Bab 6: Permintaan Mamak

Sudah larut malam namun mamak dan Anisya tidak kunjung pulang ke rumah. Keduanya nekat mendatangi rumah Bang Hasan karena khawatir jika pemuda itu akan membatalkan pernikahan.

Beranjak dari ranjangku yang hangat, aku keluar dari kamar lalu duduk di ruang keluarga dengan perasaan bimbang.

Dalam hati, kurapalkan sejuta do'a, agar kepulangan mamak dan Anisya membawa kabar gembira, untuk Anisya. Tidak bisa kubayangkan jika gadis itu akan menyalahkanku seumur hidupnya jika terjadi sesuatu dengan rencana pernikahannya.

Lama aku duduk sembari menggenggam ponsel di tangan. Pesan-pesan beruntun yang terus bermunculan terus aku abaikan. Tya, Wulan juga Bang Hasan terus memberondongku dengan pesan-pesan yang semakin lama semakin tenggelam.

Tidak ada sedikitpun keinginan untuk membuka pesan-pesan chat tersebut. Sebab, pikiranku masih berkecamuk soal Anisya dan mamak yang belum juga pulang.

Hampir satu jam lamanya aku duduk, deru mesin motor matikku terdengar. Sebuah kabar gembira atas kepulangan Anisya dan mamak, walau sebenarnya, berita yang akan dibawa keduanyalah yang paling aku tunggu.

Meski perasaanku terhadap Bang Hasan berkecamuk bertahun lamanya sejak kuliah sarjana dulu, bukan berarti aku menginginkan jika hal buruk itu benar-benar menimpa pernikahan Anisya. Aku juga tidak siap, jika harus menjadi aib keluarga karena menjadi penghancur pernikahan adikku sendiri.

“Mak?” lirihku begitu mamak muncul di balik daun pintu, disusul Anisya dengan wajah sembab dan jilbab yang basah di bagian depan. Perasaanku berkata, hal buruk telah terjadi jika dilihat dari raut wajah mamak dan Anisya saat ini.

Mamak segera menjauh dariku yang membukakannya pintu, lalu menempati tikar tua yang dijadikan alas untuk menonton TV. Mamak bersandar di dinding rumah, dengan wajah mengadah.

“Mak?” Aku memberanikan diri, meski sebenarnya perilaku mamak saat ini sudah menjelaskan semuanya.

“Masih berani manggil mamak, Kak? Gara-gara Kakak, Bang Hasan menunda pernikahan!” teriak Anisya. Raungan keras gadis itu mengagetkanku yang hanya terfokus pada mamak.

Gadis itu menarik lenganku dan mencengkeramnya erat. Semburat merah memenuhi paras cantiknya, beriring dengan bola matanya yang bergetar, dan air mata yang menggenang.

“Tidak mungkin Bang Hasan membatalkannya, Dek.”

“Tidak mungkin apanya, Kak? Jelas-jelas tadi di depan Mak Cik dan Pak Cik, Bang Hasan minta pernikahannya ditunda dulu. Apa artinya kalau bukan pembatalan pernikahan?” ungkap Anisya berapi-api.

Gadis itu mulai terisak kembali. Membuatku merasa begitu sakit saat melihatnya hancur begini.

“Kakak harus tanggung jawab! Tanggung jawab, Kak! Anisya malu, mamak malu. Keluarga sudah pada tahu, sekarang tiba-tiba Bang Hasan menunda pernikahan. Tanggung jawab, Kak!” pekik Anisya sembari mengguncang lenganku.

Gadis itu mulai meraung-raung dengan keras, disusul dengan isakan tangis dari mamak yang duduk diam di sana.

“Kamu benar-benar menyukai Hasan?” Mamak berucap di antara isak tangisnya.

Bisa kurasakan kekecewaan yang mendalam di batin wanita yang telah melahirkanku itu. Ya ... bagaimana mungkin aku setega ini? Memendam rasa pada pemuda yang akan menikahi adikku sendiri.

“Tentu saja, Mak. Kalau tidak, kenapa kak Zahrah mengumbar aibnya di depan Bang Hasan setelah Bang Hasan melamar Anisya? Kak Zahrah sengaja, ingin menghancurkan pernikahan Anisya, Mak!” adu gadis itu.

“Fitnah, Anisya. Itu Fitnah! Aku tidak pernah berniat menghancurkan pernikahanmu, Dek. Untuk apa aku melakukannya? Apa dengan begitu Bang Hasan akan memilihku?” Aku berusaha menahan serangan yang diberikan Anisya.

Ironisnya, kini mamak menatapku dengan cara yang berbeda. Tidak ada lagi tatapan sayang darinya seperti yang selama ini mamak lakukan.

Rasa hangat dari pancaran matanya, hilang sirna. Hanya ada kekecewaan yang tersurat di sana.

“Mak? Mamak percaya sama aku, kan?” Aku beranjak mendekat pada mamak.

Kuputuskan untuk bersimpuh di hadapannya, berharap mamak memberiku sedikit kepercayaan jika aku tidak berniat jahat seperti yang dituduhkan Anisya.

“Hasan menunda pernikahannya dengan Anisya, sampai waktu yang tidak bisa dipastikan. Apa kamu pernah memikirkan perasaan Anisya dan Mamak saat kamu mengumbar perasaanmu itu?” Mamak berucap pelan.

Aku yang tersentak dengan ucapan mamak segera mundur. Kutatap mamak dengan tatapan tidak percaya. Wanita hebat itu, telah membuatku kehilangan harapan.

“Tapi hal ini tidak kusengaja, Mak. Sungguh, kesalahan yang dilakukan olehku dan Tyalah yang membuat Bang Hasan mengetahui hal ini.”

“Seharusnya kamu memikirkan dulu resikonya, Zahrah. Kamu sudah dewasa, tidak seharusnya bersikap ceroboh dan membahayakan pernikahan adikmu sendiri. Sekarang, lelaki mana yang merasa nyaman hidup serumah dengan perempuan lain yang memiliki perasaan terhadapnya? Kamu akan menjadi buah bibir orang lain, dan juga akan mengganggu ketenangan rumah tangga adikmu.”

Astahfirullah! Aku tidak pernah membayangkan dampak sebesar itulah yang akan terjadi nantinya, dan mamak dengan mudahnya meramal semua itu.

Aku tertunduk lemas begitu mendengar ucapan mamak. Rasa kecewa terhadap mamak membuatku merasa menjadi orang paling berdosa di dunia ini.

Di mana letak salahnya? Bukankah aku yang lebih dulu mengenal Bang Hasan? Bukankah aku juga tidak punya kuasa unuk menghentikan perasaanku? Bukankah aku sudah berusaha dengan memendam rasa ini tanpa mengumbarnya pada pemuda itu?

Untaian demi untaian kalimat yang berkejaran di benak, membuatku terdiam cukup lama. Genggaman tanganku semakin rapat, seiring dengan hujaman kesakitan yang merongrong jiwa.

Kudengar bunyi berdebam cukup keras, dari arah kamar Anisya. Bisa kutebak jika hal itu adalah ulahnya.

“Bicaralah dengan Hasan, Nak?!” pinta mamak.

Aku mendongak dengan sisa tenaga, berharap jika ucapan mamak tidak benar adanya. “Apa, Mak?”

“Bicaralah dengan Hasan. Minta dia untuk melanjutkan rencana pernikahan ini seperti semula, ya? Kamu bersedia, kan?”

Bagai disambar petir, perasaanku ikut hangus terbakar. Baru saja mamak menancapkan belati di hulu jantungku yang telah terluka. Meminta Bang Hasan untuk menikahi adikku segera, di saat pernikahan mereka saja belum bisa kuterima, adalah hal paling buruk yang bisa terjadi dalam hidupku ini.

“Mamak yakin, Hasan akan berubah pikiran jika kamu yang bicara, Nak. Hasan hanya mempertimbangkan, bagaimana caranya hidup serumah denganmu nantinya, Mamak yakin itu,” lanjut mamak setelah menyeka pipinya yang basah.

Aku hampir kehabisan kalimat untuk menjawab mamak. Kutepis semua pikiran buruk jika mamak tidak mempertimbangkan perasaanku, dan hanya mengutamakan Anisya.

Kutelan bulat-bulan kenyataan pahit ini, dan memilih untuk mengangguk pada permintaan mamak. Sungguh, rasanya sangat sesak, hingga menangis atau meraung sekalipun tidak lagi berguna.

“Terima kasih, Nak. Terima kasih sudah mau mengerti,” ucap mamak terakhir kali sebelum aku bangkit dari hadapannya.

--

Sisa malam kuhabiskan dengan duduk diam di kamar. Menunggu isak tangisku reda, juga menguatkan diri untuk bisa menghubungi Bang Hasan.

Ponselku yang disesaki oleh banyak pesan chat, kuraih dengan sisa tenaga. Tombol power yang kutekan, menampilkan sederet chat dari orang-orang terdekat. Salah satu di antaranya, ada Bang Hasan.

[Zahrah, kita harus bicara]

[Baik, Bang. Kita bicara besok saat jam makan siang. Aku juga punya banyak hal untuk dibicarakan dengan Bang Hasan.]

Itulah balasanku untuk permintaan Bang Hasan. Kututup kembali wajah dengan kedua tangan, lalu membiarkan tubuh ini menumpahkan kekecewaan dengan tangisan.

“Ini terakhir kalinya aku menangis karena Bang Hasan dan Anisya. Aku harus kuat, menjalani masa depan sebagai kakak ipar dari pemuda yang kucintai,” bantinku sendirian.

[Baiklah, Abang setuju, Zahrah.]

Balasan terakhir dari Bang Hasan tidak lama datang. Sempat kuintip melalui pesan preview, sebelum kulempar jauh-jauh ponsel itu.