Share

Mencintai Suami Adikku
Mencintai Suami Adikku
Penulis: Bemine

Bab 1: Terungkap

Penulis: Bemine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Menikah? Siapa yang akan menikah, Mak?” tanyaku setelah melepas heels yang seharian begitu menyiksa kaki. 

Tubuhku yang setinggi 155 cm membutuhkan bantuan dari sepatu berhak demi menunjang tinggi tubuhku ini. Mengendarai motor matik yang tinggi, juga cukup membantu dengan menggunakan heels. 

Aku meletakkan sepatu mengkilap berwarna hitam yang telah kusemir pagi ini di atas rak sepatu teratas. Sebuah senyum kusematkan saat melihat raut wajah bahagia yang tersurat dari wajah Mamak dan Anisya, adikku satu-satunya. 

Aku sempat menangkap pembicaraan antara Mamak dan Anisya perihal pernikahan, pelaminan juga tamu undangan saat memarkirkan motor di garasi samping rumah. 

“Mak?” panggilku untuk kedua kalinya setelah memasuki pintu rumah. 

Keningku yang berpeluh setelah pulang dari mengajar di salah satu kampus agama milik negara di kota Banda Aceh itu membuatku sangat lelah. Ya! Aku memang berprofesi sebagai dosen, dan masih honorer. 

Baru setahun yang lalu, aku menamatkan kuliah sebagai mahasiswa magister dari jurusan Ekonomi Islam, dan memutuskan untuk mengabdi di kampus yang sama. Syukurnya, kemampuan akademik yang rata-rata ini tidak dipandang sebelah mata oleh almamaterku itu. 

“Siapa yang menikah, Mak?” ulangku untuk ketiga kalinya. Memanglah begitu cara kami, orang-orang di provinsi paling barat negara ini memanggil Ibunya. 

“Anisya dilamar Hasan, Nak,” balas Mamak. 

Hampir saja jantungku terlepas dari tautannya saat mendengar nama Hasan disebutkan oleh Mamak. Sebab, lelaki berparas manis yang selama ini memikat hatiku juga bernama Hasan. 

Belum lama ini, Bang Hasan diterima di salah satu kantor BUMN sebagai karyawan tetap dan memang berniat untuk segera menghalalkan gadis pujaannya setelah punya pekerjaan. Usaha, kerja keras dan doa yang tidak putus membuat Bang Hasan berhasil menembus sulitnya seleksi dari perusahaan tersebut. 

“Hasan yang mana ya, Mak?” Aku bertanya dengan pelipis yang semakin banjir. 

Harap-harap cemas jika Hasan yang disebut Mamak bukanlah Hasan yang selalu kuidam-idamkan dalam hidupku. Bukanlah Hasan yang namanya kusebut di setiap sepertiga malamku. 

Jantungku berdegub begitu cepat, seakan ingin segera terbebas dari dalam rongga dada. Aku menahan semua siksaan ini dengan wajah tersenyum, sedang dalam hati terus saja merapal do'a agar Mamak memberiku jawaban yang berbeda.

“Hasan Al-Basri, Nak. Temanmu itu, loh!”

Sebuah sambaran petir terasa di dalam dada. Hampir saja aku menjerit namun berusaha kututupi dengan gelak tawa bahagia yang kupalsukan. 

“Hasan? Bang Hasan, Mak? Hahaha!” 

Palsu! Sebuah tawa yang sangat palsu. 

“Aduh, Nak, Mamak juga engga nyangka kalo Hasan itu tertarik sama Anisya. Tadi keluarga dari Hasan datang dan mengatakan jika Hasan ingin mengkhitbah Anisya, secepatnya,” jelas Mamak dengan wajah berbinar. 

Perasaanku bagai tersayat-sayat, berdarah, namun tidak bisa kutunjukkan pada siapapun. 

Berulangkali aku beristigfar di dalam hati, meminta pada Rabb agar membuat semua ini menjadi seperti mimpi.

Sekarang, aku paham benar, alasan dari kedatangan Bang Hasan berulangkali ke rumah. Ternyata semuanya demi melihat Anisya lebih dekat. 

Bang Hasan, sudah terpikat dengan Anisya, mungkin sejak aku mengira Bang Hasan menaruh hati padaku, hingga terus bertamu ke rumah dan mengobrol dengan Mamak. 

Kedua kakiku saat ini terasa begitu lemah. Tidak ada lagi tenaga yang tersisa, yang bisa membantuku berdiri lebih tegak. 

Kuputuskan untuk mengakhiri siksaan ini dengan berpamitan pada Mamak dan Anisya yang terlihat begitu bahagia, “Ya sudah, Mak, Nisya. Kak Zahra masuk ke kamar dulu ya? Mau mandi dan solat dhuhur,” elakku pada Mamak dan Anisya. 

“Ya sudah, sana, Nak. Nanti jangan lupa bantu-bantu Mamak buat persiapan lamaran Anisya. Tidak enak jika menunggu uluran tangan dari keluarga Mak Cek terus, setidaknya kita bisa mengurus acara lamaran ini sendiri.”

Mamak terus saja berbicara panjang lebar dengan semangat yang membara meski aku sudah berlalu ke kamar. 

Kututup pintu kamar dengan perlahan dan menguncinya dari dalam. Hampir saja tangisku pecah dengan suara yang keras, jika aku tidak mengingat ada Mamak dan Anisya di luar sana. 

“Jadi ini alasannya, Bang?” lirihku tidak tertahankan. 

Entah pada siapa aku menaruh kekecewaanku saat ini. Bang Hasan yang kuimpikan sebagai imamku, telah memilih makmumnya, yaitu Anisya, adikku. 

Air mataku tumpah ruah, aku meremas tepian baju dengan keras hingga telapak tangan terasa begitu perih. 

Berulangkali aku memukul dada yang sesak, bahkan menampar pipi agar aku bisa menghentikan tangisan ini. 

Aku merosot terduduk di balik daun pintu, masih dengan tas yang ikut terjatuh dan menghamburkan isi perutnya. 

Salah satu notes book yang diberikan Bang Hasan kepadaku telah menarik perhatian. Tertulis jelas di sampul depan, “Untuk wanita hebat, Zahrah Al-Humairah.”

Seketika tangisku kembali pecah. Tidak ada yang tersisa saat ini selain rasa sakit dan arah tujuan yang hilang. 

Dalam hidupku yang sangat sederhana ini, aku tidak pernah menginginkan apapun sebanyak aku menginginkan Bang Hasan. 

Sejak kami masih kuliah sarjana, aku sudah menjatuhkan hatiku padanya. Dari senior dan junior, naik pangkat jadi teman. 

Lalu berjuang bersama-sama mencari pekerjaan di tengah sulitnya lapangan kerja. Hingga aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S2 setelah dinyatakan lulus beasiswa dan Bang Hasan memulai usahanya menembus barrier seleksi BUMN. 

“Kak Zahrah, kenapa lama sekali di dalam? Nanti telat dhuhurnya. Kakak temani Anisya beli bahan kain untuk lamaran, yah?” Permintaan Anisya terdengar jelas olehku dari dalam kamar. 

Aku benar-benar merutuki nasibku sendiri saat ini. Bahkan mendengar suara Anisya saja membuatku sangat benci. 

Diam, aku enggan menjawab. Mulutku kubekap dengan kedua tangan agar tangisku tidak terdengar. 

“Kak Zahrah? Temenin Anisya, ya? Soalnya, Mamak harus ke rumah Nenek untuk menyampaikan berita lamaran Anisya. Lalu ke rumah Uwak, Cecek, Bunda juga. Ada banyak rumah keluarga yang harus Mamak datangi.”

Anisya terus saja berceloteh ria di luar sana. Dia bahkan tidak menyadari, jika perasaanku telah remuk redam di dalam sini. 

Setiap kali Anisya mengucapkan kata lamaran, satu lagi tebasan pedang melukai hati dan jantungku yang telah hancur. Mencincangnya hingga menjadi bubur.

“Mak? Kak Zahrah diam, Mak,” adu Anisya pada Mamak. 

“Ya sudah, biarkan saja, Nak. Mungkin Kakakmu terlalu lelah seharian atau tertidur di kamarnya. Kita berangkat berdua saja, ya?” Begitulah balasan dari Mamak yang sempat terdengar olehku. 

Suasana berubah hening, hanya terdengar bunyi pintu yang ditutup, lalu dikunci dari dalam. Tangisku semakin keras setelah sadar jika Mamak dan Anisya sudah pergi. Hanya ada aku sendiri di rumah, hingga aku bebas melepaskan rasa sakit yang mengoyak dada. 

Ponselku bergetar sesaat, layarnya menyala dan menampilkan preview pesan dari W******p di sana.

Sebuah pesan dari pengirim bertuliskan “Impian” terpampang di layar,

[Zahrah, keluargaku sudah datang ke rumah gadis itu dan melamarnya. Kamu tahu? Gadis itu setuju menikah denganku. Terima kasih atas saran-sarannya, Zahrah. Kamu memang sahabat yang baik.]

“Kamu gila, Bang!” umpatku setelah membaca pesan dari Bang Hasan. 

Bagaimana bisa selama ini aku memberinya saran untuk melamar adikku sendiri? Bagaimana mungkin aku tidak menyadari jika semua kisah yang diceritakan Bang Hasan padaku adalah tentang adikku? 

Aku terus saja terisak sembari memeluk kedua lutut. Mengabaikan pipi yang basah, dan mata yang perih karena tangis yang tidak kunjung usai ini. 

Ya Allah, Ya Rabbi. Hatiku remuk redam saat ini ....

Bab terkait

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 2: Keberuntungan untuk Anisya

    “Astagfirullah!” Aku memekik cukup keras saat terbangun dari tidur.Ponsel menjadi tujuanku saat ini demi mengetahui jam yang tertera di layar. Bisa kurasakan wajah yang masih panas dan mata yang membengkak, meski begitu aku ingat benar jika aku telah melewatkan salat dhuhur.Jam 14.30! Mataku membulat dengan cepat.Aku menghempas ponsel tersebut di kasur lalu melompat turun dari ranjang. Bergegas mengganti pakaian dengan setelan rumahan.

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 3: Nomor yang Tidak Dikenal

    Sejenak aku tertegun mendapati pesan dari nomor tidak dikenal itu.“Abang Zaky?” Aku merenung, sembari mengingat nama Zaky yang pernah terlintas di dalam hidupku. Memang benar, pernah ada lelaki bernama Zaky yang singgah, sebagai teman, tidak pernah lebih dari itu. Seingatku, Bang Zaky juga sudah menikah dengan bidadarinya dari kota Medan tiga tahun yang lalu. Gadis berparas cantik yang sanggup membuatku iri. Drt! Ponsel

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 4: Obrolan Siang Itu

    “Zahrah? Yang bener aja, ditelpon susah banget, sih?” Seruan keras yang mendadak terdengar membuatku segera berbalik. Terik panas matahari yang menyengat ubun-ubun, meski berpelindung jilbab tetap saja terasa menyakitkan. Meski begitu, aku memilih diam, menahan panas dengan tangan yang aku tangkupkan di kening. “Aduh! Tya?! Ngapain di sini? Kok Bu Sekretaris seperti kamu nyasar ke kampus?” sindirku begitu mengenali gadis dengan setelan jas dan jilbab yang melilit leher datang mendekat. Langkah gadis itu begitu anggun, ditunjang dengan heelsnya yang seruncing jarum. “Nyindir? Dasar, Bu Dos!” ujarnya begitu berdiri di hadapanku. “Aku mau ngajakin kamu makan siang. Mumpung atasanku lagi dinas, bisa berleha-leha di kantor, terus jam makan siang bisa lebih lama. Hahaha!” Gelak tawa Tya terdengar cukup keras. Gadis itu memamerkan barisan giginya yang putih dengan deret atas dipagari behel. Buru-buru aku menutup mulut Tya dengan tanga

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 5: Akhirnya Terbongkar!

    Sejenak, aku menatap kosong pada dinding kamar yang didominasi warna abu-abu. Tubuh lelah ini, terduduk dengan posisi bersandar di dashboard kayu kamar sederhana. Menikmati harum samar-samar dari pengharum ruangan otomatis yang tergantung di dinding. Hening! Sepi! Tidak ada satu suara pun yang menggema di setiap sisi rumah. Sesekali, sahut-sahutan suara cicak, lalu dengungan nyamuk menjadi alunan musik yang menemani malamku yang pilu. Aku ingat benar, hardikan kasar yang dilemparkan Anisya kepadaku magrib tadi. Gadis itu ingin sekali menjambak rambutku, namun berusaha dia tahan dengan sekuat tenaga demi menghormati mamak. Tidak pernah terbayangkan di dalam anganku, jika Bang Hasan akan mengetahui perasaan terpendam ini dengan cara memalukan begini. Bahkan, melalui mulut orang lain. Iya! Tyalah yang membeberkan semua hal itu pada Bang Hasan siang tadi. Membuat lelaki itu terperanjat dengan mulut yang membulat. 

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 6: Permintaan Mamak

    Sudah larut malam namun mamak dan Anisya tidak kunjung pulang ke rumah. Keduanya nekat mendatangi rumah Bang Hasan karena khawatir jika pemuda itu akan membatalkan pernikahan.Beranjak dari ranjangku yang hangat, aku keluar dari kamar lalu duduk di ruang keluarga dengan perasaan bimbang.Dalam hati, kurapalkan sejuta do'a, agar kepulangan mamak dan Anisya membawa kabar gembira, untuk Anisya. Tidak bisa kubayangkan jika gadis itu akan menyalahkanku seumur hidupnya jika terjadi sesuatu dengan rencana pernikahannya.Lama aku duduk sembari menggenggam ponsel di tangan. Pesan-pesan beruntun yang terus bermunculan terus aku abaikan. Tya, Wulan juga Bang Hasan terus memberondongku dengan pesan-pesan yang semakin lama semakin tenggelam.Tidak ada sedikitpun keinginan untuk membuka pesan-pesan chat tersebut. Sebab, pikiranku masih berkecamuk soal Anisya dan mamak yang belum juga pulang.Hampir satu jam lamanya aku duduk, deru mesin motor matikku terdengar. Sebuah kab

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 7: Hal Penting Untukku

    Aku terduduk lesu di salah satu meja batu yang berada di taman kampus. Posisinya yang terbuka memang terlihat kurang nyaman, namun semilir angin yang berhembus di sana begitu menenangkan. Sudah hampir setengah jam lamanya aku duduk di sini, menikmati segelas kopi dingin yang datang dari kafe dan menghabiskannya sendirian. Aku menunggui Bang Hasan yang telah membuat janji denganku semalam. Sebuah kabar tentang kepastian untuk bertemulah, yang aku tunggu hingga tidak terasa, tiga puluh menit telah berlalu. Cukup menguras tenaga dan emosi, jika mengingat hal sensitif apa yang akan kami bahas saat bertemu nanti. Namun, semuanya sudah terlanjur terjadi, dan aku sudah berjanji pada mamak untuk membantu pernikahan Anisya, meski yang sebenarnya adalah aku sedang mengorbankan perasaanku sendiri. Ponselku bergetar, menampilkan nama Bang Hasan yang tertera di layar. Segera kuangkat agar Bang Hasan tidak perlu menunggu waktu yang lama. “Assalamualaikum, Z

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 8: Pernikahan Anisya

    Satu bulan setelah kebohongan besar itu, pernikahan Anisya dan Bang Hasan digelar. Tugasku sebagai anggota keluarga dari mempelai wanita terbilang cukup banyak, termasuk memastikan semua kerabat dan kenalan sudah diundang, juga membantu mamak memesan bahan makanan untuk pesta pernikahan.Umumnya, kami merayakan pernikahan dengan mengikuti adat traditional di Aceh, yang artinya pesta pernikahan akan diselenggarakan dua kali, sekali di rumah mempelai perempuan yang disebut dengan “preh linto” atau ngunduh mantu dari pihak perempuan, sedang lainnya adalah “intat darabaro” atau ngunduh mantu dari pihak lelaki.Tidak hanya bertindak sebagai keluarga dari darabaro “mempelai perempuan”, aku juga menjadi topik hangat untuk kerabat juga tetangga di sana. “Dilangkahi” itulah yang menjadikanku semakin terkenal.Setiap kali aku melintasi sanak keluarga atau tamu yang berkumpul, mereka selalu memandangiku, lalu berbisik s

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 9: Pria Itu Datang

    Aku meninggalkan pintu depan rumah setelah membaca pesan tidak mengenakkan dari Anisya. Tepat di belakangku, Tya juga Wulan menyusul dengan wajah bingung. Keduanya saling melirik satu dengan yang lain, bertanya melalui sorot mata tentang alasan dari kepergianku yang tiba-tiba.“Mau kemana?” Terdengar Tya bertanya. Gadis itu sedikit sebal karena aku tidak kunjung berhenti berjalan.Sejujurnya, aku sendiri bingung harus melangkah kemana. Pesta pernikahan yang seharusnya terasa menyenangkan bagaikan sangkar besi yang mengurungku dari dunia luar.“Bisa jelaskan, Zahrah?” tuntut Tya yang diangguki Wulan.Aku bagaikan gadis linglung, hilang arah juga tujuan. Jemari-jemari yang mulai dingin ini perlahan memijat kening yang terasa berdenyut, sesekali menyeka pelipis yang basah oleh keringat.“Zahrah?” Aku masih diam meski mendengar jelas panggilan itu.“Kenapa berdiri di tengah lorong begini?” tegurnya

Bab terbaru

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 79: Di Ujung Kisah Ini

    Bab 79: Di Ujung Kisah IniTiga Bulan KemudianAku menarik napas lega setelah mendengar jawaban dari Bang Hasan di seberang sana. Sudah beberapa jam kami terpisah. Bang Hasan sejak subuh tiba sudah berada di bandara Sultan Iskandar Muda, dan akan terbang bersama teman-teman sekantornya menuju Jakarta. Lagi, Bang Hasan kembali bertugas, kali ini seminggu lamanya.“Abang baru sampai, Sayang?!” ujarnya renyah. Tidak terasa lelah dari lekuk suaranya yang dalam itu. Padahal, aku hampir tidak bisa bernapas, tidak bisa lepas dari gawai serta jam yang terpampang di layar. Setiap detiknya kuhabiskan dengan terus berdoa, agar Bang Hasan selamat dalam perjalanan, tidak kurang suatu apapun.“Alhamdulillah, Bang. Dijemput, ya?” balasku.Kuremas gorden kecoklatan yang menjuntai dari atas itu. Rumah yang sudah direnovasi oleh Bang Hasan lebih kokoh dan bagus, lengkap dengan beberapa perabotan yang dicicil oleh kami bersama. Ada sesuatu yang terasa hilang; kehadiran Bang Hasan di dalam keseharianku.

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 78: Arah Tujuan

    “Apa-apaan ini, Bang Hasan? Keterlaluan sekali kelakuanmu ternyata, pantas kamu pulang-pulang langsung ngawinin Kak Zahrah, ternyata kamu mencari ibu buat anakmu, hah?” tukas Anisya.Aku yang melihat responnya barusan tercengang luar biasa. Dia yang biasanya tidak peduli dengan urusanku, tiba-tiba saja menjadi begitu menggebu-gebu hingga berhasrat untuk mencaci serta memaki Bang Hasan. Bibirnya aktif bergerak, seiring dengan jemari yang terus menunjuk pada Bang Hasan.Walau perutnya bulat dan ketat, Anisya berdiri dengan tegak, memandangi Bang Hasan yang baru saja mengaku di depan kami semua. Anisya membelaku, menentang hal yang akan menyakitiku meski dirinya tidak tahu asal-muasal permasalahannya.“Bang, kamu nikahin Kak Zahrah karena ini, hah? Picik sekali kelakuanmu. Aku makin bersyukur kita bercerai dulu,” selorohnya lagi. “Bisa-bisanya kamu melakukan hal busuk begini untuk Kak Zahrah, Bang? Setelah dulu menyakitinya, dan membuatnya menangis siang dan malam, sekarang kamu menambah

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 77: Hal yang Ingin Kusampaikan

