Kutatap pantulanku yang tampak letih di cermin. Rambut panjang sebahuku kucepol dengan asal di bagian atas, menyisakan anak-anak rambut yang tak rapi di bagian kening. Muka yang baru saja kubasuh dengan air dingin tampak pucat dan tak menarik. Aku cukup beruntung dengan warna kulit cerah dan sedikit warisan proporsi wajah yang manis dari nenekku. Tetapi, itu tidak cukup menolong. Pukul tiga sore di tempat kerja begini hanya menyisakan sepasang alis yang telah pudar warna arangnya, sepasang bibir yang pucat dan kering dan sisa keringat yang mungkin saja menguarkan bau tak sedap.
Aku mengeluh lagi di depan cermin. Seharusnya aku belajar dari para gadis itu. Kini aku menyesal mengkritik penampilan dan gaya hidup mereka. Bu Lauren juga menyebalkan. Buat apa dia menyuruhku untuk menemani Pak Bob makan malam? Memangnya dia tak berani makan malam sendiri? Oh, tidak…
Aku kembali ke ruang Manajer Kantor dan mendapati Bu Lauren dan Pak Bob sedang serius berdiskusi. Bu Ana telah berhasil mendapatkan meja yang kuminta dan bersama timnya dia menempatkan meja itu sedemikian rupa di dalam ruangan ini hingga tak mengurangi keindahan interior tempat ini. Aku berutang semangkok bakso padanya. Bukan, satu gerobak.
“Sejauh ini circle dari Manajemen Kantor belum ada yang pernah meraih medali emas dalam kompetisi nasional itu.” Kudengar Bu Lauren bicara. “Tugasmu berat, anak muda.”
Pak Bob mengangguk-angguk sambil membuka-buka berkas dalam map. “Hanya ada tiga circle di Manajemen Kantor.”
Aku membuat suara dengan tenggorokan untuk mengumumkan kehadiranku di ruangan itu. Pak Bob menoleh sekilas, lalu kembali lagi pada mapnya. Sedangkan Bu Lauren sama sekali tak bereaksi. Rasanya aku ingin mengumpat atas kecanggungan ini.
“Kompetisi ini tidak dirancang dengan adil,” Pak Bob meletakkan map di meja.
“Apa?” suara Bu Lauren terdengar tajam.
“Kita tidak mungkin bisa mengalahkan manajemen produksi dalam kompetisi apapun jika satu-satunya pertimbangan mereka adalah besaran nominal cost yang berhasil ditekan. Perbandingan kantor dan produksi tidak apple to apple. Kecuali jika mereka membagi kompetisi ini dalam kategori-kategori. Kantor lawan kantor, produksi lawan produksi, pembelian lawan pembelian. Barulah kita ada peluang untuk menang.”
Bu Lauren terpaku, begitu juga aku. Lama berumah di perusahaan ini dan empat tahun terakhir ini mengikuti kompetisi di ajang Pandawa Improvement Competition, kami tak pernah punya pikiran seperti itu.
“Anda benar, Pak Bob,” gumam Bu Lauren. “Kompetisi ini tidak cukup adil. Sekuat apapun circle kantor berusaha mencari celah penghematan, kita akan tetap kalah dengan bagian produksi.”
“Lalu solusi apa yang Anda tawarkan?” Aku tahu pertanyaan itu tidak sopan untuk dilontarkan jika maksudku adalah untuk mengintimidasi Pak Bob. Bagaimanapun, dia baru bergabung siang ini.
“Sayangnya, saya tak memiliki solusi apapun, Bu Ambika.” Suara Pak Bob terdengar berat dan dalam, serta tenang. “Paling tidak belum.”
Aku menahan baik dengusan maupun cibiran.
“Tetapi, jika Anda bisa menulis masalah ini untuk buletin Pandawa, barangkali mereka akan mulai memperhatikan ketidakadilan ini.” Pak Bob menatapku dengan sepasang matanya yang menyipit.
