Sejenak, aku menatap kosong pada dinding kamar yang didominasi warna abu-abu.
Tubuh lelah ini, terduduk dengan posisi bersandar di dashboard kayu kamar sederhana. Menikmati harum samar-samar dari pengharum ruangan otomatis yang tergantung di dinding.
Hening! Sepi! Tidak ada satu suara pun yang menggema di setiap sisi rumah. Sesekali, sahut-sahutan suara cicak, lalu dengungan nyamuk menjadi alunan musik yang menemani malamku yang pilu.
Aku ingat benar, hardikan kasar yang dilemparkan Anisya kepadaku magrib tadi. Gadis itu ingin sekali menjambak rambutku, namun berusaha dia tahan dengan sekuat tenaga demi menghormati mamak.
Tidak pernah terbayangkan di dalam anganku, jika Bang Hasan akan mengetahui perasaan terpendam ini dengan cara memalukan begini. Bahkan, melalui mulut orang lain.
Iya! Tyalah yang membeberkan semua hal itu pada Bang Hasan siang tadi. Membuat lelaki itu terperanjat dengan mulut yang membulat.
Sungguh, aku sendiri tidak kuasa melihat wajah Bang Hasan yang kesulitan, juga kebingungan. Lelaki itu menundukkan wajah, lalu mengusapnya pelan.
Tidak hanya parasnya yang memerah, juga kedua telinganya ikut menghangat.
Jangan tanyakan perasaanku saat itu. Sebab, jika seandainya aku tidak mengingat Allah dan mamak, sudah pasti aku akan berlari dan melompat ke sumur, dan memilih untuk bersembunyi di sana.
Lihat saja bagaimana siang tadi Tya memekik dan mengatai Bang Hasan gila, lalu menarik pria itu pergi dari restoran dengan kasar.
“Kamu memang sudah gila, Bang!” ulang Tya kedua kalinya. Gadis itu mencebik berulang kali.
“Tya? Gila gimana maksudnya? Duduk dulu Tya, malu dilihat orang. Kamu kayak istri yang sedang mergokin suaminya selingkuh.” Bang Hasan terus menunjuki kursi yang tadi diduduki Tya. Berharap gadis yang tadi sumringah itu mau menurut, agar tidak mengundang lebih banyak perhatian.
“Tya, duduklah! Please?” pintaku dengan penuh harap.
Tidak hanya berharap, aku bahkan sudah memelas dengan menggenggam lengan gadis itu.
Tidak mungkin Tya akan mengumbar perasaanku pada Bang Hasan, kan? Apa jadinya dengan pernikahan Anisya jika hal ini terjadi? Belum lagi rasa malu yang harus aku tanggung di depan bang Hasan seumur hidupku nanti.
“Bang! Ikut aku sekarang!” titah Tya.
Bang Hasan yang masih kebingungan tidak segera menurut. Pemuda itu masih melirik kiri dan kanan, mencari penyebab dari kelakuan tidak lazim yang ditunjukkan oleh Tya.
“Ikut aku, Bang! Sebelum aku meledak di sini!” Tya yang semakin dikuasai amarah segera meraih lengan Bang Hasan dan menyeret pemuda itu menjauh dari restoran.
Aku yang ikut panik, mengumpulkan tas, ponsel Bang Hasan juga Tya dan tasku sendiri lalu ikut berlari. Saat ini, aku acuh jika para pelanggan di sana mulai menggosipkan kelakuan kami.
Meski mengenakan rok span dan heels runcing, Tya berjalan dengan sangat cepat menuju parkiran mobil yang berjarak lumayan jauh dari restoran. Setidaknya, kami tidak jadi tontonan gratis untuk para pengunjung lagi.
Gadis itu berhenti tepat di sebelah mobilnya sendiri, sedikit terhalang dari posisiku berdiri, karena saat ini, aku memilih posisi di depan mobil. Menjaga sedikit jarak dengan bang Hasan agar lelaki itu tidak melihat wajah menyedihkan ini.
Aku tidak punya keberanian untuk melihat perdebatan antara Tya dan Bang Hasan. Apalagi jika Tya memarahi pemuda yang membuat jantungku berdetak dengan sangat cepat itu. Sudah dapat dipastikan, rasa sedihku akan menjadi berlipat ganda.
“Apa maksud Abang menikahi Anisya?” Tya menatap Bang Hasan dengan tatapan yang menghunus tajam. Siap menghujam kedalaman manik mata pemuda itu.
Bang Hasan terlihat meneguk saliva, dari jakunnya yang naik dan turun. “Karena Abang merasa dia pantas untuk Abang,” jawabnya yakin.
“Alah, bilang aja karena Anisya cantik, kan? Udahlah, Bang. Aku kira, Abang akan lebih bijak dan bisa memilih dengan baik. Ternyata, Bang Hasan sama saja.” Terlihat kekecewaan yang mendalam terpancar dari manik mata Tya dari tempatku berdiri.
Ingin sekali aku menumpahkan air mata dengan bebas, melihat bagaimana Tya begitu menyayangi diriku dan membelaku di depan Bang Hasan.
“Bukan, Tya. Bukan karena dia cantik. Gadis cantik itu relatif, jika Abang memilih Anisya karena dia cantik, maka Abang akan tergoda gadis lain jika kecantikannya pudar suatu hari nanti.”
Perih sekali saat aku mendengar Bang Hasan melayangkan pembelaan untuk Anisya habis-habisan. Tidak terlihat sedikitpun persetujuan dari pemuda itu dengan ucapan Tya.
Yah ... tentu saja. Anisya adalah gadis yang dia pilih untuk menjadi istrinya. Sangat tidak mungkin Bang Hasan akan membenarkan ucapan dari Tya dan menjelek-jelekkan Anisya.
Sudahlah ... sudah usai semuanya. Perasaanku yang bertepuk sebelah tangan ini, sudah tidak lagi punya kesempatan, jika begitulah arti Anisya untuknya.
Dari awal, ini memang salahku. Melabuhkan hati pada seseorang yang tidak halal untukku, hingga membuat Allah cemburu dan mematahkan hatiku, agar aku sadar, jika apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan.
“Sudahlah, Bang Hasan. Aku benar-benar kecewa karena pilihan Abang itu.” Tya mengibaskan tangan di depan wajah bang Hasan.
Gadis itu beranjak mendekati pintu mobil di sisi kemudi, namun bang Hasan berbalik menahannya.
“Jelaskan dulu, Tya! Apa maksud sikapmu ini?”
“Tya? Kita pergi sekarang?” Buru-buru aku memotong pembicaraan keduanya sebelum Tya keceplosan.
Tya masih diam meski sudah mendengar permintaanku padanya. “Tya? Ayolah. Jam mengajarku akan segera dimulai.”
“Sebentar, Zahrah. Abang juga tahu jam mengajarmu sudah selesai untuk hari ini. Biarkan Abang bicara dengan Tya.” Bang Hasan menatapku sejenak, sebelum kembali menundukkan sedikit paras tampannya demi menatap Tya yang tetap membisu.
“Tya?” Aku terus mencoba mengingatkan gadis itu.
“Abang akan tetap menikahi Anisya, apapun penjelasanmu, Tya.”
“Sinting kamu, Bang! Kamu mau membunuh temanmu sendiri, hah?” Tya lagi-lagi menjerit yang membuat bang Hasan mundur selangkah.
“Tya!!! Please, ayo pulang.”
“Diam, Zahrah!” Akhirnya bang Hasan ikut meninggikan suara kepadaku. Membuatku berjengit, yang berakibat dengan gagalnya aku menahan tumpahan air mata.
“Siapa yang Abang sakiti jika menikah dengan Anisya?” bang Hasan menatap wajah Tya. Menunggu gadis itu membeberkan rahasia yang kami pendam dalam-dalam.
“Jelaskan, Tya!”
“Tya, pulang, please?” pintaku hampir putus asa.
“Zahrah! Abang akan membunuh Zahrah jika menikahi Anisya.” Tya membuka semuanya di hadapan bang Hasan dan aku. Membuat lelaki itu kembali berjalan mundur.
--
Kuusap air mata yang meleleh tanpa henti, meski kejadian memalukan itu sudah berlalu berjam-jam lamanya.
Tidak hanya soal Tya yang membuka semuanya, juga soal bang Hasan yang dengan segera menghubungi Anisya dan menanyai hal itu saat itu juga.
Meski aku dan Tya tidak mengetahui pembicaraan apa yang keduanya lakukan. Namun bisa kulihat, jika bang Hasan begitu kebingungan, hingga menanyakan kebenaran akan hal ini pada calon istrinya.
Akibatnya, Anisya membentakku dengan kasar begitu tiba di rumah. Lebih mirisnya lagi, mamak memandangku yang baru pulang dengan tatapan menyakitkan. Seolah-olah, tubuh ini telah berdosa dengan mencintai bang Hasan. Atau memang, diri ini sangat berdosa?
“Kakak tega sekali sama Anisya! Memangnya salah Anisya apa sampai Kakak bilang ke calon suami Anisya, kalau Kakak punya perasaan sama dia?” Anisya segera menodongku tajam, tanpa membiarkanku beristirahat walau sejenak.
“Kenapa? Kakak tidak rela kalau aku yang dilamar bang Hasan sampai-sampai bikin malu begitu, hah? Ya Allah, Kak. Apa Kakak sudah berniat merebut bang Hasan dari Anisya?” lanjut gadis itu dengan mata yang bergetar.
Dadaku bagaikan dihantam oleh bebatuan yang besar berulangkali. Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi saat aku menatap mamak yang berdiri di belakang adikku, menolehkan pandangan, seakan enggan menatap ke arahku.
“Awas saja kalau sampai bang Hasan membatalkan pernikahan ini. Anisya pastikan hidup Kakak akan menderita.” Anisya menunjuk wajahku dengan telunjuknya.
Gadis cantik itu tidak memberiku kesempatan untuk sekedar membela diri, meski wajahku sudah bersimbah air mata.
“Mak? Lihat Mak, kakak nangis. Dia nangis setelah berusaha merebut calon suamiku,” adunya lagi.
“Aku tidak merebut, Nisya!” Suaraku yang serak akhirnya keluar untuk membela diri.
“Lalu apa maksudnya itu, hah? Kakak sengaja menemui bang Hasan dan membuka perasaan Kakak itu, hah? Apa Kakak enggak malu menyukai calon suami adik sendiri? Aku saja malu punya kakak seperti Kak Zahrah.”
“Ya Allah, Nisya. Tega sekali kamu!” lirihku dengan segala keputusasaan.
Sudah larut malam namun mamak dan Anisya tidak kunjung pulang ke rumah. Keduanya nekat mendatangi rumah Bang Hasan karena khawatir jika pemuda itu akan membatalkan pernikahan.Beranjak dari ranjangku yang hangat, aku keluar dari kamar lalu duduk di ruang keluarga dengan perasaan bimbang.Dalam hati, kurapalkan sejuta do'a, agar kepulangan mamak dan Anisya membawa kabar gembira, untuk Anisya. Tidak bisa kubayangkan jika gadis itu akan menyalahkanku seumur hidupnya jika terjadi sesuatu dengan rencana pernikahannya.Lama aku duduk sembari menggenggam ponsel di tangan. Pesan-pesan beruntun yang terus bermunculan terus aku abaikan. Tya, Wulan juga Bang Hasan terus memberondongku dengan pesan-pesan yang semakin lama semakin tenggelam.Tidak ada sedikitpun keinginan untuk membuka pesan-pesan chat tersebut. Sebab, pikiranku masih berkecamuk soal Anisya dan mamak yang belum juga pulang.Hampir satu jam lamanya aku duduk, deru mesin motor matikku terdengar. Sebuah kab
Aku terduduk lesu di salah satu meja batu yang berada di taman kampus. Posisinya yang terbuka memang terlihat kurang nyaman, namun semilir angin yang berhembus di sana begitu menenangkan. Sudah hampir setengah jam lamanya aku duduk di sini, menikmati segelas kopi dingin yang datang dari kafe dan menghabiskannya sendirian. Aku menunggui Bang Hasan yang telah membuat janji denganku semalam. Sebuah kabar tentang kepastian untuk bertemulah, yang aku tunggu hingga tidak terasa, tiga puluh menit telah berlalu. Cukup menguras tenaga dan emosi, jika mengingat hal sensitif apa yang akan kami bahas saat bertemu nanti. Namun, semuanya sudah terlanjur terjadi, dan aku sudah berjanji pada mamak untuk membantu pernikahan Anisya, meski yang sebenarnya adalah aku sedang mengorbankan perasaanku sendiri. Ponselku bergetar, menampilkan nama Bang Hasan yang tertera di layar. Segera kuangkat agar Bang Hasan tidak perlu menunggu waktu yang lama. “Assalamualaikum, Z
Satu bulan setelah kebohongan besar itu, pernikahan Anisya dan Bang Hasan digelar. Tugasku sebagai anggota keluarga dari mempelai wanita terbilang cukup banyak, termasuk memastikan semua kerabat dan kenalan sudah diundang, juga membantu mamak memesan bahan makanan untuk pesta pernikahan.Umumnya, kami merayakan pernikahan dengan mengikuti adat traditional di Aceh, yang artinya pesta pernikahan akan diselenggarakan dua kali, sekali di rumah mempelai perempuan yang disebut dengan “preh linto” atau ngunduh mantu dari pihak perempuan, sedang lainnya adalah “intat darabaro” atau ngunduh mantu dari pihak lelaki.Tidak hanya bertindak sebagai keluarga dari darabaro “mempelai perempuan”, aku juga menjadi topik hangat untuk kerabat juga tetangga di sana. “Dilangkahi” itulah yang menjadikanku semakin terkenal.Setiap kali aku melintasi sanak keluarga atau tamu yang berkumpul, mereka selalu memandangiku, lalu berbisik s
Aku meninggalkan pintu depan rumah setelah membaca pesan tidak mengenakkan dari Anisya. Tepat di belakangku, Tya juga Wulan menyusul dengan wajah bingung. Keduanya saling melirik satu dengan yang lain, bertanya melalui sorot mata tentang alasan dari kepergianku yang tiba-tiba.“Mau kemana?” Terdengar Tya bertanya. Gadis itu sedikit sebal karena aku tidak kunjung berhenti berjalan.Sejujurnya, aku sendiri bingung harus melangkah kemana. Pesta pernikahan yang seharusnya terasa menyenangkan bagaikan sangkar besi yang mengurungku dari dunia luar.“Bisa jelaskan, Zahrah?” tuntut Tya yang diangguki Wulan.Aku bagaikan gadis linglung, hilang arah juga tujuan. Jemari-jemari yang mulai dingin ini perlahan memijat kening yang terasa berdenyut, sesekali menyeka pelipis yang basah oleh keringat.“Zahrah?” Aku masih diam meski mendengar jelas panggilan itu.“Kenapa berdiri di tengah lorong begini?” tegurnya
Setelah pesta kedua digelar di kediaman Bang Zaky, maka malam ini, Anisya ditemani beberapa kerabat akan menjemput Bang Zaky untuk tinggal bersama di rumah kami. Mengikuti tradisi turun-temurun yang berlaku di daerah ini.Anisya terlihat begitu anggun dengan gamis biru gelap yang merupakan seserahan dari suaminya. Gamis itu dihiasi ornamen kristal di bagian depan, serta selendang panjang yang jatuh dari pundak. Jilbab persegi yang menutup dada, juga riasan nan manis di wajahnya membuat gadis itu terlihat begitu menawan.Beberapa kerabat yang menemani, mak cik, mamak juga tetangga kiri dan kanan tidak kalah memukau dibanding Anisya. Penampilan mereka mengundang canda dari beberapa sanak saudara yang masih membantu pembersihan sisa-sisa pesta pernikahan.“Ini, yang darabaro-nya Anisya atau mamaknya?” Bang Jun berceloteh dari luar rumah. Kepalanya mendongak dengan wajah yang tersenyum lebar.“Kalau Hasannya mau, sama mak ciknya jug
