“Wusss…wussss…wusss…!”
Ich! Sejauh mata memandang butiran-butiran air menari-nari, menderu-deru bersama gulungan gelombang kawanan padi yang terhuyung-huyung tak tentu arah, laksana mengalunkan simfoni sakratul maut menjemput nyawa. Konduktor malaikat maut sedang bermain-memburu nyawa, menciutkan nyali. Hati siapa yang tak tercekam lihatnya? Matahari pun bermuram-durja, udara kelabu bagai tak tembus cahaya. Kabut air membasah, melembab, membungkam cericit burung-burung yang biasa hinggap di atas padi di sawah.
Namun tak dapat dipungkiri, ulah teman-temanku ini ternyata dapat menyamarkan suasana yang mencekam. Tapi yang jelas, terlepas dari apa ulah temanku ini, aku ingin lihat Kakek tersenyum, lepas dari beban hatinya atau melepas sesaat rasa penyesalan yang telah menghantui dirinya sepanjang hidupnya.
Tahun 1917. Hari Ahad pagi, tepatnya hari pekanan di Desa Karang Anyar, Madiun. Tak jauh dari lokasi pekanan, dan tepatnya di depan Kantor Desa terlihat orang-orang pada bergerombol, mengerumuni seorang pria yang duduk di kursi yang sengaja disediakan untuknya. Terlihat mulutnya yang selalu berbusa, bila berbicara. Orang-orang desa tidak tahu siapa namanya, termasuk Marto Kapuk muda. Yang mereka tahu, dia datang dari Solo. Maka sebut saja Orang dari Solo. Orang dari Solo itu duduk didampingi oleh seorang perangkat desa, Carik Dhurno.
Orang dari Solo itu bertubuh tinggi besar, wajahnya bulat dengan kulit mengkilat. Wajahnya geradakan, tampak di penuhi oleh bopeng-bopeng bekas cacar air. Tapi, dia mengenakan pakaian mahal. Walau kulitnya berwarna gelap, tapi gayanya dia sudah kayak menier Belanda saja, dengan setelan jas berwarna putih terlihat baru, membungkus tubuhnya yang kekar. Tidak ada orang desa yang memiliki pakaian sebagus itu. Belum lagi di belakang Orang dari Solo itu, ada tiga orang begundal yang berpakaian seperti ala pendekar yang senantiasa mengiringi setiap langkah tuannya. Mereka dengan kumisnya yang tebal melintang dan berkucir seperti ekor bebek itu terlihat galak, sorot matanya tajam, lengkap dengan golok berbalut sarung berukir indah terselip di ikat pinggangnya, buat orang-orang desa jadi gentar.
Makanya, para lelaki desa pada berjongkok, sebahagian sambil bertopang dagu menghamparkan tampang kusam, lusuh, kotor dan bodoh laksana orang yang tak pernah makan sekolahan. Salah satu di antaranya, Marto Kapuk muda yang berjongkok paling depan. Mereka penuh perhatian mendengarkan cerita yang dibawa Orang dari Solo itu. Phuih! Orang dari Solo itu membawa cerita yang menarik, tentang negeri seberang yang gemah ripah loh jinawi, seperti di surga.
“Di sana kalian bisa menikmati surganya dunia…surganya kenikmatan, hidup tenteram, hidup berkecukupan, hidup enak. Kalian mudah mendapatkan uang hingga melimpah ruah,” katanya dengan lantang.
“Masa sih? Yang benar saja?” Marto Kapuk muda menyeletuk, sambil mendongakkan kepalanya.
“Ya?” dukung beberapa orang desa yang jadi penasaran juga.
“Semua serba lengkap, serba tersedia, apapun yang kalian mau… Namanya tempat surga dunia. Makanannya enak-enak, arak berbau harum, uang mudah didapat, bahkan berlimpah-limpah.”
“Makanannya serba enak?”
“Ya!”
“Juga ada arak yang harum?”
“Betul tuh!”
“Uang mudah didapat?”
“Itu yang pasti sekali…pasti!” Orang dari Solo itu menandaskan, sorot matanya tajam langsung menusuk bola mata Marto Kapuk muda. Terus, dia beralih pandang pada orang-orang desa lainnya, “Kalian tau? Di sana setiap malam ada keramaian, seperti ada ludruk, wayang kulit, dan bahkan ada tayub atau ronggeng perempuan-perempuan cantik kayak bidadari yang turun dari langit, seperti kisahnya si Jaka Tarub itu… Nah, kalian tinggal pilih mau nonton yang mana…”
“Apa? Setiap malam ada ludruk?”
“Ya!”
“Perempuan tayubnya cantik kayak bidadari?”
“Ya! Demi Gusti Allah!” Dengan wajah tanpa dosa, dia memberi penekanan dengan menjual nama Tuhan segala. Bahkan untuk meyakinkan lebih dalam, dia mengulangi kata-katanya dengan tandas, “Demi Gusti Allah!”
“Wow!” Kegirangan serempak. Mata orang-orang desa itu pada terbelalak dengarnya.
Yeah! Marto Kapuk muda pun terpana dibuatnya. Hati Marto Kapuk muda jadi jatuh kepincut juga pada negeri impian yang diceritakan Orang dari Solo ini. Apalagi, dengar perempuan cantik kayak bidadari menggetarkan hatinya. Ditambah uang mudah didapat itu.
“Ckckck…ckckck…!” Gema decak kagum pun meluncur dari bibir-bibir orang-orang desa itu, terpengaruh.
Dengan polos, tanpa sadar orang-orang desa itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Yeah! Bahkan beberapa di antaranya, mendengar dengan mulut menganga. Keindahan negeri gemah ripah loh jinawi yang diceritakan Orang dari Solo itu seolah-olah nyata di depan mata mereka. Mereka langsung membayangkan betapa nikmat, makanan enak, ada ludruk, ada wayang kulit, arak yang harum dan terlebih perempuan-perempuan tayub yang cantiknya laksana bidadari itu. Wow!
Ternyata, Orang dari Solo tahu benar bagaimana mempermainkan melodi hati orang-orang desa ini. Dia diam beberapa saat. Dia beri kesempatan pada orang-orang desa untuk membayangkan suasana kehidupan negeri dongeng yang diceritakannya. Lantas, pada momen yang dianggapnya tepat, Orang dari Solo itu lalu berkata,”Sudah banyak orang yang pergi ke sana. Saat mereka kembali, mereka sudah hidup makmur…kaya-raya, seperti aku ini!”
Orang-orang jadi tertegun, surprise banget. Sebahagian saling pandang dan mengangguk-angguk lagi. Suasana jadi riuh, memperbincangkannya.
Tapi, ada seseorang lelaki tua yang berjongkok di belakang kerumunan, tiba-tiba berdiri, menepuk kedua telapak tangannya, membungkam riuhnya orang-orang desa itu. Sesaaat kemudian suasana jadi senyap. Semua mata menoleh, memandang lelaki tua itu.
“Memangnya kerja apa di sana?” sela lelaki tua itu dengan nada ketus, sambil mencibir. Wajahnya terlihat sinis dan penuh rasa curiga.
Orang-orang itu setengah tersadar, terus segera mendukung ucapan lelaki tua itu.
“Ya betul! Kerja apa di sana?” sambut beberapa. Mereka saling-pandang dan mengangguk, cari dukungan dari sesama mereka untuk membenarkan pertanyaan lelaki tua tadi.
“Hahaha,” Orang dari Solo itu bukannya menjawab, tapi malah tertawa terbahak-bahak. Dia bangkit dari kursi, di mana dia duduk sambil bicara tadi. Dari cara dan nada tawanya, jelas sekali dia meremehkan pertanyaan lelaki tua itu. Apalagi, dia lantas menuding lelaki tua yang berdiri di belakang kerumunan.
“Pertanyaan bagus…haaa…hah…hahaha,tentu saja harus kerja. Tapi kerjanya tidak susah. Huaha…haha…kerja di sana tidak berat seperti di sini. Siapa yang kerja di sana bahkan disediakan rumah!”
“Dapat rumah!”
“Ya!”
“Jawab dulu! Kerja apa?” lelaki tua itu sudah tak sabar, langsung memotong. Dia mulai berani mengangkat dadanya. Dia tidak peduli lihat begundal di belakang Orang dari Solo itu mulai memperhatikannya dengan sorot mata tajam, mengancam.
“Ya, kerja apa?” beberapa orang turut mengulang pertanyaannya. Lainnya berbisik-bisik. Tampak sekali mereka menunggu kejelasan.
“Kalian cuma diminta merawat pohon!” tukas Orang dari Solo itu cepat.
Orang-orang kembali saling pandang, terperangah. Kali ini dengan alis terangkat dan kening berkerut.
“Merawat pohon?” Nyaris bersamaan mereka mengulang, tak percaya.
“Pohon apa itu?!” celetuk mereka, jadi setengah mencemooh. Sebahagian orang-orang desa itu bangkit berdiri. Mereka mulai meragukan ucapan Orang dari Solo itu.
“Di sini juga banyak pohon. Lihat itu…di mana-mana ada pohon,” sahut mereka diiringi dengan tawa berderai.
“Tunggu dulu, kalian jangan mencemooh! Memang, di sini juga ada pohon tapi di Deli itu lain, kalian tau,” Orang dari Solo itu berhenti sejenak, menarik perhatian. Dia melayangkan pandangannya, menyapu satu persatu wajah-wajah orang desa itu. Orang-orang jadi terdiam, memusatkan perhatian. Menunggu.
“Di Deli pohon-pohonnya berasal dari surga, daunnya berkilauan dapat berubah jadi uang!” Orang dari Solo itu memberi tekanan pada enam kata terakhir.
“Pohon dari surga, daunnya berkilauan?”
“Ya! Di Deli tumbuh pohon-pohon surga, memang daunnya berkilauan!”
Orang-orang jadi terperangah.
“Kerja kalian hanya merawat pohon-pohon itu. Kalau ada daun yang kalian belai-belai jatuh dari pohon, maka dapat berubah jadi uang. Kalian boleh ambil itu. Nah, itu sebahagian upah kalian. Semakin banyak pohon yang kalian rawat maka uang kalian semakin banyak. Dan kalian tau itu belum cukup. Setiap akhir bulan kalian juga dapat upah yang besar dan dapat bonus lagi. Nah, bagaimana? Mudah, bukan?”
Orang-orang itu masih menganga.
Pohon-pohon yang daunnya dibelai-belai dapat berubah jadi uang…pohon uang.
Wow! Hebat kali negeri itu. Ckckck…ckckck… Ada pohon-pohon yang daunnya dapat berubah jadi uang…
Berkali-kali mereka mengucapkan kalimat itu, seperti meresapkan ke dalam hati. Begitu juga, Marto Kapuk muda yang polos itu hilang keraguannya, dia semakin terpesona. Hati kecilnya berbisik, Gusti Allah memang Maha Besar. Dia menciptakan segala yang dikehendakiNya. Ada pohon uang! Kalau begitu, tidak perlu susah-susah kerja seperti di sini?
“Ya, di sana kerja ringan! Uang melimpah-limpah. Dengan uang yang banyak, kalian bisa beli apa saja yang kalian suka. Baju yang bagus seperti baju saya ini, emas yang banyak, dan juga perempuan yang cantiknya kayak bidadari mudah kalian nikahi.”
Orang dari Solo itu kini membusungkan dadanya, sambil warawiri di hadapan orang-orang desa yang polos dan lugu itu. Pendek kata, bola mata orang-orang desa itu terus mengikuti ke mana gerak langkah Orang dari Solo itu.“Lihat diriku! Bandingkan dengan kalian! Lihat Kakek tua itu!” Orang dari Solo itu menunjuk lelaki tua tadi. Matanya mencemooh, ”Lihat apa yang dia punya setua itu? Kasihan, kasihan sekali dia itu, lelaki tua miskin lagi. Hidupnya sia-sia.”Orang-orang melirik ke arah lelaki tua itu.“Lihatlah dia, enggak ada bedanya dengan kalian. Sama miskinnya. Tapi, kalian lebih beruntung dari Kakek tua itu. Kalian masih muda, masih punya kesempatan. Mau miskin terus sampai tua, seperti dia? Mikir?!”Orang-orang menundukkan kepala. Sebahagian menelan ludah. Mau tidak mau, mereka memperhatikan apa saja yang melekat di tubuh mereka. Hati mereka terpukul, terpojok. Marto Kapuk muda pun merasakan hal yang sama. Mereka mer
