“Kak, maaf nih ... boleh nggak kalau kita langsung ke rumah aja? Temen-temen di Kopi Jani udah nungguin ini, nggak apa ya?” bujuk Anjani.
“Oh, anak-anak di kedai kopimu ya? Hebat lho kamu, baru lulus udah punya bisnis. Ya sudah kita langsung ke sana aja ya,” ujar David setuju. Sejak buka kemarin lusa David memang belum pernah singgah ke Kopi Jani karena masa-masa itu amat rumit, saat rumah tangganya di ujung tanduk.
“Ah, Kakak bisa aja. Lagian ada andil Kakak juga kan di Kopi Jani,” sahut Anjani bijak. Bagaimana pun berada satu mobil lagi dengan lelaki ini membuat kebahagiaannya berlipat-lipat. Selain juga statusnya yang bukan lagi suami orang.
“Sedikit doang kok. Bagus deh, kalau nggak bisnis mungkin kamu jadi istri Kakak ya?” goda David. Membuat Anjani menarik lagi memorinya saat hari terakhir magang, sebelum David menangis di pelukannya. Kata-kata itu memang sempat diucapkan olehnya. Kini ia bisa bereaksi dengan tawa.
“Ya ... mungkin kalo Kakak ngg
“Apa rencanamu, Vid? Kok beli paralon banyak?” tanya Pak Ahmad mendapati anaknya tengah mengawasi proses bongkar pipa paralon dari mobil bak terbuka milik toko bangunan.“Aku mau coba bertani hidroponik, Pak,” jawab David mantap.“Hidroponik? Ini di desa, Vid. Lahan masih banyak,” sahut Pak Ahmad, ia ikut memeriksa pipa-pipa berbagai ukuran yang cukup banyak.“Justru itu, Pak. Aku mau jual produknya di kota. Sekalian nanti kebunku jadi wisata edukasi gitu. Aku bisa jualan sekaligus mengajarkan ilmu. Kaya yang Bapak bilang dulu,” terang David mantap.Pak Ahmad manggut-manggut saja. Ia mengerti meski anaknya ini memutuskan untuk bercerai dan keluar dari pekerjaannya dalam waktu yang bersamaan, David pasti sudah memiliki rencana sendiri. Seorang pemikir yang kadang perlu eksekutor. Itu sebab ia bersahabat baik dengan Andra. Andra lah sang eksekutor dari semua idenya.Sesekali Pak Ahmad menatap wajah putr
“Maaf ya, Nak Seruni. Si David kelamaan di kota. Dia lupa kalau dikasih rantang harus gimana,” ujar Bu Maryam setelah terburu-buru menemui dan menyerahkan rantang kosong pada Seruni.“Ah, nggak apa Bude. Maaf Bude, David ini si Daud kan?” tanya Seruni antusias. David muncul dari belakang Ibunya dengan senyum mengembang.“Iya, aku Daud. Apa kabar, Ni?” David mengulurkan tangannya pada Seruni.“Aku baik, Ud. Sejak kapan namamu berubah jadi David sih?” protes Seruni sambil menjabat tangan David.“Biar keren, Ni. David tuh akronim dari Daud Vikri Darussalam,” terang David.David lega akhirnya dapat mengenali teman SDnya ini. Seruni banyak berubah. Kini ia jauh lebih dewasa dan jilbab instan yang menutupi kepala membuatnya semakin menjadi perempuan. Padahal dulu Seruni sangat maskulin. Semua hal yang anak laki-laki lakukan, ia bisa. Bahkan kadang jauh lebih mahir. Itu juga yang membuat dulu kul
Lepas isya, pukul sembilan belas empat puluh sembilan menit. Jamaah di Masjid Darul Ulum hampir semua sudah kembali ke rumah. Hanya ada Zul, marbot masjid yang mengecek kembali mikropon dan bangku-bangku yang dijadikan meja mengaji anak-anak TPA. Tiga orang lansia tampak bergurau sambil berjalan pelan meninggalkan masjid.David mengusap pelan wajahnya, semua hal yang menjadi beban pikirannya selama ini sudah tuntas ia adukan kepada Allah. Mulai dari Adelia, Anjani, dan Seruni, teman masa kecil yang entah mengapa ia sebut juga dalam doa. Juga rencana-rencana yang akan ia lakukan sudah semua ia diskusikan kepada Allah. Kali ini David tak ingin memperoleh kegagalan lagi.Dari belakang mimbar, Zul muncul dan berjalan menghampiri David. Pemuda yang terpaut usia lima tahun lebih muda darinya ini dulu sering bertemu di ladang. Lahan orang tuanya berdekatan dengan milik Pak Ahmad. Namun setelah bapaknya meninggal, dan aset orang tuanya dikuasai oleh kakaknya, Zul memilih untuk
Tidak ada yang lebih nyaman dari memeluk sang kekasih sepanjang malam. Mencium aroma tubuhnya, dan terbangun di pagi hari masih dengan sentuhan fisik dan penampakan indah di depan mata. Waktu malam cepat sekali berlalu bagi David. Ia menyadari hanya hitungan menit ia mampu terlelap. Sisanya ia habiskan untuk merekontruksi semua kejadian indah dan menyakitkan bersama mantan istrinya.Sudah pukul empat pagi. Di dapur sudah ada aktivitas Bu Maryam tampak dari suara peralatan dapur yang tengah ia gunakan. Aroma tembakau dan kopi yang sedang Pak Ahmad sesapi juga tercium sampai ke dalam kamar David, kamar malam pertamanya dulu. Sungguh pekerjaan melupakan Adelia ini begitu sulit, lebih sulit dari menahan rindu pada perempuan itu beberapa waktu lalu.David raih gawainya di atas nakas. Pesan-pesan cinta dari Adelia atau Anjani tak pernah ada lagi. Pesan grup tentang pekerjaan sudah tak ada sejak ia resmi resign. Gawainya yang dulu penuh berbagai notifikasi, kini tera
