Aku berlari meski rok A yang melindungit tubuh bawah ini sedikit mengahalangi langkah. Tujuan dari pelarian ini adalah mobil Jazz putih yang baru saja dimasuki pemiliknya. Aku tidak bisa berhenti merutuki diri yang terlalu lamban memahami maksud dari perkataan Bang Hasan dan membiarkan pemuda itu lebih dulu meninggalkan kafe. Padahal, ucapan dari Bang Hasan begitu ambigue, mengundang banyak tanda tanya yang seharusnya segera aku mintai kejelasan.
“Abang?” seruku sekeras mungkin. Namun mobil yang disetiri Bang Hasan, tetap melaju cepat melewatiku yang berdiri di parkiran.
“Motor!” seruku lagi.
Tanpa menjeda sedikit waktu pun, aku segera mendekati motor matik yang ikut datang bersamaku tadi. Meski hampir mustahil mengejar Bang Hasan, namun jiwa ini masih saja membara. Tidak ada salahnya mencoba, sembari berdo’a agar Bang Hasan terjebak lampu merah dan aku bisa menyusul pemuda itu.
Berbagai pikiran jelek yang melintas satu per s
“Mak ... Anisya enggak mau,” lirih Anisya di dalam pelukan mamak. Dia terus menangis hingga isakan tangisnya tidak lagi terdengar jelas seperti sebelumnya. Air matanya seakan telah habis tidak bersisa.Sama halnya dengan Anisya, Mamak yang memeluk putri bungsunya juga menangis sesegukan. Tangan mamak begitu aktif mengelus punggung Anisya yang bergetar hebat, lalu beristigfar berulangkali demi menenangkan putri dan dirinya sendiri. Mungkin, mamak tidak pernah mengira, jika nasib putri-putrinya tidak akan semulus kisah cintanya dengan almarhum bapak.Aku yang hanya bisa berdiri di belakang keduanya, menjadi begitu bimbang. Rasa bersalah yang semakin menggunung karena melihat Anisya yang tidak berhenti menangis, membuatku tidak berani mendekati Anisya, apalagi mencoba menghiburnya. Meski apapun penjelasanku saat ini, sepertinya Anisya tidak akan pernah mempercayai ucapanku.“Ini semua gara-gara Kak Zahrah, Mak. Gara-gara Kak Zahrah! Dia iri sama N
Jalanan kota Banda Aceh begitu lengang malam ini. Gerimis yang baru saja datang menambah hawa suram. Bulu kudukku meremang saat menyusuri jalanan kota sembari mencari keberadaan Anisya.Pandanganku menyapu setiap sudut kota di tengah gelapnya malam. Sembari berharap bisa menemukan adikku yang nekat melarikan diri.Sore tadi, setelah Anisya pergi, meski punggung terasa ngilu, tetap saja aku memaksakan diri mendatangi rumah Kak Sum, pelukis Henna saat Anisya menikah dulu. Aku meminta kepada wanita berwajah manis itu untuk meminjamkan motor miliknya tanpa menjelaskan tujuanku padanya. Syukurnya, Kak Sum tidak kepo dan bertanya lebih jauh. Dia segera meraih kunci motor matiknya lalu menyerahkannya padaku.Aku yang tersipu dengan kebaikan Kak Sum, tanpa kusadari membungkukkan tubuh. Rasa haru dan kagum membuat tubuh ini memberi hormat padanya. Sebab biasanya, tiap kali aku meminjam motor tetangga yang lain jika motorku dipakai Anisya, ada saja pertanyaan-per
Ruang tunggu rumah sakit sangat lengang. Hanya satu dua orang dari petugas medis yang lalu lalang. Mereka terlihat santai, sembari bertukar kisah yang tidak menarik perhatianku sama sekali. Haha dan hihi, di larut malam begini.Entahlah, siapa yang perduli dengan kehidupan orang lain. Saat ini, hidupku sendiri tidak sesenggang itu. Ada seseorang yang begitu berarti, sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam sana.Aku memendarkan mata, bau obat yang menusuk, serta ruangan-ruangan yang didominasi warna putih, membangkitkan kenangan tentang sosok berharga dalam hidupku. Di rumah sakit yang sama, bertahun-tahun lalu di salah satu ruangan dari bangunan ini, aku telah mengikrarkan janji pada bapak untuk menjaga Anisya dan mamak. Mengutamakan kebahagiaan mereka di atas bahagiaku, mengutamakan keselamatan keduanya daripada diriku. Semua itu kulakukan, hanya untuk melihat senyum terakhir di wajah bapak yang pucat.Tapi, lihatlah kini, semua janji yang terikrar
Ini sudah hari kedua, dimana Anisya hidup dengan bantuan peralatan medis yang melilit tubuhnya. Monitor, ventilator, infus hingga kateter, adalah alat-alat yang ada di tubuh Anisya, setidaknya itu yang disebutkan oleh dokter saat membawa Anisya ke ruangan ini.Aku yang hanya bisa menatapnya dari luar ruangan, kembali sibuk merapal do’a, berharap jika Anisya akan kembali membuka kedua mata indahnya dan melanjutkan hidup bersama kami, dengan atau tanpa suaminya. Kuhela napas dalam-dalam, lalu menurunkan tangan dari dinding kaca yang menjadi pemisah antara aku dan Anisya. Kulangkahkan kaki ini menjauh, lalu menjauh dari ruangan bertulisan ICU.Tidak terasa, matahari di hari kedua sudah terbit tinggi. Memamerkan hangatnya meski tidak ada yang perduli. Setiap insan yang berlindung di bawah atap rumah sakit ini, begitu sibuk dengan urusannya masing-masing, hingga tidak sempat menengadah, menatap kembali matahari yang masih bersedia terbit di sana.Lama terdiam s
Aku membuka lembaran selanjutnya dari buku Anisya. Dari setiap lembar yang sudah kubaca, barulah aku menyadari jika Anisya tidak menuangkan semua kesehariannya di dalam diary kecil ini. Melainkan, Anisya hanya menuliskan kisah-kisah tertentu yang mungkin dirasanya cukup berarti.Hal yang paling mengoyak perasaanku adalah, buku diary Anisya yang tipis ini, bahkan belum penuh meski sudah dia tulisi sejak SMA, terlihat dari biodata, gaya penulisan serta tanggal kisah pertama yang dia ungkapkan di dalamnya. Jika tebakanku benar soal kisah-kisah berarti itu, maka bisa disimpulkan jika selama ini tidak banyak hal yang menarik untuknya.Aku begitu sibuk merutuki ketidakberdayaan sebagai orang yang diamanatkan bapak untuk menjaga Anisya. Mungkin selama ini, Anisya memendam seribu rasa sakit yang lebih dari rasa sakitku saat dia menikahi Bang Hasan. Padahal selama ini aku begitu mengagumi paras indah serta bentuk tubuhnya yang bak gitar. Lagi, pelajaran berharga jika kesempurna
“Kita bicara di sini saja,” pintanya meski aku masih enggan menorehkan senyum di wajah. Bang Hasan terus saja meminta agar kami berpindah dari lokasi awal menuju kantin rumah sakit. Menurutnya, ada banyak hal yang ingin dia bicarakan denganku secara pribadi. Tidak sopan rasanya duduk berduaan di bangku begitu, padahal ada banyak orang yang lalu lalang di sana.Aku menurut saja meski dengan setengah hati. Perasaanku masih terluka dengan kenyataan yang baru saja terungkap ini. Meski dalam setiap curahan hatinya Anisya meminta maaf padaku, tetap saja ada bagian yang memberat di dalam sana untuk segera menerima hal ini. Menerima kenyataan jika Anisya pernah mencorengku dengan abu demi mendapatkan berlianku. “Mau obrolin yang mana dulu, Zahrah?” ujarnya lagi setelah kami duduk berhadapan di salah satu meja. Aku masih saja acuh, menatap kosong pada layar ponsel yang mati dengan tangan yang terkepal kuat. “Soal Abang yang eng
Langkahku semakin ragu setelah melihat perubahan tajam dari raut wajah Bang Zaky. Pemuda itu terlibat pembicaraan serius dengan adik sepupunya. Tidak ada senyum apalagi tawa, hanya rasa tegang yang menyelimuti kedua pemuda itu. Aku yang hanya bisa menyimak dari jarak dua meter ini meremas tanganku sendiri. Tatapan mata hanya bisa mengikuti setiap pergerakan keduanya sembari menerka-nerka dari gerak bibir Bang Zaky tentang apa yang sedang mereka bicarakan. Sesekali Bang Zaky mengangkat diary milik Anisya, ekspresinya dipenuhi tanda tanya, sedang lawan bicaranya mengangkat kedua tangan lalu mengendikkan bahu. Ingin sekali aku menghampiri keduanya dan mendengar lebih jelas pembicaraan yang kini sedang mereka lakukan, namun sisi lain dari diriku menahan agar lebih bersabar, karena setelahnya Bang Zaky pasti akan menuntut penjelasan dariku. Kulihat Bang Hasan menepuk pundak Bang Zaky, lalu pemuda itu melangkah pergi setelah mendapat anggukan dari saudara sepupunya
Tiga tahun setelah kecelakaan Anisya, kehidupan kami berjalan kembali dengan normal. Tidak sepenuhnya normal, tentu saja berubah total dibanding masa lalu. Normal yang aku maksud di sini adalah, kehidupan kami berubah tenang tanpa ada masalah-masalah berat yang menyiksa.Ada banyak perubahan, sangat banyak hingga kedua mata ini bisa basah tiap kali mengingat. Aku ingat benar hari itu, tepat setelah sebulan Anisya sembuh, terhitung empat minggu sejak kecelakaan itu terjadi, Bang Hasan dan Anisya resmi bercerai, baik secara agama maupun hukum. Saat itu, aku mengira Anisya akan menahan Bang Hasan atau meraung-raung seperti yang selama ini dia lakukan, namun Anisya hanya tersenyum, lalu meminta maaf pada pemuda itu, juga padaku.Sempat aku meminta Anisya untuk memeriksakan diri ke dokter, takut-takut jika kepalanya yang terluka parah membuat gadis itu berubah. Akan tetapi, Anisya mengakui jika selama dia kritis di ICU, Anisya bisa merasakan kasih sayang dan ketulusan darik
Bab 79: Di Ujung Kisah IniTiga Bulan KemudianAku menarik napas lega setelah mendengar jawaban dari Bang Hasan di seberang sana. Sudah beberapa jam kami terpisah. Bang Hasan sejak subuh tiba sudah berada di bandara Sultan Iskandar Muda, dan akan terbang bersama teman-teman sekantornya menuju Jakarta. Lagi, Bang Hasan kembali bertugas, kali ini seminggu lamanya.“Abang baru sampai, Sayang?!” ujarnya renyah. Tidak terasa lelah dari lekuk suaranya yang dalam itu. Padahal, aku hampir tidak bisa bernapas, tidak bisa lepas dari gawai serta jam yang terpampang di layar. Setiap detiknya kuhabiskan dengan terus berdoa, agar Bang Hasan selamat dalam perjalanan, tidak kurang suatu apapun.“Alhamdulillah, Bang. Dijemput, ya?” balasku.Kuremas gorden kecoklatan yang menjuntai dari atas itu. Rumah yang sudah direnovasi oleh Bang Hasan lebih kokoh dan bagus, lengkap dengan beberapa perabotan yang dicicil oleh kami bersama. Ada sesuatu yang terasa hilang; kehadiran Bang Hasan di dalam keseharianku.
“Apa-apaan ini, Bang Hasan? Keterlaluan sekali kelakuanmu ternyata, pantas kamu pulang-pulang langsung ngawinin Kak Zahrah, ternyata kamu mencari ibu buat anakmu, hah?” tukas Anisya.Aku yang melihat responnya barusan tercengang luar biasa. Dia yang biasanya tidak peduli dengan urusanku, tiba-tiba saja menjadi begitu menggebu-gebu hingga berhasrat untuk mencaci serta memaki Bang Hasan. Bibirnya aktif bergerak, seiring dengan jemari yang terus menunjuk pada Bang Hasan.Walau perutnya bulat dan ketat, Anisya berdiri dengan tegak, memandangi Bang Hasan yang baru saja mengaku di depan kami semua. Anisya membelaku, menentang hal yang akan menyakitiku meski dirinya tidak tahu asal-muasal permasalahannya.“Bang, kamu nikahin Kak Zahrah karena ini, hah? Picik sekali kelakuanmu. Aku makin bersyukur kita bercerai dulu,” selorohnya lagi. “Bisa-bisanya kamu melakukan hal busuk begini untuk Kak Zahrah, Bang? Setelah dulu menyakitinya, dan membuatnya menangis siang dan malam, sekarang kamu menambah
Aku menarik napas dalam hingga dada ini membusung saat dua tapak kaki menapak di teras rumah yang beralaskan semen. Dingin terasa di ujung jemari, terlebih begitu menyadari jika pintu rumah terbuka lebar dan Si Kembar terlelap di atas sofa. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Anisya yang harusnya menjaga anak-anak menggemaskan itu. Pun Bang Burhan juga tidak terlihat rimbanya.Kuputuskan untuk segera masuk, tidak lupa tetap memberi salam. Bang Hasan menyusul dari arah belakang tanpa mengucapkan sepatah kata selain salam. Dia mengikutiku, memasang wajah bingung dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Mainan berhamburan, sepertinya baru dibelikan Bang Burhan untuk anak-anaknya. Sebab seingatku, saat mereka tiba kemarin, tidak ada satu mainan pun dibawanya pulang.Plastik yang membalut susunan pakaian juga tergeletak di lantai. Atasnya telah terbuka, dan sebagian isinya terburai keluar. Sepertinya, hasil dari laundry.“Nisya?” panggilku. Meradang hati ini membayangkan bagaimana dia me
“Lain kali jangan sembarangan memanggil nama istriku, Bang!” Bang Hasan menegur sepupunya dengan intonasi yang dalam. Pria itu berdiri tegak, menghalangi sepenuhnya pandanganku dari pria yang pernah singgah di dalam hidup kami berdua. Bang Hasan bahkan tidak bersedia membiarkanku menjawab sapaan Bang Zaky barusan.“Aku tidak suka mendengarnya, terlebih jika itu darimu!” sambung Bang Hasan.Terasa suasana di antara kami kian mencekam. Bang Hasan tersulut emosinya hanya dengan kehadiran Bang Zaky. Padahal pria itu hanya menegur, sebab tidak sengaja bertemu dengan kami di rumah sakit ini.“Santai, San! Santai ....” Dua tangan Bang Zaky terhampar di depan dada Bang Hasan. Sikapnya seolah ingin menegaskan bahwa niatnya tidak lebih dari menyapa. “Aku tidak tahu kalau kamu tidak menyukai saudaramu sendiri.”“Ya, aku memang tidak suka.” Bang Hasan menjawabnya dengan tegas.Kupandangi belakang kepala Bang Hasan. Pria itu tidak bergeming. Meski di antara kami, banyak keluarga pasien yang melint
“Kenapa diam? Ada apa dengan ekspresimu, Sayang?” tanya Bang Hasan.Dia mendekat padaku hingga jarak kami tidak lebih jauh dari sebilah penggaris. Dua tangannya yang besar dan hangat jatuh di pundakku, lalu sorot mata kami saling beradu. Dari pergerakan pupilnya aku segera tahu jika Bang Hasan sedang mencoba menerjemahkan perubahan dari raut wajah istrinya sendiri.“Mamak masih tidak setuju, Zahrah?” ucapnya.Aku terdiam, lidah ini kelu rasanya. Tidak mungkin kujelaskan bagaimana respon mamak mertua saat keinginan ini sampai padanya. Tapi diam terlalu lama hanya akan membuat Bang Hasan sibuk menduga-duga. Bagaimana solusinya? Apa yang harus kulakukan agar dua orang yang berbagi darah ini tidak saling salah paham nantinya?“Abang akan bicara dengan mamak sekarang!” tegasnya.Bang Hasan telah berdiri saat tangannya berhasil kucegat dengan cepat. Pria itu tidak peduli dengan responku dan terus berjalan sampai aku sedikit terseret olehnya. “Abang?”“Zahrah? Biarkan Abang bicara dengan mam