    Aku menarik napas dalam hingga dada ini membusung saat dua tapak kaki menapak di teras rumah yang beralaskan semen. Dingin terasa di ujung jemari, terlebih begitu menyadari jika pintu rumah terbuka lebar dan Si Kembar terlelap di atas sofa. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Anisya yang harusnya menjaga anak-anak menggemaskan itu. Pun Bang Burhan juga tidak terlihat rimbanya.Kuputuskan untuk segera masuk, tidak lupa tetap memberi salam. Bang Hasan menyusul dari arah belakang tanpa mengucapkan sepatah kata selain salam. Dia mengikutiku, memasang wajah bingung dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Mainan berhamburan, sepertinya baru dibelikan Bang Burhan untuk anak-anaknya. Sebab seingatku, saat mereka tiba kemarin, tidak ada satu mainan pun dibawanya pulang.Plastik yang membalut susunan pakaian juga tergeletak di lantai. Atasnya telah terbuka, dan sebagian isinya terburai keluar. Sepertinya, hasil dari laundry.“Nisya?” panggilku. Meradang hati ini membayangkan bagaimana dia me

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 76: Seseorang dari Masa Lalu

    “Lain kali jangan sembarangan memanggil nama istriku, Bang!” Bang Hasan menegur sepupunya dengan intonasi yang dalam. Pria itu berdiri tegak, menghalangi sepenuhnya pandanganku dari pria yang pernah singgah di dalam hidup kami berdua. Bang Hasan bahkan tidak bersedia membiarkanku menjawab sapaan Bang Zaky barusan.“Aku tidak suka mendengarnya, terlebih jika itu darimu!” sambung Bang Hasan.Terasa suasana di antara kami kian mencekam. Bang Hasan tersulut emosinya hanya dengan kehadiran Bang Zaky. Padahal pria itu hanya menegur, sebab tidak sengaja bertemu dengan kami di rumah sakit ini.“Santai, San! Santai ....” Dua tangan Bang Zaky terhampar di depan dada Bang Hasan. Sikapnya seolah ingin menegaskan bahwa niatnya tidak lebih dari menyapa. “Aku tidak tahu kalau kamu tidak menyukai saudaramu sendiri.”“Ya, aku memang tidak suka.” Bang Hasan menjawabnya dengan tegas.Kupandangi belakang kepala Bang Hasan. Pria itu tidak bergeming. Meski di antara kami, banyak keluarga pasien yang melint

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 75: Berdiri di Tengah

    “Kenapa diam? Ada apa dengan ekspresimu, Sayang?” tanya Bang Hasan.Dia mendekat padaku hingga jarak kami tidak lebih jauh dari sebilah penggaris. Dua tangannya yang besar dan hangat jatuh di pundakku, lalu sorot mata kami saling beradu. Dari pergerakan pupilnya aku segera tahu jika Bang Hasan sedang mencoba menerjemahkan perubahan dari raut wajah istrinya sendiri.“Mamak masih tidak setuju, Zahrah?” ucapnya.Aku terdiam, lidah ini kelu rasanya. Tidak mungkin kujelaskan bagaimana respon mamak mertua saat keinginan ini sampai padanya. Tapi diam terlalu lama hanya akan membuat Bang Hasan sibuk menduga-duga. Bagaimana solusinya? Apa yang harus kulakukan agar dua orang yang berbagi darah ini tidak saling salah paham nantinya?“Abang akan bicara dengan mamak sekarang!” tegasnya.Bang Hasan telah berdiri saat tangannya berhasil kucegat dengan cepat. Pria itu tidak peduli dengan responku dan terus berjalan sampai aku sedikit terseret olehnya. “Abang?”“Zahrah? Biarkan Abang bicara dengan mam

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 74: Obrolan Sore Itu

    Sore harinya, aku keluar dari kamar usai melaksanakan salat asar. Terdengar suara mamak mertua yang sedang bermain dengan Husein di ruang keluarga. Suaranya yang renyah dan dendang lagunya menandakan betapa senang hati wanita itu.Kuberanikan diri untuk mendekat, menuruni setiap anak tangga dari lantai dua menuju lantai pertama tanpa memindahkan pandangan dari dua insan itu. Guratan wajah mamak mertua begitu ceria, sedangkan si kecil Husein sibuk mendorong mobil-mobilannya dengan tangan gempalnya. Dia tidak rewel, tidak menuntut susu coklat seperti pagi tadi, atau meminta digendong sepanjang hari. Bagiku, Husein cukup mandiri dibanding anak-anak kebanyakan. Mungkin, hati kecilnya paham bahwa dunia yang dimasukinya saat ini bukanlah dunia yang sama dengan yang dihadirkan oleh kedua orang tuanya dulu.“Mau apa Adek?” Mamak mertua memanggil Husein. “Mau apa, Sayang?”Husein mengangkat wajah. Tidak ada jawaban apapun, dia hanya memperlihatkan mobilan truck warna kuningnya. Lalu, seolah me

