“Oh iya, kenalin ini Seruni, calon istri gue,” ucap David mantap.
Seruni kembali membumbung tinggi. Rona merah tak pernah hilang dari wajah ovalnya. Sekilas ia menatap wajah David yang begitu bangga menyebutnya sebagai calon istri di hadapan temannya. Bagi Seruni ini lah pertama kali ia merasa diakui dan dibanggakan oleh orang lain selain Ibunya. Ia menyambut uluran tangan Andra meski pandangannya tetap pada wajah kekasihnya itu.
“Sayang, Andra ini teman baikku. Jangan dilihat dari tampangnya, apa lagi kelakuannya. Sebenarnya dia baik kok, dia banyak banget bantu aku,” ujar David setelah prosesi penyebutan nama dari perkenalan itu selesai. Seruni kembali menatap bahagia kekasihnya. Perdana, David menyebutnya dengan sebutan sayang.
“Ck, kebiasaan! Mujinya nggak ikhlas banget,” rutuk Andra. David hanya tertawa mendengar keluhan Andra.
“Main lah ke kampung, Ndra. Kami lagi bikin wisata edukasi hidroponik di rumah,&rd
Seruni menghambur memeluk jasad dingin tertutup kain jarik terbujur di ruang tamu rumahnya. Beberapa ibu-ibu segera melarangnya untuk meratap, jangan sampai air matanya menetes ke jenazah Bu Rahma. David hanya berdiri mematung di ambang pintu. Meski sudah dibisikkan pesan oleh banyak orang tua yang mereka lewati agar mencegah Seruni meratap, nyatanya David tak kuasa menahannya. Tubuh lemah gadis itu sedari mobil tiba-tiba menjadi kuat begitu melihat tubuh tertutup kain itu. Gadis itu meratap, memanggil Ibunya berkali-kali. Meski ia tahu sekuat apa pun tangisan dan guncangan di tubuh Bu Rahma, wanita itu tak akan kembali. Sepulang dari berkunjung ke rumah Bu Maryam, sepeda yang dikendarai Bu Rahma terhantam bak truk yang gagal menanjak. Bu Rahma meninggal di tempat dengan luka parah di kepala. David duduk bersama para pria. Kebanyakan dari mereka adalah teman sepermainannya dulu. Mereka terkejut David hadir di tengah-tengah mereka. Apa lagi Seruni tiba bersama dengann
Pukul tiga empat menit dini hari, Seruni terbangun karena alarm di gawainya. Kedua matanya benar-benar berat untuk terbuka. Mungkin efek menangis sepanjang sore dan tidak juga terlelap semalam. Tidur di tempat asing tentu tak akan mudah, meski lelah sudah menyergapnya sejak memasuki desa menjelang senja bersama pemilik kamar ini. Ia baru benar-benar terlelap ketika hari telah berganti.Seruni bangkit, duduk di tepi tempat tidur dengan kasur kapuk yang empuk. Ada rasa segan karena secara tak langsung mengusir pemilik kamar ini untuk tidur di ruang tengah. Namun juga merasa senang dapat sedekat ini dengan sang kekasih. Gadis itu mengusap netranya, ia menggeliat meregangkan otot-otot di seluruh tubuhnya. Ia melihat ikat rambut yang ia letakkan di sisinya tadi malam sudah jatuh di lantai. Dengan malas ia membungkuk dan meraih ikat rambut itu.Sesuatu di bawah tempat tidur mencuri perhatiannya. Seperti sebuah bingkai foto yang tak sengaja keluar dari kardusnya. Perlahan Ser
Adzan subuh berkumandang di langit Desa Air Tenang. Seruni melangkah ke ruang tamu hendak membangunkan David. Remang lampu teras yang menelusup di celah-celah kisi-kisi kusen pintu membuat wajah David masih bisa Seruni lihat dengan jelas. Lelaki itu meringkuk di sofa menahan dingin di dalam sarungnya. Lelahnya mungkin belum terbalas, tapi Seruni tetap harus membangunkannya.“Ud ... bangun, udah subuh,” bisik Seruni di telinga David dan mengguncangkan tubuh lelaki itu. David menggeliat, namun matanya masih tertutup.“Ud....”Seruni tak siap dan tak bisa menahan saat lengan David melingkar dan menarik pinggulnya. Gadis itu kini terduduk dalam dekapan David yang masih belum menemui kesadaran. Seruni terkesiap, lengan kiri David kini melingkar di perutnya. Sedang kepala lelaki itu bersandar pada paha kanannya. Ia lalu berusaha melepaskan diri, namun tenaganya tak sebanding.“Ud, lepasin! Tar Ibu tahu, lho,” bisik Seruni. Ia