“Setuju.” Bu Lauren menyambar. “Sampaikan ide ini melalui tulisan. Dan saya rasa Ambika bisa meluangkan sedikit waktunya untuk itu.”
Pak Bob melempar senyum untuk Bu Lauren sebelum menatapku tajam lagi. Dua lawan satu. Baiklah, aku kalah. Bu Lauren menepuk bahuku selagi dia pamit keluar untuk ke toilet.
“Masih ada waktu satu jam sebelum bel pulang. Maksimalkan otakmu. Aku tahu kamu bisa.”
Aku duduk menghadap laptop dengan bahu melorot. Dengan tidak semangat kubuka Ms. Word dan berpikir kata pertama apa yang harus kuketik. Bibirku terkunci rapat dan terasa terlalu kaku untuk dapat tersenyum. Huh, salahku sendiri mengapa harus ikut campur dalam pembicaraan kedua bosku itu. Akhirnya aku sendiri juga yang repot.
Akhirnya setelah mencari inspirasi dengan membaca artikel-artikel ringan di Internet aku berhasil menulis opini sebanyak dua lembar. Aku tidak mencari inspirasi dari bulletin Pandawa karena jujur saja tulisan di sana sangat monoton dan membosankan.
“Pak Bob, boleh minta email Anda?”
Pak Bob mendongak dari berkas-berkas yang sedang ditekuninya.
“Buat apa?” tanyanya singkat.
Buat ngirim santet. Aku membatin kesal.
“Buat kirim hasil tulisan saya. Saya rasa Bapak dan Bu Lauren perlu memeriksanya lebih dulu.”
Pak Bob mengangguk. Lalu menuliskan sesuatu di atas selembar post it dan menyerahkan padaku. Tulisan itu berbunyi bobdylan88@g***l.com.
“Terimakasih.” Kataku singkat sambil berlalu.
Aku kembali ke meja kerjaku dan menghadap laptop. Kukirim tulisanku tadi ke dua alamat email milik Bu Lauren dan Pak Bob Dylan. Ketika aku akan membuang post it berisi alamat email Pak Bob aku melihat tulisan lain di belakang kertas kuning itu.
“Happy Birthday, Gadis Hujan.”
Aku yakin tulisan itu adalah tulisan tangan yang sama yang digunakan untuk menuliskan alamat email Pak Bob. Yang itu berarti Pak Bob lah yang menulis ucapan selamat ulang tahun itu. Tetapi, buat siapa ucapan itu? Apakah dia tahu kalau aku sedang berulang tahun hari ini? Dari siapa dia tahu.
Aku berpikir lagi. Bisa saja Pak Bob secara tidak sengaja mengetahui pesta kecil untukku dari para staf yang menyiapkan kue di luar ruang rapat. Bukankah pak Bob sudah ada di gedung ini sejak pagi? Atau bisa jadi malah dari Bu Lauren sendiri.
Jadi sudah jelas bahwa tulisan ini ditujukan padaku. Tetapi kenapa dia memanggilku Gadis Hujan? Tunggu, aku ingat sesuatu.
Peristiwa itu terjadi ketika aku masih duduk di bangku kelas dua SMA. SMA Negeri 1 Pelepat Ilir tempatku menempuh pendidikan adalah sekolah mengengah atas paling favorit di kecamatan Pelepat Ilir. Siswa yang diterima di sekolah ini harus melalu serangkaian seleksi. Pertama, seleksi administrasi. Mereka melihat nilai rata-rata raport dari kelas satu hingga tiga SMP. Yang kedua seleksi akademis. Para calon siswa harus menjalani ujian tertulis dengan seratus soal mencakup mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Yang terakhir adalah seleksi bakat minat. Calon-calon siswa yang berhasil melewati kedua tes pertama diminta menunjukkan bakat kesenian yang mereka miliki seperti menyanyi, menari, melukis, memainkan alat musik hingga membaca puisi.
