Pukul sepuluh lima puluh dua, sepasang kekasih baru itu sudah menyelesaikan belanja peralatan dan sebagian bahan untuk kebun hidroponik mereka. Hanya tersisa satu toko lagi yang menyediakan bibit tanaman yang mereka butuhkan. Letaknya berbeda dengan pasar dimana mereka berada sekarang. Sekitar dua kilometer ke arah barat. Dekat sekali dengan Kopi Jani dan rumah keluarga Pak Ruslan Zain, mantan mertua David.
Selesai memasukkan semua barang belanjaan ke dalam mobil dan menyisakan kursi baris pertama saja, David segera masuk ke dalam mobil. Menyelamatkan diri dari sengatan matahari. Meski sama, entah mengapa sengatan matahari di tempat ini berbeda dengan di desa. Knob pendingin udara segera David putar penuh. Begitu juga dengan kecepatan hembusannya.
“Fiuh! Panasnya....” keluh David. Keringatnya bercucuran di wajah dan terutama di tubuh bagian belakang. Karena mereka membelakangi matahari tadi. Lelaki itu meraih tisu di konsol tengah dan menyeka wajahnya.
“Oh iya, kenalin ini Seruni, calon istri gue,” ucap David mantap.Seruni kembali membumbung tinggi. Rona merah tak pernah hilang dari wajah ovalnya. Sekilas ia menatap wajah David yang begitu bangga menyebutnya sebagai calon istri di hadapan temannya. Bagi Seruni ini lah pertama kali ia merasa diakui dan dibanggakan oleh orang lain selain Ibunya. Ia menyambut uluran tangan Andra meski pandangannya tetap pada wajah kekasihnya itu.“Sayang, Andra ini teman baikku. Jangan dilihat dari tampangnya, apa lagi kelakuannya. Sebenarnya dia baik kok, dia banyak banget bantu aku,” ujar David setelah prosesi penyebutan nama dari perkenalan itu selesai. Seruni kembali menatap bahagia kekasihnya. Perdana, David menyebutnya dengan sebutan sayang.“Ck, kebiasaan! Mujinya nggak ikhlas banget,” rutuk Andra. David hanya tertawa mendengar keluhan Andra.“Main lah ke kampung, Ndra. Kami lagi bikin wisata edukasi hidroponik di rumah,&rd
Seruni menghambur memeluk jasad dingin tertutup kain jarik terbujur di ruang tamu rumahnya. Beberapa ibu-ibu segera melarangnya untuk meratap, jangan sampai air matanya menetes ke jenazah Bu Rahma. David hanya berdiri mematung di ambang pintu. Meski sudah dibisikkan pesan oleh banyak orang tua yang mereka lewati agar mencegah Seruni meratap, nyatanya David tak kuasa menahannya. Tubuh lemah gadis itu sedari mobil tiba-tiba menjadi kuat begitu melihat tubuh tertutup kain itu. Gadis itu meratap, memanggil Ibunya berkali-kali. Meski ia tahu sekuat apa pun tangisan dan guncangan di tubuh Bu Rahma, wanita itu tak akan kembali. Sepulang dari berkunjung ke rumah Bu Maryam, sepeda yang dikendarai Bu Rahma terhantam bak truk yang gagal menanjak. Bu Rahma meninggal di tempat dengan luka parah di kepala. David duduk bersama para pria. Kebanyakan dari mereka adalah teman sepermainannya dulu. Mereka terkejut David hadir di tengah-tengah mereka. Apa lagi Seruni tiba bersama dengann
Pukul tiga empat menit dini hari, Seruni terbangun karena alarm di gawainya. Kedua matanya benar-benar berat untuk terbuka. Mungkin efek menangis sepanjang sore dan tidak juga terlelap semalam. Tidur di tempat asing tentu tak akan mudah, meski lelah sudah menyergapnya sejak memasuki desa menjelang senja bersama pemilik kamar ini. Ia baru benar-benar terlelap ketika hari telah berganti.Seruni bangkit, duduk di tepi tempat tidur dengan kasur kapuk yang empuk. Ada rasa segan karena secara tak langsung mengusir pemilik kamar ini untuk tidur di ruang tengah. Namun juga merasa senang dapat sedekat ini dengan sang kekasih. Gadis itu mengusap netranya, ia menggeliat meregangkan otot-otot di seluruh tubuhnya. Ia melihat ikat rambut yang ia letakkan di sisinya tadi malam sudah jatuh di lantai. Dengan malas ia membungkuk dan meraih ikat rambut itu.Sesuatu di bawah tempat tidur mencuri perhatiannya. Seperti sebuah bingkai foto yang tak sengaja keluar dari kardusnya. Perlahan Ser
Adzan subuh berkumandang di langit Desa Air Tenang. Seruni melangkah ke ruang tamu hendak membangunkan David. Remang lampu teras yang menelusup di celah-celah kisi-kisi kusen pintu membuat wajah David masih bisa Seruni lihat dengan jelas. Lelaki itu meringkuk di sofa menahan dingin di dalam sarungnya. Lelahnya mungkin belum terbalas, tapi Seruni tetap harus membangunkannya.“Ud ... bangun, udah subuh,” bisik Seruni di telinga David dan mengguncangkan tubuh lelaki itu. David menggeliat, namun matanya masih tertutup.“Ud....”Seruni tak siap dan tak bisa menahan saat lengan David melingkar dan menarik pinggulnya. Gadis itu kini terduduk dalam dekapan David yang masih belum menemui kesadaran. Seruni terkesiap, lengan kiri David kini melingkar di perutnya. Sedang kepala lelaki itu bersandar pada paha kanannya. Ia lalu berusaha melepaskan diri, namun tenaganya tak sebanding.“Ud, lepasin! Tar Ibu tahu, lho,” bisik Seruni. Ia