“Apa maksudnya coba ngajakin kamu ketemu?” Tya mengomel dengan tangan yang sibuk mengendalikan setir kemudi.Mobil berjenis Agya milik gadis itu melaju santai membelah jalanan kota Banda Aceh yang padat dan panas. Keahliannya menyetir, memang sudah diakui hingga ke pelosok negeri. Sebab, saat kami bertemu di kampus untuk pertama kalinya dulu, Tya sudah jago menyetir. Wajar saja, gadis itu terlahir dari keluarga berada hingga dibelikan mobil sejak SMA.“Kalau aku tahu alasannya, ngapain susah-susah buat ketemu, Tya?” balasku yang duduk di kursi sebelah kemudi. Gadis itu dengan senang hati menjemput ke kampus meski tanpa kuminta. Menurutnya, jalan berbarengan jauh lebih efektif dan efesien, meski aku harus meninggalkan motor di parkiran kampus.“Bang Zaky enggak ngajakin kamu selingkuh, kan? Awas saja kalau ....”“Hei ... mulutnya direm, Bu. Awas nabrak beton, baru tau rasa. Ngapain juga Bang Zaky ngajakin aku selin
“Aku apa, Dek?” Bang Zaky, tidak sabar untuk bertanya.Bibir ini begitu kelu. Belum lagi otak yang terasa membeku.Bagaimana bisa aku menjawab permintaan Bang Zaky? Sadar jika sedang dilamar pun tidak. Baru kemarin kami bertemu, tiba-tiba pemuda ini memintaku menjadi bagian dari hidupnya?“Maaf ... sepertinya ini terlalu terburu-buru, Bang.”Hufh! Akhirnya terucap juga. Semoga setelah ini, labirin hidupku yang menyulitkan segera berakhir. Kulihat Bang Zaky kecewa dengan jawabanku, meski begitu tampak dia begitu memaklumi . Pemuda itu mengerjapkan mata kemudian mengusap tengkuknya agar terasa lebih nyaman.“Baiklah, tapi bukan berarti tidak untuk selamanya, kan?” harap Bang Zaky. Sontak saja aku kehabisan kata-kata. Mengira jika Bang Zaky akan berhenti bertanya, namun ternyata dia masih ingin menunggu.“Pantang nyerah ya, Bang?” Tya mulai ngedumel lagi.“Laki-laki h
Sebuah dosa yang tidak pernah kusadari, telah melemparku ke dalam jurang tanpa tepi. Di sinilah aku, bersemayamkan luka dan tangisan yang bisu. Menapaki sisa hari nan kelabu. -Zahrah Al-Humairah--Entah sudah berapa kali telapak tangan ini basah lalu mengering, kemudian basah dan mengering kembali. Kesedihan serta kesakitan yang merongrong, terus saja mengundang air mata meski tidak sempat mengalir di pipi.Seiring dengan semakin menuanya malam, pandanganku ikut buram lantaran selaksa air yang terus membasahi bendungan mata. Sesekali, isak tangis yang tersisa setelah meraung berjam-jam lamanya, menjadi nada baru di kamar yang bisu.Kutepuk dada yang tersiksa, lalu meneguk saliva yang mungkin sudah bercampur air mata. Menengadah tinggi-tinggi, agar pipi tidak lagi banjir, apalagi sampai membanjiri kamar milik sahabatku ini.Ya ... sesuai dengan ucapanku sore tadi, aku telah bermigrasi menuju rumah kos yang
Bab 79: Di Ujung Kisah IniTiga Bulan KemudianAku menarik napas lega setelah mendengar jawaban dari Bang Hasan di seberang sana. Sudah beberapa jam kami terpisah. Bang Hasan sejak subuh tiba sudah berada di bandara Sultan Iskandar Muda, dan akan terbang bersama teman-teman sekantornya menuju Jakarta. Lagi, Bang Hasan kembali bertugas, kali ini seminggu lamanya.“Abang baru sampai, Sayang?!” ujarnya renyah. Tidak terasa lelah dari lekuk suaranya yang dalam itu. Padahal, aku hampir tidak bisa bernapas, tidak bisa lepas dari gawai serta jam yang terpampang di layar. Setiap detiknya kuhabiskan dengan terus berdoa, agar Bang Hasan selamat dalam perjalanan, tidak kurang suatu apapun.“Alhamdulillah, Bang. Dijemput, ya?” balasku.Kuremas gorden kecoklatan yang menjuntai dari atas itu. Rumah yang sudah direnovasi oleh Bang Hasan lebih kokoh dan bagus, lengkap dengan beberapa perabotan yang dicicil oleh kami bersama. Ada sesuatu yang terasa hilang; kehadiran Bang Hasan di dalam keseharianku.
