Sepuluh menit waktu normal yang biasa David tempuh menuju rumah keluarga Pak Ruslan, mertuanya. Itu pun sudah dengan kemacetan dan sikap tenggang rasa kepada kendaraan yang beroda lebih sedikit dari pada mobilnya. Pukul delapan belas empat puluh sembilan menit, dua menit lebih cepat dari biasanya.
David baru saja mematikan mobilnya di depan pagar rumah mertuanya. Ia hela napas panjang berulang-ulang, mencoba menenangkan perasaan. Masa-masa penentuan nasib rumah tangganya dimulai saat membuka pagar setinggi dua meter bercat putih itu. Macam-macam emosi bercampur jadi satu di dadanya.
Lelaki itu keluar dari mobilnya setelah sejenak mengumpulkan sedikit keberaniannya. Bagaimana pun masalah ini harus selesai. Lebih baik datang seperti ini dari pada dijemput paksa dengan bonus pukulan di perut dan tamparan di pipi kiri.
“Di situ aja, Vid.” Adelia muncul dari balik pagar dan berjalan cepat ke arah suaminya.
David tak menjawab, ia hanya mundur dua la
BughSuara David membanting pintu mobil. Masih tampak olehnya Adelia yang menghilang di balik pagar rumah mantan mertuanya dari bayangan di kaca spion. Ia seolah menanti perempuan itu muncul kembali dan mencegahnya untuk pergi. Tapi sepertinya itu tak akan terjadi. Adelia lah yang meminta diceraikan. Ia pasti lebih siap dengan apa yang akan terjadi.Adelia masih berpegangan pada pagar rumahnya. Kakinya terasa lunglai tak bertenaga. Sayup terdengar suara mobil yang dikendarai David meninggalkan tempat itu dengan kecepatan tinggi tiba-tiba. Perempuan itu melongokkan kepalanya, ia masih takut akan terajadi apa-apa pada pangemudinya. Namun kemudian menyadari lelaki itu bukan urusannya lagi.Tenaga Adelia terasa sudah habis. Ia sudah tak kuasa untuk berdiri, alih-alih menutup kembali pagar rumah dan menyeberangi carport. Ia jatuh bersimpuh. Andai tangannya tidak menggenggam pagar besi, mungkin ia sudah terjerembab. Hanya ada tangis, Adelia tak ingin apa-apa
Tempat parkir gedung Pesona Graha sudah hampir penuh. David terpaksa memarkirkan mobilnya di ujung dekat dengan pagar dinding yang memisahkan lahan gedung ini dengan gedung perkantoran di sebelahnya. Ia sebenarnya malas untuk datang. Tapi prosesi wisuda yang mungkin sekali seumur hidup tanpa pendamping orang tedekat sungguh tak mengenakkan. Pukul sepuluh empat puluh dua menit. Acara pasti sudah dimulai. David menatap sekilas bayangannya di kaca mobilnya. Batik lengan panjang pemberian Adelia ini masih terasa pas di badan. Meski hanya mampu menaikkan level ketampanan beberapa persen saja. Pemuda itu melangkah membelah deretan mobil yang terparkir menuju pintu utama gedung Pesona Graha. Seorang pria berpakaian formal mengenakan tanda pengenal panitia menghadang langkah David. Tangan kanannya menggenggam alat pemindai yang terhubung dengan monitor layar datar di belakangnya. David menyodorkan barcode yang diberikan Anjani tadi malam. Pria itu memindai dan seger
“Kak, maaf nih ... boleh nggak kalau kita langsung ke rumah aja? Temen-temen di Kopi Jani udah nungguin ini, nggak apa ya?” bujuk Anjani. “Oh, anak-anak di kedai kopimu ya? Hebat lho kamu, baru lulus udah punya bisnis. Ya sudah kita langsung ke sana aja ya,” ujar David setuju. Sejak buka kemarin lusa David memang belum pernah singgah ke Kopi Jani karena masa-masa itu amat rumit, saat rumah tangganya di ujung tanduk. “Ah, Kakak bisa aja. Lagian ada andil Kakak juga kan di Kopi Jani,” sahut Anjani bijak. Bagaimana pun berada satu mobil lagi dengan lelaki ini membuat kebahagiaannya berlipat-lipat. Selain juga statusnya yang bukan lagi suami orang. “Sedikit doang kok. Bagus deh, kalau nggak bisnis mungkin kamu jadi istri Kakak ya?” goda David. Membuat Anjani menarik lagi memorinya saat hari terakhir magang, sebelum David menangis di pelukannya. Kata-kata itu memang sempat diucapkan olehnya. Kini ia bisa bereaksi dengan tawa. “Ya ... mungkin kalo Kakak ngg
“Apa rencanamu, Vid? Kok beli paralon banyak?” tanya Pak Ahmad mendapati anaknya tengah mengawasi proses bongkar pipa paralon dari mobil bak terbuka milik toko bangunan.“Aku mau coba bertani hidroponik, Pak,” jawab David mantap.“Hidroponik? Ini di desa, Vid. Lahan masih banyak,” sahut Pak Ahmad, ia ikut memeriksa pipa-pipa berbagai ukuran yang cukup banyak.“Justru itu, Pak. Aku mau jual produknya di kota. Sekalian nanti kebunku jadi wisata edukasi gitu. Aku bisa jualan sekaligus mengajarkan ilmu. Kaya yang Bapak bilang dulu,” terang David mantap.Pak Ahmad manggut-manggut saja. Ia mengerti meski anaknya ini memutuskan untuk bercerai dan keluar dari pekerjaannya dalam waktu yang bersamaan, David pasti sudah memiliki rencana sendiri. Seorang pemikir yang kadang perlu eksekutor. Itu sebab ia bersahabat baik dengan Andra. Andra lah sang eksekutor dari semua idenya.Sesekali Pak Ahmad menatap wajah putr
“Maaf ya, Nak Seruni. Si David kelamaan di kota. Dia lupa kalau dikasih rantang harus gimana,” ujar Bu Maryam setelah terburu-buru menemui dan menyerahkan rantang kosong pada Seruni.“Ah, nggak apa Bude. Maaf Bude, David ini si Daud kan?” tanya Seruni antusias. David muncul dari belakang Ibunya dengan senyum mengembang.“Iya, aku Daud. Apa kabar, Ni?” David mengulurkan tangannya pada Seruni.“Aku baik, Ud. Sejak kapan namamu berubah jadi David sih?” protes Seruni sambil menjabat tangan David.“Biar keren, Ni. David tuh akronim dari Daud Vikri Darussalam,” terang David.David lega akhirnya dapat mengenali teman SDnya ini. Seruni banyak berubah. Kini ia jauh lebih dewasa dan jilbab instan yang menutupi kepala membuatnya semakin menjadi perempuan. Padahal dulu Seruni sangat maskulin. Semua hal yang anak laki-laki lakukan, ia bisa. Bahkan kadang jauh lebih mahir. Itu juga yang membuat dulu kul
Lepas isya, pukul sembilan belas empat puluh sembilan menit. Jamaah di Masjid Darul Ulum hampir semua sudah kembali ke rumah. Hanya ada Zul, marbot masjid yang mengecek kembali mikropon dan bangku-bangku yang dijadikan meja mengaji anak-anak TPA. Tiga orang lansia tampak bergurau sambil berjalan pelan meninggalkan masjid.David mengusap pelan wajahnya, semua hal yang menjadi beban pikirannya selama ini sudah tuntas ia adukan kepada Allah. Mulai dari Adelia, Anjani, dan Seruni, teman masa kecil yang entah mengapa ia sebut juga dalam doa. Juga rencana-rencana yang akan ia lakukan sudah semua ia diskusikan kepada Allah. Kali ini David tak ingin memperoleh kegagalan lagi.Dari belakang mimbar, Zul muncul dan berjalan menghampiri David. Pemuda yang terpaut usia lima tahun lebih muda darinya ini dulu sering bertemu di ladang. Lahan orang tuanya berdekatan dengan milik Pak Ahmad. Namun setelah bapaknya meninggal, dan aset orang tuanya dikuasai oleh kakaknya, Zul memilih untuk
Tidak ada yang lebih nyaman dari memeluk sang kekasih sepanjang malam. Mencium aroma tubuhnya, dan terbangun di pagi hari masih dengan sentuhan fisik dan penampakan indah di depan mata. Waktu malam cepat sekali berlalu bagi David. Ia menyadari hanya hitungan menit ia mampu terlelap. Sisanya ia habiskan untuk merekontruksi semua kejadian indah dan menyakitkan bersama mantan istrinya.Sudah pukul empat pagi. Di dapur sudah ada aktivitas Bu Maryam tampak dari suara peralatan dapur yang tengah ia gunakan. Aroma tembakau dan kopi yang sedang Pak Ahmad sesapi juga tercium sampai ke dalam kamar David, kamar malam pertamanya dulu. Sungguh pekerjaan melupakan Adelia ini begitu sulit, lebih sulit dari menahan rindu pada perempuan itu beberapa waktu lalu.David raih gawainya di atas nakas. Pesan-pesan cinta dari Adelia atau Anjani tak pernah ada lagi. Pesan grup tentang pekerjaan sudah tak ada sejak ia resmi resign. Gawainya yang dulu penuh berbagai notifikasi, kini tera
“Gimana Ibu bisa tahu?” Seruni menatap mata sayu sang Ibunda.“Mana ada laki-laki yang bisa buat anak Ibu senyum-senyum sendiri, malu, melukin hape sendiri, iya kan?” Bu Rahma mendorong ujung hidung Seruni dengan ujung jari telunjuknya.Wajah Seruni memerah, ia tak berani menatap netra Ibunya. Sejak Bapak meninggal dan sebagian besar peninggalan dikuasai oleh sang kakak, Ibu memang begitu dekat dengan Seruni. Selama putrinya kuliah, Bu Rahma tinggal dengan sepupunya, Pak Syarief. Itu sebab hari ini mereka berdua harus datang pagi-pagi sekali.“Biar nanti Ibu bilang sama Bu Maryam,” ujar Bu Rahma datar, seolah hal ini adalah hal biasa yang tak perlu persetujuan Seruni.“Lho? Kok bilang sama Bude Maryam? Ibu mau bilang apa?” protes Seruni.“Ya bilang kalau kamu naksir sama anaknya, apa lagi?” jawab Bu Rahma biasa saja.“Ibu ... malu lah! Gimana pun aku ini perempuan, ng
Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada
“Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb
“Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug
“Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir
Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka
Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal
Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu
Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka
Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi