Mentari di Desa Air Tenang, Kecamatan Dasamarga bersinar redup. Cahaya yang biasanya jingga terbias oleh mendung tipis yang menyelimuti seluruh langit. David baru saja keluar dari pintu belakang rumah sambil membawa segelas kopi dan gawai di kedua tangan. Ia pandangi instalasi hidroponik yang kemarin ia rakit bersama Zul. Tinggal menaunginya dengan paranet, maka kebun impiannya sudah siap untuk ditanami.
Karena sudah terlalu sore dan harus mengurus Masjid, Zul akhirnya membawa paranet ke Masjid untuk dibawa ke rumah David hari ini. Sedang bahan-bahan seperti media tanam dan teknik yang tepat untuk digunakan akan David diskusikan dengan Seruni hari ini. Dini hari tadi tak ada pesan darinya. Mungkin lelah karena membantu hajatan Pak Syarief.
Sesapan kopi pertama pagi ini, David bersyukur tak ada bayang kuat Adelia atau momen bersamanya yang terbayang di pikiran. Resep curhat kepada Sang Maha Pencipta dari Zul cukup membuatnya tenang. Kondisi fisik yang lelah juga memba
Laras berteriak histeris hingga menjatuhkan nampan berisi teh panas yang akan ia sajikan untuk Seruni. Sedang Zul yang baru saja datang melemparkan gulungan paranet sekenanya. Namun mereka justru berhenti di tempat mereka dan ragu untuk mendekat melihat pemandangan romantis di kebun hidroponik yang belum ditanami. Mata mereka berdua berbinar melihat David sekuat tenaga mengangkat tubuh Seruni yang tiba-tiba tak sadarkan diri.“Woy! Zul! Bantuin kenapa? Laras! Kenapa pada diem sih?” pekik David, napasnya sudah tersengal padahal jaraknya tak lebih dari lima meter.Zul dan Laras saling berpandangan. Lalu sedetik kemudian menghambur menyambut tubuh Seruni yang lunglai di pelukan David. Sesekali gadis itu tampak mencoba menggerakkan bagian tubuh dan panca inderanya. Namun seketika lemah kembali. David menyadari bahwa kesadaran Seruni tidak sepenuhnya hilang, amat terasa karena Seruni duduk bersandar pada tubuhnya.“Ras, ambilin minyak angin sama air
Bu Maryam tak menggubris anaknya yang terlihat kesal dengan ucapannya tadi. Ia melangkah mendekati Seruni yang salah tingkah. Wanita 47 tahun itu tersenyum manis pada gadis yang tadi pagi sempat tak sadarkan diri karena tak kuasa menahan bahagia itu.“Sudah lama di sini? Kok nggak masuk?” Bu Maryam menyalami Seruni. Gadis itu mencium punggung tangannya.“Dia mau bantuin aku, Bu. Sarjana Pertanian, aku mintain saran buat kebunku ini,” sela David sebelum Seruni menjawab pertanyaan Bu Maryam.“Masuk yuk, ngobrol di dalam sama Bude,” ajak Bu Maryam. Ia seolah tak mempedulikan kata-kata anaknya tadi.Seruni memandang wajah David yang juga tampak bingung dengan perlakuan Ibunya sendiri. Ia mengangkat bahunya tanda ia mengikuti saja apa yang diminta Bu Maryam. Pak Ahmad mendekati Seruni yang masih bingung dengan kondisi yang tiba-tiba berubah. Gadis itu melakukan hal yang sama pada punggung tangan pria itu.“Nggak
“Menikah? Dengan Daud?”“Ya, anakku yang teman SDmu itu,” jawab Bu Maryam mengkonfirmasi.Tak ada kata yang keluar dari bibir Seruni. Lebih tepatnya ia tak tahu harus berkata apa. Hatinya memang mengharapkan lelaki itu, tapi ini terlalu cepat. Bahkan ia tak mengetahui apakah David juga mengharapakannya atau tidak. Meski perilakunya begitu manis dan menyenangkan, selama tak ada kata yang keluar dari bibirnya bahwa ia menginginkan Seruni, sebuah hubungan tak akan terjadi.“Apa Bude nggak salah? Maaf sebelumnya, Bude, apa Daud menginginkan aku jadi istrinya?” tanya Seruni. Mau tak mau ia harus menanyakan hal penting ini.“Oh, bukan, ini inisiatif Bude saja,” kata-kata Bu Maryam berhenti. Tiba-tiba ia terdiam, netranya mengembun. Ia mulai menghirup cairan bening di rongga hidungnya.“Lho, Bude kenapa?” Seruni meraih kedua tangan Bu Maryam. Persis seperti yang dilakukan David tadi kepadanya seb
Seruni menutup mulutnya yang menguap cukup lebar. Buntut dari hal giIa kemarin cukup membuatnya terjaga sepanjang malam. Sampai pukul dua dini hari matanya masih sulit untuk dipejamkan. Bayang-bayang nyamannya pelukan David di belakang tubuhnya seakan masih terasa. Hangat perlakuan Bu Maryam paling tak bisa ia lupakan. Sungguh pengalaman menyenangkan sekaligus menegangkan.Pukul enam empat puluh tujuh menit, Seruni sudah rapi dan siap menunggu David menjemputnya. Entah bagaimana nanti kondisi sepanjang perjalanan pergi dan pulang ke Kotamadya. Ia tak ingin terlalu memikirkan, gadis itu hanya ingin menikmatinya saja.Seruni tak menyangka jika David sudah pernah menikah. Dia berstatus duda. Benaknya membayangkan duda adalah pria berusia 40 tahun ke atas, sudah matang secara finansial dan psikologi. Berwajah kebapakan dengan perut buncit sebagai simbol kemapanan. Siapa pun tak akan mengira di desa ini ada duda tampan dengan tubuh atletis bernama Daud Vikri Darussalam.
“Jadi sudah kamu putuskan mau pakai sistem apa?” tanya Seruni. “Biar aku coret bahan yang nggak perlu, soalnya ini list global,” tambahnya lagi.“Boleh nggak kamu pilihin aja. Ribet sedikit nggak apa yang penting hasilnya bagus,” jawab David. Ia memang kurang begitu memahami karena disiplin ilmu yang berbeda. Tujuannya membangun kebun hidroponik pun sebagian besar untuk wisata edukasi. Sedang hasil kebunnya tidak terlalu ia pikirkan.“Hmm, oke jadi aku pilihin yang agak rumit ya. Terus nanti bisa kamu tambah sendiri yang mudah-mudah. Jadi di kebunmu nanti ada beberapa sistem, gimana?” tawar Seruni.“Nah, begitu juga bagus,” jawab David sambil tersenyum.Seruni mulai menjelaskan detail sistem yang akan diterapkan pada kebun David. Lelaki itu manggut-manggut saja, padahal sebagian besar istilah yang digunakan Seruni ia sama sekali tak mengerti. Selama ada gadis ini, ia tak perlu khawatir dengan keb
“Kamu mencintaiku, Ni?”“Ud....”David menatap tajam mata gadis di hadapannya. Kini ia yakin bahwa meski ia belum sepenuhnya sembuh dari luka hati, gadis ini layak untuk mendapatkan tempat di sana. Lelaki itu meraih jemari Seruni di samping gawainya. Ia genggam jemari itu seperti kemarin Seruni menggenggam jemari Bu Maryam.“Bisa jawab? Aku hanya memastikan tak salah lagi memberikan cinta dan seluruh hidupku untuk seorang perempuan,” ujar David serius. Tatapnya tetap tak beralih dari wajah oval Seruni.“Ud....” Seruni tersenyum kecut. Bibirnya ia arahkan ke sisi kanan David. Andai jemari tak digenggam, ia bisa dengan mudah menunjuk.“Permisi ... Mas, Mbak, mau antar pesanan, saya taruh dimana ya?” Seorang pria dengan dua mangkuk bubur ayam di tangannya ragu-ragu mengganggu momen manis mereka berdua.David segera melepaskan genggaman tangannya pada jemari Seruni. Gadis itu tampak ter
Pukul sepuluh lima puluh dua, sepasang kekasih baru itu sudah menyelesaikan belanja peralatan dan sebagian bahan untuk kebun hidroponik mereka. Hanya tersisa satu toko lagi yang menyediakan bibit tanaman yang mereka butuhkan. Letaknya berbeda dengan pasar dimana mereka berada sekarang. Sekitar dua kilometer ke arah barat. Dekat sekali dengan Kopi Jani dan rumah keluarga Pak Ruslan Zain, mantan mertua David.Selesai memasukkan semua barang belanjaan ke dalam mobil dan menyisakan kursi baris pertama saja, David segera masuk ke dalam mobil. Menyelamatkan diri dari sengatan matahari. Meski sama, entah mengapa sengatan matahari di tempat ini berbeda dengan di desa. Knob pendingin udara segera David putar penuh. Begitu juga dengan kecepatan hembusannya.“Fiuh! Panasnya....” keluh David. Keringatnya bercucuran di wajah dan terutama di tubuh bagian belakang. Karena mereka membelakangi matahari tadi. Lelaki itu meraih tisu di konsol tengah dan menyeka wajahnya.
“Oh iya, kenalin ini Seruni, calon istri gue,” ucap David mantap.Seruni kembali membumbung tinggi. Rona merah tak pernah hilang dari wajah ovalnya. Sekilas ia menatap wajah David yang begitu bangga menyebutnya sebagai calon istri di hadapan temannya. Bagi Seruni ini lah pertama kali ia merasa diakui dan dibanggakan oleh orang lain selain Ibunya. Ia menyambut uluran tangan Andra meski pandangannya tetap pada wajah kekasihnya itu.“Sayang, Andra ini teman baikku. Jangan dilihat dari tampangnya, apa lagi kelakuannya. Sebenarnya dia baik kok, dia banyak banget bantu aku,” ujar David setelah prosesi penyebutan nama dari perkenalan itu selesai. Seruni kembali menatap bahagia kekasihnya. Perdana, David menyebutnya dengan sebutan sayang.“Ck, kebiasaan! Mujinya nggak ikhlas banget,” rutuk Andra. David hanya tertawa mendengar keluhan Andra.“Main lah ke kampung, Ndra. Kami lagi bikin wisata edukasi hidroponik di rumah,&rd
Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada
“Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb
“Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug
“Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir
Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka
Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal
Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu
Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka
Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi