Aku kembali ke masa kini. Kupandangi Pak Bob dan secarik post it itu bergantian. Hanya orang-orang dari SMANSA Petir yang memanggilku Gadis Hujan. Itu pun angkatan tertentu saja. Generasi Tiktok tentu tidak kenal seseorang dari sekolah mereka yang dipanggil demikian. Lama kutatap wajah calon bos baruku itu dari tempatku duduk dalam diam. Diam-diam aku berpikir jangan-jangan Pak Bob dulunya bersekolah di SMA yang sama denganku.
Aku ingat ada seorang kakak kelas yang bernama Bob juga ketika SMA dulu. Tetapi entah siapa nama lengkapnya. Jika melihat penampilannya, rasanya tidak ada mirip-miripnya dengan Pak Bob calon bos baruku itu.
Bob si kakak kelas berbadan tinggi kurus dengan rambut belah tengah yang terlihat konyol. Dan yang paling membuat orang risih adalah gigi majunya yang dipasang semacam kawat gigi yang keberadaannya justru makin mengundang orang untuk mengejek. Ya, seingatku Bob si kakak kelas adalah pecundang sekolah yang sering jadi sasaran risak bukan saja oleh berandal-berandal sekolah tetapi juga oleh siswa-siswa biasa.
Kutatap lagi Pak Bob calon bos baruku dalam-dalam. Kuperhatikan benar-benar wajahnya. Sesekali dia tertawa di tengah obrolannya dengan Bu Lauren hingga deretan giginya terlihat. Jika Pak Bob dan Bob si kakak kelas adalah orang yang sama, tidak kulihat jejak-jejak ketonggosan di giginya maupun aura culun pada wajahnya. Secanggih itukah teknologi yang mampu mengubah sosok kakak kelas yang culun itu?
Terpikir olehku untuk bertanya langsung kepada Pak Bob apakah dia pernah bersekolah di SMANSA Petir, tetapi tiba-tiba terlintas ide lain untuk mengetahui masa lalu orang ini. Kucari ponselku di dalam laci dan seketika kugulir media sosial paling digemari rakyat Indonesia. Semua orang menggunakan F******k bukan?
Kuketik nama ‘Bob Dylan’ di kolom pencarian. Beberapa akun muncul satu per satu dan seketika aku tenggelam dalam pencarian. Kukerahkan segenap kemampuan stalking-ku untuk mencari keberadaan kakak kelas yang culun itu.
***
Sekitar sepuluh menit kemudian aku mendongak. Ternyata bukan hanya katak dan serangga yang bisa bermetamorfosis, tetapi manusia juga bisa. Terutama manusia bernama Bob Dylan. Pada sebuah akun F******k bernama Bob Dylan Nugraha itu aku menemukan fakta bahwa si kakak kelas yang culun dan Pak Bob si calon bos baruku itu adalah orang yang sama.
Dengan lemas kusandarkan tubuhku ke punggung kursi dan kulepas kacamataku sejenak. Aku memijit-mijit kedua pelipis dengan kedua ibu jariku. Aku sungguh merasa lelah dengan serentetan kejadian tak mengenakkan hari ini. Aku rasa aku butuh kafein untuk menyegarkan pikiranku.
Dengan langkah sedikit sempoyongan aku berjalan menuju pantry. Orang-orang sudah bersiap untuk pulang mengingat dua puluh menit lagi bel pulang akan berbunyi.
“Mbak Am...” sapa Aini, salah seorang cleaning service menyapaku. Aku tak lagi menghiraukan panggilan ‘Am’ yang membuatku jengkel. “Sudah mau bel pulang kok mampir ke sini?”
Kuseret kursi dan duduk di depan Aini. “Kamu sendiri ngapain di sini? Bukannya siap-siap pulang atau beres-beresin sisa kerjaan, kek.”
“Hehe. Saya numpang ngaso bentar, Mbak. Lagian kerjaan saya sudah beres kok. Ini lagi keringin keringat.”
Aini mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang ternyata adalah seperangkat alat make up. Sesaat kemudian dia sibuk membenarkan dandanannya di depan sepotong cermin lipat.
“Mau kemana, Ai? Mau pulang aja pake dandan segala.”
Aini berhenti menatap cermin dan beralih menatapku dengan malu-malu.
“Hehe. Ah, nggak , Mbak. Cuma mau mampir ke supermarket buat beli susu untuk bocil.”
“Gitu aja pake make up segala, ih.”
“Ye… Namanya juga usaha, Mbak. Kali aja ada berondong yang kepincut. Maklum, sudah lama sendiri. Hahahaha.” Tiba-tiba Aini meledak tertawa tak terkontrol.
“Eh, Aini,” aku mencoba untuk menghentikan tawanya. “Kira-kira kalau orang jelek bisa berubah jadi super ganteng nggak?”
“Ha? Maksud Mbak? Orang jelek berubah ganteng? Kayak si ono ya Mbak? Hahaha” Aini menunjuk Paiman si OB yang sedang cuci piring.
“Yee.. Bukan.” Aku melambaikan tangan di udara. “Kalau dia mah nggak bakalan bisa berubah. Udah takdir. Udah kutukan. Hahahaha.” Kini giliran aku yang meledak tertawa tak terkontrol.
“Hush!” kata Aini mengangetkanku. “Jangan gitu, Mbak. Nanti jodoh, lho. Hahahaha.”
Aku cemberut dan tampaknya itu cukup jitu untuk menghentikan tawa Aini yang sudah mirip dengan tawa Mak Lampir kesurupan Nyi Pelet.
“Serius, ah, Ai. Kembali ke pertanyaanku tadi.”
“Iya, Mbak. Gimana, gimana?”
“Aku kan punya temen cowok waktu SMA dulu. Dulu dia jelek banget. Tinggi, kurus, giginya tonggos, rambutnya belah tengah, pakai kacamata tebal. Tapi, setelah nggak ketemu bertahun-tahun, dia muncul tahu-tahu jadi ganteng. Kira-kira dia pake apa ya, Ai?”
Aini tampak berpikir keras sejenak. “Kalau mendengar dari cerita Mbak Asih, kayaknya temennya jelek banget, ya? Terus, berubah seberapa ganteng, Mbak?”
Kini giliran aku yang berpikir keras. Seperapa ganteng ya Pak Bob sekarang?
“Mmmm… Gantengnya kayak…”
“Jungkok?” potong Aini.
“Apa? Jongkok?”
“Haes, Mbak. Katrok amat sih. Jungkok, artis Korea.”
Aku cemberut lagi. Aku memang tak punya referensi artis Korea. Bukan penggemar K-Pop. Tetapi, aku cukup tahu kalau selebritis Korea Selatan itu memang bening-bening imut.
“Ya, kira-kira memang penampilannya sekarang seperti seleb Korea, lah.”
Aini mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu. “Kalau begitu, bisa jadi temen Mbak operasi plastik..”
“Ah, masak sih dia operasi plastik?” tanyaku lebih kepada diri sendiri.
“Lah, ya mana saya tahu, Mbak.” Aini memukul meja dengan sebelah tangannya. “Kan saya nggak tahu yang mana temennya Mbak.”
“Eits, santai dong Ai. Jangan emosi..”
Aini melengos dan sedetik kemudian menatapku dengan wajah berbinar-binar seperti teringat sesuatu yang membuatnya senang.
“Mbak, ada orang baru ya di kantor kita? Calon penggantinya Bu Lauren kan? Saya udah lihat orangnya. Guanteng, Mbak..” Aini menyodorkan dua ibu jarinya padaku.
“Iya…”
“Namanya siapa, Mbak?”
“Ye.. Kenalan aja sendiri.” Kataku acuh. “Eh, kalau orang kayak dia kira-kira operasi plastik nggak, ya?”
“Ha? Bos baru itu operasi plastik supaya ganteng? Ya nggak mungkin lah, Mbak. Ada-ada aja. Dia pasti udah ganteng dari lahir!”
Aku mengangguk-ngangguk sambil menyipitkan mata. Dalam hati aku bertanya-tanya bagaimana seandiainya Aini atau orang sekantor ini tahu bagaimana penampilan Pak Bob di masa lalu.
Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa
Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
Kulanjutkan acara minum susu rendah lemak yang sempat terjeda oleh video call dari Bob tadi. Setelah beberapa gelas yang membuat perutku kembung, aku berhenti dan mengembalikan kotak susu ke dalam lemari pendingin dan meletakkan gelas kotor ke dalam sink. Ketika berniat untuk kembali ke kamar di lantai dua, kudengar Bubu, kucing kesayanganku, mengeong dari kandangnya di bagian belakang rumah ini. Ya, Tuhan! Aku lupa menegok kucingku seharian kemarin. Betapa tidak, pagi-pagi aku berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa dan pulang malam. Kali terakhir aku mengajak Bubu bermain adalah Minggu sore yang itu berarti sudah dua hari yang lalu. Dengan langkah berjingkat, aku menuju area belakang yang kubagi menjadi dua bagian; satu area cuci-cuci, jemur dan setrika, dan sisanya adalah area rumah bubu. Aku selalu menjaga kebersihan tempat ini dan seluruh bagian rumahku dengan menyewa jasa tukang bersih-ber
Dengan mata masih menyipit karena baru bangun tidur, aku berjalan dengan panik menuruni tangga dan menuju pintu ruang tamu. Ketika pintu telah terbuka, kudapati Bob berdiri di ambang pintu dengan pakaian yang sudah rapi. Melihat ekspresi yang disuguhkannya, sepertinya dia sedang menghakimiku yang masih belum mandi, bahkan baru bangun tidur di jam segini. “Apa?” kataku galak. “Jangan berani-berani mengejekku karena masih berantakan jam segini, ya. Ini karena aku nggak bisa tidur nyenyak semalam. Lagian ngapain sih ke sini pagi-pagi.” Tanpa menjawab todongan pertanyaanku, Bob menerobos portal lenganku seperti yang dia lakukan kemarin. Di ruang tengah, rupanya dia bertemu Bubu yang memang tak kumasukkan kembali ke kandangnya. “Hey, buddy! Kok semalam aku nggak lihat kucing ini?” tanya Bob yang mulai bermain-main dengan Bubu. Kelihatannya Bubu pun cepat akrab dengan laki-
Setelah berpanjang kali lebar memberi penjelasan pada ibu-ibu kompleks dan satpam mengenai hubunganku dengan Bob, akhirnya kami bisa berangkat kerja dengan tenang. Aku menghela nafas lega tatkala kami sudah sampai di basement tempat parkir gedung perkantoran. Sampai kami masuk lift dengan aku menenteng kantong belanja bekas berisi wadah-wadah makanan yang dibuat Bob tadi, semuanya masih aman terkendali. Maksudku, sepertinya tidak ada yang memergoki kami berdua. Meski jika seseorang dari kantor memergoki kami berangkat bersama, reaksinya tidak akan seheboh ibu-ibu kompleks, tetap saja aku tak punya energi lagi untuk menghadapi hal seperti ini. Selagi lift bergerak ke atas, Bob sibuk memeriksa pantulannya di dinding lift sambil berdeham-deham. Entahlah, mungkin dia sedang kerasukan jiwa Narcissus. Kuakui dia memang selalu tampil sempurna dengan setelan berkelas dan gel mahal pada rambutnya, tetapi menurutku seh
“Ada apa ini, kok muka Ambika merah banget?” celetuk Bu Lauren sekembalinya dia dari kamar mandi. “Kamu apain, Bob?” Sebelum sempat Bob membuka mulut, aku duluan menyahut, “Nggak papa kok, Mom. Cuma digombalin dikit sama Bob. Dasar, Bob kurang kerjaan.” Meski sedikit mengernyitkan dahi karena mungkin bingung dengan tingkah kami berdua, Bu Lauren tak mengusut lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. Wanita yang selalu tampil modis dan harum itu segera kembali ke mejanya dan memeriksa pekerjaan. Aku pun kembali ke mejaku dengan kertas artikel yang sudah beres dan segera mengirim email ke bulletin Pandawa. Di sela-sela pekerjaan itu entah kenapa mataku selalu otomatis mencuri pandang ke arah Bob tiap kali ada kesempatan. Sialnya, terhitung beberapa kali aku terpergok sendiri oleh Bob ketika sedang mencuri lih
“Ada apa ini, kok muka Ambika merah banget?” celetuk Bu Lauren sekembalinya dia dari kamar mandi. “Kamu apain, Bob?” Sebelum sempat Bob membuka mulut, aku duluan menyahut, “Nggak papa kok, Mom. Cuma digombalin dikit sama Bob. Dasar, Bob kurang kerjaan.” Meski sedikit mengernyitkan dahi karena mungkin bingung dengan tingkah kami berdua, Bu Lauren tak mengusut lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. Wanita yang selalu tampil modis dan harum itu segera kembali ke mejanya dan memeriksa pekerjaan. Aku pun kembali ke mejaku dengan kertas artikel yang sudah beres dan segera mengirim email ke bulletin Pandawa. Di sela-sela pekerjaan itu entah kenapa mataku selalu otomatis mencuri pandang ke arah Bob tiap kali ada kesempatan. Sialnya, terhitung beberapa kali aku terpergok sendiri oleh Bob ketika sedang mencuri lih
