Semua Bab Metamorfosis Anak Yang Terlihat Bodoh: Bab 1 - Bab 10

80 Bab

Bab 1 Spirit Mengejar Mimpi

SPIRIT. Masih segar dalam ingatan, spiritku waktu kecil bagai anak panah yang lepas dari busur. Spirit yang membakar jiwaku untuk memutuskan rantai jaring warisan kolonial yang telah memperbudak leluhurku, bahkan memapar stigma “bodoh”. Apalagi, yang menyakitkan dan menyesakkan dada “cap” yang selalu terngiang-ngiang di telingaku.“Dasar bodoh, mental kuli!”Potret anak negeri yang tak berharkat dan selalu dipandang remeh oleh bangsa lain. Mau bukti? Lihat tuh TKI yang diexport hampir 100 persen sebagai pembantu rumah tangga atau buruh kasar. Bahkan, tidak sedikit anak sekolahan, tapi hanya bisa jadi budak, buruh pabrik, buruh kebon, kuli panggul dan pekerja kasar lainnya. Aku geram! Mengapa itu bisa terjadi?!“Kau harus makan sekolahan yang bener, kalau kau tidak mau jadi kuli!” ucap Ibu Erika Purnama Panjaitan, guru SD-ku memberi motivasi.Makanya, aku pun kelak
Baca selengkapnya

Bab 2

Aku memandangnya tak berkedip. Anak berambut agak ikal dan bertubuh sedikit agak kecil dariku ini, rupanya cerdas juga. Bahasanya sungguh berkelas, siapa dia, bisik hati kecilku.“Hoya, namamu siapa? Kalau aku, Enda,” tanyaku setengah ragu-ragu. Aku takut dia hanya basa-basi, sok ramah padaku. Atau, hanya karena dia juga punya perasaan tak suka pada sifat dan kelakuan Benhart yang angkuh itu. Aku tak tahu, apa dia mau berteman denganku. Tapi…dugaanku ternyata salah. Aku jadi malu sendiri. Anak ini seperti membaca keraguan hatiku, makanya dia tersenyum padaku. Lagi-lagi aku mendapat pelajaran, ternyata jadi orang itu tak boleh su’uzon. Su’uzon atau berburuk sangka pada orang lain dapat mempersempit dunia. Aku pun jadi tak ragu lagi sodorkan tangan untuk berkenalan, setelah telapak tangan kananku kugosok-gosokkan ke celanaku.“Yan Utama Nasution… Panggil aja aku, Yan,” sambutnya dengan hangat. “Kau Enda mau
Baca selengkapnya

Bab 3

Ketika aku mendekat, aku jadi tertegun, lapat-lapat dengar keluhan pilu Bibi Sumirah, ibunya Sundari.“Sun, Emak itu gak mau lihat dirimu turut menderita kayak Emak ini. Cukup Emak ajalah yang mengalaminya. Sakittt…Sun jadi buruh, buruh apapun namanya!’’ keluh Bibi Sumirah lirih. Terbayang di pelupuk matanya, bagaimana derita buruh petik daun duit di perkebunan Sampali tempatnya menggantung harapan hidup. Dirinya dibayar dengan upah yang murah yang tak adil untuk kehidupan yang layak hingga tak memiliki harkat, apalagi martabat. Sementara, suaminya sudah sakit-sakitan dan tidak bisa banyak diharap. Subuh-subuh buta, dirinya bersama-sama buruh lainnya sudah harus meninggalkan rumah menuju tanah perkebunan daun duit. Seharian tenaga mereka diperas habis-habisan untuk menyiapkan lahan, menanam, merawat maupun memetik daun duit. Setelah jam kerja berakhir, dirinya juga masih harus kerja lembur untuk mendapatkan premi (uang tambahan), sebagai cara
Baca selengkapnya

Bab 4

“Huh, tulang miskin bagaimana mau sekolah di sini! Mikirrr…gembel!” teriaknya. Lalu dia berseru pada temannya, “Iya, nggak kawannn?!” Suara ejekan yang tak enak didengar muncul tepat di belakang daun telingaku. Aku tahu itu suara Benhart yang melintas di belakangku bersama teman-temannya. Aku semakin menunduk dan tak dapat menyangkal ucapan hina Benhart yang menyakitkan itu. Memang sudah tak selayaknya aku bermimpi berada di sekolah ini, kali. “Iya Ben, kau gak salah lagi. Otak buruh ya tetap otak kuli. Bagaimana mau makan sekolahan?!” timpal Liem Bok terbata-bata, si muka pucat tak mau kalah. Dengan bergaya Liem Bok mengejekku tepat di belakang daun telingaku juga. Bogeld lihat Benhart dan Liem Bok bersuka-ria melepaskan keisengannya, maka dia tak mau ketinggalan. Dia pun dengan gaya berjingkrak-jingkrak di depanku turut mengejekku, “Memang, mental buruh itu hanya bisa jadi pesuruh, jongos, kuli…kuli…kuli, tauuuk!” Aaach! Aku hanya bisa menutup kedua
Baca selengkapnya

Bab 5 Sang Pemimpi Besar

Wow! Pagi itu, senyum cerah menghiasi wajahku, seiring dengan segarnya dedaunan rerumputan yang masih berlapis butiran-butiran embun dan sinar mentari pagi yang cerah. Aku senang sekali! Apalagi ini hari pertamaku sekolah di SMP 9, aku mengenakan setelan seragam putih-putih baru yang khusus dibuatkan Emak untukku. Begitu juga, aku mengenakan sepatu hitam baru, merek “Deli”. Walau terkesan sepatu murahan, tapi tak mengurangi kegembiraanku. Kegembiraan membuatku begitu semangat mengayuh kereta angin tuaku menuju sekolahan. Kegembiraan anak seorang kuli dengan harapan tidak ingin jadi kuli, seperti bapakku maupun kakekku lagi. Kata-kata wasiat Ibu Erika Purnama Panjaitan, guru kelas VI SD-ku masih terngiang-ngiang di telingaku:            “Kalau mau jadi orang jangan bermental kuli. Jadilah diri kamu yang memiliki kecerdasan dan berani mengejar mimpi…berani menentang segala rintangan ap
Baca selengkapnya

Bab 6

Sementara, aku jadi keki sekali lihat kekonyolan teman-teman baruku ini. Ada-ada saja mereka, membuat wajahku jadi merah-padam. Namun, walau begitu aku harus tetap berusaha untuk tersenyum, mengatasi tekanan olok-olokan teman-teman baruku ini. Walau itu senyum kecut sekalipun. Biarlah, tiada guna aku berbantah-bantahan soal ini, malah bisa saja aku semakin terpojok nantinya. Aku memilih diam. Mungkin ini resep mujarab mengatasi tekanan olokan teman-temanku ini, membiarkan mereka berceloteh, menghamburkan rasa riang-gembira. Tak ada salahnya aku larut dan masuk dalam kekonyolan ini. Toh, tanpa menampilkan tindakan reaktif, malah ada keuntungannya bagiku, yaitu akan mendapatkan jantung teman-temanku, semakin dekat aku dengan teman-teman baruku ini, bisik hati kecilku.“Kasihan amat kau Enda jadi bahan olok-olokan.”Ah! Tapi itu kan hal biasa. Olok-olokan jamak terjadi dalam dinamika kehidupan manusia. Mengapa musti heran?! Mengapa musti harus kebakaran jenggo
Baca selengkapnya

Bab 7 Pelajaran Pertama Membakar Jiwa

Wow! Kelas kami ini ternyata tidak tepatlah kalau dinamakan kelas, tidak layak untuk tempat belajar, namun lebih tepat kalau dinamakan ruang rapat warga di balai pertemuan di kantor Kelurahan Pulo Brayan yang kerap kali diisi oleh riuhnya suara protes maupun kegaduhan warga karena mempertanyakan dan memperebutkan jatah raskin (beras untuk rakyat miskin) yang dirasa tak adil dalam pembagiannya, bahkan tak tepat sasaran. Atau, protes warga mempertanyakan raibnya uang Bangdes. Memang mirip, coba bayangkan kelas kami yang beratapkan seng, berdinding papan yang disusun bersirip, tanpa jendela, namun berventilasi jaring-jaring kawat si sisi barat, bahkan tanpa plafon ini dijejali penuh sesak oleh siswa, pengap. Jangan bayangkan atau berharap tentang kelas ideal untuk belajar, apalagi kelas internasional yang berpendingin air conditioning alias AC, seperti yang ditemukan kelas-kelas di sekolah Singapura. Bahkan, jangan dibandingkan dengan kelas-kelas yang ada di
Baca selengkapnya

Bab 8

Eh! Tiba-tiba Indra Kesuma memecah kesenyapan dengan mengangkat jari telunjuknya, namun wajahnya itu memperlihatkan mimik yang tak sedap dipandang, laksana orang sedang meringis, setengah ketakutan. Dia angkat tangan, sambil melirik kanan-kiri.“Bagus Indra! Ini dia yang ibu mau. Hanya Ksatria yang berani mengatakan kemerdekaannya, seperti kamu ini.”Kami terperangah, dengar ucapan pujian yang luarbiasa maknanya. Semua mata pun langsung menoleh ke pojok kiri kelas, memandang Indra Kesuma. Apalagi, lihat Indra Kesuma langsung tersenyum, bungah banget. Keberaniannya dapat dukungan dari Bu Nursyiah. Kami jadi iri dan penasaran, sebenarnya apa sih yang ingin dikatakan Indra Kesuma itu, sampai-sampai Bu Nursyiah sebegitunya memuji laksana Ksatria. Atau memang orang yang berani mengatakan pendapatnya itu ibarat Ksatria gagah berani ya?! Lantas, kami yang tak berani membuka suara apa namanya? Ah, entar kami malah dimasukkan golongan orang-orang yang tak punya nyal
Baca selengkapnya

Bab 9 Cerita Tragis Kakek Jadi Kuli Kontrak

Minggu siang itu, walau bergumpal-gumpal awan hitam berarak-arak mulai menghapus langit biru dan lecutan petir sekali-kali menyentak bumi, namun tidak menghilangkan kegelianku lihat gaya Indra Kesuma berjoget kegirangan ala Michael Jackson di atas pematang sawah lagi. Tak berselang lama, giliran Suheng tak mau kalah, beratraksi ala breakkedend (eh…break dance maksudnya). Lanjut, Julbrito mesam-mesem berjoget ala kuda lumping. Ada-ada saja gaya teman-temanku ini setiap joran pancing dari batang bambu kecil yang panjangnya tiga meteran miliknya berhasil mengail ikan betik (semacam ikan bethok) di selah-selah padi di sawah. Sudah tentu akting teman sekolahku ini mengundang banyak perhatian anak-anak yang sebaya dengan kami dan juga kebetulan turut memancing ikan di sawah yang ada di kampungku ini. Mereka pun tak mampu untuk tidak menahan tawa, jadilah mereka terkekeh-kekeh lihat hiburan gratis ala teman-temanku. Aku pun merasa senang sekali lihat teman-temanku
Baca selengkapnya

Bab 10

“Wusss…wussss…wusss…!”Ich! Sejauh mata memandang butiran-butiran air menari-nari, menderu-deru bersama gulungan gelombang kawanan padi yang terhuyung-huyung tak tentu arah, laksana mengalunkan simfoni sakratul maut menjemput nyawa. Konduktor malaikat maut sedang bermain-memburu nyawa, menciutkan nyali. Hati siapa yang tak tercekam lihatnya? Matahari pun bermuram-durja, udara kelabu bagai tak tembus cahaya. Kabut air membasah, melembab, membungkam cericit burung-burung yang biasa hinggap di atas padi di sawah.Namun tak dapat dipungkiri, ulah teman-temanku ini ternyata dapat menyamarkan suasana yang mencekam. Tapi yang jelas, terlepas dari apa ulah temanku ini, aku ingin lihat Kakek tersenyum, lepas dari beban hatinya atau melepas sesaat rasa penyesalan yang telah menghantui dirinya sepanjang hidupnya. Tahun 1917. Hari Ahad pagi, tepatnya hari pekanan di Desa Karang Anyar, Madiun. Tak jauh dari lokasi pekanan, dan t
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
8
DMCA.com Protection Status