Home / Pernikahan / Mencintai Suami Adikku / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Mencintai Suami Adikku: Chapter 21 - Chapter 30

79 Chapters

Bab 21: Maya Elkashi, Namanya

Tubuh ini terasa menegang setelah mendengar pengakuan dari perempuan berparas cantik itu. Hidung yang mancung, bibir tipis berpoles lisptik berwarna nude yang manis, riasan mata yang simple dengan bulu mata lentik alami dan alis yang indah. Belum lagi tubuhnya sangat ramping, kulit bening sehat dan penampilan yang modis. Sangat cocok jika mengaku sebagai istri dari pemuda tajir seperti Bang Zaky.Sedangkan aku? Tubuh sedikit berisi walau tidak over, dengan penampilan sederhana dan riasan yang selalu sederhana ini akan merasa minder jika berdiri bersebelahan dengan perempuan itu.Aku mengambil satu langkah mundur. Menatap keduanya dengan seluruh sisa kekuatan yang ada. Jika perasaanku hancur lebur saat mendengar Bang Hasan menikahi Anisya dulu, maka saat ini keadaannya tidak jauh berbeda.Kesekian kalinya, aku mengumbar sebuah senyum di atas luka yang berdarah bahkan mulai bernanah. Masuk ke tahap kronis, namun berusaha ditutupi dengan alasan akan sembuh dengan s
Read more

Bab 22: Pertanyaan Bang Hasan

Aku menghabiskan beberapa menit dengan Bang Zaky setelah kepergian Maya. Lelaki itu terlihat kikuk, salah tingkah juga gugup hingga pelipisnya mengucurkan keringat. Saat itu, Bang Zaky berusaha keras menjelaskan padaku perihal mantan istri dan putri kecilnya yang bak bidadari. Masa lalu yang tidak pernah dia sebutkan sama sekali, karena menurutnya masa depanlah yang paling berarti.Aku bungkam saja, mengulas senyum agar lelaki itu tidak semakin gugup sembari mendengar kisah hidupnya. Hingga kepulanganku, Bang Zaky masih merasa bersalah, dia mengantarku dengan tatapan sayu, yang menyiratkan kekecewaan yang mendalam pada dirinya sendiri.Hampir setengah lima sore, aku menyempatkan diri untuk salat asar lebih dulu di musalla yang disediakan kafe milik Bang Zaky sebelum berangkat pulang. Perjalanan pulang terasa lebih nyaman, karena pikiran tidak lagi terbeban dengan keadaan belum menunaikan kewajiban.Tidak butuh waktu terlalu lama, jam sibuk belum tiba saat motor
Read more

Bab 23: Sesuatu yang Berubah

Aku berlari meski rok A yang melindungit tubuh bawah ini sedikit mengahalangi langkah. Tujuan dari pelarian ini adalah mobil Jazz putih yang baru saja dimasuki pemiliknya. Aku tidak bisa berhenti merutuki diri yang terlalu lamban memahami maksud dari perkataan Bang Hasan dan membiarkan pemuda itu lebih dulu meninggalkan kafe. Padahal, ucapan dari Bang Hasan begitu ambigue, mengundang banyak tanda tanya yang seharusnya segera aku mintai kejelasan.“Abang?” seruku sekeras mungkin. Namun mobil yang disetiri Bang Hasan, tetap melaju cepat melewatiku yang berdiri di parkiran.“Motor!” seruku lagi.Tanpa menjeda sedikit waktu pun, aku segera mendekati motor matik yang ikut datang bersamaku tadi. Meski hampir mustahil mengejar Bang Hasan, namun jiwa ini masih saja membara. Tidak ada salahnya mencoba, sembari berdo’a agar Bang Hasan terjebak lampu merah dan aku bisa menyusul pemuda itu.Berbagai pikiran jelek yang melintas satu per s
Read more

Bab 24: Tangisan di Sore Itu

“Mak ... Anisya enggak mau,” lirih Anisya di dalam pelukan mamak. Dia terus menangis hingga isakan tangisnya tidak lagi terdengar jelas seperti sebelumnya. Air matanya seakan telah habis tidak bersisa.Sama halnya dengan Anisya, Mamak yang memeluk putri bungsunya juga menangis sesegukan. Tangan mamak begitu aktif mengelus punggung Anisya yang bergetar hebat, lalu beristigfar berulangkali demi menenangkan putri dan dirinya sendiri. Mungkin, mamak tidak pernah mengira, jika nasib putri-putrinya tidak akan semulus kisah cintanya dengan almarhum bapak.Aku yang hanya bisa berdiri di belakang keduanya, menjadi begitu bimbang. Rasa bersalah yang semakin menggunung karena melihat Anisya yang tidak berhenti menangis, membuatku tidak berani mendekati Anisya, apalagi mencoba menghiburnya. Meski apapun penjelasanku saat ini, sepertinya Anisya tidak akan pernah mempercayai ucapanku.“Ini semua gara-gara Kak Zahrah, Mak. Gara-gara Kak Zahrah! Dia iri sama N
Read more

Bab 25: Malam yang Menyakitkan

Jalanan kota Banda Aceh begitu lengang malam ini. Gerimis yang baru saja datang menambah hawa suram. Bulu kudukku meremang saat menyusuri jalanan kota sembari mencari keberadaan Anisya.Pandanganku menyapu setiap sudut kota di tengah gelapnya malam. Sembari berharap bisa menemukan adikku yang nekat melarikan diri.Sore tadi, setelah Anisya pergi, meski punggung terasa ngilu, tetap saja aku memaksakan diri mendatangi rumah Kak Sum, pelukis Henna saat Anisya menikah dulu. Aku meminta kepada wanita berwajah manis itu untuk meminjamkan motor miliknya tanpa menjelaskan tujuanku padanya. Syukurnya, Kak Sum tidak kepo dan bertanya lebih jauh. Dia segera meraih kunci motor matiknya lalu menyerahkannya padaku.Aku yang tersipu dengan kebaikan Kak Sum, tanpa kusadari membungkukkan tubuh. Rasa haru dan kagum membuat tubuh ini memberi hormat padanya. Sebab biasanya, tiap kali aku meminjam motor tetangga yang lain jika motorku dipakai Anisya, ada saja pertanyaan-per
Read more

Bab 26: Harapan dalam Tangisan

Ruang tunggu rumah sakit sangat lengang. Hanya satu dua orang dari petugas medis yang lalu lalang. Mereka terlihat santai, sembari bertukar kisah yang tidak menarik perhatianku sama sekali. Haha dan hihi, di larut malam begini.Entahlah, siapa yang perduli dengan kehidupan orang lain. Saat ini, hidupku sendiri tidak sesenggang itu. Ada seseorang yang begitu berarti, sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam sana. Aku memendarkan mata, bau obat yang menusuk, serta ruangan-ruangan yang didominasi warna putih, membangkitkan kenangan tentang sosok berharga dalam hidupku. Di rumah sakit yang sama, bertahun-tahun lalu di salah satu ruangan dari bangunan ini, aku telah mengikrarkan janji pada bapak untuk menjaga Anisya dan mamak. Mengutamakan kebahagiaan mereka di atas bahagiaku, mengutamakan keselamatan keduanya daripada diriku. Semua itu kulakukan, hanya untuk melihat senyum terakhir di wajah bapak yang pucat.Tapi, lihatlah kini, semua janji yang terikrar
Read more

Bab 27: Diary Tua Anisya

Ini sudah hari kedua, dimana Anisya hidup dengan bantuan peralatan medis yang melilit tubuhnya. Monitor, ventilator, infus hingga kateter, adalah alat-alat yang ada di tubuh Anisya, setidaknya itu yang disebutkan oleh dokter saat membawa Anisya ke ruangan ini.Aku yang hanya bisa menatapnya dari luar ruangan, kembali sibuk merapal do’a, berharap jika Anisya akan kembali membuka kedua mata indahnya dan melanjutkan hidup bersama kami, dengan atau tanpa suaminya. Kuhela napas dalam-dalam, lalu menurunkan tangan dari dinding kaca yang menjadi pemisah antara aku dan Anisya. Kulangkahkan kaki ini menjauh, lalu menjauh dari ruangan bertulisan ICU.Tidak terasa, matahari di hari kedua sudah terbit tinggi. Memamerkan hangatnya meski tidak ada yang perduli. Setiap insan yang berlindung di bawah atap rumah sakit ini, begitu sibuk dengan urusannya masing-masing, hingga tidak sempat menengadah, menatap kembali matahari yang masih bersedia terbit di sana.Lama terdiam s
Read more

Bab 28: Curahan Hati Anisya

Aku membuka lembaran selanjutnya dari buku Anisya. Dari setiap lembar yang sudah kubaca, barulah aku menyadari jika Anisya tidak menuangkan semua kesehariannya di dalam diary kecil ini. Melainkan, Anisya hanya menuliskan kisah-kisah tertentu yang mungkin dirasanya cukup berarti.Hal yang paling mengoyak perasaanku adalah, buku diary Anisya yang tipis ini, bahkan belum penuh meski sudah dia tulisi sejak SMA, terlihat dari biodata, gaya penulisan serta tanggal kisah pertama yang dia ungkapkan di dalamnya. Jika tebakanku benar soal kisah-kisah berarti itu, maka bisa disimpulkan jika selama ini tidak banyak hal yang menarik untuknya.Aku begitu sibuk merutuki ketidakberdayaan sebagai orang yang diamanatkan bapak untuk menjaga Anisya. Mungkin selama ini, Anisya memendam seribu rasa sakit yang lebih dari rasa sakitku saat dia menikahi Bang Hasan. Padahal selama ini aku begitu mengagumi paras indah serta bentuk tubuhnya yang bak gitar. Lagi, pelajaran berharga jika kesempurna
Read more

Bab 29: Kerasnya Bang Hasan

“Kita bicara di sini saja,” pintanya meski aku masih enggan menorehkan senyum di wajah. Bang Hasan terus saja meminta agar kami berpindah dari lokasi awal menuju kantin rumah sakit. Menurutnya, ada banyak hal yang ingin dia bicarakan denganku secara pribadi. Tidak sopan rasanya duduk berduaan di bangku begitu, padahal ada banyak orang yang lalu lalang di sana.Aku menurut saja meski dengan setengah hati. Perasaanku masih terluka dengan kenyataan yang baru saja terungkap ini. Meski dalam setiap curahan hatinya Anisya meminta maaf padaku, tetap saja ada bagian yang memberat di dalam sana untuk segera menerima hal ini. Menerima kenyataan jika Anisya pernah mencorengku dengan abu demi mendapatkan berlianku.  “Mau obrolin yang mana dulu, Zahrah?” ujarnya lagi setelah kami duduk berhadapan di salah satu meja. Aku masih saja acuh, menatap kosong pada layar ponsel yang mati dengan tangan yang terkepal kuat.  “Soal Abang yang eng
Read more

Bab 30: Badai Kedua

Langkahku semakin ragu setelah melihat perubahan tajam dari raut wajah Bang Zaky. Pemuda itu terlibat pembicaraan serius dengan adik sepupunya. Tidak ada senyum apalagi tawa, hanya rasa tegang yang menyelimuti kedua pemuda itu. Aku yang hanya bisa menyimak dari jarak dua meter ini meremas tanganku sendiri. Tatapan mata hanya bisa mengikuti setiap pergerakan keduanya sembari menerka-nerka dari gerak bibir Bang Zaky tentang apa yang sedang mereka bicarakan. Sesekali Bang Zaky mengangkat diary milik Anisya, ekspresinya dipenuhi tanda tanya, sedang lawan bicaranya mengangkat kedua tangan lalu mengendikkan bahu. Ingin sekali aku menghampiri keduanya dan mendengar lebih jelas pembicaraan yang kini sedang mereka lakukan, namun sisi lain dari diriku menahan agar lebih bersabar, karena setelahnya Bang Zaky pasti akan menuntut penjelasan dariku. Kulihat Bang Hasan menepuk pundak Bang Zaky, lalu pemuda itu melangkah pergi setelah mendapat anggukan dari saudara sepupunya
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status