Setelah berpanjang kali lebar memberi penjelasan pada ibu-ibu kompleks dan satpam mengenai hubunganku dengan Bob, akhirnya kami bisa berangkat kerja dengan tenang. Aku menghela nafas lega tatkala kami sudah sampai di basement tempat parkir gedung perkantoran. Sampai kami masuk lift dengan aku menenteng kantong belanja bekas berisi wadah-wadah makanan yang dibuat Bob tadi, semuanya masih aman terkendali. Maksudku, sepertinya tidak ada yang memergoki kami berdua. Meski jika seseorang dari kantor memergoki kami berangkat bersama, reaksinya tidak akan seheboh ibu-ibu kompleks, tetap saja aku tak punya energi lagi untuk menghadapi hal seperti ini. Selagi lift bergerak ke atas, Bob sibuk memeriksa pantulannya di dinding lift sambil berdeham-deham. Entahlah, mungkin dia sedang kerasukan jiwa Narcissus. Kuakui dia memang selalu tampil sempurna dengan setelan berkelas dan gel mahal pada rambutnya, tetapi menurutku seh
Dengan mata masih menyipit karena baru bangun tidur, aku berjalan dengan panik menuruni tangga dan menuju pintu ruang tamu. Ketika pintu telah terbuka, kudapati Bob berdiri di ambang pintu dengan pakaian yang sudah rapi. Melihat ekspresi yang disuguhkannya, sepertinya dia sedang menghakimiku yang masih belum mandi, bahkan baru bangun tidur di jam segini. “Apa?” kataku galak. “Jangan berani-berani mengejekku karena masih berantakan jam segini, ya. Ini karena aku nggak bisa tidur nyenyak semalam. Lagian ngapain sih ke sini pagi-pagi.” Tanpa menjawab todongan pertanyaanku, Bob menerobos portal lenganku seperti yang dia lakukan kemarin. Di ruang tengah, rupanya dia bertemu Bubu yang memang tak kumasukkan kembali ke kandangnya. “Hey, buddy! Kok semalam aku nggak lihat kucing ini?” tanya Bob yang mulai bermain-main dengan Bubu. Kelihatannya Bubu pun cepat akrab dengan laki-
Kulanjutkan acara minum susu rendah lemak yang sempat terjeda oleh video call dari Bob tadi. Setelah beberapa gelas yang membuat perutku kembung, aku berhenti dan mengembalikan kotak susu ke dalam lemari pendingin dan meletakkan gelas kotor ke dalam sink. Ketika berniat untuk kembali ke kamar di lantai dua, kudengar Bubu, kucing kesayanganku, mengeong dari kandangnya di bagian belakang rumah ini. Ya, Tuhan! Aku lupa menegok kucingku seharian kemarin. Betapa tidak, pagi-pagi aku berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa dan pulang malam. Kali terakhir aku mengajak Bubu bermain adalah Minggu sore yang itu berarti sudah dua hari yang lalu. Dengan langkah berjingkat, aku menuju area belakang yang kubagi menjadi dua bagian; satu area cuci-cuci, jemur dan setrika, dan sisanya adalah area rumah bubu. Aku selalu menjaga kebersihan tempat ini dan seluruh bagian rumahku dengan menyewa jasa tukang bersih-ber
Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa
Aku kembali ke masa kini. Kupandangi Pak Bob dan secarik post it itu bergantian. Hanya orang-orang dari SMANSA Petir yang memanggilku Gadis Hujan. Itu pun angkatan tertentu saja. Generasi Tiktok tentu tidak kenal seseorang dari sekolah mereka yang dipanggil demikian. Lama kutatap wajah calon bos baruku itu dari tempatku duduk dalam diam. Diam-diam aku berpikir jangan-jangan Pak Bob dulunya bersekolah di SMA yang sama denganku.Aku ingat ada seorang kakak kelas yang bernama Bob juga ketika SMA dulu. Tetapi entah siapa nama lengkapnya. Jika melihat penampilannya, rasanya tidak ada mirip-miripnya dengan Pak Bob calon bos baruku itu.Bob si kakak kelas berbadan tinggi kurus dengan rambut belah tengah yang terlihat konyol. Dan yang paling membuat orang risih adalah gigi majunya yang dipasang semacam kawat gigi yang keberadaannya justru makin mengundang orang untuk mengejek. Ya, seingatku Bob si kakak kelas adalah pecundang sekolah yang sering jadi sasaran risak bukan saja o