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 73: Marahnya Mamak Mertua

    Setelah mendapatkan apa yang kucari dari apotek, kami bergerak dengan cepat menuju rumah mamak mertua. Bang Hasan di sebelah mobil tidak bertanya apapun, bahkan dia lupa jika hari ini seharusnya masuk kerja.Mobil yang disetirinya mengambil jalur putar arah, lalu bergerak menuju sebuah rumah yang begitu familier dengan kami. Halamannya hening sempurna, tidak ada siapapun di depannya, seolah-olah tidak ada satu kehidupan pun yang bersembunyi di balik bangunan besar itu.“Abang langsung ke kantor saja, aku akan masuk dan bicara sendiri!” pintaku pada Bang Hasan. Kantong plastik bertuliskan nama apotek ternama itu kuremas sekuat tenaga. Perasaanku bercabang banyak arah, namun terus tertahan di dalam rongga dada agar pria itu tidak merasakannya sedikitpun.Bukannya aku tidak menghargai hadirnya sebagai seorang suami, melainkan semuanya hanya untuk menjaga hubungan kami. Aku tidak ingin memberinya terlalu banyak harapan akan sesuatu yang belum pasti, dan ingin fokus pada hal yang sudah ter

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 72: Salah Paham

    “Apa lagi ini, Abang? Di mana kalimatku yang menegaskan kalau aku keberatan jika Husein bersama kita?” protesku segera. Padahal hanya satu kalimatnya, namun emosiku tersulut begitu hebat dan dalam waktu yang begitu singkat.Bang Hasan salah paham? Tapi kenapa? Apa yang membuatnya mengira kalau aku membenci anak kecil malang yang begitu polos itu? Tidakkah dia tahu bahwa dirinya juga menikahi seseorang yang tidak lagi memiliki orang tua di dunia ini?Selesai masalah antara Annisa dan Bang Burhan, kini Bang Hasan mulai memupuk masalah di dalam rumah tangga kami. Dia baru saja pulang dari dinasnya, belum usai rindu kami bina bersama dan Bang Hasan malah membuat perasaanku berderak geram karenanya.“Apa menuduhku tanpa ada penyebabnya. Padahal aku tidak pernah berpikir begitu terhadap Husein.”“Tidak, Zahrah ... Abang hanya terawa perasaan setelah melihat Anisya.”“Lalu Abang mengira aku akan sama dengannya? Aku tahu, Abang pernah menikah dengan Anisya, tapi sekarang yang Abang nikahi itu

  • Mencintai Suami Adikku   Bab 71: Yang Dinanti

    Pagi menyingsing dengan cepat. belum genap dua jam aku beristirahat, semburat matahari terasa dari jendela kamar. Kemudian, disusul hiruk-pikuk dari orang-orang di luar sana. Beberapa perawat berlalu lalang di depan kamar Anisya, pun sesekali dokter, petugas kebersihan dan keluarga pasien.Aku yang tertidur di sofa segera mengusap wajah. Kulirik Anisya, wanita itu masih terlelap di brangkar, dengan posisi yang sama seperti semalam. Satu tangannya masih mendekap gawai, dan raut wajahnya sesekali merengut, seperti sedang bermimpi buruk.Kuhela napas, semuanya tetap saja sama beratnya di pundak. Andai saja mamak dan bapak ada di sini, mungkin perjalanan hidup kami akan terasa berbeda. Seberat apapun masalahnya, jadi lebih mudah kala dihadapi dengan nasihat mamak dan bapak, saat ditemani oleh dua orang yang telah melahirkan kami berdua ke dunia.Sesaat, aku memutuskan untuk menghapus lamunan itu, lalu beristigfar segera. Tidak boleh begini, sama sekali tidak boleh mengeluhkan takdir yang

DMCA.com Protection Status