Lelaki dalam balutan setelan serba hitam dengan kemeja soft peach itu berdiri di samping Bu Lauren dan membungkuk memberi salam sebelum dipersilakan duduk. Bu Lauren bilang namanya Bob Dylan. Aku ingat dia adalah lelaki yang gagal masuk lift tadi pagi gara-gara aku enggan menekan tombol hold. Tiba-tiba perutku bergejolak. Aku merasa tidak nyaman. Siapakah Bob Dylan dan untuk apa dia ada di sini?
“Saudara-saudara,” Bu Lauren memulai lagi, “saya punya suatu hal penting yang akan saya sampaikan. Tadinya saya ingin mengumumkannya tepat pada harinya, tetapi karena satu dan lain hal, saya rasa itu tidak bijak.”
Semua pasang mata yang ada di ruangan ini menuju ke satu titik. Bu Lauren. Perutku bergejolak lagi. Apakah Bu Lauren akan mengumumkan pertunangan? Atau malah pernikahan? Dengan lelaki berondong itu? Rasanya tidak mungkin. Pasti sesuatu yang akan disampaikan oleh bosku itu jauh lebih buruk dari sekadar pengumuman perubahan yang menyangkut status lajangnya.
“Pertama-tama saya minta maaf jika ini akan mengejutkan kalian, atau malah mengecewakan.” Bu Lauren terkesan mengulur-ulur waktu untuk mendramatisasi keadaan. Kami menunggu dengan tak sabar. Aku memohon dalam hati agar bosku itu cepat-cepat mengatakan apa keinginannya.
“Saya akan resign. Saya sedang mengajukan pensiun dini pada diri saya sendiri.”
Aku mendongak kaget. Yang benar saja. Delapan jam bersama dengannya setiap hari Senin sampai Jumat dan kebersamaan makan malam atau sekadar belanja ke mall yang tak terhitung itu, tak pernah sekalipun Bu Lauren menyinggung soal rencananya untuk resign.
“Anda bercanda, Bu.” Keluh Pak Mawardi, Kepala Divisi Keuangan.
“Oh, tidak,” Bu Lauren menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bersemangat, “saya sama sekali tidak bercanda.”
Seketika terjadi keriuhan di ruang rapat. Aku hanya bisa menatap semuanya dengan bingung. Di antara riuh rendah berbagai suara itu aku sedikit mengamati sosok lelaki dalam balutan setelan hitam bernama Bob Dylan itu dan tiba-tiba aku merasa pernah mengenalnya di suatu tempat, di suatu masa.
Bukan, tidak mungkin Bob yang itu. Pasti bukan.
“Saudara-saudara yang baik,” Bu Lauren mengeraskan suaranya untuk mengambil kembali kendali di ruang rapat, “biar saya perjelas. Saya tidak bercanda mengenai keputusan saya untuk resign. Untuk itulah Pak Bob Dylan ada di sini untuk menggantikan saya.”
“Apa?!” tanpa sadar aku berteriak.
Bu Lauren menoleh padaku untuk memberi tatapan menyesal. “Maaf jika mengecewakanmu, sobat. Tapi ini keputusan top management Pandawa Group.”
Kalau Bu Lauren mengira aku kecewa karena bukan aku yang menggantikan posisinya sebagai Manajer Kantor, dia salah. Demi Tuhan, aku sudah bahagia dan puas dengan posisi dan pencapaianku sekarang ini. Aku hanya tidak siap jika lelaki itu yang akan menjadi bosku. Berbagi ruangan dengan lelaki asing? Rasanya aku ingin pingsan membayangkan kemungkinan itu.
Bu Lauren melanjutkan penjelasan rencananya dengan lebih detil. “Seperti yang saya katakan tadi, Pak Bob di sini untuk menggantikan saya. Secara resmi beliau akan menempati posisi Manajer Kantor bulan depan. Sementara sebulan ini beliau akan di sini untuk menjalani masa training. Saya sakin kita akan bisa membuat beliau nyaman.”
Kini, Bu Lauren menoleh kepada lelaki yang dipanggil Pak Bob Dylan. “Nah, Pak Bob. Saya rasa Anda harus memperkenalkan diri Anda agar kami semua sayang pada Anda.”
Lagi-lagi Bu Lauren dengan candaan konyolnya yang membuat orang-orang tertawa lepas. Pak Bob Dylan tersenyum tipis dan mulai berdiri.
Bob Dylan berdeham sebentar sebelum bicara. “Selamat siang Bapak-bapak dan Ibu-ibu,” aku tidak menyangka laki-laki ini bersuara berat dan dalam. Aku benci mengakui jika suaranya cukup berwibawa. “Nama saya Bob Dylan. Kalau Anda bertanya-tanya apakah orangtua saya penggemar Bob Dylan yang itu, maka jawabannya adalah benar. Saya ditunjuk oleh top management Pandawa Group untuk menggantikan posisi Bu Lauren sebagai Manager Kantor. Semoga kita bisa bekerja sama.” Bob Dylan membungkuk dalam dan semua orang bertepuk tangan.
Dari tempatku duduk, aku mendengus kecil dan demi alasan sopan santun aku ikut bertepuk tangan ringan. Tiba-tiba Bu Ana dari Divisi Procurement mengangkat tangan. Dari gelagatnya, perempuan beranak satu itu sepertinya akan membuat kehebohan.
“Ya?” Bob Dylan mengangguk ke arah Bu Ana.
“Apakah Anda sudah memiliki pasangan? Maksud saya istri atau pacar?”
Orang-orang mulai menyoraki Bu Ana yang sangat percaya diri dengan pertanyaannya. Lagi-lagi Bob Dylan berdeham. Pipinya sedikit memerah kali ini. Aku merasa dia sedikit melirik ke arahku dan terus terang saja itu membuat kedua pipiku memanas. Aku takut kalau-kalau ada seseorang yang menangkap lirikan matanya itu.
“Saya masih sendiri.”
Aku hampir tersedak mendengar jawabannya. Tadinya aku tidak berharap calon bos baruku itu sudi menjawab pertanyaan semacam itu. Bu Ana meletakkan kedua tangannya di dadanya dengan ekspresi menyesal berlebihan yang membuatnya terlihat lucu.
“Sayang aku sudah tidak sendiri.”
Sebelum keadaan semakin tidak terkendali, Bu Lauren berdiri dan mengambil kendali lagi.
“Kawan-kawan, mari kita akhiri kekisruhan ini, maksud saya, rapat ini. Kalian dapat kembali pada pekerjaan masing-masing. Selamat siang.”
Orang-orang mulai meninggalkan ruangan rapat untuk kembali ke ruang masing-masing. Bu Lauren memberi kode padaku untuk mendekat.
“Hun, Pak Bob akan duduk di ruangan kita. Tolong siapkan meja untu beliau, ya.”
Untuk alasan professional, aku tak mengajukan protes. Bagaimanapun masuk akal jika Pak Bob Dylan mendapat meja di ruang manajer. Dia kan memang calon Manajer Kantor yang baru. Segera kuhubungi bagian Procurement untuk menyediakan meja bagi pendatang baru itu.
“Ingat, Bu Ana, tidak boleh sembarang meja. Harus sama besar dan mewah dengan meja Bu Lauren. Kita tidak ingin melukai harga diri calon Manajer Kantor yang baru, kan?” Aku mengintimidasi perempuan bertubuh subur itu.
Bu Ana memijit-mijit kepalanya dengan panik. “Ya, Tuhan, Ka. Bunuh saja aku. Darimana aku bisa dapat meja seperti itu dalam waktu tiga puluh menit?!”
Aku menyatukan telapak tangan dan menggosok-gosokkannya untuk membuat gerakan memohon. “Tolonglah, Bu Ana, kerahkan anak buahmu. Aku yakin Bu Ana bisa menolongku, ya.” Kataku memelas. Tak bisa kubayangkan bagaimana nasibku jika kami gagal mendapat meja untuk Pak Bob.
Bu Ana menatapku tajam dan lama. “Bakso satu mangkok?”
Aku memberikan jari kelingkingku untuk kutautkan pada jari kelingking Bu Ana. “Jangankan satu mangkok, satu gerobak juga akan saya berikan buat Bu Ana.”
Bu Ana tersenyum lebar. “Baiklah, anak muda.”
Aku bersorak sambil meninju udara. “Yes! Aku tahu Bu Ana selalu bisa diandalkan.”
Kuserahkan urusan meja sepenuhnya pada Bu Ana dan duduk sejenak sambil menenangkan pikiran. Aku juga sempat memejamkan mata untuk menikmati tidur singkat setidaknya selama tiga menit.