“Kamu masih marah, Ni?”Kata-kata pertama dari bibir David setelah hampir satu jam mereka bersama. Sedang sejak subuh tadi Seruni belum sekali pun mengucapkan kata-kata pada kekasihnya itu. Padahal mereka sudah selesai berbelanja kebutuhan tahlilan nanti malam, dan kini sudah dalam perjalanan pulang. Air muka Seruni memang biasa saja, tapi ia banyak sekali diam.“Marah? Untuk apa?” Seruni bertanya balik.“Jadi, nggak marah? Kenapa diem aja?” tanya David lagi di balik kemudi mobilnya.“Kamu juga, kenapa diem aja? Kan kamu yang buat salah, masa aku yang ngajak ngobrol duluan?” seru Seruni. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Namun tawanya tak mampu lagi ia tahan.“Lah, dia malah ketawa,” protes David. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tak mengerti apa yang sebenarnya direncanakan Seruni.“Santai aja, Ud. Namanya juga nggak sengaja. Walaupun kesel juga si
Seruni keluar dari kamar Laras menuju kamar David. Ia melewati pemilik kamar sekaligus hatinya yang masih saja tak bergeming dari gawai di tangannya. Gadis itu paham lelaki pujaannya itu sadar akan kehadirannya, namun sama sekali tak menoleh. Hanya helaan napas yang mengiringi langkah Seruni memasuki kamar tempat seluruh memori David terekam. Jika benda-benda di sana bisa bicara, tentu akan mudah baginya merekontruksi seluruh masa lalu David yang ingin ia ketahui.Kata-kata Laras yang tadi meluncur mulus dari bibirnya masih ia simpan dalam benak. Sosok cantik itu begitu disayangi dan dirindukan di rumah ini pada awalnya. Namun berharap pada manusia hanya melahirkan kenyataan. Perempuan itu menyimpan dosa yang tak mudah untuk dimaklumi. Meski oleh sesama manusia.Sebuah bantal masih saja Seruni peluk. Malam kedua di kamar ini ia prediksi akan semakin sukar terlelap. Sorot lampu dari ruang tengah sudah padam. Pertanda David sudah mulai memasuki peraduannya. Menyisa
“Hah? Apa mungkin, Ud?” tanya Seruni tak percaya.“Coba kamu ingat-ingat lagi. Sejak kapan kamu mencintaiku? Dua orang yang aku sebut tadi bisa jadi buktinya, Ni.” David kembali menyesap kopi yang hampir kandas, menyisakan ampas yang pahit. Sama pahit dengan air muka Seruni kini.“Tapi mereka akhirnya ninggalin kamu kan?” tanya Seruni. Hatinya mencoba mengingkari cintanya semata karena tuah sepasang helai rambut saling bertaut itu.“Betul, karena bulu perindu ini sempat hilang. Aku sendiri heran kenapa sekarang muncul lagi,” terang David.Memorinya ia paksa tarik ke belakang. Setelah ia coba kembalikan bulu perindu pada pemiliknya, benda itu tiba-tiba saja hilang. Padahal ia yakin sekali sudah menyimpan di tempat asalnya setelah Adelia menemukannya. Kini setelah Adelia dan Anjani pergi, benda itu muncul lagi. Ia merasa amat berdosa bila cinta Seruni juga karena tuahnya.“Aku nggak tahu kapan, Ud
“Jadi mau kamu apain benda itu?” tanya Seruni. Ia baru saja selesai membersihkan diri, ia masih mendapati David di tempat lelaki itu mengecup pipinya. “Ada ide?” David balik bertanya. “Buang aja, kalau yang punya nggak mau nerima lagi,” ucap Seruni. Ia ragu akan duduk lagi di sebelah David atau segera beranjak tidur. “Aku takut kembali lagi, benda ini sudah pernah hilang. Tapi tiba-tiba ada lagi di belakang hapeku,” keluh David. “Bakar aja, biasanya harus dimusnahin sih benda kaya gitu. Sekalian kita buktiin ada ngaruhnya nggak sama aku,” ujar Seruni percaya diri. Ia begitu yakin perasaannya pada David sama sekali tak terintervensi oleh benda dalam kertas putih itu. “Kalau kamu jadi berubah gimana?” tanya David ragu. Ia masih memegang kertas putih itu di antara ibu jari dan telunjuknya. “Berubah? Kamu takut?” tanya Seruni. David terdiam di tempatnya, ia pandangi bulu perindu dan gadis di ambang dapur itu bergantian. “Ud, musyrik, Ud!”
Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada
“Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb
“Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug
“Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir
Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka
Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal
Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu
Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka
Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi