Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.
Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.
Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.
“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa ikut. Lagi ada urusan.”
Pak Bob memandangku. Aku mengangguk. “Saya ambil tas dulu.”
“Saya sudah periksa tulisan Bu Ambika. Nanti kita bicarakan sambil jalan.”
Astaga. Aku mengumpat dalam hati. Jam kerja sudah habis. Bisa tidak sih dia membiarkanku santai sedikit?
Di parkiran kami berpisah. Bu Lauren berlalu dengan Toyota Yaris merahnya sedangkan aku masuk ke mobil Pajero yang dikemudikan oleh Pak Bob.
“Mau ke mana kita, Pak?” tanyaku ketika kami sudah keluar dari area parkir dan sedang meluncur ke jalan raya.
“Kamu benar-benar nggak ingat saya?” tanya Pak Bob sambil menoleh padaku.
“Maksud Bapak?” Aku balas bertanya dengan berlagak bodoh.
Sejurus kemudian Pak Bob mengambil napas dalam-dalam dan berkonsentrasi menatap jalanan. Aku menimbang-nimbang apakah sebaiknya membuka percakapan mengenai masa SMA kami. Bagaimanapun, aku tidak bisa berpura-pura tak mengenalnya.
“Sebenarnya..”
Tanpa sengaja kami berdua mengucapkan kata yang sama di waktu yang hampir bersamaan. Menyadari hal itu, tawa kami pecah. “Kamu dulu, deh. Ladies first.”
“Sebenarnya, beberapa saat yang lalu saya menemukan fakta bahwa Bapak adalah kakak kelas saya sewaktu SMA,” ujarku berusaha datar.
“Begitu?” Pak Bob menoleh lagi. “Kalau begitu gimana kalau kamu berhenti memanggil saya Bapak?”
“Lalu saya harus panggil apa?”
Pak Bob sedikit memanyunkan bibirnya. “Mmm.. Saya cuma setahun lebih tua dari kamu. Panggil nama aja nggak papa, sih.”
Aku mengangguk setuju. Untung saja dia tak menyuruhku memanggilnya ‘Mas.’
“Jadi, kamu apa kabar Ambika, Si Gadis Hujan?” Bob melemparkan senyuman tipis ketika menanyakan itu. “Tiga belas tahun lho kita nggak ketemu.”
“Mmm…. Saya biasa-biasa aja. Kadang baik, kadang kacau. Hehe. Kamu sendiri ngilang ke mana setelah lulus SMA?”
“Saya kuliah di Singapura. Empat tahun di sana, kuliah sambil kerja.”
“Singapura? Wah, keren, ya, kamu.” Pujiku tulus. “Kamu sekolah di luar negeri dengan beasiswa?”
Bob terkekeh. “Saya nggak sepintar itu, sayangnya. Saya ikut Mama yang pindah ke Singapura setelah pisahan sama Papa.”
“Ups, sorry. Jadi orangtua kamu cerai?” Jujur aku kaget dengan informasi baru itu. Aku memang tak tahu-menahu soal latar belakang keluarga Bob.
“Iya. Mereka memutuskan berpisah begitu aku lulus SMA. Lalu Papa melanjutkan hidupnya di Pulau Jawa.”
Aku memasang wajah menyesal.
“Nggak ada yang salah kok dengan perpisahan. Toh mereka sudah melakukan yang terbaik sebagai orangtua.”
Aku mengangguk-angguk mencoba memahami. “Terus, setelah lulus, kamu ke mana?”
Bob mengedikkan kedua bahu. “Kapan-kapan, deh, saya ceritain. Sekarang giliran kamu, dong, yang cerita.”
Aku menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. “Cerita apaan? Bingung mau mulai darimana. Sudah saya bilang, hidup saya berjalan lurus-lurus aja”
“Sudah lama kamu di Nakula?”
Kuanggukkan kepala mantap. “Delapan tahun. Kalau kamu nggak ada, mungkin saya yang akan menggantikan Bu Lauren sebagai Manajer Kantor.”
Kini giliran Bob yang menyuguhkan ekspresi menyesal di wajahnya. “Maaf, ya, kalau saya sudah mencuri keberuntungan kamu.”
Kami memarkir mobil di basement WTC Batanghari, pusat perbelanjaan di tepi sungai Batanghari, sungai terpanjang di Sumatra yang konon menyimpan sisa-sisa kekayaan Kerajaan Sriwijaya dalam perutnya. Karena Bob perlu untuk beli beberapa kebutuhan sehari-seharinya kami meluncur ke restaurant cepat saji terlebi dulu. Rencananya kami akan berbelanja setelah makan.
Aku memilih gerai ayam goreng untuk makan malam kami yang terlalu awal ketika Bob menawariku beberapa pilihan. Ini adalah gerai ayam goreng dari brand Amerika Serikat yang terkenal dengan lelaki tua berjanggut dan bumbu rahasianya yang melegenda. Aku kangen dengan ayam goreng krispi yang renyah di luar serta lembut dan gurih di dalam. Dan ya, juga supnya yang creamy.
Bob memesan menu yang sama denganku dengan tambahan kentang extra large. Kami makan sambil bercerita soal kehidupan setelah SMA. Kuceritakan bahwa selulusnya aku dari SMA, aku kuliah di kampus swasta di Solo mengambil jurusan Akuntansi, lulus tepat waktu dan langsung pulang kampung dan diterima kerja di Pandawa Company sebagai administrasi HRD. Awal bekerja, aku tidak langsung diangkat sebagai staff tetap, melainkan karyawan kontrak yang hanya berhak atas upah minimum dan THR sebesar satu kali gaji.
Beruntung, satu tahun kemudian ada staff bagian Training yang resign sehingga aku punya kesempatan untuk mengajukan diri menempati posisi tersebut. Sekali lagi Dewi Fortuna berpihak padaku seperti ketika penerimaan siswa baru SMA paling favorit dulu. Aku lulus seleksi tiap tahap ujian dan top management memilihku sebagai pengganti staff Training yang resign.
“Jadi, kamu nggak pernah punya pengalaman kerja di tempat lain? Kalau kepikiran resign pernah nggak?”
“Nggak dan nggak.” Jawabku mantap sambil memasukkan nasi ke dalam mulut. “Saya tipe orang yang nggak suka keluar dari zona nyaman karena malas beradaptasi dan nggak suka tantangan.” Jelasku sejujur-jujurnya.
Bob menatapku serius. “Kok bisa sih kamu nggak ngerasa bosen? Jangan-jangan kamu akan bekerja di Nakula seumur hidup.”
“Apa salahnya?” tantangku.
“Ya, nggak ada yang salah, sih.” Bob mengedikkan kedua bahunya. “Kalau dapat promosi naik jabatan di pabrik lain, kamu mau?”
Aku berpikir sejenak. “Kayaknya enggak. Saya hanya akan keluar dari Nakula kalau sudah pensiun, dan....kalau saya punya mantan di kantor.”
Bob tergelak. “Ada-ada aja. Jadi kamu nggak pernah punya mantan orang Nakula?”
Aku menggeleng tegas.
“Lalu mantan kamu orang mana aja?”
“Ih, kepo!” Jeritku sengaja membuat Bob penasaran. “Udah ah, buruan makan kentangnya. Segini banyaknya kamu sendiri lho yang harus ngabisin. Saya udah kenyang.”
Kusudahi makanku dan menuju wastafel untuk membersihkan tangan. Tak kupedulikan Bob yang masih penasaran dengan jawaban atas pertanyaannya. Ketika aku kembali, Bob baru menghabiskan seperempat kentang goreng yang dipesannya. Mukanya tampak meringis karena kekenyangan.
“Bantuin makan, dong. Nggak kuat, nih.”
“Yee.. Siapa suruh beli yang ekstra besar.” Aku menggerutu tetapi tanganku ikut memasukkan potongan kentang itu ke dalam mulut. Sayang juga kalau dibuang.
Tak lama kemudian kami benar-benar selesai makan dan Bob telah mencuci tangannya di wastafel. Tampaknya dia juga sekalian menambah gel pada rambutnya dan menyemprotkan parfum karena ketika dia kembali, rambutnya terlihat lebih basah dan aroma tubuhnya tercium lebih harum.
Tiba-tiba kurasakan pipiku memanas lagi entah karena apa.
Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
Kulanjutkan acara minum susu rendah lemak yang sempat terjeda oleh video call dari Bob tadi. Setelah beberapa gelas yang membuat perutku kembung, aku berhenti dan mengembalikan kotak susu ke dalam lemari pendingin dan meletakkan gelas kotor ke dalam sink. Ketika berniat untuk kembali ke kamar di lantai dua, kudengar Bubu, kucing kesayanganku, mengeong dari kandangnya di bagian belakang rumah ini. Ya, Tuhan! Aku lupa menegok kucingku seharian kemarin. Betapa tidak, pagi-pagi aku berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa dan pulang malam. Kali terakhir aku mengajak Bubu bermain adalah Minggu sore yang itu berarti sudah dua hari yang lalu. Dengan langkah berjingkat, aku menuju area belakang yang kubagi menjadi dua bagian; satu area cuci-cuci, jemur dan setrika, dan sisanya adalah area rumah bubu. Aku selalu menjaga kebersihan tempat ini dan seluruh bagian rumahku dengan menyewa jasa tukang bersih-ber
Dengan mata masih menyipit karena baru bangun tidur, aku berjalan dengan panik menuruni tangga dan menuju pintu ruang tamu. Ketika pintu telah terbuka, kudapati Bob berdiri di ambang pintu dengan pakaian yang sudah rapi. Melihat ekspresi yang disuguhkannya, sepertinya dia sedang menghakimiku yang masih belum mandi, bahkan baru bangun tidur di jam segini. “Apa?” kataku galak. “Jangan berani-berani mengejekku karena masih berantakan jam segini, ya. Ini karena aku nggak bisa tidur nyenyak semalam. Lagian ngapain sih ke sini pagi-pagi.” Tanpa menjawab todongan pertanyaanku, Bob menerobos portal lenganku seperti yang dia lakukan kemarin. Di ruang tengah, rupanya dia bertemu Bubu yang memang tak kumasukkan kembali ke kandangnya. “Hey, buddy! Kok semalam aku nggak lihat kucing ini?” tanya Bob yang mulai bermain-main dengan Bubu. Kelihatannya Bubu pun cepat akrab dengan laki-
Setelah berpanjang kali lebar memberi penjelasan pada ibu-ibu kompleks dan satpam mengenai hubunganku dengan Bob, akhirnya kami bisa berangkat kerja dengan tenang. Aku menghela nafas lega tatkala kami sudah sampai di basement tempat parkir gedung perkantoran. Sampai kami masuk lift dengan aku menenteng kantong belanja bekas berisi wadah-wadah makanan yang dibuat Bob tadi, semuanya masih aman terkendali. Maksudku, sepertinya tidak ada yang memergoki kami berdua. Meski jika seseorang dari kantor memergoki kami berangkat bersama, reaksinya tidak akan seheboh ibu-ibu kompleks, tetap saja aku tak punya energi lagi untuk menghadapi hal seperti ini. Selagi lift bergerak ke atas, Bob sibuk memeriksa pantulannya di dinding lift sambil berdeham-deham. Entahlah, mungkin dia sedang kerasukan jiwa Narcissus. Kuakui dia memang selalu tampil sempurna dengan setelan berkelas dan gel mahal pada rambutnya, tetapi menurutku seh
“Ada apa ini, kok muka Ambika merah banget?” celetuk Bu Lauren sekembalinya dia dari kamar mandi. “Kamu apain, Bob?” Sebelum sempat Bob membuka mulut, aku duluan menyahut, “Nggak papa kok, Mom. Cuma digombalin dikit sama Bob. Dasar, Bob kurang kerjaan.” Meski sedikit mengernyitkan dahi karena mungkin bingung dengan tingkah kami berdua, Bu Lauren tak mengusut lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. Wanita yang selalu tampil modis dan harum itu segera kembali ke mejanya dan memeriksa pekerjaan. Aku pun kembali ke mejaku dengan kertas artikel yang sudah beres dan segera mengirim email ke bulletin Pandawa. Di sela-sela pekerjaan itu entah kenapa mataku selalu otomatis mencuri pandang ke arah Bob tiap kali ada kesempatan. Sialnya, terhitung beberapa kali aku terpergok sendiri oleh Bob ketika sedang mencuri lih
Alarm pukul lima pagi berbunyi nyaring. Aku terbangun dan merasa pusing. Mengumpat kecil, kucari-cari ponsel sialan itu di bawah bantal di sebelahku. Aha, dapat! Dengan segera kumatikan alarm yang memang berbunyi setiap jam lima pagi itu. Seandainya ini adalah hari Minggu, tentu aku lebih suka kembali ke alam mimpi dan bangun jam satu atau dua siang. Lalu, menyeduh kopi, memesan pizza dan bermalas-malasan sepanjang hari sambil membaca novel atau menonton drama Korea di Netflix. Sayang, sungguh sayang, ini adalah hari Senin! Permulaan minggu yang biasanya menentukan kelancaran pekerjaanku seminggu penuh. Jika aku bersemangat di hari Senin pagi dan memperoleh banyak keberuntungan selama seharian penuh itu, biasanya hari-hari selanjutnya akan terasa mudah. Tetapi, sebaliknya, jika hari Senin-ku kacau dan banyak kutemui kegagalan sepanjang hari itu, sudah bisa dipastikan hari-hari berikutnya akan terasa berat, seperti di neraka. Sayangnya, pagi ini aku tak merasakan sedikitpun s
“Ada apa ini, kok muka Ambika merah banget?” celetuk Bu Lauren sekembalinya dia dari kamar mandi. “Kamu apain, Bob?” Sebelum sempat Bob membuka mulut, aku duluan menyahut, “Nggak papa kok, Mom. Cuma digombalin dikit sama Bob. Dasar, Bob kurang kerjaan.” Meski sedikit mengernyitkan dahi karena mungkin bingung dengan tingkah kami berdua, Bu Lauren tak mengusut lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. Wanita yang selalu tampil modis dan harum itu segera kembali ke mejanya dan memeriksa pekerjaan. Aku pun kembali ke mejaku dengan kertas artikel yang sudah beres dan segera mengirim email ke bulletin Pandawa. Di sela-sela pekerjaan itu entah kenapa mataku selalu otomatis mencuri pandang ke arah Bob tiap kali ada kesempatan. Sialnya, terhitung beberapa kali aku terpergok sendiri oleh Bob ketika sedang mencuri lih
Setelah berpanjang kali lebar memberi penjelasan pada ibu-ibu kompleks dan satpam mengenai hubunganku dengan Bob, akhirnya kami bisa berangkat kerja dengan tenang. Aku menghela nafas lega tatkala kami sudah sampai di basement tempat parkir gedung perkantoran. Sampai kami masuk lift dengan aku menenteng kantong belanja bekas berisi wadah-wadah makanan yang dibuat Bob tadi, semuanya masih aman terkendali. Maksudku, sepertinya tidak ada yang memergoki kami berdua. Meski jika seseorang dari kantor memergoki kami berangkat bersama, reaksinya tidak akan seheboh ibu-ibu kompleks, tetap saja aku tak punya energi lagi untuk menghadapi hal seperti ini. Selagi lift bergerak ke atas, Bob sibuk memeriksa pantulannya di dinding lift sambil berdeham-deham. Entahlah, mungkin dia sedang kerasukan jiwa Narcissus. Kuakui dia memang selalu tampil sempurna dengan setelan berkelas dan gel mahal pada rambutnya, tetapi menurutku seh
Dengan mata masih menyipit karena baru bangun tidur, aku berjalan dengan panik menuruni tangga dan menuju pintu ruang tamu. Ketika pintu telah terbuka, kudapati Bob berdiri di ambang pintu dengan pakaian yang sudah rapi. Melihat ekspresi yang disuguhkannya, sepertinya dia sedang menghakimiku yang masih belum mandi, bahkan baru bangun tidur di jam segini. “Apa?” kataku galak. “Jangan berani-berani mengejekku karena masih berantakan jam segini, ya. Ini karena aku nggak bisa tidur nyenyak semalam. Lagian ngapain sih ke sini pagi-pagi.” Tanpa menjawab todongan pertanyaanku, Bob menerobos portal lenganku seperti yang dia lakukan kemarin. Di ruang tengah, rupanya dia bertemu Bubu yang memang tak kumasukkan kembali ke kandangnya. “Hey, buddy! Kok semalam aku nggak lihat kucing ini?” tanya Bob yang mulai bermain-main dengan Bubu. Kelihatannya Bubu pun cepat akrab dengan laki-
Kulanjutkan acara minum susu rendah lemak yang sempat terjeda oleh video call dari Bob tadi. Setelah beberapa gelas yang membuat perutku kembung, aku berhenti dan mengembalikan kotak susu ke dalam lemari pendingin dan meletakkan gelas kotor ke dalam sink. Ketika berniat untuk kembali ke kamar di lantai dua, kudengar Bubu, kucing kesayanganku, mengeong dari kandangnya di bagian belakang rumah ini. Ya, Tuhan! Aku lupa menegok kucingku seharian kemarin. Betapa tidak, pagi-pagi aku berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa dan pulang malam. Kali terakhir aku mengajak Bubu bermain adalah Minggu sore yang itu berarti sudah dua hari yang lalu. Dengan langkah berjingkat, aku menuju area belakang yang kubagi menjadi dua bagian; satu area cuci-cuci, jemur dan setrika, dan sisanya adalah area rumah bubu. Aku selalu menjaga kebersihan tempat ini dan seluruh bagian rumahku dengan menyewa jasa tukang bersih-ber
Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa
Aku kembali ke masa kini. Kupandangi Pak Bob dan secarik post it itu bergantian. Hanya orang-orang dari SMANSA Petir yang memanggilku Gadis Hujan. Itu pun angkatan tertentu saja. Generasi Tiktok tentu tidak kenal seseorang dari sekolah mereka yang dipanggil demikian. Lama kutatap wajah calon bos baruku itu dari tempatku duduk dalam diam. Diam-diam aku berpikir jangan-jangan Pak Bob dulunya bersekolah di SMA yang sama denganku.Aku ingat ada seorang kakak kelas yang bernama Bob juga ketika SMA dulu. Tetapi entah siapa nama lengkapnya. Jika melihat penampilannya, rasanya tidak ada mirip-miripnya dengan Pak Bob calon bos baruku itu.Bob si kakak kelas berbadan tinggi kurus dengan rambut belah tengah yang terlihat konyol. Dan yang paling membuat orang risih adalah gigi majunya yang dipasang semacam kawat gigi yang keberadaannya justru makin mengundang orang untuk mengejek. Ya, seingatku Bob si kakak kelas adalah pecundang sekolah yang sering jadi sasaran risak bukan saja o