Semua Bab Mencintai Suami Adikku: Bab 1 - Bab 10

79 Bab

Bab 1: Terungkap

“Menikah? Siapa yang akan menikah, Mak?” tanyaku setelah melepas heels yang seharian begitu menyiksa kaki. Tubuhku yang setinggi 155 cm membutuhkan bantuan dari sepatu berhak demi menunjang tinggi tubuhku ini. Mengendarai motor matik yang tinggi, juga cukup membantu dengan menggunakan heels. Aku meletakkan sepatu mengkilap berwarna hitam yang telah kusemir pagi ini di atas rak sepatu teratas. Sebuah senyum kusematkan saat melihat raut wajah bahagia yang tersurat dari wajah Mamak dan Anisya, adikku satu-satunya. 
Baca selengkapnya

Bab 2: Keberuntungan untuk Anisya

“Astagfirullah!” Aku memekik cukup keras saat terbangun dari tidur. Ponsel menjadi tujuanku saat ini demi mengetahui jam yang tertera di layar. Bisa kurasakan wajah yang masih panas dan mata yang membengkak, meski begitu aku ingat benar jika aku telah melewatkan salat dhuhur. Jam 14.30! Mataku membulat dengan cepat. Aku menghempas ponsel tersebut di kasur lalu melompat turun dari ranjang. Bergegas mengganti pakaian dengan setelan rumahan. 
Baca selengkapnya

Bab 3: Nomor yang Tidak Dikenal

Sejenak aku tertegun mendapati pesan dari nomor tidak dikenal itu. “Abang Zaky?”  Aku merenung, sembari mengingat nama Zaky yang pernah terlintas di dalam hidupku. Memang benar, pernah ada lelaki bernama Zaky yang singgah, sebagai teman, tidak pernah lebih dari itu.  Seingatku, Bang Zaky juga sudah menikah dengan bidadarinya dari kota Medan tiga tahun yang lalu. Gadis berparas cantik yang sanggup membuatku iri.  Drt! Ponsel
Baca selengkapnya

Bab 4: Obrolan Siang Itu

“Zahrah? Yang bener aja, ditelpon susah banget, sih?” Seruan keras yang mendadak terdengar membuatku segera berbalik.  Terik panas matahari yang menyengat ubun-ubun, meski berpelindung jilbab tetap saja terasa menyakitkan. Meski begitu, aku memilih diam, menahan panas dengan tangan yang aku tangkupkan di kening.  “Aduh! Tya?! Ngapain di sini? Kok Bu Sekretaris seperti kamu nyasar ke kampus?” sindirku begitu mengenali gadis dengan setelan jas dan jilbab yang melilit leher datang mendekat. Langkah gadis itu begitu anggun, ditunjang dengan heelsnya yang seruncing jarum.  “Nyindir? Dasar, Bu Dos!” ujarnya begitu berdiri di hadapanku. “Aku mau ngajakin kamu makan siang. Mumpung atasanku lagi dinas, bisa berleha-leha di kantor, terus jam makan siang bisa lebih lama. Hahaha!” Gelak tawa Tya terdengar cukup keras.  Gadis itu memamerkan barisan giginya yang putih dengan deret atas dipagari behel. Buru-buru aku menutup mulut Tya dengan tanga
Baca selengkapnya

Bab 5: Akhirnya Terbongkar!

Sejenak, aku menatap kosong pada dinding kamar yang didominasi warna abu-abu.  Tubuh lelah ini, terduduk dengan posisi bersandar di dashboard kayu kamar sederhana. Menikmati harum samar-samar dari pengharum ruangan otomatis yang tergantung di dinding.  Hening! Sepi! Tidak ada satu suara pun yang menggema di setiap sisi rumah. Sesekali, sahut-sahutan suara cicak, lalu dengungan nyamuk menjadi alunan musik yang menemani malamku yang pilu.  Aku ingat benar, hardikan kasar yang dilemparkan Anisya kepadaku magrib tadi. Gadis itu ingin sekali menjambak rambutku, namun berusaha dia tahan dengan sekuat tenaga demi menghormati mamak.  Tidak pernah terbayangkan di dalam anganku, jika Bang Hasan akan mengetahui perasaan terpendam ini dengan cara memalukan begini. Bahkan, melalui mulut orang lain.  Iya! Tyalah yang membeberkan semua hal itu pada Bang Hasan siang tadi. Membuat lelaki itu terperanjat dengan mulut yang membulat. 
Baca selengkapnya

Bab 6: Permintaan Mamak

Sudah larut malam namun mamak dan Anisya tidak kunjung pulang ke rumah. Keduanya nekat mendatangi rumah Bang Hasan karena khawatir jika pemuda itu akan membatalkan pernikahan.Beranjak dari ranjangku yang hangat, aku keluar dari kamar lalu duduk di ruang keluarga dengan perasaan bimbang.Dalam hati, kurapalkan sejuta do'a, agar kepulangan mamak dan Anisya membawa kabar gembira, untuk Anisya. Tidak bisa kubayangkan jika gadis itu akan menyalahkanku seumur hidupnya jika terjadi sesuatu dengan rencana pernikahannya.Lama aku duduk sembari menggenggam ponsel di tangan. Pesan-pesan beruntun yang terus bermunculan terus aku abaikan. Tya, Wulan juga Bang Hasan terus memberondongku dengan pesan-pesan yang semakin lama semakin tenggelam.Tidak ada sedikitpun keinginan untuk membuka pesan-pesan chat tersebut. Sebab, pikiranku masih berkecamuk soal Anisya dan mamak yang belum juga pulang.Hampir satu jam lamanya aku duduk, deru mesin motor matikku terdengar. Sebuah kab
Baca selengkapnya

Bab 7: Hal Penting Untukku

Aku terduduk lesu di salah satu meja batu yang berada di taman kampus. Posisinya yang terbuka memang terlihat kurang nyaman, namun semilir angin yang berhembus di sana begitu menenangkan. Sudah hampir setengah jam lamanya aku duduk di sini, menikmati segelas kopi dingin yang datang dari kafe dan menghabiskannya sendirian. Aku menunggui Bang Hasan yang telah membuat janji denganku semalam. Sebuah kabar tentang kepastian untuk bertemulah, yang aku tunggu hingga tidak terasa, tiga puluh menit telah berlalu. Cukup menguras tenaga dan emosi, jika mengingat hal sensitif apa yang akan kami bahas saat bertemu nanti. Namun, semuanya sudah terlanjur terjadi, dan aku sudah berjanji pada mamak untuk membantu pernikahan Anisya, meski yang sebenarnya adalah aku sedang mengorbankan perasaanku sendiri. Ponselku bergetar, menampilkan nama Bang Hasan yang tertera di layar. Segera kuangkat agar Bang Hasan tidak perlu menunggu waktu yang lama. “Assalamualaikum, Z
Baca selengkapnya

Bab 8: Pernikahan Anisya

Satu bulan setelah kebohongan besar itu, pernikahan Anisya dan Bang Hasan digelar. Tugasku sebagai anggota keluarga dari mempelai wanita terbilang cukup banyak, termasuk memastikan semua kerabat dan kenalan sudah diundang, juga membantu mamak memesan bahan makanan untuk pesta pernikahan.Umumnya, kami merayakan pernikahan dengan mengikuti adat traditional di Aceh, yang artinya pesta pernikahan akan diselenggarakan dua kali, sekali di rumah mempelai perempuan yang disebut dengan “preh linto”  atau ngunduh mantu dari pihak perempuan, sedang lainnya adalah “intat darabaro” atau ngunduh mantu dari pihak lelaki.Tidak hanya bertindak sebagai keluarga dari darabaro “mempelai perempuan”, aku juga menjadi topik hangat untuk kerabat juga tetangga di sana. “Dilangkahi” itulah yang menjadikanku semakin terkenal.Setiap kali aku melintasi sanak keluarga atau tamu yang berkumpul, mereka selalu memandangiku, lalu berbisik s
Baca selengkapnya

Bab 9: Pria Itu Datang

Aku meninggalkan pintu depan rumah setelah membaca pesan tidak mengenakkan dari Anisya. Tepat di belakangku, Tya juga Wulan menyusul dengan wajah bingung. Keduanya saling melirik satu dengan yang lain, bertanya melalui sorot mata tentang alasan dari kepergianku yang tiba-tiba.“Mau kemana?” Terdengar Tya bertanya. Gadis itu sedikit sebal karena aku tidak kunjung berhenti berjalan.Sejujurnya, aku sendiri bingung harus melangkah kemana. Pesta pernikahan yang seharusnya terasa menyenangkan bagaikan sangkar besi yang mengurungku dari dunia luar.“Bisa jelaskan, Zahrah?” tuntut Tya yang diangguki Wulan.Aku bagaikan gadis linglung, hilang arah juga tujuan. Jemari-jemari yang mulai dingin ini perlahan memijat kening yang terasa berdenyut, sesekali menyeka pelipis yang basah oleh keringat.“Zahrah?” Aku masih diam meski mendengar jelas panggilan itu.“Kenapa berdiri di tengah lorong begini?” tegurnya
Baca selengkapnya

Bab 10: Suara Aneh dari Kamar Anisya

Setelah pesta kedua digelar di kediaman Bang Zaky, maka malam ini, Anisya ditemani beberapa kerabat akan menjemput Bang Zaky untuk tinggal bersama di rumah kami. Mengikuti tradisi turun-temurun yang berlaku di daerah ini.Anisya terlihat begitu anggun dengan gamis biru gelap yang merupakan seserahan dari suaminya. Gamis itu dihiasi ornamen kristal di bagian depan, serta selendang panjang yang jatuh dari pundak. Jilbab persegi yang menutup dada, juga riasan nan manis di wajahnya membuat gadis itu terlihat begitu menawan.Beberapa kerabat yang menemani, mak cik, mamak juga tetangga kiri dan kanan tidak kalah memukau dibanding Anisya. Penampilan mereka mengundang canda dari beberapa sanak saudara yang masih membantu pembersihan sisa-sisa pesta pernikahan.“Ini, yang darabaro-nya Anisya atau mamaknya?” Bang Jun berceloteh dari luar rumah. Kepalanya mendongak dengan wajah yang tersenyum lebar.“Kalau Hasannya mau, sama mak ciknya jug
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
8
DMCA.com Protection Status