Seluruh perwakilan sub-divisi sudah duduk manis mengelilingi meja rapat. Aku juga sudah berkoordinasi dengan kepala OB terkait hal konsumsi. Asal tahu saja, orang-orang di kantor ini bermulut lebar semua. Rapat sebentar saja, mereka menuntut adanya camilan. Tak jarang beberapa orang hanya datang untuk setor muka dan menikmati kue.
Ada tiga divisi besar di bawah managemen kantor ini, yaitu, HRD, Keuangan dan Procurement. Masing-masing divisi punya satu atau dua sub-divisi. Total ada delapan sub-divisi yang itu berarti ada sebelas kepala yang menjadi anggota rapat, di luar Bu Lauren dan aku.
Aku sudah menyiapkan slide presentasi dengan bahan yang diberikan Bu Lauren satu jam yang lalu. Tak sia-sia rupanya aku dulu pernah ikut kursus singkat membuat tampilan power point yang menarik. Bu Lauren selalu senang dengan tampilan presentasi yang kukerjakan. Setelah yakin semuanya beres (seperti memeriksa pointer dan mengecek suhu ruangan) aku baru bisa menyandarkan punggungku ke sandaran kursi dan menyesap teh selagi menunggu Bu Lauren masuk.
Tepat jam sebelas Bu Lauren masuk dan menyapa kami. “Mari kita mulai agenda kita, teman-teman. Beb, tolong slidenya.”
Bu Lauren adalah orang yang tak suka basa-basi soal protokol rapat. Jika memimpin rapat, dia selalu melewati bagian pembukaan yang terlalu seremonial. “Membosankan dan buang-buang waktu,” katanya.
“Aku sudah membaca laporan kalian bulan ini yang akan kita bawa dalam rapat besar minggu depan nanti, Bapak-bapak dan Ibu-ibu,” mulainya sambil melirik ke arah papan presentasi di mana lampu proyektor menyorot. “Dan entah kenapa aku merasa pesimis sekali. Aku merasa bosan dan ingin resign saja.”
Terdengar suara tawa yang menggema. Bu Lauren memang orang yang suka ceplas-ceplos jika bicara. Juga suka bercanda. Dan kami rasa, kata-kata terakhirnya adalah candaan.
Perusahaan tempatku bekerja adalah salah satu anak perusahaan raksasa bernama Pandawa Group. Tentu nama itu berangkat dari filosofi lima putra yang dimiliki oleh founder perusahaan. Perusahaan tempatku bekerja sendiri ini sendiri bernama Nakula Company, yang sudah bisa ditebak, memiliki saudara kembar Sadewa Company. Nakula dan Sadewa Company bergerak di bidang pengolahan getah karet menjadi bahan mentah pembuatan ban kendaraan di mana pasarnya sudah sampai ke mancanegara. Sedangkan tiga perusahaan lain, Yudhistira, Bima dan Arjuna masing-masing bergerak di bidang pengolahan minyak kelapa sawit, pinang dan kelapa serta buah kakao. Perusahaan-perusahaan Pandawa Group tersebar di Sumatra dan Kalimantan dengan Head Office berpusat di Jakarta. Pendirinya sendiri konon menikmati hari tua di Swedia. Sadewa Company berlokasi di perbatasan Jambi-Sumbar, tepat di tepi Jalan Lintas Sumatra. Sedangkan Nakula Company terpisah di dua tempat, yakni, Kantor 1 berada di tengah kota sedangkan Kantor 2 dan bagian produksi berlokasi jauh di luar kota, sekitar dua jam perjalanan dari Kantor 1.
Setiap bulan aku dan Bu Lauren serta tiga kepala divisi akan menghadiri rapat besar di Kantor 2 yang dipimpin lansung oleh direktur. Ada tiga manajemen besar dalam perusahaan kami yaitu, manajemen kantor, manajemen produksi dan manajemen pembelian yang masing-masing tentunya dibagi dalam divisi dan sub-divisi. Menurut laporan terakhir ada sekitar empat ratus karyawan yang menggantungkan hidup di perusahaan ini.
Bu Lauren pernah bilang padaku bahwa di antara ketiga manajemen, manajeman kantor lah yang paling tak dilihat prestasinya.
“Setiap bulan orang produksi melaporkan target produksi yang telah mereka capai. Sekian ton, dan orang bertepuk tangan. Begitu juga orang pembelian, setiap bulan melaporkan selisih keuntungan dari harga beli getah ke petani dengan harga jual ke customer. Lagi, orang-orang bertepuk tangan.”
Aku mengangguk-angguk mencoba memahami.
“Tetapi adakah yang bertepuk tangan ketika kita melaporkan pelatihan-pelatihan yang dilakukan untuk para karyawan? Tidak ada.” Bu Lauren menjawab sendiri pertanyaannya. “Padahal produksi yang bagus sudah tentu tak lepas dari andil karyawan yang berkompeten di bidangnya dan pelatihan-pelatihan bagi mereka sudah pasti berkontribusi dalam membentuk kompetensi para karyawan itu.”
Inti rapat dibuka dengan membahas laporan yang dibuat oleh Pak Hadi Suwongso, lelaki berumur lima puluh tahun yang setengah kepalanya sudah tak berambut, sang Kepala HRD. Laporannya tidak jauh bedanya dengan laporan bulan lalu, yaitu, seputar jumlah karyawan yang mangkir alias bolos kerja, jumlah karyawan yang sakit atau ijin, serta kegiatan-kegiatan CSR dan training karyawan. Kulihat Bu Lauren menatap bosan layar presentasi tanpa berkomentar dan meminta divisi selanjutnya melakukan presentasi. Akhirnya tepat pukul dua belas siang semua divisi sudah mempresentasikan laporannya dan Bu Lauren sudah memberikan evaluasi.
Aku memberi kode melalui pesan Whatssap kepada salah satu OB untuk segera membagikan kotak makan siang dan sesaat kemudian beberapa orang masuk untuk mengedarkan makan siang.
“Ehm..ehm..” tiba-tiba Bu Lauren berdehem di tengah-tengah fokusnya menikmati nasi Padang dari rumah makan langganan kami.
Aku menyodorkan sebotol air mineral yang botolnya kubuka terlebih dulu.
“Terima kasih, anak baik.”
Aku mengernyit dengan ucapan terima kasih berlebihan dari bosku.
“Apa maksudmu, Bos?” tembakku melalu tatapan mata. Bu Lauren membalas dengan kekehan kecil. Dia juga mengedipkan sebelah matanya.
Selesai kami makan siang, kupikir, rapat akan segera dilanjutkan. Tetapi dugaanku salah. Karena tiba-tiba saja segerombolan orang masuk sambil menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun dengan nada sumbang dan suara keras. Bukan itu saja, di barisan belakang, dua orang menggotong kue ulang tahun yang sangat besar dengan lilin berbentuk angka tiga puluh dua. Nyanyian Selamat Ulang Tahun semakin keras dan heboh.
Sekali lagi aku menoleh kepada Bu Lauren dengan tatapan protes. “Inikah kejutan darimu, Boss?”
Bu Lauren mengangkat kedua bahu. “Mereka yang minta.”
Selesai berpesta kecil dengan makan kue ulang tahun yang sungguh lezat itu, ternyata Bu Lauren masih melanjutkan rapat. “Well,” Bu Lauren meremas rambut cepaknya hingga membuat tatanan jabriknya makin berantakan. Siapapun yang bertemu langsung dengan bosku itu pasti akan langsung teringat Indy Barens dengan rambut pendek cepaknya di era 1990an hingga 2000an. “Seperti yang kubilang tadi, masih ada beberapa hal yang perlu kusampaikan sebelum rapat berakhir.”
Beberapa orang mulai serius kembali memperhatikan.
“Evaluasi yang kusampaikan tadi, input dan koreksi yang kuberikan pada tiap divisi tadi, tolong langsung eksekusi dan berikan laporannya lagi dalam minggu ini.”
Beberapa orang mengangguk terima, sedangkan beberapa lainnya mengeluh ringan.
“Selain itu, hari ini aku akan mengenalkan seseorang pada kalian.”
Seketika itu juga atmosfer di ruang rapat berubah bersemangat. Semua mata tertuju pada Bu Lauren, seolah-olah berharap orang yang dimaksud Bu Lauren akan muncul dari kolong mejanya. Bu Lauren menjentikkan jemarinya dan pintu terbuka. Seorang lelaki dengan postur tinggi dalam setelan serba hitam masuk dan berjalan melintasi ruangan.
Rasanya aku ingin pingsan karena terkejut.
Lelaki dalam balutan setelan serba hitam dengan kemeja soft peach itu berdiri di samping Bu Lauren dan membungkuk memberi salam sebelum dipersilakan duduk. Bu Lauren bilang namanya Bob Dylan. Aku ingat dia adalah lelaki yang gagal masuk lift tadi pagi gara-gara aku enggan menekan tombol hold. Tiba-tiba perutku bergejolak. Aku merasa tidak nyaman. Siapakah Bob Dylan dan untuk apa dia ada di sini?“Saudara-saudara,” Bu Lauren memulai lagi, “saya punya suatu hal penting yang akan saya sampaikan. Tadinya saya ingin mengumumkannya tepat pada harinya, tetapi karena satu dan lain hal, saya rasa itu tidak bijak.”Semua pasang mata yang ada di ruangan ini menuju ke satu titik. Bu Lauren. Perutku bergejolak lagi. Apakah Bu Lauren akan mengumumkan pertunangan? Atau malah pernikahan? Dengan lelaki berondong itu? Rasanya tidak mungkin. Pasti sesuatu yang akan disampaikan oleh bosku itu jauh lebih buruk dari sekadar pengumuman perubahan yang menyangkut status
Kutatap pantulanku yang tampak letih di cermin. Rambut panjang sebahuku kucepol dengan asal di bagian atas, menyisakan anak-anak rambut yang tak rapi di bagian kening. Muka yang baru saja kubasuh dengan air dingin tampak pucat dan tak menarik. Aku cukup beruntung dengan warna kulit cerah dan sedikit warisan proporsi wajah yang manis dari nenekku. Tetapi, itu tidak cukup menolong. Pukul tiga sore di tempat kerja begini hanya menyisakan sepasang alis yang telah pudar warna arangnya, sepasang bibir yang pucat dan kering dan sisa keringat yang mungkin saja menguarkan bau tak sedap.Aku mengeluh lagi di depan cermin. Seharusnya aku belajar dari para gadis itu. Kini aku menyesal mengkritik penampilan dan gaya hidup mereka. Bu Lauren juga menyebalkan. Buat apa dia menyuruhku untuk menemani Pak Bob makan malam? Memangnya dia tak berani makan malam sendiri? Oh, tidak…Aku kembali ke ruang Manajer Kantor dan mendapati Bu Lauren dan Pak Bob sedang serius berdiskusi. Bu Ana
Aku kembali ke masa kini. Kupandangi Pak Bob dan secarik post it itu bergantian. Hanya orang-orang dari SMANSA Petir yang memanggilku Gadis Hujan. Itu pun angkatan tertentu saja. Generasi Tiktok tentu tidak kenal seseorang dari sekolah mereka yang dipanggil demikian. Lama kutatap wajah calon bos baruku itu dari tempatku duduk dalam diam. Diam-diam aku berpikir jangan-jangan Pak Bob dulunya bersekolah di SMA yang sama denganku.Aku ingat ada seorang kakak kelas yang bernama Bob juga ketika SMA dulu. Tetapi entah siapa nama lengkapnya. Jika melihat penampilannya, rasanya tidak ada mirip-miripnya dengan Pak Bob calon bos baruku itu.Bob si kakak kelas berbadan tinggi kurus dengan rambut belah tengah yang terlihat konyol. Dan yang paling membuat orang risih adalah gigi majunya yang dipasang semacam kawat gigi yang keberadaannya justru makin mengundang orang untuk mengejek. Ya, seingatku Bob si kakak kelas adalah pecundang sekolah yang sering jadi sasaran risak bukan saja o
Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa
Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
Kulanjutkan acara minum susu rendah lemak yang sempat terjeda oleh video call dari Bob tadi. Setelah beberapa gelas yang membuat perutku kembung, aku berhenti dan mengembalikan kotak susu ke dalam lemari pendingin dan meletakkan gelas kotor ke dalam sink. Ketika berniat untuk kembali ke kamar di lantai dua, kudengar Bubu, kucing kesayanganku, mengeong dari kandangnya di bagian belakang rumah ini. Ya, Tuhan! Aku lupa menegok kucingku seharian kemarin. Betapa tidak, pagi-pagi aku berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa dan pulang malam. Kali terakhir aku mengajak Bubu bermain adalah Minggu sore yang itu berarti sudah dua hari yang lalu. Dengan langkah berjingkat, aku menuju area belakang yang kubagi menjadi dua bagian; satu area cuci-cuci, jemur dan setrika, dan sisanya adalah area rumah bubu. Aku selalu menjaga kebersihan tempat ini dan seluruh bagian rumahku dengan menyewa jasa tukang bersih-ber
“Ada apa ini, kok muka Ambika merah banget?” celetuk Bu Lauren sekembalinya dia dari kamar mandi. “Kamu apain, Bob?” Sebelum sempat Bob membuka mulut, aku duluan menyahut, “Nggak papa kok, Mom. Cuma digombalin dikit sama Bob. Dasar, Bob kurang kerjaan.” Meski sedikit mengernyitkan dahi karena mungkin bingung dengan tingkah kami berdua, Bu Lauren tak mengusut lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. Wanita yang selalu tampil modis dan harum itu segera kembali ke mejanya dan memeriksa pekerjaan. Aku pun kembali ke mejaku dengan kertas artikel yang sudah beres dan segera mengirim email ke bulletin Pandawa. Di sela-sela pekerjaan itu entah kenapa mataku selalu otomatis mencuri pandang ke arah Bob tiap kali ada kesempatan. Sialnya, terhitung beberapa kali aku terpergok sendiri oleh Bob ketika sedang mencuri lih
Setelah berpanjang kali lebar memberi penjelasan pada ibu-ibu kompleks dan satpam mengenai hubunganku dengan Bob, akhirnya kami bisa berangkat kerja dengan tenang. Aku menghela nafas lega tatkala kami sudah sampai di basement tempat parkir gedung perkantoran. Sampai kami masuk lift dengan aku menenteng kantong belanja bekas berisi wadah-wadah makanan yang dibuat Bob tadi, semuanya masih aman terkendali. Maksudku, sepertinya tidak ada yang memergoki kami berdua. Meski jika seseorang dari kantor memergoki kami berangkat bersama, reaksinya tidak akan seheboh ibu-ibu kompleks, tetap saja aku tak punya energi lagi untuk menghadapi hal seperti ini. Selagi lift bergerak ke atas, Bob sibuk memeriksa pantulannya di dinding lift sambil berdeham-deham. Entahlah, mungkin dia sedang kerasukan jiwa Narcissus. Kuakui dia memang selalu tampil sempurna dengan setelan berkelas dan gel mahal pada rambutnya, tetapi menurutku seh
Dengan mata masih menyipit karena baru bangun tidur, aku berjalan dengan panik menuruni tangga dan menuju pintu ruang tamu. Ketika pintu telah terbuka, kudapati Bob berdiri di ambang pintu dengan pakaian yang sudah rapi. Melihat ekspresi yang disuguhkannya, sepertinya dia sedang menghakimiku yang masih belum mandi, bahkan baru bangun tidur di jam segini. “Apa?” kataku galak. “Jangan berani-berani mengejekku karena masih berantakan jam segini, ya. Ini karena aku nggak bisa tidur nyenyak semalam. Lagian ngapain sih ke sini pagi-pagi.” Tanpa menjawab todongan pertanyaanku, Bob menerobos portal lenganku seperti yang dia lakukan kemarin. Di ruang tengah, rupanya dia bertemu Bubu yang memang tak kumasukkan kembali ke kandangnya. “Hey, buddy! Kok semalam aku nggak lihat kucing ini?” tanya Bob yang mulai bermain-main dengan Bubu. Kelihatannya Bubu pun cepat akrab dengan laki-
Kulanjutkan acara minum susu rendah lemak yang sempat terjeda oleh video call dari Bob tadi. Setelah beberapa gelas yang membuat perutku kembung, aku berhenti dan mengembalikan kotak susu ke dalam lemari pendingin dan meletakkan gelas kotor ke dalam sink. Ketika berniat untuk kembali ke kamar di lantai dua, kudengar Bubu, kucing kesayanganku, mengeong dari kandangnya di bagian belakang rumah ini. Ya, Tuhan! Aku lupa menegok kucingku seharian kemarin. Betapa tidak, pagi-pagi aku berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa dan pulang malam. Kali terakhir aku mengajak Bubu bermain adalah Minggu sore yang itu berarti sudah dua hari yang lalu. Dengan langkah berjingkat, aku menuju area belakang yang kubagi menjadi dua bagian; satu area cuci-cuci, jemur dan setrika, dan sisanya adalah area rumah bubu. Aku selalu menjaga kebersihan tempat ini dan seluruh bagian rumahku dengan menyewa jasa tukang bersih-ber
Aku tak tahu jam berapa tepatnya aku jatuh tertidur, tetapi yang jelas kini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Kusingkap tirai jendela di belakang ranjang dan kudapati kegelapan di luar sana. Masih malam. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan di jalan raya dan suara langkah kaki di jalanan depan rumah. Itu pasti satpam yang patroli. Setiap dua jam memang ada satpam berkeliling untuk menjaga kompleks ini. Udara dingin berembus melalui lubang ventilasi. Meski masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur, tanganku meraih ponsel yang sedang di-charge di atas meja dan membuka kunci dengan memasukkan sederet angka sebagai password. Pukul tiga lewat lima dini hari. Pantas saja udara begitu dingin. Tidak ada pesan apapun di W******p maupun Telegram dan entah kenapa itu menyakitkan. Jujur saja, setiap membuka ponsel aku selalu berharap ada pesan dari ‘seseorang.’ Seseorang yang baru saja kumimpikan. Seseorang yang membuatku terbangun dengan perasaan tak enak. Baru kusad
Tak lama kemudian kami sudah memasuki wilayah Simpang Kawat di mana rumahku berlokasi. Perumahan Anggrek Regency 2 terletak di pinggir Jalan Hos Cokroaminoto. Aku cukup beruntung bertempat tinggal di daerah yang strategis tak jauh dari akses jalan raya.“Setelah Indomaret ada perumahan di sebelah kiri, masuk aja. Rumah saya dekat kok dari gerbang.”“Oh, iya. Daerah sini ya rumah kamu?”Aku mengangguk. Bob sudah membelokkan mobilnya ke gerbang perumahan Anggrek Regency 2 dan membunyikan klakson untuk menyapa satpam. Aku memberi instruksi agar Bob mengarahkan mobil ke blok tempat rumahku berada. Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku, rumah nomor 22 di blok F. Bergegas, kubuka pintu mobil dan segera turun sampai-sampai lupa mengucapkan terimakasih pada Bob. Tetapi, sesaat kemudian aku terkejut karena mendapati Bob yang juga turun dan malah membuka bagasi mobilnya. Aku semakin bertanya-tanya bingung ketika Bob menurunkan dua dari tig
Di supermarket, Bob memilih troli yang paling besar. Ternyata dia mengambil apa saja yang dilewatinya begitu saja mulai dari sabun mandi cair, pasta gigi, obat kumur, sikat gigi, shampo, kondisioner, sabun pembersih wajah, pisau cukur, kaus kaki, kaus dalam, celana dalam, handuk kecil, deterjen, cairan pembersih lantai, cairan pencuci piring, pokoknya semuanya seolah tak memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membayar semua belanjaannya. Di bagian green grocery dia juga memasukkan segala jenis buah dan sayur, yogurt, susu, olahan daging beku, hingga bumbu dapur.“Kita belum punya peralatan masak. Kita cari teflon sama panci dulu, yuk.”Di belakang Bob, aku termenung dengan ucapannya barusan. Memangnya siapa yang mau masak, batinku. Dia tidak akan melibatkan aku dalam kekonyolan ini kan?“Ki?” Sebelah tangan Bob melambai-lambai di depan wajahku. “Kok melamun? Atau kamu capek, ya? Wajah kamu nggak bersemangat gitu.&rdqu
Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa
Aku kembali ke masa kini. Kupandangi Pak Bob dan secarik post it itu bergantian. Hanya orang-orang dari SMANSA Petir yang memanggilku Gadis Hujan. Itu pun angkatan tertentu saja. Generasi Tiktok tentu tidak kenal seseorang dari sekolah mereka yang dipanggil demikian. Lama kutatap wajah calon bos baruku itu dari tempatku duduk dalam diam. Diam-diam aku berpikir jangan-jangan Pak Bob dulunya bersekolah di SMA yang sama denganku.Aku ingat ada seorang kakak kelas yang bernama Bob juga ketika SMA dulu. Tetapi entah siapa nama lengkapnya. Jika melihat penampilannya, rasanya tidak ada mirip-miripnya dengan Pak Bob calon bos baruku itu.Bob si kakak kelas berbadan tinggi kurus dengan rambut belah tengah yang terlihat konyol. Dan yang paling membuat orang risih adalah gigi majunya yang dipasang semacam kawat gigi yang keberadaannya justru makin mengundang orang untuk mengejek. Ya, seingatku Bob si kakak kelas adalah pecundang sekolah yang sering jadi sasaran risak bukan saja o