Beranda / Romansa / Bulu Perindu / Bab 61 - Bab 70

Semua Bab Bulu Perindu: Bab 61 - Bab 70

112 Bab

Dikuasai Amarah

“Jadi muridmu baik-baik saja?” tanya Adelia setelah beberapa saat tak bersuara. Sedang David seperti memberikan waktu untuk istrinya diam.Mata Adelia masih bersemu merah. Pipi kirinya masih terasa panas, meski kini tak sepanas hatinya. Dua hantaman telak menghujam hati yang seharusnya tengah berbunga. Tamparan Papanya di pipi saja sudah terasa sakit di hati. Ditambah dengan kenyataan suaminya masih saja berhubungan dengan gadis tetangganya itu.“Hmm, ya, dia baik-baik aja,” jawab David. Sesekali ia melirik ke arah Adelia. Istrinya itu belum menunjukkan perubahan mimik wajah yang spesifik.“Oh ya? Siapa namanya?” lanjut Adelia.“Hmm ... Adrian, ya Adrian namanya,” jawab David meragu.“Kamu yakin Adrian? Bukan Anjani?”David segera menoleh ke kiri. Istrinya itu terus memandang kosong jalan di hadapan mereka. Seolah tak pernah menyebut nama sakral itu. Kedua lengannya menyilang di dad
Baca selengkapnya

Bukti

Pukul tiga lima puluh pagi, David masih belum mampu memejamkan mata. Meski sudah ia basuh tubuhnya dengan wudhu dan mengadu kepada Rabbnya, ia tetap tak bisa tidur. Semalaman istrinya mengurung diri di dalam kamar. Sejak pukul sebelas malam ia tak melihat lagi tanda online di aplikasi penyelia pesannya pada kolom pesan Adelia. Ribuan sesal muncul di hati David.Entah mengapa ia begitu peduli dengan Anjani. Ia sampai rela berbohong demi menutupi keberadaannya di rumah gadis itu. Dan ia kini sama seperti tupai, jatuh meski pandai melompat. Mengapa tak juga ia berpikir potensi ketahuan keluarga Adelia saat ia di rumah Anjani kemarin siang. Sungguh gadis itu telah mengalihkan logikanya.Belum lagi perihal sandiwara istrinya yang belum ia tanyakan pasti ujungnya. Adelia begitu fokus pada kesalahan suaminya, mungkin baginya itu hal utama. Namun tersingkapnya sandiwara besar itu jelas akan memperunyam urusan atau bahkan berpotensi menghancurkan hubungan mere
Baca selengkapnya

Sebuah Panggilan

Adelia terbangun karena perutnya lapar dan gerah. Kipas angin di kamarnya tak mampu menyejukkan udara. Ia lirik suami di sebelahnya, masih terlelap dengan dengkur yang mendesis. Ia raih gawai di atas nakas. Sudah jam sebelas tiga puluh. Pantas saja cahaya dari atas kusen jendela sudah begitu terang. Sepanjang malam tak tidur membuat mereka membalas waktu tidur sampai tengah hari.Perlahan Adelia bangkit, sisa-sisa tangisnya semalam masih terasa di kelopak mata. Pandangannya terasa kurang sempurna. Gontai ia berjalan keluar dari kamar. Ia tak peduli hari ini David ada jam mengajar atau tidak, kesehatan suaminya lebih penting.Adelia membuka lemari esnya, mencari apa ada yang bisa diolah cepat untuk mengisi lambungnya yang kosong. Ia pindai seluruh isi lemari es. Ia raih dua butir telur dan segera mengecek tempat menanak nasi.“Kok nggak bangunin?” tanya David sambil meraih botol air minum dari lemari es.“Eh, udah bangun? Ada jam nggak ha
Baca selengkapnya

