“Menikah? Dengan Daud?”
“Ya, anakku yang teman SDmu itu,” jawab Bu Maryam mengkonfirmasi.
Tak ada kata yang keluar dari bibir Seruni. Lebih tepatnya ia tak tahu harus berkata apa. Hatinya memang mengharapkan lelaki itu, tapi ini terlalu cepat. Bahkan ia tak mengetahui apakah David juga mengharapakannya atau tidak. Meski perilakunya begitu manis dan menyenangkan, selama tak ada kata yang keluar dari bibirnya bahwa ia menginginkan Seruni, sebuah hubungan tak akan terjadi.
“Apa Bude nggak salah? Maaf sebelumnya, Bude, apa Daud menginginkan aku jadi istrinya?” tanya Seruni. Mau tak mau ia harus menanyakan hal penting ini.
“Oh, bukan, ini inisiatif Bude saja,” kata-kata Bu Maryam berhenti. Tiba-tiba ia terdiam, netranya mengembun. Ia mulai menghirup cairan bening di rongga hidungnya.
“Lho, Bude kenapa?” Seruni meraih kedua tangan Bu Maryam. Persis seperti yang dilakukan David tadi kepadanya seb
Seruni menutup mulutnya yang menguap cukup lebar. Buntut dari hal giIa kemarin cukup membuatnya terjaga sepanjang malam. Sampai pukul dua dini hari matanya masih sulit untuk dipejamkan. Bayang-bayang nyamannya pelukan David di belakang tubuhnya seakan masih terasa. Hangat perlakuan Bu Maryam paling tak bisa ia lupakan. Sungguh pengalaman menyenangkan sekaligus menegangkan.Pukul enam empat puluh tujuh menit, Seruni sudah rapi dan siap menunggu David menjemputnya. Entah bagaimana nanti kondisi sepanjang perjalanan pergi dan pulang ke Kotamadya. Ia tak ingin terlalu memikirkan, gadis itu hanya ingin menikmatinya saja.Seruni tak menyangka jika David sudah pernah menikah. Dia berstatus duda. Benaknya membayangkan duda adalah pria berusia 40 tahun ke atas, sudah matang secara finansial dan psikologi. Berwajah kebapakan dengan perut buncit sebagai simbol kemapanan. Siapa pun tak akan mengira di desa ini ada duda tampan dengan tubuh atletis bernama Daud Vikri Darussalam.
“Jadi sudah kamu putuskan mau pakai sistem apa?” tanya Seruni. “Biar aku coret bahan yang nggak perlu, soalnya ini list global,” tambahnya lagi.“Boleh nggak kamu pilihin aja. Ribet sedikit nggak apa yang penting hasilnya bagus,” jawab David. Ia memang kurang begitu memahami karena disiplin ilmu yang berbeda. Tujuannya membangun kebun hidroponik pun sebagian besar untuk wisata edukasi. Sedang hasil kebunnya tidak terlalu ia pikirkan.“Hmm, oke jadi aku pilihin yang agak rumit ya. Terus nanti bisa kamu tambah sendiri yang mudah-mudah. Jadi di kebunmu nanti ada beberapa sistem, gimana?” tawar Seruni.“Nah, begitu juga bagus,” jawab David sambil tersenyum.Seruni mulai menjelaskan detail sistem yang akan diterapkan pada kebun David. Lelaki itu manggut-manggut saja, padahal sebagian besar istilah yang digunakan Seruni ia sama sekali tak mengerti. Selama ada gadis ini, ia tak perlu khawatir dengan keb
“Kamu mencintaiku, Ni?”“Ud....”David menatap tajam mata gadis di hadapannya. Kini ia yakin bahwa meski ia belum sepenuhnya sembuh dari luka hati, gadis ini layak untuk mendapatkan tempat di sana. Lelaki itu meraih jemari Seruni di samping gawainya. Ia genggam jemari itu seperti kemarin Seruni menggenggam jemari Bu Maryam.“Bisa jawab? Aku hanya memastikan tak salah lagi memberikan cinta dan seluruh hidupku untuk seorang perempuan,” ujar David serius. Tatapnya tetap tak beralih dari wajah oval Seruni.“Ud....” Seruni tersenyum kecut. Bibirnya ia arahkan ke sisi kanan David. Andai jemari tak digenggam, ia bisa dengan mudah menunjuk.“Permisi ... Mas, Mbak, mau antar pesanan, saya taruh dimana ya?” Seorang pria dengan dua mangkuk bubur ayam di tangannya ragu-ragu mengganggu momen manis mereka berdua.David segera melepaskan genggaman tangannya pada jemari Seruni. Gadis itu tampak ter
Pukul sepuluh lima puluh dua, sepasang kekasih baru itu sudah menyelesaikan belanja peralatan dan sebagian bahan untuk kebun hidroponik mereka. Hanya tersisa satu toko lagi yang menyediakan bibit tanaman yang mereka butuhkan. Letaknya berbeda dengan pasar dimana mereka berada sekarang. Sekitar dua kilometer ke arah barat. Dekat sekali dengan Kopi Jani dan rumah keluarga Pak Ruslan Zain, mantan mertua David.Selesai memasukkan semua barang belanjaan ke dalam mobil dan menyisakan kursi baris pertama saja, David segera masuk ke dalam mobil. Menyelamatkan diri dari sengatan matahari. Meski sama, entah mengapa sengatan matahari di tempat ini berbeda dengan di desa. Knob pendingin udara segera David putar penuh. Begitu juga dengan kecepatan hembusannya.“Fiuh! Panasnya....” keluh David. Keringatnya bercucuran di wajah dan terutama di tubuh bagian belakang. Karena mereka membelakangi matahari tadi. Lelaki itu meraih tisu di konsol tengah dan menyeka wajahnya.
“Oh iya, kenalin ini Seruni, calon istri gue,” ucap David mantap.Seruni kembali membumbung tinggi. Rona merah tak pernah hilang dari wajah ovalnya. Sekilas ia menatap wajah David yang begitu bangga menyebutnya sebagai calon istri di hadapan temannya. Bagi Seruni ini lah pertama kali ia merasa diakui dan dibanggakan oleh orang lain selain Ibunya. Ia menyambut uluran tangan Andra meski pandangannya tetap pada wajah kekasihnya itu.“Sayang, Andra ini teman baikku. Jangan dilihat dari tampangnya, apa lagi kelakuannya. Sebenarnya dia baik kok, dia banyak banget bantu aku,” ujar David setelah prosesi penyebutan nama dari perkenalan itu selesai. Seruni kembali menatap bahagia kekasihnya. Perdana, David menyebutnya dengan sebutan sayang.“Ck, kebiasaan! Mujinya nggak ikhlas banget,” rutuk Andra. David hanya tertawa mendengar keluhan Andra.“Main lah ke kampung, Ndra. Kami lagi bikin wisata edukasi hidroponik di rumah,&rd
Seruni menghambur memeluk jasad dingin tertutup kain jarik terbujur di ruang tamu rumahnya. Beberapa ibu-ibu segera melarangnya untuk meratap, jangan sampai air matanya menetes ke jenazah Bu Rahma. David hanya berdiri mematung di ambang pintu. Meski sudah dibisikkan pesan oleh banyak orang tua yang mereka lewati agar mencegah Seruni meratap, nyatanya David tak kuasa menahannya. Tubuh lemah gadis itu sedari mobil tiba-tiba menjadi kuat begitu melihat tubuh tertutup kain itu. Gadis itu meratap, memanggil Ibunya berkali-kali. Meski ia tahu sekuat apa pun tangisan dan guncangan di tubuh Bu Rahma, wanita itu tak akan kembali. Sepulang dari berkunjung ke rumah Bu Maryam, sepeda yang dikendarai Bu Rahma terhantam bak truk yang gagal menanjak. Bu Rahma meninggal di tempat dengan luka parah di kepala. David duduk bersama para pria. Kebanyakan dari mereka adalah teman sepermainannya dulu. Mereka terkejut David hadir di tengah-tengah mereka. Apa lagi Seruni tiba bersama dengann
Pukul tiga empat menit dini hari, Seruni terbangun karena alarm di gawainya. Kedua matanya benar-benar berat untuk terbuka. Mungkin efek menangis sepanjang sore dan tidak juga terlelap semalam. Tidur di tempat asing tentu tak akan mudah, meski lelah sudah menyergapnya sejak memasuki desa menjelang senja bersama pemilik kamar ini. Ia baru benar-benar terlelap ketika hari telah berganti.Seruni bangkit, duduk di tepi tempat tidur dengan kasur kapuk yang empuk. Ada rasa segan karena secara tak langsung mengusir pemilik kamar ini untuk tidur di ruang tengah. Namun juga merasa senang dapat sedekat ini dengan sang kekasih. Gadis itu mengusap netranya, ia menggeliat meregangkan otot-otot di seluruh tubuhnya. Ia melihat ikat rambut yang ia letakkan di sisinya tadi malam sudah jatuh di lantai. Dengan malas ia membungkuk dan meraih ikat rambut itu.Sesuatu di bawah tempat tidur mencuri perhatiannya. Seperti sebuah bingkai foto yang tak sengaja keluar dari kardusnya. Perlahan Ser
Adzan subuh berkumandang di langit Desa Air Tenang. Seruni melangkah ke ruang tamu hendak membangunkan David. Remang lampu teras yang menelusup di celah-celah kisi-kisi kusen pintu membuat wajah David masih bisa Seruni lihat dengan jelas. Lelaki itu meringkuk di sofa menahan dingin di dalam sarungnya. Lelahnya mungkin belum terbalas, tapi Seruni tetap harus membangunkannya.“Ud ... bangun, udah subuh,” bisik Seruni di telinga David dan mengguncangkan tubuh lelaki itu. David menggeliat, namun matanya masih tertutup.“Ud....”Seruni tak siap dan tak bisa menahan saat lengan David melingkar dan menarik pinggulnya. Gadis itu kini terduduk dalam dekapan David yang masih belum menemui kesadaran. Seruni terkesiap, lengan kiri David kini melingkar di perutnya. Sedang kepala lelaki itu bersandar pada paha kanannya. Ia lalu berusaha melepaskan diri, namun tenaganya tak sebanding.“Ud, lepasin! Tar Ibu tahu, lho,” bisik Seruni. Ia