Pukul tiga lima puluh pagi, David masih belum mampu memejamkan mata. Meski sudah ia basuh tubuhnya dengan wudhu dan mengadu kepada Rabbnya, ia tetap tak bisa tidur. Semalaman istrinya mengurung diri di dalam kamar. Sejak pukul sebelas malam ia tak melihat lagi tanda online di aplikasi penyelia pesannya pada kolom pesan Adelia. Ribuan sesal muncul di hati David.
Entah mengapa ia begitu peduli dengan Anjani. Ia sampai rela berbohong demi menutupi keberadaannya di rumah gadis itu. Dan ia kini sama seperti tupai, jatuh meski pandai melompat. Mengapa tak juga ia berpikir potensi ketahuan keluarga Adelia saat ia di rumah Anjani kemarin siang. Sungguh gadis itu telah mengalihkan logikanya.
Belum lagi perihal sandiwara istrinya yang belum ia tanyakan pasti ujungnya. Adelia begitu fokus pada kesalahan suaminya, mungkin baginya itu hal utama. Namun tersingkapnya sandiwara besar itu jelas akan memperunyam urusan atau bahkan berpotensi menghancurkan hubungan mere
Adelia terbangun karena perutnya lapar dan gerah. Kipas angin di kamarnya tak mampu menyejukkan udara. Ia lirik suami di sebelahnya, masih terlelap dengan dengkur yang mendesis. Ia raih gawai di atas nakas. Sudah jam sebelas tiga puluh. Pantas saja cahaya dari atas kusen jendela sudah begitu terang. Sepanjang malam tak tidur membuat mereka membalas waktu tidur sampai tengah hari.Perlahan Adelia bangkit, sisa-sisa tangisnya semalam masih terasa di kelopak mata. Pandangannya terasa kurang sempurna. Gontai ia berjalan keluar dari kamar. Ia tak peduli hari ini David ada jam mengajar atau tidak, kesehatan suaminya lebih penting.Adelia membuka lemari esnya, mencari apa ada yang bisa diolah cepat untuk mengisi lambungnya yang kosong. Ia pindai seluruh isi lemari es. Ia raih dua butir telur dan segera mengecek tempat menanak nasi.“Kok nggak bangunin?” tanya David sambil meraih botol air minum dari lemari es.“Eh, udah bangun? Ada jam nggak ha
David memacu mobilnya membelah jalan lintas yang terpanggang matahari. AC mobil ia hidupkan di tempertatur paling rendah dengan hembusan paling tinggi. Ia tampak begitu fokus untuk dapat tiba di rumah orang tuanya secepat mungkin. Wajahnya tegang, namun tak setegang perempuan cantik di sebelahnya.Adelia hanya mengalungkan jilbab di leher. Akan ia kenakan nanti saat hampir tiba di rumah mertuanya. Tangan kirinya mencengkram pegangan penumpang di atas kaca mobil suaminya. Alunan musik lembut dari head unit tak mampu membuat hatinya lebih baik. Ia begitu cemas akan menghadapi hal apa di rumah mertuanya.“Tegang, Del?” goda David.“Ye, kamu juga tegang. Ngebut lagi, gimana aku nggak tegang,” protes Adelia. David hanya tertawa kecil mendengar ocehan istrinya.Kecepatan mobil David tak berkurang, meski sang istri terlihat begitu tegang. Baginya hal seperti ini memang harus terjadi. Ia sadari sejak memutuskan menikahi Adelia ber
“Papa bilang apa, Bu? Pak?” Air mata Adelia meleleh tanpa ada isak yang menderanya. Kini ia mulai dikuasai emosi. Orang tuanya pasti sudah menorehkan luka dalam di hati dua insan rendah hati ini.“Sudah, nggak perlu kami katakan rinci apa yang Pak Ruslan katakan.” Bu Maryam menyeka air matanya.David bangkit dari duduknya. Ia tinggalkan istri yang tengah tak menentu perasaannya. Ibunya lebih butuh untuk dikuatkan. Entah apa yang telah dikatakan mertuanya. Kedua orang tuanya ini memang sering mendapat pendangan miring, tapi tak pernah sekali pun dimasukkan ke dalam hati. Namun beda cerita bila mertuanya sendiri pelakunya.Bu Maryam terisak dalam pelukan putra sulungnya. Ia bersyukur memiliki tempat bersandar selain suaminya. Ada rasa rikuh saat ia bertemu pandang dengan menantunya. Ia melihat titik kecemburuan di sudut mata Adelia. Biarlah, hanya sebentar. Dugaannya, putra pertamanya ini sering mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari m
“David benar-benar sudah berubah, Pak,” ujar Bu Maryam sambil menuangkan air putih dari teko alumunium ke dalam gelas untuk suaminya.Pak Ahmad segera meneguk air sampai tak bersisa. Terik mentari terasa begitu membakar punggungnya. Ia lepaskan caping dari atas kepala, ia kibaskan ke wajah sekedar memberikan sedikit kesejukan. Ia naikkan seluruh kakinya ke balai-balai di bawah pohon nangka besar di tepi ladang sayuran miliknya.“Sudah, tak usah dipikirkan, Bu. Nanti juga dia kembali. Mau kemana dia kalau mertuanya yang berlidah tajam itu mengambil istrinya? Apa dia berani melawannya seperti kita?” gerutu Pak Ahmad.“Iya, Pak. Ibu cuma kepikiran perlakuan apa yang diterima anak itu waktu Adelia mengaku dihamili, belum lagi setelah menikah sampai sekarang, hinaan apa yang ia terima dari mertuanya,” Bu Maryam memandang pilu rantang di hadapannya, makan siang untuk sang suami.“Itu sudah pilihannya, Bu,” jawab P
Sepanjang jalan David dan Adelia hanya diam. David tak lagi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali tangan kirinya menjambak rambutnya sendiri. Sesekali ia pijat keningnya, kepalanya menjadi berat. Ia merasa baru saja menuai buah dari dukungannya kepada dosa yang dibuat istrinya.Kata-kata mertuanya tadi seperti sebuah belati yang menyayat hati. Tak sepedas dan sefrontal Papanya, namun sama-sama terasa pedih. Adelia tak menyangka konsekuensi atas perbuatannya terasa sesakit ini. Rasa malu sudah entah dimana lagi akan ia letakkan. Ia tak lagi memiliki muka untuk bertemu lagi dengan Pak Ahmad dan Bu Maryam.“Anterin aku pulang ke rumah Papa aja, Vid,” ujar Adelia pelan.“Gimana? Ke rumah Papa?” tanya David mengkonfirmasi.Adelia mengangguk, baginya kini tak ada pilihan lain selain kembali ke rumah dimana ia dibesarkan. Sudah tiga puluh menit mereka berdua saling mengunci kata-kata. Tak ada tawaran solusi bagi masalah y
“Adel!” teriak seorang wanita, suaranya amat Adelia kenal.Bu Ratri muncul dari halaman samping rumah dengan wajah penuh haru namun juga bahagia. Ia berjalan tergopoh-gopoh mendekati Adelia menyusuri carport yang cukup untuk dua buah mobil SUV. Tangan kirinya menarik sedikit daster agar langkahnya lebih cepat. Ia seolah tak percaya putri bungsunya telah kembali.“Kamu pulang, Nak. Mana suamimu?” tanya Bu Ratri setelah tiba di hadapan Adelia.Adelia tak menjawab, ia tatap mata Mamanya yang perlahan memerah dan tergenang air mata. Bibirnya bergetar menahan raungan tangis yang tiba-tiba saja datang sesaat setelah mendengar suara Mamanya. Bu Ratri paham, sudah banyak hal terjadi pada putri kecilnya ini.“Maafin aku, Ma.”Sungguh berat mengucapkan tiga kata ini. Bu Ratri menarik tubuh Adelia dalam pelukannya. Tangis ibu dan anak itu pecah bersamaan. Banyak sesal di dada mereka berdua. Telah banyak mereka sali
David memandang kosong kursi plastik di sampingnya. Tempat biasa istrinya menikmati segelas kopi atau teh sambil menghabiskan senja. Begini rasa cinta yang sudah di ujung tanduk. Lebih baik ia ditampar calon mertua atau dipukul kakak ipar dari pada tak dapat berbuat apa-apa seperti ini. Tangannya masih menggenggam gawainya, entah sudah berapa puluh kali ia coba hubungi Adelia. Tak pernah tersambung, seperti kisah asmaranya kini.Senja jingga itu hari ini tak terlihat. Mendung di ufuk barat seperti kegamangan yang melenyapkan keceriaan dan kemesraan di rumah ini. Tak ada lagi perempuan cantik yang bergelayut manja di bahunya, tiba-tiba menghempaskan diri di pangkuan atau melingkarkan lengan di perut dari belakang. Rumah ini begitu sunyi, berlawanan dengan suasana hati David yang berkecamuk tak karuan.“Aku rindu kamu, Vid,” gumam Adelia sambil bercermin.Wajahnya kembali tirus, sejak pulang dari rumah mertuanya ia sama sekali tak selera memasukkan mak
Sepuluh menit waktu normal yang biasa David tempuh menuju rumah keluarga Pak Ruslan, mertuanya. Itu pun sudah dengan kemacetan dan sikap tenggang rasa kepada kendaraan yang beroda lebih sedikit dari pada mobilnya. Pukul delapan belas empat puluh sembilan menit, dua menit lebih cepat dari biasanya.David baru saja mematikan mobilnya di depan pagar rumah mertuanya. Ia hela napas panjang berulang-ulang, mencoba menenangkan perasaan. Masa-masa penentuan nasib rumah tangganya dimulai saat membuka pagar setinggi dua meter bercat putih itu. Macam-macam emosi bercampur jadi satu di dadanya.Lelaki itu keluar dari mobilnya setelah sejenak mengumpulkan sedikit keberaniannya. Bagaimana pun masalah ini harus selesai. Lebih baik datang seperti ini dari pada dijemput paksa dengan bonus pukulan di perut dan tamparan di pipi kiri.“Di situ aja, Vid.” Adelia muncul dari balik pagar dan berjalan cepat ke arah suaminya.David tak menjawab, ia hanya mundur dua la
Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada
“Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb
“Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug
“Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir
Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka
Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal
Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu
Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka
Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi