“Astagfirullah!” Aku memekik cukup keras saat terbangun dari tidur.
Ponsel menjadi tujuanku saat ini demi mengetahui jam yang tertera di layar. Bisa kurasakan wajah yang masih panas dan mata yang membengkak, meski begitu aku ingat benar jika aku telah melewatkan salat dhuhur.
Jam 14.30! Mataku membulat dengan cepat.
Aku menghempas ponsel tersebut di kasur lalu melompat turun dari ranjang. Bergegas mengganti pakaian dengan setelan rumahan.
Aku keluar dari kamar setelah memastikan keadaan wajah lebih mirip seseorang yang baru saja tertidur dibanding menangis. Aku tidak ingin Mamak bertanya-tanya alasan dari tangisanku, tentu saja Mamak akan curiga, jika melihatku begitu.
Suara riuh rendah yang menggema di dalam rumah membuatku melirik ke seluruh sudut. Aku penasaran sekali tentang suara-suara yang saat ini bersahut-sahutan itu.
“Zahrah?!” Teguran dari Mamak baru saja menghentikan langkahku untuk mencari tahu.
Aku menoleh, lalu tersenyum pada Mamak yang datang dengan nampan di tangan.
Gelas-gelas sloky yang Mamak isi dengan sirup dingin memberiku informasi, jika ada tamu saat ini.
“Keluarga Bang Hasan, Mak?”
Mamak menggeleng, “Bukan, tapi keluarga dari Burhan. Aduh, Mamak bingung sekali, mereka datang mau melamar Anisya. Burhan itu, sudah diterima bekerja di Jakarta. Mau membawa Anisya juga ke Jakarta.”
Aku mematung saat mendengar penjelasan singkat dari Mamak. Betapa hebatnya Anisya, dua lamaran datang dalam satu hari untuknya.
Padahal, setahuku gadis yang sudah dilamar tidak boleh lagi dilamar. Namun hal ini sepertinya dapat dipahami, mengingat belum banyak orang yang tahu tentang pernikahan Anisya dan ... bahkan aku kesulitan menyebut nama lelaki itu.
“Anisya bilang apa, Mak?”
“Mau bilang apa, coba? Pastilah ditolak. Anisya sudah menerima lamaran Hasan, tidak mungkin menerima Burhan juga. Lagian, kenapa dua-duanya ngelamar Anisya, sih? Padahal Mamak punya dua anak gadis, kan bagus kalau kalian nikahnya barengan.”
Aku hanya mengulas senyum setelah mendengar ucapan dari Mamak. Meski sebenarnya, ucapan Mamak menoreh luka baru di benakku.
Usiaku sudah dua puluh lima tahun dan belum menikah. Sedang Anisya, tahun ini dia menginjak usia dua puluh dua tahun dan sudah dilamar dua orang.
Paras? Memang Anisya lebih cantik. Meski sama-sama berkulit putih bening, Anisya memiliki paras indah khas orang Aceh.
Hidung mungil namun mancung, mata yang kecil dan indah, bibir tipis menggemaskan dan dagu yang lancip. Bentuh tubuh Anisya juga kecil, namun sedikit berisi. Menambah daya tarik setiap kali melihat Anisya.
Sedang aku lebih mirip Almarhum Ayah. Hidung seperti jambu dengan mata bulat besar. Meski banyak orang-orang memuji bentuk mataku yang beriris coklat terang, tetap saja tidak seindah parah Anisya.
Astagfirullah! Aku bahkan membanding-bandingkan ciptaan Allah. Iri dengan nasib yang dimiliki adikku sendiri. Benar-benar syeitan telah berhasil menggoyahkan diriku.
Kuusap wajah yang kembali memanas, rupanya menangis selama berjam-jam belum cukup untuk batin yang terluka ini.
“Zahrah?” Mamak kembali memanggilku yang hanya diam.
Kutengadahkan kepala demi menahan air mata yang kembali mengisi kelopak. Sakit! Perih! Kecewa! Bahkan benci telah bersarang di dalam jiwa.
“Kakak solat dhuhur dulu, Mak. Takut keburu asar,” pamitku pada Mamak.
“Ya sudah, sana solat. Mamak ke depan dulu, ya?!”
