“Kamu serius, Wul?” sungut Tya begitu kami bertiga kembali menempati kursi di sebuah warung makan di daerah Darussalam. Jika biasanya mereka yang akan menjemput lalu menyeretku pergi menjauh dari sini, maka kali ini Tya tidak punya selera menyetir. Pengakuan Wulan dua malam lalu membuat kami berdua masih tidak menyangka, jika Wulan akan mencapai kesimpulan nan polos hanya demi membahagiakan bapak dan mamaknya di kampung sana. “Tapi, enggak gini juga, Wul! Kamu kan enggak suka dia, dan dia juga lebih muda dari kamu. Serius aja, Wul, kamu nikahin brondong!” sembur Tya lagi. Dia tidak bisa berhenti mengomeli Wulan yang mengambil keputusan paling aneh menurut gadis itu. “Kamu lihat aja, Zahrah! Dari ceritanya saja harusnya kamu sudah paham, Wul, menikah itu enggak main-main. Sama orang yang kamu suka saja, banyak rintangannya, apa lagi yang enggak,” cerocosnya lagi. Aku masih belum berkata sepatah kata pun. Cukuplah mendengar Tya yang terus menyudutkan Wu
Read more