Ujung Kekhawatiran

David memacu mobilnya membelah jalan lintas yang terpanggang matahari. AC mobil ia hidupkan di tempertatur paling rendah dengan hembusan paling tinggi. Ia tampak begitu fokus untuk dapat tiba di rumah orang tuanya secepat mungkin. Wajahnya tegang, namun tak setegang perempuan cantik di sebelahnya.Adelia hanya mengalungkan jilbab di leher. Akan ia kenakan nanti saat hampir tiba di rumah mertuanya. Tangan kirinya mencengkram pegangan penumpang di atas kaca mobil suaminya. Alunan musik lembut dari head unit tak mampu membuat hatinya lebih baik. Ia begitu cemas akan menghadapi hal apa di rumah mertuanya.“Tegang, Del?” goda David.“Ye, kamu juga tegang. Ngebut lagi, gimana aku nggak tegang,” protes Adelia. David hanya tertawa kecil mendengar ocehan istrinya.Kecepatan mobil David tak berkurang, meski sang istri terlihat begitu tegang. Baginya hal seperti ini memang harus terjadi. Ia sadari sejak memutuskan menikahi Adelia ber
Baca selengkapnya

Keputusan

“Papa bilang apa, Bu? Pak?” Air mata Adelia meleleh tanpa ada isak yang menderanya. Kini ia mulai dikuasai emosi. Orang tuanya pasti sudah menorehkan luka dalam di hati dua insan rendah hati ini.“Sudah, nggak perlu kami katakan rinci apa yang Pak Ruslan katakan.” Bu Maryam menyeka air matanya.David bangkit dari duduknya. Ia tinggalkan istri yang tengah tak menentu perasaannya. Ibunya lebih butuh untuk dikuatkan. Entah apa yang telah dikatakan mertuanya. Kedua orang tuanya ini memang sering mendapat pendangan miring, tapi tak pernah sekali pun dimasukkan ke dalam hati. Namun beda cerita bila mertuanya sendiri pelakunya.Bu Maryam terisak dalam pelukan putra sulungnya. Ia bersyukur memiliki tempat bersandar selain suaminya. Ada rasa rikuh saat ia bertemu pandang dengan menantunya. Ia melihat titik kecemburuan di sudut mata Adelia. Biarlah, hanya sebentar. Dugaannya, putra pertamanya ini sering mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari m
Baca selengkapnya

Pulang

“David benar-benar sudah berubah, Pak,” ujar Bu Maryam sambil menuangkan air putih dari teko alumunium ke dalam gelas untuk suaminya.Pak Ahmad segera meneguk air sampai tak bersisa. Terik mentari terasa begitu membakar punggungnya. Ia lepaskan caping dari atas kepala, ia kibaskan ke wajah sekedar memberikan sedikit kesejukan. Ia naikkan seluruh kakinya ke balai-balai di bawah pohon nangka besar di tepi ladang sayuran miliknya.“Sudah, tak usah dipikirkan, Bu. Nanti juga dia kembali. Mau kemana dia kalau mertuanya yang berlidah tajam itu mengambil istrinya? Apa dia berani melawannya seperti kita?” gerutu Pak Ahmad.“Iya, Pak. Ibu cuma kepikiran perlakuan apa yang diterima anak itu waktu Adelia mengaku dihamili, belum lagi setelah menikah sampai sekarang, hinaan apa yang ia terima dari mertuanya,” Bu Maryam memandang pilu rantang di hadapannya, makan siang untuk sang suami.“Itu sudah pilihannya, Bu,” jawab P
Baca selengkapnya

Pilihan Adelia

Sepanjang jalan David dan Adelia hanya diam. David tak lagi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali tangan kirinya menjambak rambutnya sendiri. Sesekali ia pijat keningnya, kepalanya menjadi berat. Ia merasa baru saja menuai buah dari dukungannya kepada dosa yang dibuat istrinya.Kata-kata mertuanya tadi seperti sebuah belati yang menyayat hati. Tak sepedas dan sefrontal Papanya, namun sama-sama terasa pedih. Adelia tak menyangka konsekuensi atas perbuatannya terasa sesakit ini. Rasa malu sudah entah dimana lagi akan ia letakkan. Ia tak lagi memiliki muka untuk bertemu lagi dengan Pak Ahmad dan Bu Maryam.“Anterin aku pulang ke rumah Papa aja, Vid,” ujar Adelia pelan.“Gimana? Ke rumah Papa?” tanya David mengkonfirmasi.Adelia mengangguk, baginya kini tak ada pilihan lain selain kembali ke rumah dimana ia dibesarkan. Sudah tiga puluh menit mereka berdua saling mengunci kata-kata. Tak ada tawaran solusi bagi masalah y
Baca selengkapnya

Waktu Sendiri

“Adel!” teriak seorang wanita, suaranya amat Adelia kenal.Bu Ratri muncul dari halaman samping rumah dengan wajah penuh haru namun juga bahagia. Ia berjalan tergopoh-gopoh mendekati Adelia menyusuri carport yang cukup untuk dua buah mobil SUV. Tangan kirinya menarik sedikit daster agar langkahnya lebih cepat. Ia seolah tak percaya putri bungsunya telah kembali.“Kamu pulang, Nak. Mana suamimu?” tanya Bu Ratri setelah tiba di hadapan Adelia.Adelia tak menjawab, ia tatap mata Mamanya yang perlahan memerah dan tergenang air mata. Bibirnya bergetar menahan raungan tangis yang tiba-tiba saja datang sesaat setelah mendengar suara Mamanya. Bu Ratri paham, sudah banyak hal terjadi pada putri kecilnya ini.“Maafin aku, Ma.”Sungguh berat mengucapkan tiga kata ini. Bu Ratri menarik tubuh Adelia dalam pelukannya. Tangis ibu dan anak itu pecah bersamaan. Banyak sesal di dada mereka berdua. Telah banyak mereka sali
Baca selengkapnya

Keputusan Adelia

David memandang kosong kursi plastik di sampingnya. Tempat biasa istrinya menikmati segelas kopi atau teh sambil menghabiskan senja. Begini rasa cinta yang sudah di ujung tanduk. Lebih baik ia ditampar calon mertua atau dipukul kakak ipar dari pada tak dapat berbuat apa-apa seperti ini. Tangannya masih menggenggam gawainya, entah sudah berapa puluh kali ia coba hubungi Adelia. Tak pernah tersambung, seperti kisah asmaranya kini.Senja jingga itu hari ini tak terlihat. Mendung di ufuk barat seperti kegamangan yang melenyapkan keceriaan dan kemesraan di rumah ini. Tak ada lagi perempuan cantik yang bergelayut manja di bahunya, tiba-tiba menghempaskan diri di pangkuan atau melingkarkan lengan di perut dari belakang. Rumah ini begitu sunyi, berlawanan dengan suasana hati David yang berkecamuk tak karuan.“Aku rindu kamu, Vid,” gumam Adelia sambil bercermin.Wajahnya kembali tirus, sejak pulang dari rumah mertuanya ia sama sekali tak selera memasukkan mak
Baca selengkapnya

Pelukan Terakhir

Sepuluh menit waktu normal yang biasa David tempuh menuju rumah keluarga Pak Ruslan, mertuanya. Itu pun sudah dengan kemacetan dan sikap tenggang rasa kepada kendaraan yang beroda lebih sedikit dari pada mobilnya. Pukul delapan belas empat puluh sembilan menit, dua menit lebih cepat dari biasanya.David baru saja mematikan mobilnya di depan pagar rumah mertuanya. Ia hela napas panjang berulang-ulang, mencoba menenangkan perasaan. Masa-masa penentuan nasib rumah tangganya dimulai saat membuka pagar setinggi dua meter bercat putih itu. Macam-macam emosi bercampur jadi satu di dadanya.Lelaki itu keluar dari mobilnya setelah sejenak mengumpulkan sedikit keberaniannya. Bagaimana pun masalah ini harus selesai. Lebih baik datang seperti ini dari pada dijemput paksa dengan bonus pukulan di perut dan tamparan di pipi kiri.“Di situ aja, Vid.” Adelia muncul dari balik pagar dan berjalan cepat ke arah suaminya.David tak menjawab, ia hanya mundur dua la
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
12
DMCA.com Protection Status