Cerita tanah Deli, negeri gemah ripah loh jinawi tempat tumbuhnya pohon-pohon dari surga dan daunnya dapat berubah jadi uang itu laksana gemuruh lebah bertebaran dibawa angin, langsung menyebar ke seluruh penjuru Desa. Di pojok desa, di warung, di tepian sungai, di sawah, di beranda rumah, di tempat-tempat orang bertemu dan berkumpul, semua memperbincangkan negeri dongeng itu.Sementara itu, Marto Kapuk muda wajahnya begitu sumringah. Dia memacu kereta angin jantannya yang reot itu sekencang-kencangnya di antara hamparan sawah yang kering kerontang akibat kemarau panjang yang sedang melanda desanya. Hatinya membuncah. Dia sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah. Dia ingin tumpahkan hasratnya. Dia ingin merantau ke negeri dongeng…negeri harapan. Dia ingin cerita pada kedua orangtuanya tentang negeri dongeng yang baru dia dengarnya itu. Dia ingin berbagi kegembiraan dan harapan, terutama pada ibunya.Teriknya sinar Matahari tidak dihiraukan oleh Marto Kapuk
Wow! Keesokan hari, ternyata orang-orang desa terlihat berbanjar-banjar dengan wajah riang pada mengantre di depan Kantor Desa Karang Anyar. Padahal, tengah hari itu matahari lagi melontarkan angkara-murkanya ke bumi, sinar teriknya begitu menyengat, membakar kulit orang-orang desa itu, hingga peluh mengucur deras di sekujur tubuh. Angin kemarau pun berhembus terasa kering menyayat kulit, menghempaskan debu-debu ke udara. Sementara, beberapa burung gagak dengan angkuh terbang berputar-putar di udara dan ada juga yang hinggap di pucuk dahan pohon jati yang melanggas. Sorot matanya liar mengintai orang-orang desa. Konon kehadiran burung gagak, memberi isyarat akan ada prosesi kematian, pertanda sakratulmaut akan segera tiba. Yeah! orang-orang desa itu tak menyadarinya. Mereka telah dibutakan oleh angan-angan yang melambung tinggi meniti pengharapan, termasuk Marto Kapuk muda.Satu-persatu orang-orang desa itu mencatatkan diri pada Orang dari Solo itu yang terus-menerus menyungg
Surabaya. Kisah tragis ini mulai mengiringi perjalanan Marto Kapuk muda dan orang-orang desa itu. Mereka tak sadar, kalau sebenarnya mereka saat ini laksana budak belian dalam prosesi menuju Pulau Neraka. Yeah! Janganlah dikira neraka itu hanya ada di alam akhirat saja loh, namun neraka sesungguhnya ada di alam dunia yang tidak disadari oleh manusia, baik itu dalam konteks tempat maupun konteks rasa. Tempat mereka menerima azab di dunia, ketika mereka tunduk pada hawa nafsu mereka. Benar saja, hawa panas efek neraka dunia itu mulai menyelinap ke dalam rongga hati Marto Kapuk muda dan orang-orang desa itu. Bukti, begitu mereka sampai di Stasiun Pasar Turi Surabaya, tiba-tiba perasaan gelisah menghampiri mereka. Apalagi ketika menjejakkan kaki di Stasiun Pasar Turi itu, jantung Marto Kapuk dan orang-orang desa itu sekonyong-konyong berhenti berdetak beberapa saat, rasa nyeri langsung menyusuk hati. Ternyata mereka telah dinanti dan disambut sepasukan
Setelah tiga hari mereka diinapkan di barak penampungan AVROS, maka tibalah jadwal keberangkatan mereka ke Tanah Deli. Dari barak penampungan itu, Marto Kapuk dan orang-orang kontrak yang senasib dengannya itu dinaikkan ke atas gerbong-gerbong kereta api uap yang bergerak menuju pelabuhan Tanjung Perak.Tak berselang lama, mereka sudah disambut oleh udara pantai yang panas, angin laut beraroma garam-pekat dan deru ombak memecah batu karang di pantai pelabuhan Tanjung Perak. Walau terik matahari membakar kulit. Berulang-kali suara klakson kapal memekakkan gendang telinga dan menggetarkan jantung terdengar memberi tanda keberangkatan kapal di dermaga. Namun tidak mengurangi keriuhan dan kesibukan di dermaga.Kereta api uap yang membawa Marto Kapuk dan orang-orang senasib dengannya berhenti bergerak tak jauh dari dermaga. Pasukan Opas bersama Kerani perusahaan AVROS dengan sigap mengatur, mengawasi dan mengawal proses pemberangkatan Marto Kapuk maupun yang lainnya.