“Iya, Mak.”
Aku menuju ke kamar mandi yang terletak dekat dengan dapur. Melipat lengan kaos yang panjang agar tidak basah saat berwudu'.
Langkahku terhenti saat melihat Anisya sedang duduk di kursi meja makan, sembari mengunyah anggur merah dalam satu keranjang besar.
“Kak, Bang Burhan itu baik, ya? Lebih mapan mana dari Bang Hasan?”
Sebuah pertanyaan yang membuatku membulatkan mata terucap dari bibir Anisya. Aku menoleh pada Anisya, tanpa meninggalkan pintu kamar mandi.
Keningku mengernyit saat melihat Anisya dengan santainya menikmati buah yang dibawakan oleh keluarga Bang Hasan, namun dengan teganya membandingkan Bang Hasan dengan Bang Burhan.
“Apa maksudmu, Dek?”
“Ya, gini loh, kak. Kan Bang Hasan kerjanya di Aceh, kalau Bang Burhan kerjanya di Jakarta. Logika saja, Bang Burhan pasti lebih mapan.” Anisya terkekeh setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Dia kembali memetik anggur dari tangkai lalu mengunyahnya dengan wajah bahagia.
“Harusnya, kamu menolak Bang Hasan jika ingin hidup kaya dengan Bang Burhan, Dek. Bukannya berucap seperti ini setelah menerima pinangan Bang Hasan,” balasku.
Jujur aku begitu tersinggung dengan ucapan Anisya, padahal apa yang diucapkan oleh Anisya tidak ada kaitannya denganku.
Sedikit membandingkan. Bukan! Aku memang membandingkan perasaanku terhadap Bang Hasan dengan perasaan Anisya. Bagiku, perasanku jaauh lebih tulus, namun sayangnya bukan aku pilihan Bang Hasan.
“Ih, Kakak Zahrah kenapa jadi marah begitu? Kan yang dilamar Anisya, jadi Anisya berhak dong untuk memilih yang terbaik demi masa depan Anisya sendiri.”
Dadaku bergemuruh saat melihat alasan konyol yang diucapkan oleh Anisya. Tidak tahu diri! Begitulah umpatan yang berulangkali terucap di dalam benakku.
“Tapi, Bang Hasan lebih cocok sama Anisya dibanding Bang Burhan. Bang Hasan lembut dan terlihat sangat sayang sama mamak.” Anisya berceloteh ria sendirian.
Aku memutuskan menutup telinga dan beranjak masuk ke kamar mandi. Air dari keran mengucur deras, sengaja aku memutar keran hingga mentok agar bisa menumpahkan tangis tanpa terdengar oleh Anisya.
Semudah itu Anisya membandingkan Bang Hasan dengan lelaki lain, padahal bagiku, Bang Hasan adalah satu-satunya. Lelaki satu-satunya yang namanya tidak pernah absen kusebutkan di solat malamku. Lelaki yang tidak henti kupinta pada Ilahi.
--
Kuhabiskan malam ini dengan bersemedi di kamar. Aku memang jarang duduk mengobrol dengan mamak atau Anisya sembari menonton TV.
Selama ini, aku lebih senang membaca novel dibandingkan bergosip ria. Itulah yang memperbesar jarak antara aku dan mamak, juga Anisya.
Hanya saja, aku merasa damai setelah membaca novel dibandingkan menonton drama seperti yang dilakukan oleh Anisya.
Barisan kata demi kata, baik itu di dalam novel fisik atau pun digital, selalu membuatku takjub. Kisah-kisah yang tertulis di dalamnya, memberi pelajaran baru bagiku.
Ibu jari dan telunjukku membalik halaman novel fisik yang baru kubeli minggu lalu. Novel komedi romantis yang saat ini menemani berhasil membuatku melupakan sedikit rasa sakit yang disebabkan oleh Bang Hasan dan Anisya.
Drt!
Ketenanganku terusik saat ponsel itu bergetar. Aku meraih ponsel tersebut lalu membuka pesan beruntun yang baru saja masuk.
[Bang Hasan ngelamar cewek? @Zahrah @Wulan. Group almamater heboh sama berita ini. Katanya si ganteng Hasan udah sold out!]
Isi pesan yang dikirimkan oleh Tya mengangetkan diriku. Tya, juga Wulan merupakan dua sahabat baik yang mengenal diriku hingga bagian kecil. Jika aku dekat dengan Bang Hasan, maka aku lebih dekat dengan Tya dan Wulan.
[Gila Bang Hasan! Tega banget.] Balasan lainnya dari Wulan masuk ke dalam group chat.
Aku hanya menyimak tanpa membalas. Keduanya mulai berseteru hingga group chat w******p yang kami beri nama “Pesona Gadis Aceh” itu sangat riuh. Padahal, hanya kami bertiga yang ada di sana.
[Aku tidak terima Bang Hasan seperti ini.]
[Aku juga tidak terima, Tya. Sudah bikin baper anak orang kok yang dilamar cewek yang lain, sih?]
[Hei, @Zahrah. Sudah, jangan perdulikan lagi Bang Hasan. Hapus nomornya, jika perlu blokir saja. Kamu terlalu baik untuk lelaki yang tidak peka itu.]
Tya terus saja mengomel, lalu disahuti Wulan yang tidak kalah garangnya. Tingkah keduanya membuatku merasa terhibur.
Aku mulai mengetik balasan, agar Tya dan Wulan berhenti meng-tag namaku di dalam typingan mereka.
Namun, perhatianku teralihkan oleh notifikasi lain yang muncul di atas layar. Sebuah pesan dari nomor yang tidak kukenal terlihat jelas di pesan preview.
[Dek Zahrah, apa kabarmu, Dek? Ini Abang, Zaky Mubarak.]
Sejenak aku tertegun mendapati pesan dari nomor tidak dikenal itu.“Abang Zaky?” Aku merenung, sembari mengingat nama Zaky yang pernah terlintas di dalam hidupku. Memang benar, pernah ada lelaki bernama Zaky yang singgah, sebagai teman, tidak pernah lebih dari itu. Seingatku, Bang Zaky juga sudah menikah dengan bidadarinya dari kota Medan tiga tahun yang lalu. Gadis berparas cantik yang sanggup membuatku iri. Drt! Ponsel
“Zahrah? Yang bener aja, ditelpon susah banget, sih?” Seruan keras yang mendadak terdengar membuatku segera berbalik. Terik panas matahari yang menyengat ubun-ubun, meski berpelindung jilbab tetap saja terasa menyakitkan. Meski begitu, aku memilih diam, menahan panas dengan tangan yang aku tangkupkan di kening. “Aduh! Tya?! Ngapain di sini? Kok Bu Sekretaris seperti kamu nyasar ke kampus?” sindirku begitu mengenali gadis dengan setelan jas dan jilbab yang melilit leher datang mendekat. Langkah gadis itu begitu anggun, ditunjang dengan heelsnya yang seruncing jarum. “Nyindir? Dasar, Bu Dos!” ujarnya begitu berdiri di hadapanku. “Aku mau ngajakin kamu makan siang. Mumpung atasanku lagi dinas, bisa berleha-leha di kantor, terus jam makan siang bisa lebih lama. Hahaha!” Gelak tawa Tya terdengar cukup keras. Gadis itu memamerkan barisan giginya yang putih dengan deret atas dipagari behel. Buru-buru aku menutup mulut Tya dengan tanga
Sejenak, aku menatap kosong pada dinding kamar yang didominasi warna abu-abu. Tubuh lelah ini, terduduk dengan posisi bersandar di dashboard kayu kamar sederhana. Menikmati harum samar-samar dari pengharum ruangan otomatis yang tergantung di dinding. Hening! Sepi! Tidak ada satu suara pun yang menggema di setiap sisi rumah. Sesekali, sahut-sahutan suara cicak, lalu dengungan nyamuk menjadi alunan musik yang menemani malamku yang pilu. Aku ingat benar, hardikan kasar yang dilemparkan Anisya kepadaku magrib tadi. Gadis itu ingin sekali menjambak rambutku, namun berusaha dia tahan dengan sekuat tenaga demi menghormati mamak. Tidak pernah terbayangkan di dalam anganku, jika Bang Hasan akan mengetahui perasaan terpendam ini dengan cara memalukan begini. Bahkan, melalui mulut orang lain. Iya! Tyalah yang membeberkan semua hal itu pada Bang Hasan siang tadi. Membuat lelaki itu terperanjat dengan mulut yang membulat. 
Sudah larut malam namun mamak dan Anisya tidak kunjung pulang ke rumah. Keduanya nekat mendatangi rumah Bang Hasan karena khawatir jika pemuda itu akan membatalkan pernikahan.Beranjak dari ranjangku yang hangat, aku keluar dari kamar lalu duduk di ruang keluarga dengan perasaan bimbang.Dalam hati, kurapalkan sejuta do'a, agar kepulangan mamak dan Anisya membawa kabar gembira, untuk Anisya. Tidak bisa kubayangkan jika gadis itu akan menyalahkanku seumur hidupnya jika terjadi sesuatu dengan rencana pernikahannya.Lama aku duduk sembari menggenggam ponsel di tangan. Pesan-pesan beruntun yang terus bermunculan terus aku abaikan. Tya, Wulan juga Bang Hasan terus memberondongku dengan pesan-pesan yang semakin lama semakin tenggelam.Tidak ada sedikitpun keinginan untuk membuka pesan-pesan chat tersebut. Sebab, pikiranku masih berkecamuk soal Anisya dan mamak yang belum juga pulang.Hampir satu jam lamanya aku duduk, deru mesin motor matikku terdengar. Sebuah kab
Aku terduduk lesu di salah satu meja batu yang berada di taman kampus. Posisinya yang terbuka memang terlihat kurang nyaman, namun semilir angin yang berhembus di sana begitu menenangkan. Sudah hampir setengah jam lamanya aku duduk di sini, menikmati segelas kopi dingin yang datang dari kafe dan menghabiskannya sendirian. Aku menunggui Bang Hasan yang telah membuat janji denganku semalam. Sebuah kabar tentang kepastian untuk bertemulah, yang aku tunggu hingga tidak terasa, tiga puluh menit telah berlalu. Cukup menguras tenaga dan emosi, jika mengingat hal sensitif apa yang akan kami bahas saat bertemu nanti. Namun, semuanya sudah terlanjur terjadi, dan aku sudah berjanji pada mamak untuk membantu pernikahan Anisya, meski yang sebenarnya adalah aku sedang mengorbankan perasaanku sendiri. Ponselku bergetar, menampilkan nama Bang Hasan yang tertera di layar. Segera kuangkat agar Bang Hasan tidak perlu menunggu waktu yang lama. “Assalamualaikum, Z
Satu bulan setelah kebohongan besar itu, pernikahan Anisya dan Bang Hasan digelar. Tugasku sebagai anggota keluarga dari mempelai wanita terbilang cukup banyak, termasuk memastikan semua kerabat dan kenalan sudah diundang, juga membantu mamak memesan bahan makanan untuk pesta pernikahan.Umumnya, kami merayakan pernikahan dengan mengikuti adat traditional di Aceh, yang artinya pesta pernikahan akan diselenggarakan dua kali, sekali di rumah mempelai perempuan yang disebut dengan “preh linto” atau ngunduh mantu dari pihak perempuan, sedang lainnya adalah “intat darabaro” atau ngunduh mantu dari pihak lelaki.Tidak hanya bertindak sebagai keluarga dari darabaro “mempelai perempuan”, aku juga menjadi topik hangat untuk kerabat juga tetangga di sana. “Dilangkahi” itulah yang menjadikanku semakin terkenal.Setiap kali aku melintasi sanak keluarga atau tamu yang berkumpul, mereka selalu memandangiku, lalu berbisik s
Aku meninggalkan pintu depan rumah setelah membaca pesan tidak mengenakkan dari Anisya. Tepat di belakangku, Tya juga Wulan menyusul dengan wajah bingung. Keduanya saling melirik satu dengan yang lain, bertanya melalui sorot mata tentang alasan dari kepergianku yang tiba-tiba.“Mau kemana?” Terdengar Tya bertanya. Gadis itu sedikit sebal karena aku tidak kunjung berhenti berjalan.Sejujurnya, aku sendiri bingung harus melangkah kemana. Pesta pernikahan yang seharusnya terasa menyenangkan bagaikan sangkar besi yang mengurungku dari dunia luar.“Bisa jelaskan, Zahrah?” tuntut Tya yang diangguki Wulan.Aku bagaikan gadis linglung, hilang arah juga tujuan. Jemari-jemari yang mulai dingin ini perlahan memijat kening yang terasa berdenyut, sesekali menyeka pelipis yang basah oleh keringat.“Zahrah?” Aku masih diam meski mendengar jelas panggilan itu.“Kenapa berdiri di tengah lorong begini?” tegurnya
Setelah pesta kedua digelar di kediaman Bang Zaky, maka malam ini, Anisya ditemani beberapa kerabat akan menjemput Bang Zaky untuk tinggal bersama di rumah kami. Mengikuti tradisi turun-temurun yang berlaku di daerah ini.Anisya terlihat begitu anggun dengan gamis biru gelap yang merupakan seserahan dari suaminya. Gamis itu dihiasi ornamen kristal di bagian depan, serta selendang panjang yang jatuh dari pundak. Jilbab persegi yang menutup dada, juga riasan nan manis di wajahnya membuat gadis itu terlihat begitu menawan.Beberapa kerabat yang menemani, mak cik, mamak juga tetangga kiri dan kanan tidak kalah memukau dibanding Anisya. Penampilan mereka mengundang canda dari beberapa sanak saudara yang masih membantu pembersihan sisa-sisa pesta pernikahan.“Ini, yang darabaro-nya Anisya atau mamaknya?” Bang Jun berceloteh dari luar rumah. Kepalanya mendongak dengan wajah yang tersenyum lebar.“Kalau Hasannya mau, sama mak ciknya jug
Bab 79: Di Ujung Kisah IniTiga Bulan KemudianAku menarik napas lega setelah mendengar jawaban dari Bang Hasan di seberang sana. Sudah beberapa jam kami terpisah. Bang Hasan sejak subuh tiba sudah berada di bandara Sultan Iskandar Muda, dan akan terbang bersama teman-teman sekantornya menuju Jakarta. Lagi, Bang Hasan kembali bertugas, kali ini seminggu lamanya.“Abang baru sampai, Sayang?!” ujarnya renyah. Tidak terasa lelah dari lekuk suaranya yang dalam itu. Padahal, aku hampir tidak bisa bernapas, tidak bisa lepas dari gawai serta jam yang terpampang di layar. Setiap detiknya kuhabiskan dengan terus berdoa, agar Bang Hasan selamat dalam perjalanan, tidak kurang suatu apapun.“Alhamdulillah, Bang. Dijemput, ya?” balasku.Kuremas gorden kecoklatan yang menjuntai dari atas itu. Rumah yang sudah direnovasi oleh Bang Hasan lebih kokoh dan bagus, lengkap dengan beberapa perabotan yang dicicil oleh kami bersama. Ada sesuatu yang terasa hilang; kehadiran Bang Hasan di dalam keseharianku.
“Apa-apaan ini, Bang Hasan? Keterlaluan sekali kelakuanmu ternyata, pantas kamu pulang-pulang langsung ngawinin Kak Zahrah, ternyata kamu mencari ibu buat anakmu, hah?” tukas Anisya.Aku yang melihat responnya barusan tercengang luar biasa. Dia yang biasanya tidak peduli dengan urusanku, tiba-tiba saja menjadi begitu menggebu-gebu hingga berhasrat untuk mencaci serta memaki Bang Hasan. Bibirnya aktif bergerak, seiring dengan jemari yang terus menunjuk pada Bang Hasan.Walau perutnya bulat dan ketat, Anisya berdiri dengan tegak, memandangi Bang Hasan yang baru saja mengaku di depan kami semua. Anisya membelaku, menentang hal yang akan menyakitiku meski dirinya tidak tahu asal-muasal permasalahannya.“Bang, kamu nikahin Kak Zahrah karena ini, hah? Picik sekali kelakuanmu. Aku makin bersyukur kita bercerai dulu,” selorohnya lagi. “Bisa-bisanya kamu melakukan hal busuk begini untuk Kak Zahrah, Bang? Setelah dulu menyakitinya, dan membuatnya menangis siang dan malam, sekarang kamu menambah
Aku menarik napas dalam hingga dada ini membusung saat dua tapak kaki menapak di teras rumah yang beralaskan semen. Dingin terasa di ujung jemari, terlebih begitu menyadari jika pintu rumah terbuka lebar dan Si Kembar terlelap di atas sofa. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Anisya yang harusnya menjaga anak-anak menggemaskan itu. Pun Bang Burhan juga tidak terlihat rimbanya.Kuputuskan untuk segera masuk, tidak lupa tetap memberi salam. Bang Hasan menyusul dari arah belakang tanpa mengucapkan sepatah kata selain salam. Dia mengikutiku, memasang wajah bingung dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Mainan berhamburan, sepertinya baru dibelikan Bang Burhan untuk anak-anaknya. Sebab seingatku, saat mereka tiba kemarin, tidak ada satu mainan pun dibawanya pulang.Plastik yang membalut susunan pakaian juga tergeletak di lantai. Atasnya telah terbuka, dan sebagian isinya terburai keluar. Sepertinya, hasil dari laundry.“Nisya?” panggilku. Meradang hati ini membayangkan bagaimana dia me
“Lain kali jangan sembarangan memanggil nama istriku, Bang!” Bang Hasan menegur sepupunya dengan intonasi yang dalam. Pria itu berdiri tegak, menghalangi sepenuhnya pandanganku dari pria yang pernah singgah di dalam hidup kami berdua. Bang Hasan bahkan tidak bersedia membiarkanku menjawab sapaan Bang Zaky barusan.“Aku tidak suka mendengarnya, terlebih jika itu darimu!” sambung Bang Hasan.Terasa suasana di antara kami kian mencekam. Bang Hasan tersulut emosinya hanya dengan kehadiran Bang Zaky. Padahal pria itu hanya menegur, sebab tidak sengaja bertemu dengan kami di rumah sakit ini.“Santai, San! Santai ....” Dua tangan Bang Zaky terhampar di depan dada Bang Hasan. Sikapnya seolah ingin menegaskan bahwa niatnya tidak lebih dari menyapa. “Aku tidak tahu kalau kamu tidak menyukai saudaramu sendiri.”“Ya, aku memang tidak suka.” Bang Hasan menjawabnya dengan tegas.Kupandangi belakang kepala Bang Hasan. Pria itu tidak bergeming. Meski di antara kami, banyak keluarga pasien yang melint
“Kenapa diam? Ada apa dengan ekspresimu, Sayang?” tanya Bang Hasan.Dia mendekat padaku hingga jarak kami tidak lebih jauh dari sebilah penggaris. Dua tangannya yang besar dan hangat jatuh di pundakku, lalu sorot mata kami saling beradu. Dari pergerakan pupilnya aku segera tahu jika Bang Hasan sedang mencoba menerjemahkan perubahan dari raut wajah istrinya sendiri.“Mamak masih tidak setuju, Zahrah?” ucapnya.Aku terdiam, lidah ini kelu rasanya. Tidak mungkin kujelaskan bagaimana respon mamak mertua saat keinginan ini sampai padanya. Tapi diam terlalu lama hanya akan membuat Bang Hasan sibuk menduga-duga. Bagaimana solusinya? Apa yang harus kulakukan agar dua orang yang berbagi darah ini tidak saling salah paham nantinya?“Abang akan bicara dengan mamak sekarang!” tegasnya.Bang Hasan telah berdiri saat tangannya berhasil kucegat dengan cepat. Pria itu tidak peduli dengan responku dan terus berjalan sampai aku sedikit terseret olehnya. “Abang?”“Zahrah? Biarkan Abang bicara dengan mam
Sore harinya, aku keluar dari kamar usai melaksanakan salat asar. Terdengar suara mamak mertua yang sedang bermain dengan Husein di ruang keluarga. Suaranya yang renyah dan dendang lagunya menandakan betapa senang hati wanita itu.Kuberanikan diri untuk mendekat, menuruni setiap anak tangga dari lantai dua menuju lantai pertama tanpa memindahkan pandangan dari dua insan itu. Guratan wajah mamak mertua begitu ceria, sedangkan si kecil Husein sibuk mendorong mobil-mobilannya dengan tangan gempalnya. Dia tidak rewel, tidak menuntut susu coklat seperti pagi tadi, atau meminta digendong sepanjang hari. Bagiku, Husein cukup mandiri dibanding anak-anak kebanyakan. Mungkin, hati kecilnya paham bahwa dunia yang dimasukinya saat ini bukanlah dunia yang sama dengan yang dihadirkan oleh kedua orang tuanya dulu.“Mau apa Adek?” Mamak mertua memanggil Husein. “Mau apa, Sayang?”Husein mengangkat wajah. Tidak ada jawaban apapun, dia hanya memperlihatkan mobilan truck warna kuningnya. Lalu, seolah me
