Minggu siang itu, walau bergumpal-gumpal awan hitam berarak-arak mulai menghapus langit biru dan lecutan petir sekali-kali menyentak bumi, namun tidak menghilangkan kegelianku lihat gaya Indra Kesuma berjoget kegirangan ala Michael Jackson di atas pematang sawah lagi. Tak berselang lama, giliran Suheng tak mau kalah, beratraksi ala breakkedend (eh…break dance maksudnya). Lanjut, Julbrito mesam-mesem berjoget ala kuda lumping. Ada-ada saja gaya teman-temanku ini setiap joran pancing dari batang bambu kecil yang panjangnya tiga meteran miliknya berhasil mengail ikan betik (semacam ikan bethok) di selah-selah padi di sawah. Sudah tentu akting teman sekolahku ini mengundang banyak perhatian anak-anak yang sebaya dengan kami dan juga kebetulan turut memancing ikan di sawah yang ada di kampungku ini. Mereka pun tak mampu untuk tidak menahan tawa, jadilah mereka terkekeh-kekeh lihat hiburan gratis ala teman-temanku. Aku pun merasa senang sekali lihat teman-temanku sekampung yang jadikan sawah nan hijau ini tempat bermain jadi turut terhibur oleh ulah teman sekolahku ini.
Namun, kegembiraan kami tak berlangsung lama, tiba-tiba turun hujan lebat mengguyur hamparan hijau sejauh mata memandang. Jadinya, kami berhamburan, berlarian untuk cari tempat berteduh dengan tinggalkan begitu saja pancing-pancing kami. Tapi Indra Kesuma, Suheng dan Julbrito beda. Mereka tak rela tinggalkan ikan betik yang telah berhasil dikailnya. Maklumlah, mereka ini jarang sekali memancing karena di dekat rumahnya tak ada sawah. Keberhasilan mengail ikan betik ini memberikan kegembiraan yang luar biasa bagi teman tetangga kampungku ini. Kami pun tergopoh-gopoh menuju huma (gubuk) yang ada di pematang sawah, sambil menenteng ikan betik yang kami ikat-renteng dengan batang rerumputan melalui sela-sela insang hingga mulutnya.
Dalam huma yang beratap daun nipah, bertiangkan batang pohon waru, tanpa dinding, kami dapati kakekku, Marto Kapuk yang telanjang dada dan hanya berlapis celana hitam komprang lagi duduk terpaku ditemani radio portabel 2 Band kesayangannya. Siaran radio ALNORA Medan jadi favorit pelipur laranya. Kali, Kakek lagi terharu, saat penyiar radio Alnora mengulas nasib para buruh kebun. Kisah tragis kuli kontrak yang dituturkan sastrawan Mochtar Lubis melalui cerita pendeknya, Koeli Kontrak yang dimuat dalam majalah Siasat Baru, No. 650, Th. XIII, 25 November 1959.
…ketika masa kecil, Mochtar Lubis telah menyaksikan langsung penyiksaan yang mengerikan terhadap tiga kuli kontrak di belakang rumahnya di daerah Kerinci, Sumatera Barat. Sebelum perkara tiga kuli kontrak dibawa ke depan hakim, mereka dilecut karena mereka telah gelap mata menikam seorang opzichter Belanda, yang selalu mengganggu isteri-isteri mereka…
Ketika kuli kontrak itu dibariskan dekat bangku-bangku kayu yang telah tersedia, mereka disuruh jongkok. Kepala rumah penjara kemudian membacakan sehelai surat. Dan aku lihat kontrolir mengangguk-angguk. Ayah berdiri tegang tidak bergerak-gerak. Kemudian ketiga kuli kontrak itu dibuka ikatan tangan mereka di belakang, ditidurkan telungkup di atas perut mereka di bangku, dan kaki dan tangan mereka diikatkan ke bangku.
Tiga orang mandor penjara kemudian maju ke depan, kira-kira 2 meter dari setiap bangku, di tangan mereka sehelai cemeti panjang yang hitam warnanya. Kemudian kepala penjara berseru:
“Satu!”
Suaranya keras dan lantang. Tiga orang mandor penjara mulai mengayunkan tangan mereka ke belakang. Cemeti panjang berhelak ke udara seperti ular hitam yang hendak menyambar, mengerikan. Dan terdengarlah bunyi membelah udara, mendengung tajam; lalu bunyi cemeti melanggar daging manusia, yang segera disusuli jeritan kuli kontrak yang di tengah melonjakkan kepalanya ke belakang. Dari mulutnya yang ternganga itu keluarlah suara jeritan yang belum pernah aku dengar dijeritkan manusia: melengking tajam membelah udara, menusuk seluruh hatiku, dan membuat tubuhku seketika lemah-lunglai.
Suatu ketakutan yang amat besar dan amat gelapnya, menerkam aku. Dan aku berpegang kuat-kuat ke dahan pohon jeruk, amat ketakutan.
“Dua!” teriak kepala penjara lagi.
Bunyi cemeti mendesing membelah udara beradu dengan punggung. Dan pada cambukan yang kedua mereka bertiga sama-sama menjerit, melengking-lengking kesakitan.
Aku tak berani melihat lagi. Kututup mataku kuat-kuat, tapi tak kuasa aku menahan bunyi desing cemeti di udara, bunyi cemeti menerkam daging dengan gigi-giginya yang tajam, ratusan ribu banyaknya, dan jerit mereka yang kesakitan membelah langit melolong minta ampun. Entah berapa lama aku hidup dan mati demikian, bersama dengan mereka di atas bangku, tidaklah kuingat lagi. Ketika kubuka kembali mataku, kulihat dokter memeriksa ketiga kuli kontrak itu. Dan kemudian dia mengangguk pada kontrolir, dan kontrolir mengangguk kepada kepala rumah penjara, dan kepala rumah penjara pun berteriaklah lagi:
“Dua puluh satu!”
Dan kembali cemeti berdesing membelah udara. Dan menerkam melingkari punggung yang telah hancur memerah darah. Hanya kini mereka tidak lagi menjerit. Ketiganya telah pingsan.
Sehabis cambukan yang kedua puluh lima, kontrolir memberi isyarat. Kepala rumah penjara mundur selangkah dan memerintah. Ketiga orang mandor penjara tukang cambuk itu pun mundur, menggulung cambuk mereka yang telah merah penuh darah dan keping-kepingan daging manusia; mundur dan masuk ke dalam rumah penjara.
Dokter kembali memeriksa kuli-kuli kontrak. Dan tali-tali pengikat mereka kemudian dilepaskan…
…Pemirsa…bagaimanakah situasinya kini? Walau kekejaman ala penyiksaan zaman kolonial Belanda yang disaksikan oleh Mochtar Lubis ini tidak terjadi lagi. Namun yang jelas secara kasat mata, suasana otokratis dan feodalistis masih terasa sangat kental di perkebunan di tanah Deli ini. Sifat takut dan segan para pekerja masih terasa dan terdapat jurang sosial yang lebar antara buruh, mandor, asisten, dan administratur. Itu tampaknya merupakan ciri pola kehidupan masyarakat perkebunan yang universal. Apalagi dari sudut upah, belum dapat dikatakan bahwa upah buruh perkebunan pada zaman kemerdekaan lebih tinggi daripada zaman Belanda… Seorang buruh…seorang kuli selamanya ya tetap jadi buruh atau kuli, kaum marginal…jangan mimpi hidup enak, hidup berkecukupan.
Mata Kakek kala itu jatuh jauh di ujung batas petak-petak hamparan sawah, di antara sela-sela rerimbunan pepohonan pembatas sawah dengan perkampungan desa Pulo Brayan Darat, menembus butiran-butiran air hujan, menerawang. Bukan sekali itu saja, bahkan mungkin sudah tak terhitung lagi aku lihat kakekku suka duduk melamun, merenteng asa. Wajahnya yang dimakan keriput itu terlihat jelas tinggalkan guratan-guratan kegetiran. Aku sempat tertegun juga lihat keadaan kakekku ini. Namun, jujur aku katakan, aku tak tahu apa yang ada di benak pikiran kakekku itu. Apakah kakekku kini lagi meratapi kebodohan, kepapahannya karena setua ini masih tetap jadi kuli? Walau kini jadi kuli sawah, jadi penjaga sawah orang. Atau apa dia lagi rindu akan negeri tanah leluhurnya yang telah ditinggalkannya puluhan tahun? Memang kakekku semenjak dibawa-paksa antek-antek Belanda ke tanah Deli ini sebagai kuli kontrak dulu belum pernah kembali ke tanah leluhurnya.
Berbeda, kalau lihat Suheng, Indra Kesuma, Julbrito yang pada kepalkan dan merapatkan tangan di dadanya masing-masing. Kami menggigil kedinginan karena sempat basah kuyup diguyur air hujan, ketika setengah berlari ke huma yang berjarak seratusan meter dari tempat kami memancing tadi. Setelah menggantung ikan betik di gantungan paku yang ada di tiang huma itu, kami pun segera beringsut naik ke balai bambu dalam huma yang berada di pematang tengah sawah itu.
Kedatangan kami tentu membuyarkan lamunan Kakek. Dia tersentak. Lalu, dia pun memperhatikan kami yang sedang kedinginan.
“Ini ada ketela rebus…makanlah, selagi masih hangat agar kalian tak kedinginan lagi.”
Sudah tentu kami pun tanpa basa-basi lagi langsung berebut, menyikat ketela rebus yang disodorkan Kakek pada kami itu.
“Cocok sekali ini Kek,” cerocos Indra Kesuma, sambil buru-buru menjejalkan ketela rebus itu ke dalam mulutnya. Dia tidak peduli, walau mulutnya megap-megap kepanasan menyantap ketela rebus itu.
“Iya Kakek ini baik sekali, tau aja keinginan kami,” sambung Suheng.
“Huuuh, kalian cari muka yeee!” sindir Julbrito berbisik.
“Tenanglah, kawan!” sergah Indra Kesuma, sambil menyikut pinggang Julbrito.
Sementara Julbrito jadi nyengir lihat ulah temannya yang satu ini. Dia tahu apa mau temannya ini.
Lantas, Indra Kesuma dengan gayanya, menoleh memandang Kakek dengan mimik setengah serius yang dipaksakan, “Oya kek, ceritain dong, gimana Kakek dulu bisa sampai ke sini.”
“Pasti seru deh kisah Kakek ini! Ya-enggak Heng?” ucap Indra Kesuma kembali, sambil menoleh pada Suheng, cari dukungan.
“Iya tentu, Kek! Hujan-hujan gini, pasti asyik dengar cerita Kakek,” sambung Suheng, memancing emosi. Dia tahu apa maunya Indra Kesuma ini, ingin tahu bagaimana dulu Kakek kok bisa terdampar jadi kuli kontrak di tanah Deli ini, makanya dia pun turut gelitiki, bakar hati Kakek.
Aku hanya senyum dikulum lihat gaya Indra Kesuma dan Suheng yang konyol, tapi buat ramai suasana. Apalagi suasana siang itu memang lagi tak nyaman, tubuh kami terguncang hebat, menggigil kedinginan. Sekawanan udara dingin menampar-nampar wajah, dan bahkan menusuk-nusuk pori-pori tubuh kami. Derai hujan pun semakin lebat bercampur deru angin yang menggelombangkan kawanan padi di sawah.
“Wusss…wussss…wusss…!”Ich! Sejauh mata memandang butiran-butiran air menari-nari, menderu-deru bersama gulungan gelombang kawanan padi yang terhuyung-huyung tak tentu arah, laksana mengalunkan simfoni sakratul maut menjemput nyawa. Konduktor malaikat maut sedang bermain-memburu nyawa, menciutkan nyali. Hati siapa yang tak tercekam lihatnya? Matahari pun bermuram-durja, udara kelabu bagai tak tembus cahaya. Kabut air membasah, melembab, membungkam cericit burung-burung yang biasa hinggap di atas padi di sawah.Namun tak dapat dipungkiri, ulah teman-temanku ini ternyata dapat menyamarkan suasana yang mencekam. Tapi yang jelas, terlepas dari apa ulah temanku ini, aku ingin lihat Kakek tersenyum, lepas dari beban hatinya atau melepas sesaat rasa penyesalan yang telah menghantui dirinya sepanjang hidupnya.Tahun 1917. Hari Ahad pagi, tepatnya hari pekanan di Desa Karang Anyar, Madiun. Tak jauh dari lokasi pekanan, dan t
Orang dari Solo itu kini membusungkan dadanya, sambil warawiri di hadapan orang-orang desa yang polos dan lugu itu. Pendek kata, bola mata orang-orang desa itu terus mengikuti ke mana gerak langkah Orang dari Solo itu.“Lihat diriku! Bandingkan dengan kalian! Lihat Kakek tua itu!” Orang dari Solo itu menunjuk lelaki tua tadi. Matanya mencemooh, ”Lihat apa yang dia punya setua itu? Kasihan, kasihan sekali dia itu, lelaki tua miskin lagi. Hidupnya sia-sia.”Orang-orang melirik ke arah lelaki tua itu.“Lihatlah dia, enggak ada bedanya dengan kalian. Sama miskinnya. Tapi, kalian lebih beruntung dari Kakek tua itu. Kalian masih muda, masih punya kesempatan. Mau miskin terus sampai tua, seperti dia? Mikir?!”Orang-orang menundukkan kepala. Sebahagian menelan ludah. Mau tidak mau, mereka memperhatikan apa saja yang melekat di tubuh mereka. Hati mereka terpukul, terpojok. Marto Kapuk muda pun merasakan hal yang sama. Mereka mer
Cerita tanah Deli, negeri gemah ripah loh jinawi tempat tumbuhnya pohon-pohon dari surga dan daunnya dapat berubah jadi uang itu laksana gemuruh lebah bertebaran dibawa angin, langsung menyebar ke seluruh penjuru Desa. Di pojok desa, di warung, di tepian sungai, di sawah, di beranda rumah, di tempat-tempat orang bertemu dan berkumpul, semua memperbincangkan negeri dongeng itu.Sementara itu, Marto Kapuk muda wajahnya begitu sumringah. Dia memacu kereta angin jantannya yang reot itu sekencang-kencangnya di antara hamparan sawah yang kering kerontang akibat kemarau panjang yang sedang melanda desanya. Hatinya membuncah. Dia sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah. Dia ingin tumpahkan hasratnya. Dia ingin merantau ke negeri dongeng…negeri harapan. Dia ingin cerita pada kedua orangtuanya tentang negeri dongeng yang baru dia dengarnya itu. Dia ingin berbagi kegembiraan dan harapan, terutama pada ibunya.Teriknya sinar Matahari tidak dihiraukan oleh Marto Kapuk
Wow! Keesokan hari, ternyata orang-orang desa terlihat berbanjar-banjar dengan wajah riang pada mengantre di depan Kantor Desa Karang Anyar. Padahal, tengah hari itu matahari lagi melontarkan angkara-murkanya ke bumi, sinar teriknya begitu menyengat, membakar kulit orang-orang desa itu, hingga peluh mengucur deras di sekujur tubuh. Angin kemarau pun berhembus terasa kering menyayat kulit, menghempaskan debu-debu ke udara. Sementara, beberapa burung gagak dengan angkuh terbang berputar-putar di udara dan ada juga yang hinggap di pucuk dahan pohon jati yang melanggas. Sorot matanya liar mengintai orang-orang desa. Konon kehadiran burung gagak, memberi isyarat akan ada prosesi kematian, pertanda sakratulmaut akan segera tiba. Yeah! orang-orang desa itu tak menyadarinya. Mereka telah dibutakan oleh angan-angan yang melambung tinggi meniti pengharapan, termasuk Marto Kapuk muda.Satu-persatu orang-orang desa itu mencatatkan diri pada Orang dari Solo itu yang terus-menerus menyungg
Surabaya. Kisah tragis ini mulai mengiringi perjalanan Marto Kapuk muda dan orang-orang desa itu. Mereka tak sadar, kalau sebenarnya mereka saat ini laksana budak belian dalam prosesi menuju Pulau Neraka. Yeah! Janganlah dikira neraka itu hanya ada di alam akhirat saja loh, namun neraka sesungguhnya ada di alam dunia yang tidak disadari oleh manusia, baik itu dalam konteks tempat maupun konteks rasa. Tempat mereka menerima azab di dunia, ketika mereka tunduk pada hawa nafsu mereka. Benar saja, hawa panas efek neraka dunia itu mulai menyelinap ke dalam rongga hati Marto Kapuk muda dan orang-orang desa itu. Bukti, begitu mereka sampai di Stasiun Pasar Turi Surabaya, tiba-tiba perasaan gelisah menghampiri mereka. Apalagi ketika menjejakkan kaki di Stasiun Pasar Turi itu, jantung Marto Kapuk dan orang-orang desa itu sekonyong-konyong berhenti berdetak beberapa saat, rasa nyeri langsung menyusuk hati. Ternyata mereka telah dinanti dan disambut sepasukan
Setelah tiga hari mereka diinapkan di barak penampungan AVROS, maka tibalah jadwal keberangkatan mereka ke Tanah Deli. Dari barak penampungan itu, Marto Kapuk dan orang-orang kontrak yang senasib dengannya itu dinaikkan ke atas gerbong-gerbong kereta api uap yang bergerak menuju pelabuhan Tanjung Perak.Tak berselang lama, mereka sudah disambut oleh udara pantai yang panas, angin laut beraroma garam-pekat dan deru ombak memecah batu karang di pantai pelabuhan Tanjung Perak. Walau terik matahari membakar kulit. Berulang-kali suara klakson kapal memekakkan gendang telinga dan menggetarkan jantung terdengar memberi tanda keberangkatan kapal di dermaga. Namun tidak mengurangi keriuhan dan kesibukan di dermaga.Kereta api uap yang membawa Marto Kapuk dan orang-orang senasib dengannya berhenti bergerak tak jauh dari dermaga. Pasukan Opas bersama Kerani perusahaan AVROS dengan sigap mengatur, mengawasi dan mengawal proses pemberangkatan Marto Kapuk maupun yang lainnya.
Orang itu berlarian dengan membabi-buta, mendekati orang yang ada di dekatnya dan mencengkeram bajunya. Dia begitu panik.“Tolonglah aku, turunkan aku! Aku harus pulang. Aku harus mengurus anak-isteriku, kerbauku!”Dia mengguncang-guncang tubuh orang di depannya itu. Namun, orang yang diharap diam membisu karena dia pun tak tahu harus berbuat apa, sama dia pun jiwanya sedang terguncang hebat.“Aku gak mau pergi! Tolong turunkan aku!”Di sekitarnya, orang-orang memandangnya jadi terharu. Kini mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat, mereka senasib. Kini mereka sudah berada di tengah laut Jawa, daratan sudah hilang dari pandang mata, hanya menyisakan garis semu melingkar laksana pembatas lautan luas, ujungnya dunia.Seorang anak buah kapal berbadan tambun dan seorang bayaran yang berpenampilan berbeda, laksana pendekar dari dunia hitam, tiba-tiba datang menembus kerumunan di geladak kapal itu.“Minggir semua! A
Usut punya usut ternyata orang itu bernama Turino adalah korban penculikan. Ketika itu, dia baru saja pulang dari pasar di Sidoarjo dan mampir sejenak di warung pinggir jalan tak jauh dari pasar. Dia memesan secangkir teh manis hangat dan beberapa kue pada pemilik warung yang memang kelihatan rada sedikit genit gitu. Nah, entah kenapa setelah dia minum teh manis dan memakan kue, tiba-tiba dia jatuh pingsan di warung itu. Kemudian setelah siuman, tahu-tahu dia sudah berada di dalam barak penampungan. Dia sudah dijual laksana hewan ternak yang tak kuasa meronta, korban perdagangan manusia (human trafficking). Dari cerita orang itu saja sudah bisa diduga kalau pemilik warung tempat dia minum teh itu adalah kaki-tangan sindikat penculikan yang marak pada masa itu. Turino bukanlah korban pertama perdagangan manusia, namun hingga kini sudah tak terhitung lagi, seperti nasib Marto Kapuk dan orang-orang desa bodoh nan lugu yang ada di atas kapal itu. Eh, korbannya
Hari ini merupakan hari akhir bagi kami untuk tuntaskan hasil investigasi pemahaman dan cara pengembangan networking. Hari akhir pengumpulan hasil investigasi ini kami laksanakan di bawah pohon Delonix regia (Plamboyan) yang ada di halaman sekolah. Kami pun membentuk lingkaran, agar satu sama lain dapat saling pandang. Semua temanku sekelas turut hadir, baik yang jadi penyampai hasil investigasi maupun yang jadi pengamat.Sebelas. Pada poin kesebelas ini disajikan tentang percaya diri. Daryanto didaulat untuk menyampaikan pandangannya. Dia pun dengan penuh percaya diri menyampaikan pendapatnya, “Aspek kepercayaan diri juga sangat diperlukan dalam membina relasi. Ketika kamu mulai memasuki suatu perkumpulan di mana banyak orang yang berbeda sifat, berbeda status ekonomi sosialnya, kamu harus siapkan diri. Jauhkan sifat minder dalam diri kamu dan yakinkan diri kamu bahwa kamu sebenarnya sama saja dengan orang lain. Kamu harus memiliki kepercayaan diri untuk mula
Kali ini aku tidak sendiri dalam merangkum investigasi pemahaman tentang networking. Aku ditemani oleh Yan Utama, Zulbrito, Syamsul Bahri dan Indra Kesuma. Rumah pohonku pun sedikit berayun diisi lima orang sekaligus. Namun, batang pohon jambu monyet sebagai penyangga dan pelindung, aku rasa masih kuat dan amanlah untuk kami berlima. Kami pun sudah siapkan hasil investigasi masing-masing.Kedelapan. Syamsul Bahri membuka pembicaraan. Dia ulas tentang kemampuan untuk mendengarkan. Katanya, “Kemampuan untuk mendengarkan sangat diperlukan dalam membina suatu hubungan. Dalam hal ini kamu dituntut untuk menjadi seorang pendengar yang baik terhadap lawan bicara kamu. Pada awal hubungan biarkan lawan bicara kamu bicara dan bebas utarakan isi pikirannya. Kamu hanya bertugas untuk memasang telinga baik-baik dan perhatikan isi pembicaraannya. Kamu bisa berikan tanggapan terhadap isi pembicaraan lawan bicara kamu, namun kamu harus perhatikan jedanya. Pemb
Kini aku berada di rumah pohonku kembali. Aku ingin merangkum pengetahuan yang dijabarkan oleh Pak Bambang, Ibu Nursyiah dan teman-temanku tentang networking ini berdasarkan investigasiku.Pertama, Pak Bambang pernah menyatakan pada kami, “Seseorang dikatakan baru sukses belajar, tentunya apabila dirinya mampu membuktikan atau mengimplementasikan hasil belajarnya di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja. Sementara, kesuksesan di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja sangat ditentukan oleh kemampuan membangun relasi (networking). Begitu juga, keberhasilan dalam mengimplementasikan hasil belajar tentu harus didukung oleh bagaimana kemampuan dirinya membangun relasi yang berkualitas dengan orang atau sekelompok orang.“Kedua, kata Pak Bambang berikutnya, “Makanya, kamu harus ingat dan tak boleh meremehkan atau mengabaikan keterampilan membangun relasi, terutama sangat dibutuhkan di saat kamu tel
Bagi anak yang ingin mengubah nasib keluarga, ucapan Pak Bambang tentu mengusik hatiku. Terpikirkan terus olehku. Aku ingin mengungkap makna dari penjelasan Pak Bambang itu. Makanya wahai sahabat, biasanya kalau aku ingin cari pencerahan, aku suka nyepi. Tempat ideal bagiku adalah rumah pohon. Kebetulan di belakang rumahku itu ada pohon jambu monyet. Pohon jambu monyet ini tinggginya ada kali 15 meter. Usia pohon jambu monyet itu sekitar 50 tahun. Lihat saja lingkar pohon sudah mencapai hampir 1 meter. Di atas pohon jambu monyet itulah aku buat rumah pohon dengan ketinggian 10 meter dari tanah. Dari atas rumah pohon, aku dapat memandang seluruh penjuru kampungku. Pemandangan kampungku itu ternyata cukup menawan dilihat dari atas. Aku bisa lihat semua aktivitas warga yang berada di luar ruang. Aku merasa nyaman berada di atas rumah pohon ini dan membuat pikiranku jadi plong. Hatiku pun jadi damai. Nah, ini yang tidak dapat kucegah, pikiranku jadi liar menjelajah entah apa saja yang m
Sementara itu, Pak Bambang beranjak ke depan. Dari tengah kelas dia melanjutkan petuahnya.“Hukum alam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat itu sangatlah kejam bagi mereka yang tidak menyadarinya. Setiap individu akan terseleksi berdasarkan kemampuannya beradaptasi. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan yang memadai, maka akan tersisih.”Aku sempat menoleh memandang Yan Utama sang barometer kelas kami. Aku lihat Yan Utama begitu serius dengar petuah dari Pak Bambang ini. Seolah-olah dia ingin menyibak kunci rahasia kehidupan.“Ingat, hanya orang-orang yang piawai yang mampu untuk mensiasati diri agar dapat eksis di dalam masyarakat,” ujar Pak Bambang dengan lugas. “Kalian harus sadar belajar keras saja belumlah cukup bagi kalian untuk dapat bertahan hidup. Apalagi mendapatkan tempat utama di tengah-tengah masyarakat.”Kami terhenyak dengar perkataan Pak Bambang itu.‘Apa belajar keras saja belum cuk
Tak terasa, kini kami telah duduk dibangku kelas tiga. Ternyata, perjuangan kami belumlah usai, masih jauh menggapai mimpi. Apalagi, kami harus waspada hukum alam senantiasa mengintai setiap langkah dan banyak orang tidak menyadarinya. Kemenangan kami dalam ajang kontes Karya Ilmiah Remaja itu hanya merupakan bagian kecil, tapi sangat bermakna dalam proses pendewasaan cara berpikir, maupun cara menyusun sebuah proyek kerja yang berdaya guna. Kami menyadari, tidak banyak orang yang beruntung memperoleh kesempatan emas ikut dalam sebuah ajang kompetisi yang bergengsi tersebut. Kesempatan emas untuk mengasah kompetensi diri dan mengangkat kepermukaan kualitas diri yang tanpa kami sadari sangat berguna untuk kemudian hari. Walau demikian, masih banyak tantangan berikutnya dalam pendewasaan kami untuk mengarungi dinamika kehidupan. Tantangan apa lagi yang mungkin akan kami hadapi kemudian?Pagi itu, kata guru kami dari balik meja kerjanya, “kalian harus
Kami sempat terkejut dengar pertanyaan yang tidak kami duga itu. Dewan juri ingin menelanjangi kami, meruntuhkan moral kami. Bagaimana mungkin kami mau mengungkapkan kelemahan hasil karya ilmiah kami ini di depan dewan juri maupun tim lawan? Bahkan, di hadapan suporter lawan yang sedang menanti-nanti kelemahan tim kami. Aku dan Yan Utama saling pandang. Begitu juga dengan Zulbrito dan Daryanto. Kami langsung mendiskusikan secara kilat pertanyaan itu. Bukan karena kami tak mampu menjawab pertanyaan itu, tapi kami kuatir arah pertanyaan juri keempat itu merupakan pertanyaan jebakan yang dapat meruntuhkan penyajian tim kami.Dewan juri tersenyum-senyum lihat kami jadi kelabakan dengan pertanyaan sederhana itu. Mereka menguji kerja sama tim kami dalam memecahkan pertanyaan sederhana yang mereka ajukan itu dengan memberi ruang waktu sejenak pada kami.“Pertanyaan ini bukan jebakan?” bisik Zulbrito kuatir.Mereka memandangku karena aku yang punya ide awal
Yan Utama pun memperlihatkan gambar sketsa bentuk alat modifikasi energi gelombang laut menjadi penggerak bandul ganda yang membentuk huruf “A” dihubungkan dengan as roda gigi besar. Lalu dari roda gigi besar dihubungkan dengan transmisi putar menggunakan rantai ke double freewheel yang kemudian rantai kedua dihubungkan kembali pada fly wheel (roda gila) untuk memperbanyak putaran (rpm) dan dihubungkan ke dynamo listrik. Yan Utama pun menjelaskan gambar sketsa itu secara detail pada dewan juri maupun hadirin menggunakan slide proyektor (OHP).“…energi gelombang laut itu secara sederhana dapat dimodifikasi menjadi penggerak atau pengayun bandul ganda di atas perahu. Lalu, poros as bandul ganda dapat dihubungkan dengan as yang dapat memutar roda gigi besar. Dari roda gigi besar itu dibangun transmisi putaran yang dihubungkan dengan double preewheel menggunakan rantai. Kemudian rantai kedua dari preewheel dihu
Dalam sebuah gedung Gelanggang Remaja Medan yang terletak di Jalan Sutomo Medan, suasananya sungguh mencekam. Wakil regu kami, aku, Yan Utama, Zulbrito dan Daryanto dicecar habis dewan juri.Kali ini buah pikiran kreatif kami diuji untuk mempertaruhkan reputasi. Lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami yang baru melek ilmu berhadapan dengan raksasa yang punya nama besar dalam ajang perlombaan bergengsi seperti ini, sebut saja: sekolah Sutomo, Methodist, St. Thomas, Budi Murni maupun SMP 1 Medan. Baru lihat kostum penampilan peserta yang punya nama besar di kota Medan itu saja sudah buat kami berkecil hati. Jantung kami jatuh bangun dibuatnya. Kalau boleh dibilang, kami ini tak ubahnya seperti anak kemarin sore atau anak bawang.Walau dianggap anak bawang, namun sekolah, guru-guru, maupun siswa lainnya menaruh harapan besar di pundak kami. SEBUAH MIMPI. Kami diharapkan dapat membuka sejarah SMP 9 Medan, jadi pemenang lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami diharapkan dapat mengangka