“Kamu masih marah, Ni?”Kata-kata pertama dari bibir David setelah hampir satu jam mereka bersama. Sedang sejak subuh tadi Seruni belum sekali pun mengucapkan kata-kata pada kekasihnya itu. Padahal mereka sudah selesai berbelanja kebutuhan tahlilan nanti malam, dan kini sudah dalam perjalanan pulang. Air muka Seruni memang biasa saja, tapi ia banyak sekali diam.“Marah? Untuk apa?” Seruni bertanya balik.“Jadi, nggak marah? Kenapa diem aja?” tanya David lagi di balik kemudi mobilnya.“Kamu juga, kenapa diem aja? Kan kamu yang buat salah, masa aku yang ngajak ngobrol duluan?” seru Seruni. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Namun tawanya tak mampu lagi ia tahan.“Lah, dia malah ketawa,” protes David. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tak mengerti apa yang sebenarnya direncanakan Seruni.“Santai aja, Ud. Namanya juga nggak sengaja. Walaupun kesel juga si
Seruni keluar dari kamar Laras menuju kamar David. Ia melewati pemilik kamar sekaligus hatinya yang masih saja tak bergeming dari gawai di tangannya. Gadis itu paham lelaki pujaannya itu sadar akan kehadirannya, namun sama sekali tak menoleh. Hanya helaan napas yang mengiringi langkah Seruni memasuki kamar tempat seluruh memori David terekam. Jika benda-benda di sana bisa bicara, tentu akan mudah baginya merekontruksi seluruh masa lalu David yang ingin ia ketahui.Kata-kata Laras yang tadi meluncur mulus dari bibirnya masih ia simpan dalam benak. Sosok cantik itu begitu disayangi dan dirindukan di rumah ini pada awalnya. Namun berharap pada manusia hanya melahirkan kenyataan. Perempuan itu menyimpan dosa yang tak mudah untuk dimaklumi. Meski oleh sesama manusia.Sebuah bantal masih saja Seruni peluk. Malam kedua di kamar ini ia prediksi akan semakin sukar terlelap. Sorot lampu dari ruang tengah sudah padam. Pertanda David sudah mulai memasuki peraduannya. Menyisa
“Hah? Apa mungkin, Ud?” tanya Seruni tak percaya.“Coba kamu ingat-ingat lagi. Sejak kapan kamu mencintaiku? Dua orang yang aku sebut tadi bisa jadi buktinya, Ni.” David kembali menyesap kopi yang hampir kandas, menyisakan ampas yang pahit. Sama pahit dengan air muka Seruni kini.“Tapi mereka akhirnya ninggalin kamu kan?” tanya Seruni. Hatinya mencoba mengingkari cintanya semata karena tuah sepasang helai rambut saling bertaut itu.“Betul, karena bulu perindu ini sempat hilang. Aku sendiri heran kenapa sekarang muncul lagi,” terang David.Memorinya ia paksa tarik ke belakang. Setelah ia coba kembalikan bulu perindu pada pemiliknya, benda itu tiba-tiba saja hilang. Padahal ia yakin sekali sudah menyimpan di tempat asalnya setelah Adelia menemukannya. Kini setelah Adelia dan Anjani pergi, benda itu muncul lagi. Ia merasa amat berdosa bila cinta Seruni juga karena tuahnya.“Aku nggak tahu kapan, Ud
“Jadi mau kamu apain benda itu?” tanya Seruni. Ia baru saja selesai membersihkan diri, ia masih mendapati David di tempat lelaki itu mengecup pipinya. “Ada ide?” David balik bertanya. “Buang aja, kalau yang punya nggak mau nerima lagi,” ucap Seruni. Ia ragu akan duduk lagi di sebelah David atau segera beranjak tidur. “Aku takut kembali lagi, benda ini sudah pernah hilang. Tapi tiba-tiba ada lagi di belakang hapeku,” keluh David. “Bakar aja, biasanya harus dimusnahin sih benda kaya gitu. Sekalian kita buktiin ada ngaruhnya nggak sama aku,” ujar Seruni percaya diri. Ia begitu yakin perasaannya pada David sama sekali tak terintervensi oleh benda dalam kertas putih itu. “Kalau kamu jadi berubah gimana?” tanya David ragu. Ia masih memegang kertas putih itu di antara ibu jari dan telunjuknya. “Berubah? Kamu takut?” tanya Seruni. David terdiam di tempatnya, ia pandangi bulu perindu dan gadis di ambang dapur itu bergantian. “Ud, musyrik, Ud!”
“Itu, dia chat, lho!” Seruni melerai sandarannya pada tubuh David.Gadis itu begitu antusias dengan isi dari pesan yang dikirimkan Anjani untuk kekasihnya. Netranya begitu fokus pada gawai David yang diusap pelan. Menemukan pesan dari Anjani dan David menyentuhnya.‘Wah, punya Kakak ini? Sukses, Kak! Ini di kampung?’David dan Seruni saling pandang. Lelaki itu tersenyum pada gadis di sampingnya. Seruni membalas senyumnya dan menyandarkan lagi tubuhnya di dada David. Lelaki itu dengan percaya diri membalas pesan dari mantan pacarnya itu. Baginya kini tak ada yang perlu di sembunyikan dari Seruni, seperti saat dia menyembunyikan Anjani dari Adelia.“Sayang, kayanya besok kita harus ke Kotamadya deh. Kepala Sekolahku dulu minta aku ke sana, mau ngobrolin kunjungan,” David sumringah, usahanya ini seperti menemukan titik terang.“Lho, tanaman kita belum banyak yang tumbuh, Ud. Nggak apa?” tanya Se