Kutatap pantulanku yang tampak letih di cermin. Rambut panjang sebahuku kucepol dengan asal di bagian atas, menyisakan anak-anak rambut yang tak rapi di bagian kening. Muka yang baru saja kubasuh dengan air dingin tampak pucat dan tak menarik. Aku cukup beruntung dengan warna kulit cerah dan sedikit warisan proporsi wajah yang manis dari nenekku. Tetapi, itu tidak cukup menolong. Pukul tiga sore di tempat kerja begini hanya menyisakan sepasang alis yang telah pudar warna arangnya, sepasang bibir yang pucat dan kering dan sisa keringat yang mungkin saja menguarkan bau tak sedap.Aku mengeluh lagi di depan cermin. Seharusnya aku belajar dari para gadis itu. Kini aku menyesal mengkritik penampilan dan gaya hidup mereka. Bu Lauren juga menyebalkan. Buat apa dia menyuruhku untuk menemani Pak Bob makan malam? Memangnya dia tak berani makan malam sendiri? Oh, tidak…Aku kembali ke ruang Manajer Kantor dan mendapati Bu Lauren dan Pak Bob sedang serius berdiskusi. Bu Ana
Aku kembali ke masa kini. Kupandangi Pak Bob dan secarik post it itu bergantian. Hanya orang-orang dari SMANSA Petir yang memanggilku Gadis Hujan. Itu pun angkatan tertentu saja. Generasi Tiktok tentu tidak kenal seseorang dari sekolah mereka yang dipanggil demikian. Lama kutatap wajah calon bos baruku itu dari tempatku duduk dalam diam. Diam-diam aku berpikir jangan-jangan Pak Bob dulunya bersekolah di SMA yang sama denganku.Aku ingat ada seorang kakak kelas yang bernama Bob juga ketika SMA dulu. Tetapi entah siapa nama lengkapnya. Jika melihat penampilannya, rasanya tidak ada mirip-miripnya dengan Pak Bob calon bos baruku itu.Bob si kakak kelas berbadan tinggi kurus dengan rambut belah tengah yang terlihat konyol. Dan yang paling membuat orang risih adalah gigi majunya yang dipasang semacam kawat gigi yang keberadaannya justru makin mengundang orang untuk mengejek. Ya, seingatku Bob si kakak kelas adalah pecundang sekolah yang sering jadi sasaran risak bukan saja o
Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa
Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
Kulanjutkan acara minum susu rendah lemak yang sempat terjeda oleh video call dari Bob tadi. Setelah beberapa gelas yang membuat perutku kembung, aku berhenti dan mengembalikan kotak susu ke dalam lemari pendingin dan meletakkan gelas kotor ke dalam sink. Ketika berniat untuk kembali ke kamar di lantai dua, kudengar Bubu, kucing kesayanganku, mengeong dari kandangnya di bagian belakang rumah ini. Ya, Tuhan! Aku lupa menegok kucingku seharian kemarin. Betapa tidak, pagi-pagi aku berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa dan pulang malam. Kali terakhir aku mengajak Bubu bermain adalah Minggu sore yang itu berarti sudah dua hari yang lalu. Dengan langkah berjingkat, aku menuju area belakang yang kubagi menjadi dua bagian; satu area cuci-cuci, jemur dan setrika, dan sisanya adalah area rumah bubu. Aku selalu menjaga kebersihan tempat ini dan seluruh bagian rumahku dengan menyewa jasa tukang bersih-ber
Dengan mata masih menyipit karena baru bangun tidur, aku berjalan dengan panik menuruni tangga dan menuju pintu ruang tamu. Ketika pintu telah terbuka, kudapati Bob berdiri di ambang pintu dengan pakaian yang sudah rapi. Melihat ekspresi yang disuguhkannya, sepertinya dia sedang menghakimiku yang masih belum mandi, bahkan baru bangun tidur di jam segini. “Apa?” kataku galak. “Jangan berani-berani mengejekku karena masih berantakan jam segini, ya. Ini karena aku nggak bisa tidur nyenyak semalam. Lagian ngapain sih ke sini pagi-pagi.” Tanpa menjawab todongan pertanyaanku, Bob menerobos portal lenganku seperti yang dia lakukan kemarin. Di ruang tengah, rupanya dia bertemu Bubu yang memang tak kumasukkan kembali ke kandangnya. “Hey, buddy! Kok semalam aku nggak lihat kucing ini?” tanya Bob yang mulai bermain-main dengan Bubu. Kelihatannya Bubu pun cepat akrab dengan laki-
“Ada apa ini, kok muka Ambika merah banget?” celetuk Bu Lauren sekembalinya dia dari kamar mandi. “Kamu apain, Bob?” Sebelum sempat Bob membuka mulut, aku duluan menyahut, “Nggak papa kok, Mom. Cuma digombalin dikit sama Bob. Dasar, Bob kurang kerjaan.” Meski sedikit mengernyitkan dahi karena mungkin bingung dengan tingkah kami berdua, Bu Lauren tak mengusut lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. Wanita yang selalu tampil modis dan harum itu segera kembali ke mejanya dan memeriksa pekerjaan. Aku pun kembali ke mejaku dengan kertas artikel yang sudah beres dan segera mengirim email ke bulletin Pandawa. Di sela-sela pekerjaan itu entah kenapa mataku selalu otomatis mencuri pandang ke arah Bob tiap kali ada kesempatan. Sialnya, terhitung beberapa kali aku terpergok sendiri oleh Bob ketika sedang mencuri lih
Setelah berpanjang kali lebar memberi penjelasan pada ibu-ibu kompleks dan satpam mengenai hubunganku dengan Bob, akhirnya kami bisa berangkat kerja dengan tenang. Aku menghela nafas lega tatkala kami sudah sampai di basement tempat parkir gedung perkantoran. Sampai kami masuk lift dengan aku menenteng kantong belanja bekas berisi wadah-wadah makanan yang dibuat Bob tadi, semuanya masih aman terkendali. Maksudku, sepertinya tidak ada yang memergoki kami berdua. Meski jika seseorang dari kantor memergoki kami berangkat bersama, reaksinya tidak akan seheboh ibu-ibu kompleks, tetap saja aku tak punya energi lagi untuk menghadapi hal seperti ini. Selagi lift bergerak ke atas, Bob sibuk memeriksa pantulannya di dinding lift sambil berdeham-deham. Entahlah, mungkin dia sedang kerasukan jiwa Narcissus. Kuakui dia memang selalu tampil sempurna dengan setelan berkelas dan gel mahal pada rambutnya, tetapi menurutku seh
Dengan mata masih menyipit karena baru bangun tidur, aku berjalan dengan panik menuruni tangga dan menuju pintu ruang tamu. Ketika pintu telah terbuka, kudapati Bob berdiri di ambang pintu dengan pakaian yang sudah rapi. Melihat ekspresi yang disuguhkannya, sepertinya dia sedang menghakimiku yang masih belum mandi, bahkan baru bangun tidur di jam segini. “Apa?” kataku galak. “Jangan berani-berani mengejekku karena masih berantakan jam segini, ya. Ini karena aku nggak bisa tidur nyenyak semalam. Lagian ngapain sih ke sini pagi-pagi.” Tanpa menjawab todongan pertanyaanku, Bob menerobos portal lenganku seperti yang dia lakukan kemarin. Di ruang tengah, rupanya dia bertemu Bubu yang memang tak kumasukkan kembali ke kandangnya. “Hey, buddy! Kok semalam aku nggak lihat kucing ini?” tanya Bob yang mulai bermain-main dengan Bubu. Kelihatannya Bubu pun cepat akrab dengan laki-
Kulanjutkan acara minum susu rendah lemak yang sempat terjeda oleh video call dari Bob tadi. Setelah beberapa gelas yang membuat perutku kembung, aku berhenti dan mengembalikan kotak susu ke dalam lemari pendingin dan meletakkan gelas kotor ke dalam sink. Ketika berniat untuk kembali ke kamar di lantai dua, kudengar Bubu, kucing kesayanganku, mengeong dari kandangnya di bagian belakang rumah ini. Ya, Tuhan! Aku lupa menegok kucingku seharian kemarin. Betapa tidak, pagi-pagi aku berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa dan pulang malam. Kali terakhir aku mengajak Bubu bermain adalah Minggu sore yang itu berarti sudah dua hari yang lalu. Dengan langkah berjingkat, aku menuju area belakang yang kubagi menjadi dua bagian; satu area cuci-cuci, jemur dan setrika, dan sisanya adalah area rumah bubu. Aku selalu menjaga kebersihan tempat ini dan seluruh bagian rumahku dengan menyewa jasa tukang bersih-ber
Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa
Aku kembali ke masa kini. Kupandangi Pak Bob dan secarik post it itu bergantian. Hanya orang-orang dari SMANSA Petir yang memanggilku Gadis Hujan. Itu pun angkatan tertentu saja. Generasi Tiktok tentu tidak kenal seseorang dari sekolah mereka yang dipanggil demikian. Lama kutatap wajah calon bos baruku itu dari tempatku duduk dalam diam. Diam-diam aku berpikir jangan-jangan Pak Bob dulunya bersekolah di SMA yang sama denganku.Aku ingat ada seorang kakak kelas yang bernama Bob juga ketika SMA dulu. Tetapi entah siapa nama lengkapnya. Jika melihat penampilannya, rasanya tidak ada mirip-miripnya dengan Pak Bob calon bos baruku itu.Bob si kakak kelas berbadan tinggi kurus dengan rambut belah tengah yang terlihat konyol. Dan yang paling membuat orang risih adalah gigi majunya yang dipasang semacam kawat gigi yang keberadaannya justru makin mengundang orang untuk mengejek. Ya, seingatku Bob si kakak kelas adalah pecundang sekolah yang sering jadi sasaran risak bukan saja o