“Kamu mencintaiku, Ni?”
“Ud....”
David menatap tajam mata gadis di hadapannya. Kini ia yakin bahwa meski ia belum sepenuhnya sembuh dari luka hati, gadis ini layak untuk mendapatkan tempat di sana. Lelaki itu meraih jemari Seruni di samping gawainya. Ia genggam jemari itu seperti kemarin Seruni menggenggam jemari Bu Maryam.
“Bisa jawab? Aku hanya memastikan tak salah lagi memberikan cinta dan seluruh hidupku untuk seorang perempuan,” ujar David serius. Tatapnya tetap tak beralih dari wajah oval Seruni.
“Ud....” Seruni tersenyum kecut. Bibirnya ia arahkan ke sisi kanan David. Andai jemari tak digenggam, ia bisa dengan mudah menunjuk.
“Permisi ... Mas, Mbak, mau antar pesanan, saya taruh dimana ya?” Seorang pria dengan dua mangkuk bubur ayam di tangannya ragu-ragu mengganggu momen manis mereka berdua.
David segera melepaskan genggaman tangannya pada jemari Seruni. Gadis itu tampak ter
Pukul sepuluh lima puluh dua, sepasang kekasih baru itu sudah menyelesaikan belanja peralatan dan sebagian bahan untuk kebun hidroponik mereka. Hanya tersisa satu toko lagi yang menyediakan bibit tanaman yang mereka butuhkan. Letaknya berbeda dengan pasar dimana mereka berada sekarang. Sekitar dua kilometer ke arah barat. Dekat sekali dengan Kopi Jani dan rumah keluarga Pak Ruslan Zain, mantan mertua David.Selesai memasukkan semua barang belanjaan ke dalam mobil dan menyisakan kursi baris pertama saja, David segera masuk ke dalam mobil. Menyelamatkan diri dari sengatan matahari. Meski sama, entah mengapa sengatan matahari di tempat ini berbeda dengan di desa. Knob pendingin udara segera David putar penuh. Begitu juga dengan kecepatan hembusannya.“Fiuh! Panasnya....” keluh David. Keringatnya bercucuran di wajah dan terutama di tubuh bagian belakang. Karena mereka membelakangi matahari tadi. Lelaki itu meraih tisu di konsol tengah dan menyeka wajahnya.
“Oh iya, kenalin ini Seruni, calon istri gue,” ucap David mantap.Seruni kembali membumbung tinggi. Rona merah tak pernah hilang dari wajah ovalnya. Sekilas ia menatap wajah David yang begitu bangga menyebutnya sebagai calon istri di hadapan temannya. Bagi Seruni ini lah pertama kali ia merasa diakui dan dibanggakan oleh orang lain selain Ibunya. Ia menyambut uluran tangan Andra meski pandangannya tetap pada wajah kekasihnya itu.“Sayang, Andra ini teman baikku. Jangan dilihat dari tampangnya, apa lagi kelakuannya. Sebenarnya dia baik kok, dia banyak banget bantu aku,” ujar David setelah prosesi penyebutan nama dari perkenalan itu selesai. Seruni kembali menatap bahagia kekasihnya. Perdana, David menyebutnya dengan sebutan sayang.“Ck, kebiasaan! Mujinya nggak ikhlas banget,” rutuk Andra. David hanya tertawa mendengar keluhan Andra.“Main lah ke kampung, Ndra. Kami lagi bikin wisata edukasi hidroponik di rumah,&rd
Seruni menghambur memeluk jasad dingin tertutup kain jarik terbujur di ruang tamu rumahnya. Beberapa ibu-ibu segera melarangnya untuk meratap, jangan sampai air matanya menetes ke jenazah Bu Rahma. David hanya berdiri mematung di ambang pintu. Meski sudah dibisikkan pesan oleh banyak orang tua yang mereka lewati agar mencegah Seruni meratap, nyatanya David tak kuasa menahannya. Tubuh lemah gadis itu sedari mobil tiba-tiba menjadi kuat begitu melihat tubuh tertutup kain itu. Gadis itu meratap, memanggil Ibunya berkali-kali. Meski ia tahu sekuat apa pun tangisan dan guncangan di tubuh Bu Rahma, wanita itu tak akan kembali. Sepulang dari berkunjung ke rumah Bu Maryam, sepeda yang dikendarai Bu Rahma terhantam bak truk yang gagal menanjak. Bu Rahma meninggal di tempat dengan luka parah di kepala. David duduk bersama para pria. Kebanyakan dari mereka adalah teman sepermainannya dulu. Mereka terkejut David hadir di tengah-tengah mereka. Apa lagi Seruni tiba bersama dengann
Pukul tiga empat menit dini hari, Seruni terbangun karena alarm di gawainya. Kedua matanya benar-benar berat untuk terbuka. Mungkin efek menangis sepanjang sore dan tidak juga terlelap semalam. Tidur di tempat asing tentu tak akan mudah, meski lelah sudah menyergapnya sejak memasuki desa menjelang senja bersama pemilik kamar ini. Ia baru benar-benar terlelap ketika hari telah berganti.Seruni bangkit, duduk di tepi tempat tidur dengan kasur kapuk yang empuk. Ada rasa segan karena secara tak langsung mengusir pemilik kamar ini untuk tidur di ruang tengah. Namun juga merasa senang dapat sedekat ini dengan sang kekasih. Gadis itu mengusap netranya, ia menggeliat meregangkan otot-otot di seluruh tubuhnya. Ia melihat ikat rambut yang ia letakkan di sisinya tadi malam sudah jatuh di lantai. Dengan malas ia membungkuk dan meraih ikat rambut itu.Sesuatu di bawah tempat tidur mencuri perhatiannya. Seperti sebuah bingkai foto yang tak sengaja keluar dari kardusnya. Perlahan Ser
Adzan subuh berkumandang di langit Desa Air Tenang. Seruni melangkah ke ruang tamu hendak membangunkan David. Remang lampu teras yang menelusup di celah-celah kisi-kisi kusen pintu membuat wajah David masih bisa Seruni lihat dengan jelas. Lelaki itu meringkuk di sofa menahan dingin di dalam sarungnya. Lelahnya mungkin belum terbalas, tapi Seruni tetap harus membangunkannya.“Ud ... bangun, udah subuh,” bisik Seruni di telinga David dan mengguncangkan tubuh lelaki itu. David menggeliat, namun matanya masih tertutup.“Ud....”Seruni tak siap dan tak bisa menahan saat lengan David melingkar dan menarik pinggulnya. Gadis itu kini terduduk dalam dekapan David yang masih belum menemui kesadaran. Seruni terkesiap, lengan kiri David kini melingkar di perutnya. Sedang kepala lelaki itu bersandar pada paha kanannya. Ia lalu berusaha melepaskan diri, namun tenaganya tak sebanding.“Ud, lepasin! Tar Ibu tahu, lho,” bisik Seruni. Ia
“Kamu masih marah, Ni?”Kata-kata pertama dari bibir David setelah hampir satu jam mereka bersama. Sedang sejak subuh tadi Seruni belum sekali pun mengucapkan kata-kata pada kekasihnya itu. Padahal mereka sudah selesai berbelanja kebutuhan tahlilan nanti malam, dan kini sudah dalam perjalanan pulang. Air muka Seruni memang biasa saja, tapi ia banyak sekali diam.“Marah? Untuk apa?” Seruni bertanya balik.“Jadi, nggak marah? Kenapa diem aja?” tanya David lagi di balik kemudi mobilnya.“Kamu juga, kenapa diem aja? Kan kamu yang buat salah, masa aku yang ngajak ngobrol duluan?” seru Seruni. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Namun tawanya tak mampu lagi ia tahan.“Lah, dia malah ketawa,” protes David. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tak mengerti apa yang sebenarnya direncanakan Seruni.“Santai aja, Ud. Namanya juga nggak sengaja. Walaupun kesel juga si
Seruni keluar dari kamar Laras menuju kamar David. Ia melewati pemilik kamar sekaligus hatinya yang masih saja tak bergeming dari gawai di tangannya. Gadis itu paham lelaki pujaannya itu sadar akan kehadirannya, namun sama sekali tak menoleh. Hanya helaan napas yang mengiringi langkah Seruni memasuki kamar tempat seluruh memori David terekam. Jika benda-benda di sana bisa bicara, tentu akan mudah baginya merekontruksi seluruh masa lalu David yang ingin ia ketahui.Kata-kata Laras yang tadi meluncur mulus dari bibirnya masih ia simpan dalam benak. Sosok cantik itu begitu disayangi dan dirindukan di rumah ini pada awalnya. Namun berharap pada manusia hanya melahirkan kenyataan. Perempuan itu menyimpan dosa yang tak mudah untuk dimaklumi. Meski oleh sesama manusia.Sebuah bantal masih saja Seruni peluk. Malam kedua di kamar ini ia prediksi akan semakin sukar terlelap. Sorot lampu dari ruang tengah sudah padam. Pertanda David sudah mulai memasuki peraduannya. Menyisa
“Hah? Apa mungkin, Ud?” tanya Seruni tak percaya.“Coba kamu ingat-ingat lagi. Sejak kapan kamu mencintaiku? Dua orang yang aku sebut tadi bisa jadi buktinya, Ni.” David kembali menyesap kopi yang hampir kandas, menyisakan ampas yang pahit. Sama pahit dengan air muka Seruni kini.“Tapi mereka akhirnya ninggalin kamu kan?” tanya Seruni. Hatinya mencoba mengingkari cintanya semata karena tuah sepasang helai rambut saling bertaut itu.“Betul, karena bulu perindu ini sempat hilang. Aku sendiri heran kenapa sekarang muncul lagi,” terang David.Memorinya ia paksa tarik ke belakang. Setelah ia coba kembalikan bulu perindu pada pemiliknya, benda itu tiba-tiba saja hilang. Padahal ia yakin sekali sudah menyimpan di tempat asalnya setelah Adelia menemukannya. Kini setelah Adelia dan Anjani pergi, benda itu muncul lagi. Ia merasa amat berdosa bila cinta Seruni juga karena tuahnya.“Aku nggak tahu kapan, Ud