Semua Bab Mencintai Suami Adikku: Bab 11 - Bab 20

79 Bab

Bab 11: Keinginan Bang Zaky

“Apa maksudnya coba ngajakin kamu ketemu?” Tya mengomel dengan tangan yang sibuk mengendalikan setir kemudi.Mobil berjenis Agya milik gadis itu melaju santai membelah jalanan kota Banda Aceh yang padat dan panas. Keahliannya menyetir, memang sudah diakui hingga ke pelosok negeri. Sebab, saat kami bertemu di kampus untuk pertama kalinya dulu, Tya sudah jago menyetir. Wajar saja, gadis itu terlahir dari keluarga berada hingga dibelikan mobil sejak SMA.“Kalau aku tahu alasannya, ngapain susah-susah buat ketemu, Tya?” balasku yang duduk di kursi sebelah kemudi. Gadis itu dengan senang hati menjemput ke kampus meski tanpa kuminta. Menurutnya, jalan berbarengan jauh lebih efektif dan efesien, meski aku harus meninggalkan motor di parkiran kampus.“Bang Zaky enggak ngajakin kamu selingkuh, kan? Awas saja kalau ....”“Hei ... mulutnya direm, Bu. Awas nabrak beton, baru tau rasa. Ngapain juga Bang Zaky ngajakin aku selin
Baca selengkapnya

Bab 12: Tuduhan Anisya

“Aku apa, Dek?” Bang Zaky, tidak sabar untuk bertanya.Bibir ini begitu kelu. Belum lagi otak yang terasa membeku.Bagaimana bisa aku menjawab permintaan Bang Zaky? Sadar jika sedang dilamar pun tidak. Baru kemarin kami bertemu, tiba-tiba pemuda ini memintaku menjadi bagian dari hidupnya?“Maaf ... sepertinya ini terlalu terburu-buru, Bang.”Hufh! Akhirnya terucap juga. Semoga setelah ini, labirin hidupku yang menyulitkan segera berakhir. Kulihat Bang Zaky kecewa dengan jawabanku, meski begitu tampak dia begitu memaklumi . Pemuda itu mengerjapkan mata kemudian mengusap tengkuknya agar terasa lebih nyaman.“Baiklah, tapi bukan berarti tidak untuk selamanya, kan?” harap Bang Zaky. Sontak saja aku kehabisan kata-kata. Mengira jika Bang Zaky akan berhenti bertanya, namun ternyata dia masih ingin menunggu.“Pantang nyerah ya, Bang?” Tya mulai ngedumel lagi.“Laki-laki h
Baca selengkapnya

Bab 13: Gara-gara Lontong

Sebuah dosa yang tidak pernah kusadari, telah melemparku ke dalam jurang tanpa tepi. Di sinilah aku, bersemayamkan luka dan tangisan yang bisu. Menapaki sisa hari nan kelabu. -Zahrah Al-Humairah--Entah sudah berapa kali telapak tangan ini basah lalu mengering, kemudian basah dan mengering kembali. Kesedihan serta kesakitan yang merongrong, terus saja mengundang air mata meski tidak sempat mengalir di pipi.Seiring dengan semakin menuanya malam, pandanganku ikut buram lantaran selaksa air yang terus membasahi bendungan mata. Sesekali, isak tangis yang tersisa setelah meraung berjam-jam lamanya, menjadi nada baru di kamar yang bisu.Kutepuk dada yang tersiksa, lalu meneguk saliva yang mungkin sudah bercampur air mata. Menengadah tinggi-tinggi, agar pipi tidak lagi banjir, apalagi sampai membanjiri kamar milik sahabatku ini.Ya ... sesuai dengan ucapanku sore tadi, aku telah bermigrasi menuju rumah kos yang
Baca selengkapnya

Bab 14: Gara-Gara Lontong

Dahi ini sedikit mengernyit setelah mendengar penjelasan kikuk dari pemuda tersebut. Memang ucapannya tidak mengandung kebohongan, sebab di tangannya terdapat dua plastik yang berisi lontong sayur yang sama dengan milikku.“Tunggu sebentar, dua?” Aku mendelik seraya membatin, merasa curiga dengan plastik satunya lagi.“Apa mugkin untuk dirinya sendiri? Ah ... bisa saja untuk keluarganya di rumah,” monologku masih dalam diam. Tentu hal yang wajar membeli makanan lebih dari satu bungkus, mengingat aku juga melakukan hal yang sama untuk keluarga.Merasa dipandangi olehku, pemuda itu berjalan mendekat, sembari mengusap belakang kepalanya. Wajahnya berhiaskan rasa canggung, ditambah dengan gerak-geriknya yang ragu-ragu.“Orang baru, ya? Saya belum pernah lihat Kakak sebelumnya.”“Iya, saya tinggal di kost ujung lorong. Baru pindah kemarin,” jelasku basa-basi.Pemuda itu ikut melihat ujung jariku yan
Baca selengkapnya

Bab 15: Telfon Sekarang

“Anisya?” Aku hampir kehabisan kata saat melihat kedatangan Anisya ke kost-an Wulan.Dia datang dengan tangan yang mengepal serta raut wajah yang dikuasai kemarahan. Entah apalagi masalah yang terjadi di rumah, hingga Anisya meluapkannya dengan mendatangiku ke sini.Tidak sempat aku menyambut kedatangannya, Wulan sudah lebih dulu memasang barrier berlapis dengan menghadang Anisya dariku. Gadis itu merentangkan kedua tangan di udara, lalu memasang raut wajah siap bertarung.“Minggir, aku tidak ada urusannya denganmu!” cecar Anisya.“Ini rumahku, harusnya kamu yang minggir!” Wulan membalas. Keduanya mulai beradu tatap.“Biar aku yang hadapi, Wulan. Tidak apa, dia adikku,” pintaku pada Wulan yang dihadiahi sebuah senyum mencibir dari Anisya.Wulan melirikku yang berdiri di belakangnya. Pandangannya menjelaskan jika dia tidak setuju dengan keinginanku untuk berbicara dengan Anisya. Namun,
Baca selengkapnya

Bab 16: Keputusanku

Anisya kembali menyodorkan ponsel ke arahku. Kedua matanya membelalak, memintaku untuk segera menyambut pertanyaan dari Bang Hasan. Ingin rasanya menolak, agar Bang Hasan tahu bagaimana kelakuan dari istrinya, namun sedikit rasa tidak tega membuatku menerima kembali ponsel itu dan menjawab salam dari Bang Hasan.“Waalaikumsalam, Bang. Hm, aku hanya ....”“Abang? Kenapa enggak pulang? Hiks ...,” potong Anisya.Gadis itu akhirnya tidak tahan untuk tetap diam. Dia merebut kembali ponsel dan membawa serta bersamanya. Anisya membuat jarak dengan kami hingga dua meter jauhnya, terdengar jika gadis itu mulai sesegukan sembari memanggil-manggil nama suaminya.“Abang? Kenapa?” tanyanya lagi. Isakan Anisya semakin keras, hingga pertanyaan yang dia ungkapkan seakan hilang ditelan tangisan.“Kenapa bertanya, Dek? Bukankah harusnya kamu sadar dan introspeksi diri?” Balasan  dari Bang Hasan terdengar.
Baca selengkapnya

Bab 17: Keputusan Besar

Aku memutuskan untuk menemui Bang Zaky setelah berdiskusi banyak hal dengan Allah, juga kedua sahabat baikku. Entah mengapa, saat ini aku belum ingin menyampaikannya pada mamak. Biarlah semuanya berjalan seperti seharusnya, dan setelah semuanya pasti, maka mamak akan segera kuberi tahu.Sesuai dengan perjanjian kami semalam, dalam sebuah pesan singkat aku menyampaikan kepada pemuda itu tentang keinginanku untuk berbicara tatap muka dengannya. Sambutannya begitu ramah, bahkan meminta untuk menjemputku ke kampus, yang tentu permintaannya aku tolak dengan alasan yang tidak bisa dia elak.  Akhirnya, hari ini setelah memantapkan hati, aku mendatangi Bang Zaky ke kafe miliknya tempat dimana kami bertemu dua minggu lalu. Suasana kafe terlihat masih sama, namun pengunjungnya jauh lebih banyak dibanding hari saat kedatangan pertamaku.Pintu tempered yang mengkilap terbuka saat aku datang. Salah satu waiters yang bertugas menyambut tamu mengukir senyum begi
Baca selengkapnya

Bab 18: Pulang

Sejenak aku menimbang-nimbang pilihan berjalan melewati pasangan baru itu atau memilih jalan memutar lewat pintu belakang agar bisa menghindari Bang Hasan dan istri cantiknya. Namun tanpa sengaja, aku malah mendapat tatapan hangat dari Bang Hasan, yang seakan-akan sedang menyambutku pulang. Sebuah tatapan yang sedikit berbeda, dengan yang selama ini dia tunjukkan.Terpaksa, agar Bang Hasan tidak menyadari jika aku menghindarinya, kedua kaki ini mulai berjalan melewati teras sederhana dengan atap yang rendah, tempat dimana kedua pasutri ini duduk bersama. Lagi-lagi ada rasa getir yang merambat paksa meski aku sudah berusaha keras untuk menepisnya. Sebab, sudah seharusnya, aku membuang jauh-jauh segala rasa tentang Bang Hasan, karena lamaran dari sepupunya telah aku terima.“Kamu pulang, Zahrah?” Bang Hasan mencegatku begitu aku melewati dirinya.Pemuda itu berdiri dengan kedua tangan yang tersimpan di saku. Senyumnya ramah, kedua mata beningnya memanc
Baca selengkapnya

Bab 19: Mak, Minta Izin, Ya?

Mamak, Anisya juga Bang Hasan, ketiganya menatap ke arahku, menunggui agar bibir yang kelu ini segera mengucapkan barisan kata yang ingin mereka dengar. Pandanganku ikut menyisir satu per satu dari tiga anggota keluarga di rumah ini. Menatap wajah mereka saja, membuatku begitu berat untuk menjelaskan tujuan utama dari kedatanganku.“Kamu dilamar, Nak?” Suara sengau mamak akhirnya memecah hening.Kuberanikan diri mengangkat wajah setelah tertunduk sejenak. Mencoba menerka-nerka apa yang tersembunyi di dalam batin wanita yang telah berjuang membesarkanku ini.“Siapa? Kapan? Kenapa enggak cerita?” Mamak mulai memberondongku dengan seribu tanya yang sudah bisa kutebak. Hanya saja, saat ini bibirku terlalu kaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Rencana yang telah tersusun matang-matang selama perjalanan pulang tadi, hancur berantakan hanya karena satu orang yang pernah begitu dalam bermain di perasaanku.“Kamu akan menikah
Baca selengkapnya

Bab 20: Siapa, Ya?

Aku mematikan mesin motor tanpa berniat untuk turun. Bukannya bersikap tidak sopan, hanya saja ini bentuk penegasan terhadap Bang Hasan, jika aku tidak bisa berbicara dalam waktu lama, apalagi di lorong seperti ini.Pemuda itu mengerutkan kening karena melihat sikap acuh yang kutunjukkan saat ini. “Abang mau bicara apa? Sudah hampir gelap, kenapa ada di sini? Kasihan Anisya nyariin di rumah,” ingatku padanya. Sempat kulihat Anisya yang terus mengomel karena tidak dibawa Bang Hasan. Bisa dibayangkan, bagaimana mengamuknya gadis itu jika tahu, suaminya malah nyempil di sini.“Jangan mengalihkan pembicaraan, Zahrah!”“Aku tidak mengalihkan pembicaraan, Bang. Tapi bener, kan? Sudah lewat jam enam sore, tiga puluh menit lagi adzan magrib dan Abang malah di sini,” jelasku sembari melirik jam mungil yang melingkar di lengan.“Kamu menghindari Abang? Kenapa melihat ke sembarang arah begitu, Zahrah? Orang yang kam
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
8
DMCA.com Protection Status