“Apa-apaan ini, Bang Hasan? Keterlaluan sekali kelakuanmu ternyata, pantas kamu pulang-pulang langsung ngawinin Kak Zahrah, ternyata kamu mencari ibu buat anakmu, hah?” tukas Anisya.Aku yang melihat responnya barusan tercengang luar biasa. Dia yang biasanya tidak peduli dengan urusanku, tiba-tiba saja menjadi begitu menggebu-gebu hingga berhasrat untuk mencaci serta memaki Bang Hasan. Bibirnya aktif bergerak, seiring dengan jemari yang terus menunjuk pada Bang Hasan.Walau perutnya bulat dan ketat, Anisya berdiri dengan tegak, memandangi Bang Hasan yang baru saja mengaku di depan kami semua. Anisya membelaku, menentang hal yang akan menyakitiku meski dirinya tidak tahu asal-muasal permasalahannya.“Bang, kamu nikahin Kak Zahrah karena ini, hah? Picik sekali kelakuanmu. Aku makin bersyukur kita bercerai dulu,” selorohnya lagi. “Bisa-bisanya kamu melakukan hal busuk begini untuk Kak Zahrah, Bang? Setelah dulu menyakitinya, dan membuatnya menangis siang dan malam, sekarang kamu menambah
Aku menarik napas dalam hingga dada ini membusung saat dua tapak kaki menapak di teras rumah yang beralaskan semen. Dingin terasa di ujung jemari, terlebih begitu menyadari jika pintu rumah terbuka lebar dan Si Kembar terlelap di atas sofa. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Anisya yang harusnya menjaga anak-anak menggemaskan itu. Pun Bang Burhan juga tidak terlihat rimbanya.Kuputuskan untuk segera masuk, tidak lupa tetap memberi salam. Bang Hasan menyusul dari arah belakang tanpa mengucapkan sepatah kata selain salam. Dia mengikutiku, memasang wajah bingung dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Mainan berhamburan, sepertinya baru dibelikan Bang Burhan untuk anak-anaknya. Sebab seingatku, saat mereka tiba kemarin, tidak ada satu mainan pun dibawanya pulang.Plastik yang membalut susunan pakaian juga tergeletak di lantai. Atasnya telah terbuka, dan sebagian isinya terburai keluar. Sepertinya, hasil dari laundry.“Nisya?” panggilku. Meradang hati ini membayangkan bagaimana dia me
“Lain kali jangan sembarangan memanggil nama istriku, Bang!” Bang Hasan menegur sepupunya dengan intonasi yang dalam. Pria itu berdiri tegak, menghalangi sepenuhnya pandanganku dari pria yang pernah singgah di dalam hidup kami berdua. Bang Hasan bahkan tidak bersedia membiarkanku menjawab sapaan Bang Zaky barusan.“Aku tidak suka mendengarnya, terlebih jika itu darimu!” sambung Bang Hasan.Terasa suasana di antara kami kian mencekam. Bang Hasan tersulut emosinya hanya dengan kehadiran Bang Zaky. Padahal pria itu hanya menegur, sebab tidak sengaja bertemu dengan kami di rumah sakit ini.“Santai, San! Santai ....” Dua tangan Bang Zaky terhampar di depan dada Bang Hasan. Sikapnya seolah ingin menegaskan bahwa niatnya tidak lebih dari menyapa. “Aku tidak tahu kalau kamu tidak menyukai saudaramu sendiri.”“Ya, aku memang tidak suka.” Bang Hasan menjawabnya dengan tegas.Kupandangi belakang kepala Bang Hasan. Pria itu tidak bergeming. Meski di antara kami, banyak keluarga pasien yang melint
“Kenapa diam? Ada apa dengan ekspresimu, Sayang?” tanya Bang Hasan.Dia mendekat padaku hingga jarak kami tidak lebih jauh dari sebilah penggaris. Dua tangannya yang besar dan hangat jatuh di pundakku, lalu sorot mata kami saling beradu. Dari pergerakan pupilnya aku segera tahu jika Bang Hasan sedang mencoba menerjemahkan perubahan dari raut wajah istrinya sendiri.“Mamak masih tidak setuju, Zahrah?” ucapnya.Aku terdiam, lidah ini kelu rasanya. Tidak mungkin kujelaskan bagaimana respon mamak mertua saat keinginan ini sampai padanya. Tapi diam terlalu lama hanya akan membuat Bang Hasan sibuk menduga-duga. Bagaimana solusinya? Apa yang harus kulakukan agar dua orang yang berbagi darah ini tidak saling salah paham nantinya?“Abang akan bicara dengan mamak sekarang!” tegasnya.Bang Hasan telah berdiri saat tangannya berhasil kucegat dengan cepat. Pria itu tidak peduli dengan responku dan terus berjalan sampai aku sedikit terseret olehnya. “Abang?”“Zahrah? Biarkan Abang bicara dengan mam
Sore harinya, aku keluar dari kamar usai melaksanakan salat asar. Terdengar suara mamak mertua yang sedang bermain dengan Husein di ruang keluarga. Suaranya yang renyah dan dendang lagunya menandakan betapa senang hati wanita itu.Kuberanikan diri untuk mendekat, menuruni setiap anak tangga dari lantai dua menuju lantai pertama tanpa memindahkan pandangan dari dua insan itu. Guratan wajah mamak mertua begitu ceria, sedangkan si kecil Husein sibuk mendorong mobil-mobilannya dengan tangan gempalnya. Dia tidak rewel, tidak menuntut susu coklat seperti pagi tadi, atau meminta digendong sepanjang hari. Bagiku, Husein cukup mandiri dibanding anak-anak kebanyakan. Mungkin, hati kecilnya paham bahwa dunia yang dimasukinya saat ini bukanlah dunia yang sama dengan yang dihadirkan oleh kedua orang tuanya dulu.“Mau apa Adek?” Mamak mertua memanggil Husein. “Mau apa, Sayang?”Husein mengangkat wajah. Tidak ada jawaban apapun, dia hanya memperlihatkan mobilan truck warna kuningnya. Lalu, seolah me
Setelah mendapatkan apa yang kucari dari apotek, kami bergerak dengan cepat menuju rumah mamak mertua. Bang Hasan di sebelah mobil tidak bertanya apapun, bahkan dia lupa jika hari ini seharusnya masuk kerja.Mobil yang disetirinya mengambil jalur putar arah, lalu bergerak menuju sebuah rumah yang begitu familier dengan kami. Halamannya hening sempurna, tidak ada siapapun di depannya, seolah-olah tidak ada satu kehidupan pun yang bersembunyi di balik bangunan besar itu.“Abang langsung ke kantor saja, aku akan masuk dan bicara sendiri!” pintaku pada Bang Hasan. Kantong plastik bertuliskan nama apotek ternama itu kuremas sekuat tenaga. Perasaanku bercabang banyak arah, namun terus tertahan di dalam rongga dada agar pria itu tidak merasakannya sedikitpun.Bukannya aku tidak menghargai hadirnya sebagai seorang suami, melainkan semuanya hanya untuk menjaga hubungan kami. Aku tidak ingin memberinya terlalu banyak harapan akan sesuatu yang belum pasti, dan ingin fokus pada hal yang sudah ter
“Apa lagi ini, Abang? Di mana kalimatku yang menegaskan kalau aku keberatan jika Husein bersama kita?” protesku segera. Padahal hanya satu kalimatnya, namun emosiku tersulut begitu hebat dan dalam waktu yang begitu singkat.Bang Hasan salah paham? Tapi kenapa? Apa yang membuatnya mengira kalau aku membenci anak kecil malang yang begitu polos itu? Tidakkah dia tahu bahwa dirinya juga menikahi seseorang yang tidak lagi memiliki orang tua di dunia ini?Selesai masalah antara Annisa dan Bang Burhan, kini Bang Hasan mulai memupuk masalah di dalam rumah tangga kami. Dia baru saja pulang dari dinasnya, belum usai rindu kami bina bersama dan Bang Hasan malah membuat perasaanku berderak geram karenanya.“Apa menuduhku tanpa ada penyebabnya. Padahal aku tidak pernah berpikir begitu terhadap Husein.”“Tidak, Zahrah ... Abang hanya terawa perasaan setelah melihat Anisya.”“Lalu Abang mengira aku akan sama dengannya? Aku tahu, Abang pernah menikah dengan Anisya, tapi sekarang yang Abang nikahi itu
Pagi menyingsing dengan cepat. belum genap dua jam aku beristirahat, semburat matahari terasa dari jendela kamar. Kemudian, disusul hiruk-pikuk dari orang-orang di luar sana. Beberapa perawat berlalu lalang di depan kamar Anisya, pun sesekali dokter, petugas kebersihan dan keluarga pasien.Aku yang tertidur di sofa segera mengusap wajah. Kulirik Anisya, wanita itu masih terlelap di brangkar, dengan posisi yang sama seperti semalam. Satu tangannya masih mendekap gawai, dan raut wajahnya sesekali merengut, seperti sedang bermimpi buruk.Kuhela napas, semuanya tetap saja sama beratnya di pundak. Andai saja mamak dan bapak ada di sini, mungkin perjalanan hidup kami akan terasa berbeda. Seberat apapun masalahnya, jadi lebih mudah kala dihadapi dengan nasihat mamak dan bapak, saat ditemani oleh dua orang yang telah melahirkan kami berdua ke dunia.Sesaat, aku memutuskan untuk menghapus lamunan itu, lalu beristigfar segera. Tidak boleh begini, sama sekali tidak boleh mengeluhkan takdir yang