Beranda / Rumah Tangga / Mencintai Suami Adikku / Bab 60: Dua Pasang Mata Elang

Share

Bab 60: Dua Pasang Mata Elang

Penulis: Bemine
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-11 11:10:49

Aku segera berpaling begitu mendengar suara dalam yang menyentak siang. Di belakangku, Bang Hasan sudah berdiri dengan ekspresi geram. Dia tidak berkata apapun lagi usai menegur mahasiswa tidak sopan yang mengusik istrinya, selain memandang lurus dengan sorot mata serupa elang.

Begitu tajam, tegas. Bang Hasan seolah menegaskan jika dirinya menantang mahasiswaku yang berusia jauh di bawahnya itu.

“Abang? Ka-kapan datang?” Aku tergugu menghadapi Bang Hasan.

Lekas ayunan langkah kaki ini menuju padanya. Tidak, tidak boleh begini. Aku tidak mau jadi viral dalam satu hari. Bang Hasan dan pemuda tidak sopan itu harus dipisahkan, atau paling tidak kami berpindah tempat.

“Bang? Tenang.”

“Ini orangnya, Zahrah? Mahasiswa yang sering mengganggumu melalu pesan-pesannya?” Bang Hasan menunjuk mahasiswa itu.

Kutemukan urat-urat leher dan lengannya bermunculan segera. Pertanda buruk jika Bang Hasan mulai kehilangan kendal

Bemine

Mohon maaf seringnya telat update. Otor lagi disibukkan dengan tesis. Mohon doanya, ya ... biar tetap terus berkarya.

| Sukai
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 61: Sepeninggal Bang Hasan

    Ini sudah kedua kalinya aku mengecek setiap daun pintu dan jendela. Hati kecil terus berbisik gelisah mengingat aku akan tinggal sendirian sejak malam ini.Dua jam yang lalu, usai salat isya Bang Hasan dijemput mobil kantor. Dia dan dua manajer lain akan diantar ke bandara malam ini juga.Sebelum berangkat, pria berparas indah itu terus mengecupku tanpa henti. Mengingatkan juga agar istrinya senantiasa berhati-hati selama dirinya pergi nanti. Bahkan, Bang Hasan memberi ide agar aku minggat saja ke rumah mamak mertua dan tinggal bersama keluarganya.Tapi, tentu saja aku keberatan. Bukannya tidak sayang diri sendiri, atau mengabaikan nasihat suami, namun mamak mertua tentu masih menyimpan sedikit kecewa karena keputusanku yang menginginkan Husein untuk hidup bersama kami.“Abang, pergi saja. Jangan khawatir. Dulu, aku juga sendirian, kan?!” elakku padanya saat mengantar pria itu ke teras rumah.Mobil fortuner putih sudah berdiri di luar p

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-12
  • Mencintai Suami Adikku   Bab 62: Tentang Bang Hasan

    "Iya, Abang. Aku baik-baik aja, tenang!” Begitulah kuingatkan Bang Hasan di hari ketujuh dinasnya ke pulau Jawa.Sungguh, Bang Hasan lebih posesif dari pada almarhum bapak dan almarhumah mamak. Tidak hanya merecoki Tya dan Wulan agar mereka berdua tinggal di rumah ini sementara, Bang Hasan terus meneleponku setiap kali dia punya waktu.Tidak jarang, Bang Hasan hanya bertanya hal sederhana. Sudah makan? Atau sedang apa? Lalu, mematikan panggilan setelah merasa cukup puas.Jujur, aku senang dibuatnya. Bang Hasan menunjukkan sikap jika diriku memanglah wanita satu-satunya yang dia inginkan di dalam hidupnya yang menawan itu.Aku yang selalu tersipu mendengar suaranya yang memanggil namaku di seberang sana. Atau, ketika Bang Hasan bertanya tentang apa yang kuinginkan saat dia pulang nanti selain keselamatan dan kesehatannya yang sudah pasti. Unik, bukan? Bang Hasan yang kubayangkan dulu saat kami masih berstatus teman tidaklah se

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-13
  • Mencintai Suami Adikku   Bab 63: Tamu dari Jauh

    “Aku tidur di mana, Kak?” protes Anisya menggema di ruang tamu.Wanita berbadan dua itu berbalik dengan cepat usai menyisir seluruh ruangan. Menyebabkan Wulan dan Tya, berdiri berhimpitan dengan dinding, lalu memerhatikan adikku yang mulai rusuh begitu datang.“Kenapa Kakak izinin mereka tidur di kamarku, sih?” imbuhnya lagi. “Aku kan sudah ngalah, kamar lama dipakai Kakak dengan Bang Hasan. Masa aku pakai kamar mamak, sih?”Sempat aku mengerling ke arah Tya dan Wulan yang dipermasalahkan oleh Anisya. Ya, rencana awal memang bukan begini. Tya dan Wulan akan pulang ke rumah mereka sendiri sebelum Anisya tiba, dan semuanya tidak akan rumit begini.Namun, nyatanya takdir memainkan peran. Rencana tinggallah rencana, yang tersisa hanyalah omelan tanpa henti dari bibir adikku sendiri.“Nisya enggak mau tahu, Kak!” sentaknya sembari menghentak kaki.Akibatnya, dua b

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-14
  • Mencintai Suami Adikku   Bab 64: Kepulangan Tidak Terduga

    “Assalamualaikum?“ sapaku begitu berhenti di depan pintu rumah mamak mertua.Suasananya terlalu sunyi dan hening, bahkan semilir angin pun tidak terasa kali ini. Hanya sengatan panas dari matahari yang membumbung tinggi di langit, menandakan jika hari telah mencapai puncaknya hari ini.Kuulangi sekali lagi, “Assalamualaikum, Mak?” Memang, ini rumah mamak mertua, tapi bukan berarti aku bisa seenaknya masuk ke sana. Namun, mengucap salam tanpa balasan begini pun, rasanya sangat tidak menyenangkan.“Mak? Ini Zahrah,” akuku.Aku menggerek koper kecil lebih dekat ke pintu. Rumah mamak mertua yang jauh lebih bagus dari rumah peninggalan bapak dan ibu masih tetap sunyi. Sekelebat pikiran aneh melintas, jika mamak mertua sedang ....“Masuk, Zahrah! Kamu mau semua tetangga dengerin salammu?” Suara itu menggelegar.Mamak mertua muncul dari balik pintu

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-15
  • Mencintai Suami Adikku   Bab 65: Pertemuan Dua Masa Lalu

    “A-bang Hasan? A-bang Hasan, kan?” Jemari Anisya menunjuk wajah suamiku. Anisya yang syukurnya berpakaian tertutup lengkap itu tidak berpaling walau hanya untuk satu detik. Keduanya berganti tatap beberapa saat, sebelum kemudian terdengar tawa nyaring dari mulut adikku. “Haha, seriusan? Ini Abang?” Kali ini, Anisya seperti mengelilingi Bang Hasan dengan bola matanya yang berkilau. Dia yang sudah sekian lama tidak lagi pernah bertatap muka dengan sang mantan suami tidak bisa berhenti tertawa. Entah apa yang begitu lucu sampai mulutnya yang tertutup telapak tangan masih saja mengelakkan tawa keras. Kudekati mereka berdua. Kasihan sekali Bang Hasan, dia tetap berdiri di posisinya. Sabar, walau sepertinya begitu kebingungan setelah bertemu lagi dengan sang mantan istri. Bang Hasan terlihat bergeming, dia melirik sedikit ke arah lain. Mungkin mulai risih dengan perilaku Anisya terhadapnya, atau sebab hal lain yang tidak bisa kumengerti. “Abang? Ken

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-16
  • Mencintai Suami Adikku   Bab 66: Menyusul

    Pertama kalinya dalam satu hari, aku mendatangi rumah mamak mertua hingga dua kali. Napas ini seakan tercekat di tenggorokan usai memijakkan kaki di teras. Padahal, selisih waktu antara kepergian Bang Hasan dan diriku yang mengejar hanya beberapa menit, tetapi tetap saja diri ini gagal menggapai Bang Hasan tepat di belakang.Seperti biasanya, pintu rumah tertutup rapat. Sepatu yang dipakai Bang Hasan saat pergi tadi terduduk rapi di dekat pintu. Dia baru tiba, dan mungkin saja sedang bertukar sapa dengan anggota keluarganya.Kudekati gagang pintu. Salamku menggema begitu pelan. Khawatir, takut dan bimbang semua bercampur di dalam satu kegelisahan akan tanggapan mamak mertua saat kami bertatap muka nanti.“Assalamualaikum?”Detik berlalu lebih cepat. Ingin segera bertemu dengan pemilik tulang rusukku. “Assalamualaikum, Mak? Ini Zahrah.” Serasa seperti dejavu, tetapi di dalam sana ada suamiku.Aku melangkah mundur saat mendeng

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-19
  • Mencintai Suami Adikku   Bab 67: Bertukar Rindu

    Malam nakal yang siang tadi dibisikkan Bang Hasan padaku akhirnya terjadi. Di bawah atap yang sama dengan mamak mertua, kami memadu kasih sesungguhnya. Bang Hasan tidak mau mendengar berbagai alasan yang kusebutkan dan tetap saja meminta haknya sebagai seorang suami. Bagi pria itu, dia telah bertahan seminggu dan itu sudah lebih dari cukup untuk menyiksa dirinya. Dan kini, Bang Hasan tidak ingin mendengarku.Napasnya terdengar berat di sebelah ranjang. Dia tidur dalam posisi menyamping usai membersihkan tubuh dan berwudu. Membayangkan gemercik air saja membuatku merinding hebat, khawatir jika mamak mertua mendengar kami. Padahal, sebelum tidur tadi, Husein juga merengek pada Bang Hasan agar ikut dengannya. Syukurnya mamak mertua lebih dulu mencegah, seolah mengerti dengan tujuan dari putra tercintanya.Aku masih belum mampu memejamkan mata walau hanya sesaat. Sudah lewat tengah malam dan kantuk yang sedari tadi kutunggu tidak kunjung datang.

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-20
  • Mencintai Suami Adikku   Bab 68: Kabar Buruk

    “Zahrah, Anisya jatuh di kamar mandi. Ini semua salahku yang enggak mampu menjaga Nisya,” seru Bang Burhan meski suaranya sengau tidak karuan.Aku yang mendengar berita itu ikut merasa dunia bagaikan sedang menghimpit dada. Bagaimana mungkin Anisya mengalami hal mengenaskan hanya setelah beberapa jam kutinggalkan di rumah?“Datang ke rumah sakit, Zahrah! Anisya tidak berhenti menangis,” pinta Bang Burhan hampir memelas. Kudapati linangan air mata telah membasahi pipi pria itu.Sejenak, aku masih tidak bisa berpikir dengan jernih. Pandanganku memburam dengan cepat akibat genangan yang mulai membentuk anak sungai. Nyeri, pedih dan sakit. Semua rasa yang menyayat dada itu bercampur aduk di dalam sana. Aku tidak sanggup membayangkan keadaan Anisya saat ini setelah mendengar penuturan dari suaminya sendiri.“Lalu, siapa yang nungguin Anisya kalau kamu ke sini, Bang?” potong Bang Hasan.Aku mengangkat pandangan. Ekspre

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-26

Bab terbaru

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 79: Di Ujung Kisah Ini

    Bab 79: Di Ujung Kisah IniTiga Bulan KemudianAku menarik napas lega setelah mendengar jawaban dari Bang Hasan di seberang sana. Sudah beberapa jam kami terpisah. Bang Hasan sejak subuh tiba sudah berada di bandara Sultan Iskandar Muda, dan akan terbang bersama teman-teman sekantornya menuju Jakarta. Lagi, Bang Hasan kembali bertugas, kali ini seminggu lamanya.“Abang baru sampai, Sayang?!” ujarnya renyah. Tidak terasa lelah dari lekuk suaranya yang dalam itu. Padahal, aku hampir tidak bisa bernapas, tidak bisa lepas dari gawai serta jam yang terpampang di layar. Setiap detiknya kuhabiskan dengan terus berdoa, agar Bang Hasan selamat dalam perjalanan, tidak kurang suatu apapun.“Alhamdulillah, Bang. Dijemput, ya?” balasku.Kuremas gorden kecoklatan yang menjuntai dari atas itu. Rumah yang sudah direnovasi oleh Bang Hasan lebih kokoh dan bagus, lengkap dengan beberapa perabotan yang dicicil oleh kami bersama. Ada sesuatu yang terasa hilang; kehadiran Bang Hasan di dalam keseharianku.

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 78: Arah Tujuan

    “Apa-apaan ini, Bang Hasan? Keterlaluan sekali kelakuanmu ternyata, pantas kamu pulang-pulang langsung ngawinin Kak Zahrah, ternyata kamu mencari ibu buat anakmu, hah?” tukas Anisya.Aku yang melihat responnya barusan tercengang luar biasa. Dia yang biasanya tidak peduli dengan urusanku, tiba-tiba saja menjadi begitu menggebu-gebu hingga berhasrat untuk mencaci serta memaki Bang Hasan. Bibirnya aktif bergerak, seiring dengan jemari yang terus menunjuk pada Bang Hasan.Walau perutnya bulat dan ketat, Anisya berdiri dengan tegak, memandangi Bang Hasan yang baru saja mengaku di depan kami semua. Anisya membelaku, menentang hal yang akan menyakitiku meski dirinya tidak tahu asal-muasal permasalahannya.“Bang, kamu nikahin Kak Zahrah karena ini, hah? Picik sekali kelakuanmu. Aku makin bersyukur kita bercerai dulu,” selorohnya lagi. “Bisa-bisanya kamu melakukan hal busuk begini untuk Kak Zahrah, Bang? Setelah dulu menyakitinya, dan membuatnya menangis siang dan malam, sekarang kamu menambah

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 77: Hal yang Ingin Kusampaikan

    Aku menarik napas dalam hingga dada ini membusung saat dua tapak kaki menapak di teras rumah yang beralaskan semen. Dingin terasa di ujung jemari, terlebih begitu menyadari jika pintu rumah terbuka lebar dan Si Kembar terlelap di atas sofa. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Anisya yang harusnya menjaga anak-anak menggemaskan itu. Pun Bang Burhan juga tidak terlihat rimbanya.Kuputuskan untuk segera masuk, tidak lupa tetap memberi salam. Bang Hasan menyusul dari arah belakang tanpa mengucapkan sepatah kata selain salam. Dia mengikutiku, memasang wajah bingung dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Mainan berhamburan, sepertinya baru dibelikan Bang Burhan untuk anak-anaknya. Sebab seingatku, saat mereka tiba kemarin, tidak ada satu mainan pun dibawanya pulang.Plastik yang membalut susunan pakaian juga tergeletak di lantai. Atasnya telah terbuka, dan sebagian isinya terburai keluar. Sepertinya, hasil dari laundry.“Nisya?” panggilku. Meradang hati ini membayangkan bagaimana dia me

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 76: Seseorang dari Masa Lalu

    “Lain kali jangan sembarangan memanggil nama istriku, Bang!” Bang Hasan menegur sepupunya dengan intonasi yang dalam. Pria itu berdiri tegak, menghalangi sepenuhnya pandanganku dari pria yang pernah singgah di dalam hidup kami berdua. Bang Hasan bahkan tidak bersedia membiarkanku menjawab sapaan Bang Zaky barusan.“Aku tidak suka mendengarnya, terlebih jika itu darimu!” sambung Bang Hasan.Terasa suasana di antara kami kian mencekam. Bang Hasan tersulut emosinya hanya dengan kehadiran Bang Zaky. Padahal pria itu hanya menegur, sebab tidak sengaja bertemu dengan kami di rumah sakit ini.“Santai, San! Santai ....” Dua tangan Bang Zaky terhampar di depan dada Bang Hasan. Sikapnya seolah ingin menegaskan bahwa niatnya tidak lebih dari menyapa. “Aku tidak tahu kalau kamu tidak menyukai saudaramu sendiri.”“Ya, aku memang tidak suka.” Bang Hasan menjawabnya dengan tegas.Kupandangi belakang kepala Bang Hasan. Pria itu tidak bergeming. Meski di antara kami, banyak keluarga pasien yang melint

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 75: Berdiri di Tengah

    “Kenapa diam? Ada apa dengan ekspresimu, Sayang?” tanya Bang Hasan.Dia mendekat padaku hingga jarak kami tidak lebih jauh dari sebilah penggaris. Dua tangannya yang besar dan hangat jatuh di pundakku, lalu sorot mata kami saling beradu. Dari pergerakan pupilnya aku segera tahu jika Bang Hasan sedang mencoba menerjemahkan perubahan dari raut wajah istrinya sendiri.“Mamak masih tidak setuju, Zahrah?” ucapnya.Aku terdiam, lidah ini kelu rasanya. Tidak mungkin kujelaskan bagaimana respon mamak mertua saat keinginan ini sampai padanya. Tapi diam terlalu lama hanya akan membuat Bang Hasan sibuk menduga-duga. Bagaimana solusinya? Apa yang harus kulakukan agar dua orang yang berbagi darah ini tidak saling salah paham nantinya?“Abang akan bicara dengan mamak sekarang!” tegasnya.Bang Hasan telah berdiri saat tangannya berhasil kucegat dengan cepat. Pria itu tidak peduli dengan responku dan terus berjalan sampai aku sedikit terseret olehnya. “Abang?”“Zahrah? Biarkan Abang bicara dengan mam

