Aku membuka lembaran selanjutnya dari buku Anisya. Dari setiap lembar yang sudah kubaca, barulah aku menyadari jika Anisya tidak menuangkan semua kesehariannya di dalam diary kecil ini. Melainkan, Anisya hanya menuliskan kisah-kisah tertentu yang mungkin dirasanya cukup berarti.
Hal yang paling mengoyak perasaanku adalah, buku diary Anisya yang tipis ini, bahkan belum penuh meski sudah dia tulisi sejak SMA, terlihat dari biodata, gaya penulisan serta tanggal kisah pertama yang dia ungkapkan di dalamnya. Jika tebakanku benar soal kisah-kisah berarti itu, maka bisa disimpulkan jika selama ini tidak banyak hal yang menarik untuknya.
Aku begitu sibuk merutuki ketidakberdayaan sebagai orang yang diamanatkan bapak untuk menjaga Anisya. Mungkin selama ini, Anisya memendam seribu rasa sakit yang lebih dari rasa sakitku saat dia menikahi Bang Hasan. Padahal selama ini aku begitu mengagumi paras indah serta bentuk tubuhnya yang bak gitar. Lagi, pelajaran berharga jika kesempurna
“Kita bicara di sini saja,” pintanya meski aku masih enggan menorehkan senyum di wajah. Bang Hasan terus saja meminta agar kami berpindah dari lokasi awal menuju kantin rumah sakit. Menurutnya, ada banyak hal yang ingin dia bicarakan denganku secara pribadi. Tidak sopan rasanya duduk berduaan di bangku begitu, padahal ada banyak orang yang lalu lalang di sana.Aku menurut saja meski dengan setengah hati. Perasaanku masih terluka dengan kenyataan yang baru saja terungkap ini. Meski dalam setiap curahan hatinya Anisya meminta maaf padaku, tetap saja ada bagian yang memberat di dalam sana untuk segera menerima hal ini. Menerima kenyataan jika Anisya pernah mencorengku dengan abu demi mendapatkan berlianku. “Mau obrolin yang mana dulu, Zahrah?” ujarnya lagi setelah kami duduk berhadapan di salah satu meja. Aku masih saja acuh, menatap kosong pada layar ponsel yang mati dengan tangan yang terkepal kuat. “Soal Abang yang eng
Langkahku semakin ragu setelah melihat perubahan tajam dari raut wajah Bang Zaky. Pemuda itu terlibat pembicaraan serius dengan adik sepupunya. Tidak ada senyum apalagi tawa, hanya rasa tegang yang menyelimuti kedua pemuda itu. Aku yang hanya bisa menyimak dari jarak dua meter ini meremas tanganku sendiri. Tatapan mata hanya bisa mengikuti setiap pergerakan keduanya sembari menerka-nerka dari gerak bibir Bang Zaky tentang apa yang sedang mereka bicarakan. Sesekali Bang Zaky mengangkat diary milik Anisya, ekspresinya dipenuhi tanda tanya, sedang lawan bicaranya mengangkat kedua tangan lalu mengendikkan bahu. Ingin sekali aku menghampiri keduanya dan mendengar lebih jelas pembicaraan yang kini sedang mereka lakukan, namun sisi lain dari diriku menahan agar lebih bersabar, karena setelahnya Bang Zaky pasti akan menuntut penjelasan dariku. Kulihat Bang Hasan menepuk pundak Bang Zaky, lalu pemuda itu melangkah pergi setelah mendapat anggukan dari saudara sepupunya
Tiga tahun setelah kecelakaan Anisya, kehidupan kami berjalan kembali dengan normal. Tidak sepenuhnya normal, tentu saja berubah total dibanding masa lalu. Normal yang aku maksud di sini adalah, kehidupan kami berubah tenang tanpa ada masalah-masalah berat yang menyiksa.Ada banyak perubahan, sangat banyak hingga kedua mata ini bisa basah tiap kali mengingat. Aku ingat benar hari itu, tepat setelah sebulan Anisya sembuh, terhitung empat minggu sejak kecelakaan itu terjadi, Bang Hasan dan Anisya resmi bercerai, baik secara agama maupun hukum. Saat itu, aku mengira Anisya akan menahan Bang Hasan atau meraung-raung seperti yang selama ini dia lakukan, namun Anisya hanya tersenyum, lalu meminta maaf pada pemuda itu, juga padaku.Sempat aku meminta Anisya untuk memeriksakan diri ke dokter, takut-takut jika kepalanya yang terluka parah membuat gadis itu berubah. Akan tetapi, Anisya mengakui jika selama dia kritis di ICU, Anisya bisa merasakan kasih sayang dan ketulusan darik
“Apa itu penting, Rah? Jangan mikirin Bang Hasan dulu, itu ibu-ibu di kampung sini nyebelinnya udah akut banget,” omelnya seraya menghempas tubuh di sofa. Sofa tua peninggalan mamak dan bapak itu berguncang dan berderit, usianya yang mulai banyak membuatnya tidak sanggup menahan perlakuan keras yang diberikan Tya.“Sudah, kita sudah balas juga tadi.” “Enggak puas, Rah! Maunya aku sambelin mulutnya tuh Bu Kades. Heran, ngurusin urusan orang aja pinter banget. Giliran masalah di kampung lemotnya minta ampun.” Tya tidak bisa berhenti mengomel. Gadis itu mengerucutkan bibir, keningnya yang berkilau menjadi jelek karena berkerut tipis. Wajar saja gadis itu berucap begitu. Masih teringat jelas hari dimana kami bertiga datang ke rumahnya untuk melapor jika Tya dan Wulan akan tinggal bersamaku, namun Bu Kades seakan acuh bahkan menunda-nunda menerima kedatangan kami. Akhinrya, barulah hari ketiga, Bu Kades menyetujui set
Rintik hujan terdengar bak lagu yang merdu.Bersama di bawah langit yang kelabu.Aku dan kamu, berusaha untuk bersatu.“Abang kapan pulang?” tanyaku setelah kami lama terdiam.Pemuda yang sedari tadi kusebut pemuda patung itu ternyata benar pemilik manik mata indah yang begitu kukagumi tiga tahun lalu. Dia segera melepas tudung hoodie serta masker begitu aku berbalik. Senyum yang selalu memikat itu dia tunjukkan begitu tatapan kami bertemu.Kami memutuskan untuk berbicara sebentar, sembari menunggu hujan reda. Setidaknya, saling menyapa sebagai sebuah keluarga yang telah berpisah meski rasa canggung terus menyiksa.“Sudah hampir seminggu, Zahrah. Kamu ... apa kabarnya?” balasnya lemah.Suara Bang Hasan sudah banyak berubah, bahkan parasnya menjadi lebih tampan berwibawa dibanding sebelumnya. Aku menelan saliva, saat jantungku yang nakal itu kembali memo
“What? Are you kidding me?” Tya memekik cukup keras hingga rahangnya mengeras. Jika tidak mengingat banyaknya makanan yang tertata di atas meja, sudah pasti gadis itu akan menggebrak meja demi meluapkan emosinya.Gadis itu segera mendatangiku dengan sorot mata yang tajam. Kedua matanya membesar dan bibirnya bergetar menahan kesal. Tidak ubahnya Tya, kini Wulan juga berperilaku sama. Keduanya serentak mencengkeram kedua lenganku hingga terasa panas.“Otakmu geser, Rah? Apa lulus CPNS dan punya jam mengajar tetap membuatmu tidak waras?” seloroh Tya. Terlihat jelas jika gadis itu juga menggertakkan barisan giginya yang rapi.Gadis itu terus mempererat cengkeraman tangannya, bukan berniat menyakiti melainkan sebal, kesal juga kecewa dengan jawaban yang tadi aku lontarkan. Meski demikian, aku tetap saja menatapnya dengan tatapan tenang, tidak ingin menodong keduanya sembarangan karena aku paham atas niat baik yang mereka rencanakan.
Pada deburan ombak serta hembusan angin di lautAku bersumpah, untuk berhenti mencintaiOrang lain selain, kamu!-MineLidahku terasa kelu saat mendengar ucapan mak cik. Begitu dalam rasanya relungku terluka setelah inginku berhadapan dengan penolakan. Bukannya aku tidak tahu hal itu, bukan juga tidak sadar diri, akan tetapi sudah bertahun lamanya nama Bang Hasan enggan hilang dari sanubari. Harus berapa lama aku memendam sebuah rasa yang haram ini? Cintaku butuh rumah, karena ia ingin pulang setelah lama berkeliaran.Aku menghela nafas, menundukkan wajah demi menyembunyikan kedua mata yang mulai basah. Batinku merana, tersiksa, namun semuanya harus kuteguk dalam-dalam meski jiwaku seakan telah tenggelam di dalam lautan.“Baik, mak cik, aku paham,” lirihku dengan suara yang bergetar.Entah bagaimana lagi caraku menjawab keduanya, sebab jika lebih banyak kata yang t
Aku tak pernah meminta banyak hal di dunia ini, selain kebahagiaan dan kasih sayang. Terima kasih sudah datang. –Zahrah Al-Humairah.“Zahrah? Sayang?” Bujuk rayu itu menggema di langit subuh yang syahdu. Aku yang masih memejamkan mata bisa merasakan sesuatu yang mulai menyentuh pipi. Dingin dan lembut, terasa kasih sayang yang melesat jauh dari ujung jemari itu.“Sayang? Bangun dong! Sudah subuh. Mandi dulu, terus salat bersama,” pinta suara itu lagi.Aku berbalik, berusaha memunggungi sosok yang kini duduk di dekat ranjang. Aku sadar, pun tahu jika pria yang terus berusaha menggodaku adalah Bang Hasan. Pria yang telah mengambil kesucian yang selama ini kujaga. Mendadak saja hati ini tergelitik mengingat bagaimana indahnya peristiwa yang telah kami jalani beberapa jam lalu.“Abang tahu kamu sudah bangun, Sayang?” godanya lagi. Lengkap dengan satu kecupan lembut di pelipisku.“Kamu aka
Bab 79: Di Ujung Kisah IniTiga Bulan KemudianAku menarik napas lega setelah mendengar jawaban dari Bang Hasan di seberang sana. Sudah beberapa jam kami terpisah. Bang Hasan sejak subuh tiba sudah berada di bandara Sultan Iskandar Muda, dan akan terbang bersama teman-teman sekantornya menuju Jakarta. Lagi, Bang Hasan kembali bertugas, kali ini seminggu lamanya.“Abang baru sampai, Sayang?!” ujarnya renyah. Tidak terasa lelah dari lekuk suaranya yang dalam itu. Padahal, aku hampir tidak bisa bernapas, tidak bisa lepas dari gawai serta jam yang terpampang di layar. Setiap detiknya kuhabiskan dengan terus berdoa, agar Bang Hasan selamat dalam perjalanan, tidak kurang suatu apapun.“Alhamdulillah, Bang. Dijemput, ya?” balasku.Kuremas gorden kecoklatan yang menjuntai dari atas itu. Rumah yang sudah direnovasi oleh Bang Hasan lebih kokoh dan bagus, lengkap dengan beberapa perabotan yang dicicil oleh kami bersama. Ada sesuatu yang terasa hilang; kehadiran Bang Hasan di dalam keseharianku.
“Apa-apaan ini, Bang Hasan? Keterlaluan sekali kelakuanmu ternyata, pantas kamu pulang-pulang langsung ngawinin Kak Zahrah, ternyata kamu mencari ibu buat anakmu, hah?” tukas Anisya.Aku yang melihat responnya barusan tercengang luar biasa. Dia yang biasanya tidak peduli dengan urusanku, tiba-tiba saja menjadi begitu menggebu-gebu hingga berhasrat untuk mencaci serta memaki Bang Hasan. Bibirnya aktif bergerak, seiring dengan jemari yang terus menunjuk pada Bang Hasan.Walau perutnya bulat dan ketat, Anisya berdiri dengan tegak, memandangi Bang Hasan yang baru saja mengaku di depan kami semua. Anisya membelaku, menentang hal yang akan menyakitiku meski dirinya tidak tahu asal-muasal permasalahannya.“Bang, kamu nikahin Kak Zahrah karena ini, hah? Picik sekali kelakuanmu. Aku makin bersyukur kita bercerai dulu,” selorohnya lagi. “Bisa-bisanya kamu melakukan hal busuk begini untuk Kak Zahrah, Bang? Setelah dulu menyakitinya, dan membuatnya menangis siang dan malam, sekarang kamu menambah
Aku menarik napas dalam hingga dada ini membusung saat dua tapak kaki menapak di teras rumah yang beralaskan semen. Dingin terasa di ujung jemari, terlebih begitu menyadari jika pintu rumah terbuka lebar dan Si Kembar terlelap di atas sofa. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Anisya yang harusnya menjaga anak-anak menggemaskan itu. Pun Bang Burhan juga tidak terlihat rimbanya.Kuputuskan untuk segera masuk, tidak lupa tetap memberi salam. Bang Hasan menyusul dari arah belakang tanpa mengucapkan sepatah kata selain salam. Dia mengikutiku, memasang wajah bingung dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Mainan berhamburan, sepertinya baru dibelikan Bang Burhan untuk anak-anaknya. Sebab seingatku, saat mereka tiba kemarin, tidak ada satu mainan pun dibawanya pulang.Plastik yang membalut susunan pakaian juga tergeletak di lantai. Atasnya telah terbuka, dan sebagian isinya terburai keluar. Sepertinya, hasil dari laundry.“Nisya?” panggilku. Meradang hati ini membayangkan bagaimana dia me
“Lain kali jangan sembarangan memanggil nama istriku, Bang!” Bang Hasan menegur sepupunya dengan intonasi yang dalam. Pria itu berdiri tegak, menghalangi sepenuhnya pandanganku dari pria yang pernah singgah di dalam hidup kami berdua. Bang Hasan bahkan tidak bersedia membiarkanku menjawab sapaan Bang Zaky barusan.“Aku tidak suka mendengarnya, terlebih jika itu darimu!” sambung Bang Hasan.Terasa suasana di antara kami kian mencekam. Bang Hasan tersulut emosinya hanya dengan kehadiran Bang Zaky. Padahal pria itu hanya menegur, sebab tidak sengaja bertemu dengan kami di rumah sakit ini.“Santai, San! Santai ....” Dua tangan Bang Zaky terhampar di depan dada Bang Hasan. Sikapnya seolah ingin menegaskan bahwa niatnya tidak lebih dari menyapa. “Aku tidak tahu kalau kamu tidak menyukai saudaramu sendiri.”“Ya, aku memang tidak suka.” Bang Hasan menjawabnya dengan tegas.Kupandangi belakang kepala Bang Hasan. Pria itu tidak bergeming. Meski di antara kami, banyak keluarga pasien yang melint
“Kenapa diam? Ada apa dengan ekspresimu, Sayang?” tanya Bang Hasan.Dia mendekat padaku hingga jarak kami tidak lebih jauh dari sebilah penggaris. Dua tangannya yang besar dan hangat jatuh di pundakku, lalu sorot mata kami saling beradu. Dari pergerakan pupilnya aku segera tahu jika Bang Hasan sedang mencoba menerjemahkan perubahan dari raut wajah istrinya sendiri.“Mamak masih tidak setuju, Zahrah?” ucapnya.Aku terdiam, lidah ini kelu rasanya. Tidak mungkin kujelaskan bagaimana respon mamak mertua saat keinginan ini sampai padanya. Tapi diam terlalu lama hanya akan membuat Bang Hasan sibuk menduga-duga. Bagaimana solusinya? Apa yang harus kulakukan agar dua orang yang berbagi darah ini tidak saling salah paham nantinya?“Abang akan bicara dengan mamak sekarang!” tegasnya.Bang Hasan telah berdiri saat tangannya berhasil kucegat dengan cepat. Pria itu tidak peduli dengan responku dan terus berjalan sampai aku sedikit terseret olehnya. “Abang?”“Zahrah? Biarkan Abang bicara dengan mam
Sore harinya, aku keluar dari kamar usai melaksanakan salat asar. Terdengar suara mamak mertua yang sedang bermain dengan Husein di ruang keluarga. Suaranya yang renyah dan dendang lagunya menandakan betapa senang hati wanita itu.Kuberanikan diri untuk mendekat, menuruni setiap anak tangga dari lantai dua menuju lantai pertama tanpa memindahkan pandangan dari dua insan itu. Guratan wajah mamak mertua begitu ceria, sedangkan si kecil Husein sibuk mendorong mobil-mobilannya dengan tangan gempalnya. Dia tidak rewel, tidak menuntut susu coklat seperti pagi tadi, atau meminta digendong sepanjang hari. Bagiku, Husein cukup mandiri dibanding anak-anak kebanyakan. Mungkin, hati kecilnya paham bahwa dunia yang dimasukinya saat ini bukanlah dunia yang sama dengan yang dihadirkan oleh kedua orang tuanya dulu.“Mau apa Adek?” Mamak mertua memanggil Husein. “Mau apa, Sayang?”Husein mengangkat wajah. Tidak ada jawaban apapun, dia hanya memperlihatkan mobilan truck warna kuningnya. Lalu, seolah me
Setelah mendapatkan apa yang kucari dari apotek, kami bergerak dengan cepat menuju rumah mamak mertua. Bang Hasan di sebelah mobil tidak bertanya apapun, bahkan dia lupa jika hari ini seharusnya masuk kerja.Mobil yang disetirinya mengambil jalur putar arah, lalu bergerak menuju sebuah rumah yang begitu familier dengan kami. Halamannya hening sempurna, tidak ada siapapun di depannya, seolah-olah tidak ada satu kehidupan pun yang bersembunyi di balik bangunan besar itu.“Abang langsung ke kantor saja, aku akan masuk dan bicara sendiri!” pintaku pada Bang Hasan. Kantong plastik bertuliskan nama apotek ternama itu kuremas sekuat tenaga. Perasaanku bercabang banyak arah, namun terus tertahan di dalam rongga dada agar pria itu tidak merasakannya sedikitpun.Bukannya aku tidak menghargai hadirnya sebagai seorang suami, melainkan semuanya hanya untuk menjaga hubungan kami. Aku tidak ingin memberinya terlalu banyak harapan akan sesuatu yang belum pasti, dan ingin fokus pada hal yang sudah ter
“Apa lagi ini, Abang? Di mana kalimatku yang menegaskan kalau aku keberatan jika Husein bersama kita?” protesku segera. Padahal hanya satu kalimatnya, namun emosiku tersulut begitu hebat dan dalam waktu yang begitu singkat.Bang Hasan salah paham? Tapi kenapa? Apa yang membuatnya mengira kalau aku membenci anak kecil malang yang begitu polos itu? Tidakkah dia tahu bahwa dirinya juga menikahi seseorang yang tidak lagi memiliki orang tua di dunia ini?Selesai masalah antara Annisa dan Bang Burhan, kini Bang Hasan mulai memupuk masalah di dalam rumah tangga kami. Dia baru saja pulang dari dinasnya, belum usai rindu kami bina bersama dan Bang Hasan malah membuat perasaanku berderak geram karenanya.“Apa menuduhku tanpa ada penyebabnya. Padahal aku tidak pernah berpikir begitu terhadap Husein.”“Tidak, Zahrah ... Abang hanya terawa perasaan setelah melihat Anisya.”“Lalu Abang mengira aku akan sama dengannya? Aku tahu, Abang pernah menikah dengan Anisya, tapi sekarang yang Abang nikahi itu
Pagi menyingsing dengan cepat. belum genap dua jam aku beristirahat, semburat matahari terasa dari jendela kamar. Kemudian, disusul hiruk-pikuk dari orang-orang di luar sana. Beberapa perawat berlalu lalang di depan kamar Anisya, pun sesekali dokter, petugas kebersihan dan keluarga pasien.Aku yang tertidur di sofa segera mengusap wajah. Kulirik Anisya, wanita itu masih terlelap di brangkar, dengan posisi yang sama seperti semalam. Satu tangannya masih mendekap gawai, dan raut wajahnya sesekali merengut, seperti sedang bermimpi buruk.Kuhela napas, semuanya tetap saja sama beratnya di pundak. Andai saja mamak dan bapak ada di sini, mungkin perjalanan hidup kami akan terasa berbeda. Seberat apapun masalahnya, jadi lebih mudah kala dihadapi dengan nasihat mamak dan bapak, saat ditemani oleh dua orang yang telah melahirkan kami berdua ke dunia.Sesaat, aku memutuskan untuk menghapus lamunan itu, lalu beristigfar segera. Tidak boleh begini, sama sekali tidak boleh mengeluhkan takdir yang