun cepat akrab dengan laki-
Kulanjutkan acara minum susu rendah lemak yang sempat terjeda oleh video call dari Bob tadi. Setelah beberapa gelas yang membuat perutku kembung, aku berhenti dan mengembalikan kotak susu ke dalam lemari pendingin dan meletakkan gelas kotor ke dalam sink. Ketika berniat untuk kembali ke kamar di lantai dua, kudengar Bubu, kucing kesayanganku, mengeong dari kandangnya di bagian belakang rumah ini. Ya, Tuhan! Aku lupa menegok kucingku seharian kemarin. Betapa tidak, pagi-pagi aku berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa dan pulang malam. Kali terakhir aku mengajak Bubu bermain adalah Minggu sore yang itu berarti sudah dua hari yang lalu. Dengan langkah berjingkat, aku menuju area belakang yang kubagi menjadi dua bagian; satu area cuci-cuci, jemur dan setrika, dan sisanya adalah area rumah bubu. Aku selalu menjaga kebersihan tempat ini dan seluruh bagian rumahku dengan menyewa jasa tukang bersih-ber
Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa
Aku kembali ke masa kini. Kupandangi Pak Bob dan secarik post it itu bergantian. Hanya orang-orang dari SMANSA Petir yang memanggilku Gadis Hujan. Itu pun angkatan tertentu saja. Generasi Tiktok tentu tidak kenal seseorang dari sekolah mereka yang dipanggil demikian. Lama kutatap wajah calon bos baruku itu dari tempatku duduk dalam diam. Diam-diam aku berpikir jangan-jangan Pak Bob dulunya bersekolah di SMA yang sama denganku.Aku ingat ada seorang kakak kelas yang bernama Bob juga ketika SMA dulu. Tetapi entah siapa nama lengkapnya. Jika melihat penampilannya, rasanya tidak ada mirip-miripnya dengan Pak Bob calon bos baruku itu.Bob si kakak kelas berbadan tinggi kurus dengan rambut belah tengah yang terlihat konyol. Dan yang paling membuat orang risih adalah gigi majunya yang dipasang semacam kawat gigi yang keberadaannya justru makin mengundang orang untuk mengejek. Ya, seingatku Bob si kakak kelas adalah pecundang sekolah yang sering jadi sasaran risak bukan saja o