Aku bukanlah anak dengan otak cemerlang dan bakat kesenian yang membuat orang terkagum-kagum. Kelebihanku hanyalah di mata pelajaran Bahasa Inggris. Sedang untuk Bahasa Indonesia bisa dibilang lumayan. Jangan tanyakan aku soal Matematika. Aku bahkan harus mengulang Ujian Nasional karena nilai Matematikaku tidak memenuhi passing grade. Tetapi entah bagaimana aku bisa lolos seleksi akademis dengan nilai cukup tinggi. Aku berada di urutan ke-sebelas. Ajaib bukan?
Masalah belum berakhir ketika aku pusing harus menunjukkan bakat apa di hadapan panelis. Aku tak bisa menari. Huh, jangankan menari, senam pagi saja aku sering melakukan gerakan konyol. Bagaimana dengan menyanyi? Haha, aku sering diketawai Ibu karena nada sumbangku saat menyanyikan lagu apapun. Satu-satunya bakat seniku adalah menulis puisi. Hanya menulis, tidak mendeklamasikannya. Paling tidak, selama ini aku belum pernah membacakan puisi karyaku secara serius. Tetapi, saat ini aku tak punya pilihan lain. Jika mau diterima SMA paling favorit sekecamatan, aku harus berani menampilkan pembacaan puisi.
Ibu membantu memilih koleksi puisi karyaku. Aku memang punya buku khusus semacam diary untuk menampung karya-karyaku. Setelah berdiskusi ngalor-ngidul kami memutuskan untuk memilih puisi berjudul “Hujan.”
Di hari H aku membacakan puisi itu di hadapan Kepala Sekolah, guru seni dan beberapa juri dari luar. Tanpa disangka-sangka, penampilanku memikat para juri dan mendapat apresiasi di luar ekspektasi kami. Sejak saat itu orang-orang memanggilku “Gadis Hujan.”
Aku kembali ke masa kini. Kupandangi Pak Bob dan secarik post it itu bergantian. Hanya orang-orang dari SMANSA Petir yang memanggilku Gadis Hujan. Itu pun angkatan tertentu saja. Generasi Tiktok tentu tidak kenal seseorang dari sekolah mereka yang dipanggil demikian. Lama kutatap wajah calon bos baruku itu dari tempatku duduk dalam diam. Diam-diam aku berpikir jangan-jangan Pak Bob dulunya bersekolah di SMA yang sama denganku.Aku ingat ada seorang kakak kelas yang bernama Bob juga ketika SMA dulu. Tetapi entah siapa nama lengkapnya. Jika melihat penampilannya, rasanya tidak ada mirip-miripnya dengan Pak Bob calon bos baruku itu.Bob si kakak kelas berbadan tinggi kurus dengan rambut belah tengah yang terlihat konyol. Dan yang paling membuat orang risih adalah gigi majunya yang dipasang semacam kawat gigi yang keberadaannya justru makin mengundang orang untuk mengejek. Ya, seingatku Bob si kakak kelas adalah pecundang sekolah yang sering jadi sasaran risak bukan saja o
Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa
Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
Kulanjutkan acara minum susu rendah lemak yang sempat terjeda oleh video call dari Bob tadi. Setelah beberapa gelas yang membuat perutku kembung, aku berhenti dan mengembalikan kotak susu ke dalam lemari pendingin dan meletakkan gelas kotor ke dalam sink. Ketika berniat untuk kembali ke kamar di lantai dua, kudengar Bubu, kucing kesayanganku, mengeong dari kandangnya di bagian belakang rumah ini. Ya, Tuhan! Aku lupa menegok kucingku seharian kemarin. Betapa tidak, pagi-pagi aku berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa dan pulang malam. Kali terakhir aku mengajak Bubu bermain adalah Minggu sore yang itu berarti sudah dua hari yang lalu. Dengan langkah berjingkat, aku menuju area belakang yang kubagi menjadi dua bagian; satu area cuci-cuci, jemur dan setrika, dan sisanya adalah area rumah bubu. Aku selalu menjaga kebersihan tempat ini dan seluruh bagian rumahku dengan menyewa jasa tukang bersih-ber