Sore harinya, aku keluar dari kamar usai melaksanakan salat asar. Terdengar suara mamak mertua yang sedang bermain dengan Husein di ruang keluarga. Suaranya yang renyah dan dendang lagunya menandakan betapa senang hati wanita itu.Kuberanikan diri untuk mendekat, menuruni setiap anak tangga dari lantai dua menuju lantai pertama tanpa memindahkan pandangan dari dua insan itu. Guratan wajah mamak mertua begitu ceria, sedangkan si kecil Husein sibuk mendorong mobil-mobilannya dengan tangan gempalnya. Dia tidak rewel, tidak menuntut susu coklat seperti pagi tadi, atau meminta digendong sepanjang hari. Bagiku, Husein cukup mandiri dibanding anak-anak kebanyakan. Mungkin, hati kecilnya paham bahwa dunia yang dimasukinya saat ini bukanlah dunia yang sama dengan yang dihadirkan oleh kedua orang tuanya dulu.“Mau apa Adek?” Mamak mertua memanggil Husein. “Mau apa, Sayang?”Husein mengangkat wajah. Tidak ada jawaban apapun, dia hanya memperlihatkan mobilan truck warna kuningnya. Lalu, seolah me
Setelah mendapatkan apa yang kucari dari apotek, kami bergerak dengan cepat menuju rumah mamak mertua. Bang Hasan di sebelah mobil tidak bertanya apapun, bahkan dia lupa jika hari ini seharusnya masuk kerja.Mobil yang disetirinya mengambil jalur putar arah, lalu bergerak menuju sebuah rumah yang begitu familier dengan kami. Halamannya hening sempurna, tidak ada siapapun di depannya, seolah-olah tidak ada satu kehidupan pun yang bersembunyi di balik bangunan besar itu.“Abang langsung ke kantor saja, aku akan masuk dan bicara sendiri!” pintaku pada Bang Hasan. Kantong plastik bertuliskan nama apotek ternama itu kuremas sekuat tenaga. Perasaanku bercabang banyak arah, namun terus tertahan di dalam rongga dada agar pria itu tidak merasakannya sedikitpun.Bukannya aku tidak menghargai hadirnya sebagai seorang suami, melainkan semuanya hanya untuk menjaga hubungan kami. Aku tidak ingin memberinya terlalu banyak harapan akan sesuatu yang belum pasti, dan ingin fokus pada hal yang sudah ter
“Apa lagi ini, Abang? Di mana kalimatku yang menegaskan kalau aku keberatan jika Husein bersama kita?” protesku segera. Padahal hanya satu kalimatnya, namun emosiku tersulut begitu hebat dan dalam waktu yang begitu singkat.Bang Hasan salah paham? Tapi kenapa? Apa yang membuatnya mengira kalau aku membenci anak kecil malang yang begitu polos itu? Tidakkah dia tahu bahwa dirinya juga menikahi seseorang yang tidak lagi memiliki orang tua di dunia ini?Selesai masalah antara Annisa dan Bang Burhan, kini Bang Hasan mulai memupuk masalah di dalam rumah tangga kami. Dia baru saja pulang dari dinasnya, belum usai rindu kami bina bersama dan Bang Hasan malah membuat perasaanku berderak geram karenanya.“Apa menuduhku tanpa ada penyebabnya. Padahal aku tidak pernah berpikir begitu terhadap Husein.”“Tidak, Zahrah ... Abang hanya terawa perasaan setelah melihat Anisya.”“Lalu Abang mengira aku akan sama dengannya? Aku tahu, Abang pernah menikah dengan Anisya, tapi sekarang yang Abang nikahi itu
Pagi menyingsing dengan cepat. belum genap dua jam aku beristirahat, semburat matahari terasa dari jendela kamar. Kemudian, disusul hiruk-pikuk dari orang-orang di luar sana. Beberapa perawat berlalu lalang di depan kamar Anisya, pun sesekali dokter, petugas kebersihan dan keluarga pasien.Aku yang tertidur di sofa segera mengusap wajah. Kulirik Anisya, wanita itu masih terlelap di brangkar, dengan posisi yang sama seperti semalam. Satu tangannya masih mendekap gawai, dan raut wajahnya sesekali merengut, seperti sedang bermimpi buruk.Kuhela napas, semuanya tetap saja sama beratnya di pundak. Andai saja mamak dan bapak ada di sini, mungkin perjalanan hidup kami akan terasa berbeda. Seberat apapun masalahnya, jadi lebih mudah kala dihadapi dengan nasihat mamak dan bapak, saat ditemani oleh dua orang yang telah melahirkan kami berdua ke dunia.Sesaat, aku memutuskan untuk menghapus lamunan itu, lalu beristigfar segera. Tidak boleh begini, sama sekali tidak boleh mengeluhkan takdir yang