Orang itu berlarian dengan membabi-buta, mendekati orang yang ada di dekatnya dan mencengkeram bajunya. Dia begitu panik.“Tolonglah aku, turunkan aku! Aku harus pulang. Aku harus mengurus anak-isteriku, kerbauku!”Dia mengguncang-guncang tubuh orang di depannya itu. Namun, orang yang diharap diam membisu karena dia pun tak tahu harus berbuat apa, sama dia pun jiwanya sedang terguncang hebat.“Aku gak mau pergi! Tolong turunkan aku!”Di sekitarnya, orang-orang memandangnya jadi terharu. Kini mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat, mereka senasib. Kini mereka sudah berada di tengah laut Jawa, daratan sudah hilang dari pandang mata, hanya menyisakan garis semu melingkar laksana pembatas lautan luas, ujungnya dunia.Seorang anak buah kapal berbadan tambun dan seorang bayaran yang berpenampilan berbeda, laksana pendekar dari dunia hitam, tiba-tiba datang menembus kerumunan di geladak kapal itu.“Minggir semua! A
Usut punya usut ternyata orang itu bernama Turino adalah korban penculikan. Ketika itu, dia baru saja pulang dari pasar di Sidoarjo dan mampir sejenak di warung pinggir jalan tak jauh dari pasar. Dia memesan secangkir teh manis hangat dan beberapa kue pada pemilik warung yang memang kelihatan rada sedikit genit gitu. Nah, entah kenapa setelah dia minum teh manis dan memakan kue, tiba-tiba dia jatuh pingsan di warung itu. Kemudian setelah siuman, tahu-tahu dia sudah berada di dalam barak penampungan. Dia sudah dijual laksana hewan ternak yang tak kuasa meronta, korban perdagangan manusia (human trafficking). Dari cerita orang itu saja sudah bisa diduga kalau pemilik warung tempat dia minum teh itu adalah kaki-tangan sindikat penculikan yang marak pada masa itu. Turino bukanlah korban pertama perdagangan manusia, namun hingga kini sudah tak terhitung lagi, seperti nasib Marto Kapuk dan orang-orang desa bodoh nan lugu yang ada di atas kapal itu. Eh, korbannya
Tak salah kalau kala itu, Tan Malaka (1937 M) sempat melukiskan kondisi Sumatera Timur atau tanah Deli, “Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka buat kaum proletar…“. Tanah Deli surga bagi kaum kapitalis dan penguasa, tapi neraka dunia bagi kuli kontrak yang selalu berkubang dengan air mata darah. Gaung tanah Deli ini sebagai surga bagi kaum kapitalis menggema sejak Jacobus Nienhuijs memperkenalkan tanaman berdaun duit yang berasal dari Deli di pasaran Eropa tahun 1864 M. Bahkan, Deli dikenal sebagai “Dollar Land” dengan predikat sebagai penghasil daun pembungkus cerutu terbaik dunia mengalahkan Brasil dan Cuba. Pada saat itu, di tanah Deli yang berkuasa adalah Kesultanan Deli di bawah pimpinan Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah.Asal-muasal Kesultanan Deli di tanah Deli ini tidak dapat dilepaskan dari ekspansi Ke
Hari ini merupakan hari akhir bagi kami untuk tuntaskan hasil investigasi pemahaman dan cara pengembangan networking. Hari akhir pengumpulan hasil investigasi ini kami laksanakan di bawah pohon Delonix regia (Plamboyan) yang ada di halaman sekolah. Kami pun membentuk lingkaran, agar satu sama lain dapat saling pandang. Semua temanku sekelas turut hadir, baik yang jadi penyampai hasil investigasi maupun yang jadi pengamat.Sebelas. Pada poin kesebelas ini disajikan tentang percaya diri. Daryanto didaulat untuk menyampaikan pandangannya. Dia pun dengan penuh percaya diri menyampaikan pendapatnya, “Aspek kepercayaan diri juga sangat diperlukan dalam membina relasi. Ketika kamu mulai memasuki suatu perkumpulan di mana banyak orang yang berbeda sifat, berbeda status ekonomi sosialnya, kamu harus siapkan diri. Jauhkan sifat minder dalam diri kamu dan yakinkan diri kamu bahwa kamu sebenarnya sama saja dengan orang lain. Kamu harus memiliki kepercayaan diri untuk mula
Kali ini aku tidak sendiri dalam merangkum investigasi pemahaman tentang networking. Aku ditemani oleh Yan Utama, Zulbrito, Syamsul Bahri dan Indra Kesuma. Rumah pohonku pun sedikit berayun diisi lima orang sekaligus. Namun, batang pohon jambu monyet sebagai penyangga dan pelindung, aku rasa masih kuat dan amanlah untuk kami berlima. Kami pun sudah siapkan hasil investigasi masing-masing.Kedelapan. Syamsul Bahri membuka pembicaraan. Dia ulas tentang kemampuan untuk mendengarkan. Katanya, “Kemampuan untuk mendengarkan sangat diperlukan dalam membina suatu hubungan. Dalam hal ini kamu dituntut untuk menjadi seorang pendengar yang baik terhadap lawan bicara kamu. Pada awal hubungan biarkan lawan bicara kamu bicara dan bebas utarakan isi pikirannya. Kamu hanya bertugas untuk memasang telinga baik-baik dan perhatikan isi pembicaraannya. Kamu bisa berikan tanggapan terhadap isi pembicaraan lawan bicara kamu, namun kamu harus perhatikan jedanya. Pemb
Kini aku berada di rumah pohonku kembali. Aku ingin merangkum pengetahuan yang dijabarkan oleh Pak Bambang, Ibu Nursyiah dan teman-temanku tentang networking ini berdasarkan investigasiku.Pertama, Pak Bambang pernah menyatakan pada kami, “Seseorang dikatakan baru sukses belajar, tentunya apabila dirinya mampu membuktikan atau mengimplementasikan hasil belajarnya di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja. Sementara, kesuksesan di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja sangat ditentukan oleh kemampuan membangun relasi (networking). Begitu juga, keberhasilan dalam mengimplementasikan hasil belajar tentu harus didukung oleh bagaimana kemampuan dirinya membangun relasi yang berkualitas dengan orang atau sekelompok orang.“Kedua, kata Pak Bambang berikutnya, “Makanya, kamu harus ingat dan tak boleh meremehkan atau mengabaikan keterampilan membangun relasi, terutama sangat dibutuhkan di saat kamu tel
Bagi anak yang ingin mengubah nasib keluarga, ucapan Pak Bambang tentu mengusik hatiku. Terpikirkan terus olehku. Aku ingin mengungkap makna dari penjelasan Pak Bambang itu. Makanya wahai sahabat, biasanya kalau aku ingin cari pencerahan, aku suka nyepi. Tempat ideal bagiku adalah rumah pohon. Kebetulan di belakang rumahku itu ada pohon jambu monyet. Pohon jambu monyet ini tinggginya ada kali 15 meter. Usia pohon jambu monyet itu sekitar 50 tahun. Lihat saja lingkar pohon sudah mencapai hampir 1 meter. Di atas pohon jambu monyet itulah aku buat rumah pohon dengan ketinggian 10 meter dari tanah. Dari atas rumah pohon, aku dapat memandang seluruh penjuru kampungku. Pemandangan kampungku itu ternyata cukup menawan dilihat dari atas. Aku bisa lihat semua aktivitas warga yang berada di luar ruang. Aku merasa nyaman berada di atas rumah pohon ini dan membuat pikiranku jadi plong. Hatiku pun jadi damai. Nah, ini yang tidak dapat kucegah, pikiranku jadi liar menjelajah entah apa saja yang m
Sementara itu, Pak Bambang beranjak ke depan. Dari tengah kelas dia melanjutkan petuahnya.“Hukum alam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat itu sangatlah kejam bagi mereka yang tidak menyadarinya. Setiap individu akan terseleksi berdasarkan kemampuannya beradaptasi. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan yang memadai, maka akan tersisih.”Aku sempat menoleh memandang Yan Utama sang barometer kelas kami. Aku lihat Yan Utama begitu serius dengar petuah dari Pak Bambang ini. Seolah-olah dia ingin menyibak kunci rahasia kehidupan.“Ingat, hanya orang-orang yang piawai yang mampu untuk mensiasati diri agar dapat eksis di dalam masyarakat,” ujar Pak Bambang dengan lugas. “Kalian harus sadar belajar keras saja belumlah cukup bagi kalian untuk dapat bertahan hidup. Apalagi mendapatkan tempat utama di tengah-tengah masyarakat.”Kami terhenyak dengar perkataan Pak Bambang itu.‘Apa belajar keras saja belum cuk
Tak terasa, kini kami telah duduk dibangku kelas tiga. Ternyata, perjuangan kami belumlah usai, masih jauh menggapai mimpi. Apalagi, kami harus waspada hukum alam senantiasa mengintai setiap langkah dan banyak orang tidak menyadarinya. Kemenangan kami dalam ajang kontes Karya Ilmiah Remaja itu hanya merupakan bagian kecil, tapi sangat bermakna dalam proses pendewasaan cara berpikir, maupun cara menyusun sebuah proyek kerja yang berdaya guna. Kami menyadari, tidak banyak orang yang beruntung memperoleh kesempatan emas ikut dalam sebuah ajang kompetisi yang bergengsi tersebut. Kesempatan emas untuk mengasah kompetensi diri dan mengangkat kepermukaan kualitas diri yang tanpa kami sadari sangat berguna untuk kemudian hari. Walau demikian, masih banyak tantangan berikutnya dalam pendewasaan kami untuk mengarungi dinamika kehidupan. Tantangan apa lagi yang mungkin akan kami hadapi kemudian?Pagi itu, kata guru kami dari balik meja kerjanya, “kalian harus
Kami sempat terkejut dengar pertanyaan yang tidak kami duga itu. Dewan juri ingin menelanjangi kami, meruntuhkan moral kami. Bagaimana mungkin kami mau mengungkapkan kelemahan hasil karya ilmiah kami ini di depan dewan juri maupun tim lawan? Bahkan, di hadapan suporter lawan yang sedang menanti-nanti kelemahan tim kami. Aku dan Yan Utama saling pandang. Begitu juga dengan Zulbrito dan Daryanto. Kami langsung mendiskusikan secara kilat pertanyaan itu. Bukan karena kami tak mampu menjawab pertanyaan itu, tapi kami kuatir arah pertanyaan juri keempat itu merupakan pertanyaan jebakan yang dapat meruntuhkan penyajian tim kami.Dewan juri tersenyum-senyum lihat kami jadi kelabakan dengan pertanyaan sederhana itu. Mereka menguji kerja sama tim kami dalam memecahkan pertanyaan sederhana yang mereka ajukan itu dengan memberi ruang waktu sejenak pada kami.“Pertanyaan ini bukan jebakan?” bisik Zulbrito kuatir.Mereka memandangku karena aku yang punya ide awal
Yan Utama pun memperlihatkan gambar sketsa bentuk alat modifikasi energi gelombang laut menjadi penggerak bandul ganda yang membentuk huruf “A” dihubungkan dengan as roda gigi besar. Lalu dari roda gigi besar dihubungkan dengan transmisi putar menggunakan rantai ke double freewheel yang kemudian rantai kedua dihubungkan kembali pada fly wheel (roda gila) untuk memperbanyak putaran (rpm) dan dihubungkan ke dynamo listrik. Yan Utama pun menjelaskan gambar sketsa itu secara detail pada dewan juri maupun hadirin menggunakan slide proyektor (OHP).“…energi gelombang laut itu secara sederhana dapat dimodifikasi menjadi penggerak atau pengayun bandul ganda di atas perahu. Lalu, poros as bandul ganda dapat dihubungkan dengan as yang dapat memutar roda gigi besar. Dari roda gigi besar itu dibangun transmisi putaran yang dihubungkan dengan double preewheel menggunakan rantai. Kemudian rantai kedua dari preewheel dihu
Dalam sebuah gedung Gelanggang Remaja Medan yang terletak di Jalan Sutomo Medan, suasananya sungguh mencekam. Wakil regu kami, aku, Yan Utama, Zulbrito dan Daryanto dicecar habis dewan juri.Kali ini buah pikiran kreatif kami diuji untuk mempertaruhkan reputasi. Lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami yang baru melek ilmu berhadapan dengan raksasa yang punya nama besar dalam ajang perlombaan bergengsi seperti ini, sebut saja: sekolah Sutomo, Methodist, St. Thomas, Budi Murni maupun SMP 1 Medan. Baru lihat kostum penampilan peserta yang punya nama besar di kota Medan itu saja sudah buat kami berkecil hati. Jantung kami jatuh bangun dibuatnya. Kalau boleh dibilang, kami ini tak ubahnya seperti anak kemarin sore atau anak bawang.Walau dianggap anak bawang, namun sekolah, guru-guru, maupun siswa lainnya menaruh harapan besar di pundak kami. SEBUAH MIMPI. Kami diharapkan dapat membuka sejarah SMP 9 Medan, jadi pemenang lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami diharapkan dapat mengangka