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 74: Obrolan Sore Itu

    Sore harinya, aku keluar dari kamar usai melaksanakan salat asar. Terdengar suara mamak mertua yang sedang bermain dengan Husein di ruang keluarga. Suaranya yang renyah dan dendang lagunya menandakan betapa senang hati wanita itu.Kuberanikan diri untuk mendekat, menuruni setiap anak tangga dari lantai dua menuju lantai pertama tanpa memindahkan pandangan dari dua insan itu. Guratan wajah mamak mertua begitu ceria, sedangkan si kecil Husein sibuk mendorong mobil-mobilannya dengan tangan gempalnya. Dia tidak rewel, tidak menuntut susu coklat seperti pagi tadi, atau meminta digendong sepanjang hari. Bagiku, Husein cukup mandiri dibanding anak-anak kebanyakan. Mungkin, hati kecilnya paham bahwa dunia yang dimasukinya saat ini bukanlah dunia yang sama dengan yang dihadirkan oleh kedua orang tuanya dulu.“Mau apa Adek?” Mamak mertua memanggil Husein. “Mau apa, Sayang?”Husein mengangkat wajah. Tidak ada jawaban apapun, dia hanya memperlihatkan mobilan truck warna kuningnya. Lalu, seolah me

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 73: Marahnya Mamak Mertua

    Setelah mendapatkan apa yang kucari dari apotek, kami bergerak dengan cepat menuju rumah mamak mertua. Bang Hasan di sebelah mobil tidak bertanya apapun, bahkan dia lupa jika hari ini seharusnya masuk kerja.Mobil yang disetirinya mengambil jalur putar arah, lalu bergerak menuju sebuah rumah yang begitu familier dengan kami. Halamannya hening sempurna, tidak ada siapapun di depannya, seolah-olah tidak ada satu kehidupan pun yang bersembunyi di balik bangunan besar itu.“Abang langsung ke kantor saja, aku akan masuk dan bicara sendiri!” pintaku pada Bang Hasan. Kantong plastik bertuliskan nama apotek ternama itu kuremas sekuat tenaga. Perasaanku bercabang banyak arah, namun terus tertahan di dalam rongga dada agar pria itu tidak merasakannya sedikitpun.Bukannya aku tidak menghargai hadirnya sebagai seorang suami, melainkan semuanya hanya untuk menjaga hubungan kami. Aku tidak ingin memberinya terlalu banyak harapan akan sesuatu yang belum pasti, dan ingin fokus pada hal yang sudah ter

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 72: Salah Paham

    “Apa lagi ini, Abang? Di mana kalimatku yang menegaskan kalau aku keberatan jika Husein bersama kita?” protesku segera. Padahal hanya satu kalimatnya, namun emosiku tersulut begitu hebat dan dalam waktu yang begitu singkat.Bang Hasan salah paham? Tapi kenapa? Apa yang membuatnya mengira kalau aku membenci anak kecil malang yang begitu polos itu? Tidakkah dia tahu bahwa dirinya juga menikahi seseorang yang tidak lagi memiliki orang tua di dunia ini?Selesai masalah antara Annisa dan Bang Burhan, kini Bang Hasan mulai memupuk masalah di dalam rumah tangga kami. Dia baru saja pulang dari dinasnya, belum usai rindu kami bina bersama dan Bang Hasan malah membuat perasaanku berderak geram karenanya.“Apa menuduhku tanpa ada penyebabnya. Padahal aku tidak pernah berpikir begitu terhadap Husein.”“Tidak, Zahrah ... Abang hanya terawa perasaan setelah melihat Anisya.”“Lalu Abang mengira aku akan sama dengannya? Aku tahu, Abang pernah menikah dengan Anisya, tapi sekarang yang Abang nikahi itu

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 71: Yang Dinanti

    Pagi menyingsing dengan cepat. belum genap dua jam aku beristirahat, semburat matahari terasa dari jendela kamar. Kemudian, disusul hiruk-pikuk dari orang-orang di luar sana. Beberapa perawat berlalu lalang di depan kamar Anisya, pun sesekali dokter, petugas kebersihan dan keluarga pasien.Aku yang tertidur di sofa segera mengusap wajah. Kulirik Anisya, wanita itu masih terlelap di brangkar, dengan posisi yang sama seperti semalam. Satu tangannya masih mendekap gawai, dan raut wajahnya sesekali merengut, seperti sedang bermimpi buruk.Kuhela napas, semuanya tetap saja sama beratnya di pundak. Andai saja mamak dan bapak ada di sini, mungkin perjalanan hidup kami akan terasa berbeda. Seberat apapun masalahnya, jadi lebih mudah kala dihadapi dengan nasihat mamak dan bapak, saat ditemani oleh dua orang yang telah melahirkan kami berdua ke dunia.Sesaat, aku memutuskan untuk menghapus lamunan itu, lalu beristigfar segera. Tidak boleh begini, sama sekali tidak boleh mengeluhkan takdir yang

DMCA.com Protection Status