Setelah mendapatkan apa yang kucari dari apotek, kami bergerak dengan cepat menuju rumah mamak mertua. Bang Hasan di sebelah mobil tidak bertanya apapun, bahkan dia lupa jika hari ini seharusnya masuk kerja.Mobil yang disetirinya mengambil jalur putar arah, lalu bergerak menuju sebuah rumah yang begitu familier dengan kami. Halamannya hening sempurna, tidak ada siapapun di depannya, seolah-olah tidak ada satu kehidupan pun yang bersembunyi di balik bangunan besar itu.“Abang langsung ke kantor saja, aku akan masuk dan bicara sendiri!” pintaku pada Bang Hasan. Kantong plastik bertuliskan nama apotek ternama itu kuremas sekuat tenaga. Perasaanku bercabang banyak arah, namun terus tertahan di dalam rongga dada agar pria itu tidak merasakannya sedikitpun.Bukannya aku tidak menghargai hadirnya sebagai seorang suami, melainkan semuanya hanya untuk menjaga hubungan kami. Aku tidak ingin memberinya terlalu banyak harapan akan sesuatu yang belum pasti, dan ingin fokus pada hal yang sudah ter
“Apa lagi ini, Abang? Di mana kalimatku yang menegaskan kalau aku keberatan jika Husein bersama kita?” protesku segera. Padahal hanya satu kalimatnya, namun emosiku tersulut begitu hebat dan dalam waktu yang begitu singkat.Bang Hasan salah paham? Tapi kenapa? Apa yang membuatnya mengira kalau aku membenci anak kecil malang yang begitu polos itu? Tidakkah dia tahu bahwa dirinya juga menikahi seseorang yang tidak lagi memiliki orang tua di dunia ini?Selesai masalah antara Annisa dan Bang Burhan, kini Bang Hasan mulai memupuk masalah di dalam rumah tangga kami. Dia baru saja pulang dari dinasnya, belum usai rindu kami bina bersama dan Bang Hasan malah membuat perasaanku berderak geram karenanya.“Apa menuduhku tanpa ada penyebabnya. Padahal aku tidak pernah berpikir begitu terhadap Husein.”“Tidak, Zahrah ... Abang hanya terawa perasaan setelah melihat Anisya.”“Lalu Abang mengira aku akan sama dengannya? Aku tahu, Abang pernah menikah dengan Anisya, tapi sekarang yang Abang nikahi itu
Pagi menyingsing dengan cepat. belum genap dua jam aku beristirahat, semburat matahari terasa dari jendela kamar. Kemudian, disusul hiruk-pikuk dari orang-orang di luar sana. Beberapa perawat berlalu lalang di depan kamar Anisya, pun sesekali dokter, petugas kebersihan dan keluarga pasien.Aku yang tertidur di sofa segera mengusap wajah. Kulirik Anisya, wanita itu masih terlelap di brangkar, dengan posisi yang sama seperti semalam. Satu tangannya masih mendekap gawai, dan raut wajahnya sesekali merengut, seperti sedang bermimpi buruk.Kuhela napas, semuanya tetap saja sama beratnya di pundak. Andai saja mamak dan bapak ada di sini, mungkin perjalanan hidup kami akan terasa berbeda. Seberat apapun masalahnya, jadi lebih mudah kala dihadapi dengan nasihat mamak dan bapak, saat ditemani oleh dua orang yang telah melahirkan kami berdua ke dunia.Sesaat, aku memutuskan untuk menghapus lamunan itu, lalu beristigfar segera. Tidak boleh begini, sama sekali tidak boleh mengeluhkan takdir yang