Dengan mata masih menyipit karena baru bangun tidur, aku berjalan dengan panik menuruni tangga dan menuju pintu ruang tamu. Ketika pintu telah terbuka, kudapati Bob berdiri di ambang pintu dengan pakaian yang sudah rapi. Melihat ekspresi yang disuguhkannya, sepertinya dia sedang menghakimiku yang masih belum mandi, bahkan baru bangun tidur di jam segini. “Apa?” kataku galak. “Jangan berani-berani mengejekku karena masih berantakan jam segini, ya. Ini karena aku nggak bisa tidur nyenyak semalam. Lagian ngapain sih ke sini pagi-pagi.” Tanpa menjawab todongan pertanyaanku, Bob menerobos portal lenganku seperti yang dia lakukan kemarin. Di ruang tengah, rupanya dia bertemu Bubu yang memang tak kumasukkan kembali ke kandangnya. “Hey, buddy! Kok semalam aku nggak lihat kucing ini?” tanya Bob yang mulai bermain-main dengan Bubu. Kelihatannya Bubu pun cepat akrab dengan laki-
Setelah berpanjang kali lebar memberi penjelasan pada ibu-ibu kompleks dan satpam mengenai hubunganku dengan Bob, akhirnya kami bisa berangkat kerja dengan tenang. Aku menghela nafas lega tatkala kami sudah sampai di basement tempat parkir gedung perkantoran. Sampai kami masuk lift dengan aku menenteng kantong belanja bekas berisi wadah-wadah makanan yang dibuat Bob tadi, semuanya masih aman terkendali. Maksudku, sepertinya tidak ada yang memergoki kami berdua. Meski jika seseorang dari kantor memergoki kami berangkat bersama, reaksinya tidak akan seheboh ibu-ibu kompleks, tetap saja aku tak punya energi lagi untuk menghadapi hal seperti ini. Selagi lift bergerak ke atas, Bob sibuk memeriksa pantulannya di dinding lift sambil berdeham-deham. Entahlah, mungkin dia sedang kerasukan jiwa Narcissus. Kuakui dia memang selalu tampil sempurna dengan setelan berkelas dan gel mahal pada rambutnya, tetapi menurutku seh
“Ada apa ini, kok muka Ambika merah banget?” celetuk Bu Lauren sekembalinya dia dari kamar mandi. “Kamu apain, Bob?” Sebelum sempat Bob membuka mulut, aku duluan menyahut, “Nggak papa kok, Mom. Cuma digombalin dikit sama Bob. Dasar, Bob kurang kerjaan.” Meski sedikit mengernyitkan dahi karena mungkin bingung dengan tingkah kami berdua, Bu Lauren tak mengusut lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. Wanita yang selalu tampil modis dan harum itu segera kembali ke mejanya dan memeriksa pekerjaan. Aku pun kembali ke mejaku dengan kertas artikel yang sudah beres dan segera mengirim email ke bulletin Pandawa. Di sela-sela pekerjaan itu entah kenapa mataku selalu otomatis mencuri pandang ke arah Bob tiap kali ada kesempatan. Sialnya, terhitung beberapa kali aku terpergok sendiri oleh Bob ketika sedang mencuri lih
Setelah berpanjang kali lebar memberi penjelasan pada ibu-ibu kompleks dan satpam mengenai hubunganku dengan Bob, akhirnya kami bisa berangkat kerja dengan tenang. Aku menghela nafas lega tatkala kami sudah sampai di basement tempat parkir gedung perkantoran. Sampai kami masuk lift dengan aku menenteng kantong belanja bekas berisi wadah-wadah makanan yang dibuat Bob tadi, semuanya masih aman terkendali. Maksudku, sepertinya tidak ada yang memergoki kami berdua. Meski jika seseorang dari kantor memergoki kami berangkat bersama, reaksinya tidak akan seheboh ibu-ibu kompleks, tetap saja aku tak punya energi lagi untuk menghadapi hal seperti ini. Selagi lift bergerak ke atas, Bob sibuk memeriksa pantulannya di dinding lift sambil berdeham-deham. Entahlah, mungkin dia sedang kerasukan jiwa Narcissus. Kuakui dia memang selalu tampil sempurna dengan setelan berkelas dan gel mahal pada rambutnya, tetapi menurutku seh
Dengan mata masih menyipit karena baru bangun tidur, aku berjalan dengan panik menuruni tangga dan menuju pintu ruang tamu. Ketika pintu telah terbuka, kudapati Bob berdiri di ambang pintu dengan pakaian yang sudah rapi. Melihat ekspresi yang disuguhkannya, sepertinya dia sedang menghakimiku yang masih belum mandi, bahkan baru bangun tidur di jam segini. “Apa?” kataku galak. “Jangan berani-berani mengejekku karena masih berantakan jam segini, ya. Ini karena aku nggak bisa tidur nyenyak semalam. Lagian ngapain sih ke sini pagi-pagi.” Tanpa menjawab todongan pertanyaanku, Bob menerobos portal lenganku seperti yang dia lakukan kemarin. Di ruang tengah, rupanya dia bertemu Bubu yang memang tak kumasukkan kembali ke kandangnya. “Hey, buddy! Kok semalam aku nggak lihat kucing ini?” tanya Bob yang mulai bermain-main dengan Bubu. Kelihatannya Bubu pun cepat akrab dengan laki-
Kulanjutkan acara minum susu rendah lemak yang sempat terjeda oleh video call dari Bob tadi. Setelah beberapa gelas yang membuat perutku kembung, aku berhenti dan mengembalikan kotak susu ke dalam lemari pendingin dan meletakkan gelas kotor ke dalam sink. Ketika berniat untuk kembali ke kamar di lantai dua, kudengar Bubu, kucing kesayanganku, mengeong dari kandangnya di bagian belakang rumah ini. Ya, Tuhan! Aku lupa menegok kucingku seharian kemarin. Betapa tidak, pagi-pagi aku berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa dan pulang malam. Kali terakhir aku mengajak Bubu bermain adalah Minggu sore yang itu berarti sudah dua hari yang lalu. Dengan langkah berjingkat, aku menuju area belakang yang kubagi menjadi dua bagian; satu area cuci-cuci, jemur dan setrika, dan sisanya adalah area rumah bubu. Aku selalu menjaga kebersihan tempat ini dan seluruh bagian rumahku dengan menyewa jasa tukang bersih-ber
Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa
Aku kembali ke masa kini. Kupandangi Pak Bob dan secarik post it itu bergantian. Hanya orang-orang dari SMANSA Petir yang memanggilku Gadis Hujan. Itu pun angkatan tertentu saja. Generasi Tiktok tentu tidak kenal seseorang dari sekolah mereka yang dipanggil demikian. Lama kutatap wajah calon bos baruku itu dari tempatku duduk dalam diam. Diam-diam aku berpikir jangan-jangan Pak Bob dulunya bersekolah di SMA yang sama denganku.Aku ingat ada seorang kakak kelas yang bernama Bob juga ketika SMA dulu. Tetapi entah siapa nama lengkapnya. Jika melihat penampilannya, rasanya tidak ada mirip-miripnya dengan Pak Bob calon bos baruku itu.Bob si kakak kelas berbadan tinggi kurus dengan rambut belah tengah yang terlihat konyol. Dan yang paling membuat orang risih adalah gigi majunya yang dipasang semacam kawat gigi yang keberadaannya justru makin mengundang orang untuk mengejek. Ya, seingatku Bob si kakak kelas adalah pecundang sekolah yang sering jadi sasaran risak bukan saja o