“Gimana Ibu bisa tahu?” Seruni menatap mata sayu sang Ibunda.“Mana ada laki-laki yang bisa buat anak Ibu senyum-senyum sendiri, malu, melukin hape sendiri, iya kan?” Bu Rahma mendorong ujung hidung Seruni dengan ujung jari telunjuknya.Wajah Seruni memerah, ia tak berani menatap netra Ibunya. Sejak Bapak meninggal dan sebagian besar peninggalan dikuasai oleh sang kakak, Ibu memang begitu dekat dengan Seruni. Selama putrinya kuliah, Bu Rahma tinggal dengan sepupunya, Pak Syarief. Itu sebab hari ini mereka berdua harus datang pagi-pagi sekali.“Biar nanti Ibu bilang sama Bu Maryam,” ujar Bu Rahma datar, seolah hal ini adalah hal biasa yang tak perlu persetujuan Seruni.“Lho? Kok bilang sama Bude Maryam? Ibu mau bilang apa?” protes Seruni.“Ya bilang kalau kamu naksir sama anaknya, apa lagi?” jawab Bu Rahma biasa saja.“Ibu ... malu lah! Gimana pun aku ini perempuan, ng
“Masih pantaskah kalau aku tanya kabarnya? Dia dirawat dimana?”Pertanyaan-pertanyaan dalam hati David mengenai kondisi aktual Adelia dalam status media sosial Bu Ratri amat mengganggu pikirannya. Baru kemarin lusa ia beradu pandang di Kopi Jani, dan Adelia terlihat baik-baik saja.“Mikirin apa sih, Mas?” sapa Zul yang tengah memandangi kertas desain memastikan bentuk dan ukuran yang akan ia buat.“Eh, Zul ... maaf saya malah belum bantu kamu ya,” David buru-buru meletakkan gawainya di meja di samping kopinya yang sudah habis.“Saya punya sepasang telinga, Mas. Saya biasa kok dengerin curhatan emak-emak yang minta dibenerin gentengnya, mesin cucinya, atau pagarnya,” ujar Zul tulus. Ia merasa David begitu terbebani dengan pikirannya. Banyak hal yang sudah terjadi pada lelaki ini.“Tapi kan saya bukan emak-emak, Zul,” jawab David sambil tertawa kecil.“Mas Daud ini terlalu banya
Mentari di Desa Air Tenang, Kecamatan Dasamarga bersinar redup. Cahaya yang biasanya jingga terbias oleh mendung tipis yang menyelimuti seluruh langit. David baru saja keluar dari pintu belakang rumah sambil membawa segelas kopi dan gawai di kedua tangan. Ia pandangi instalasi hidroponik yang kemarin ia rakit bersama Zul. Tinggal menaunginya dengan paranet, maka kebun impiannya sudah siap untuk ditanami. Karena sudah terlalu sore dan harus mengurus Masjid, Zul akhirnya membawa paranet ke Masjid untuk dibawa ke rumah David hari ini. Sedang bahan-bahan seperti media tanam dan teknik yang tepat untuk digunakan akan David diskusikan dengan Seruni hari ini. Dini hari tadi tak ada pesan darinya. Mungkin lelah karena membantu hajatan Pak Syarief. Sesapan kopi pertama pagi ini, David bersyukur tak ada bayang kuat Adelia atau momen bersamanya yang terbayang di pikiran. Resep curhat kepada Sang Maha Pencipta dari Zul cukup membuatnya tenang. Kondisi fisik yang lelah juga memba
Laras berteriak histeris hingga menjatuhkan nampan berisi teh panas yang akan ia sajikan untuk Seruni. Sedang Zul yang baru saja datang melemparkan gulungan paranet sekenanya. Namun mereka justru berhenti di tempat mereka dan ragu untuk mendekat melihat pemandangan romantis di kebun hidroponik yang belum ditanami. Mata mereka berdua berbinar melihat David sekuat tenaga mengangkat tubuh Seruni yang tiba-tiba tak sadarkan diri.“Woy! Zul! Bantuin kenapa? Laras! Kenapa pada diem sih?” pekik David, napasnya sudah tersengal padahal jaraknya tak lebih dari lima meter.Zul dan Laras saling berpandangan. Lalu sedetik kemudian menghambur menyambut tubuh Seruni yang lunglai di pelukan David. Sesekali gadis itu tampak mencoba menggerakkan bagian tubuh dan panca inderanya. Namun seketika lemah kembali. David menyadari bahwa kesadaran Seruni tidak sepenuhnya hilang, amat terasa karena Seruni duduk bersandar pada tubuhnya.“Ras, ambilin minyak angin sama air
Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada
“Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb
“Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug
“Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir
Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka
Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal
Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu
Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka
Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi