Eh! Tiba-tiba Indra Kesuma memecah kesenyapan dengan mengangkat jari telunjuknya, namun wajahnya itu memperlihatkan mimik yang tak sedap dipandang, laksana orang sedang meringis, setengah ketakutan. Dia angkat tangan, sambil melirik kanan-kiri.
“Bagus Indra! Ini dia yang ibu mau. Hanya Ksatria yang berani mengatakan kemerdekaannya, seperti kamu ini.”
Kami terperangah, dengar ucapan pujian yang luarbiasa maknanya. Semua mata pun langsung menoleh ke pojok kiri kelas, memandang Indra Kesuma. Apalagi, lihat Indra Kesuma langsung tersenyum, bungah banget. Keberaniannya dapat dukungan dari Bu Nursyiah. Kami jadi iri dan penasaran, sebenarnya apa sih yang ingin dikatakan Indra Kesuma itu, sampai-sampai Bu Nursyiah sebegitunya memuji laksana Ksatria. Atau memang orang yang berani mengatakan pendapatnya itu ibarat Ksatria gagah berani ya?! Lantas, kami yang tak berani membuka suara apa namanya? Ah, entar kami malah dimasukkan golongan orang-orang yang tak punya nyali atau pengecut atau bodoh gitu?! Wooow!
“Bu, pertanyaan Ibu itu sungguh mengerikan.”
“Memangnya, mengapa Indra?”
“Ini Bu, kalau kami bicarakan itu, entar tiba-tiba pasukan siluman Laksus muncul beraksi. Lantas, kami bagaimana Bu?! Kami bisa celaka duabelas. Itu sama artinya kami bunuh diri Bu!” ucap Indra Kesuma perlahan-lahan, sambil melongok keluar, takut ucapannya ada yang menguping.
“Iya Bu!” timbrung Suhermanto alias Suheng, sambil berdiri memberanikan diri. Nada bicaranya pun dibuat dengan nada yang rendah, “Kemarin, tengah malam lima orang tetangga kami habis diciduk pasukan Laksus, gara-gara mengatakan Soeharto ditaktor, tak becus, gagal menyejahterakan rakyat.”
“Indra, Suhermanto, kalian tidak perlu takut. Ibu jamin, apapun yang kita bahas, Laksus tidak berhak menangkap siapapun di ruang kelas ini,” ucap Bu Nursyiah mantap, meyakinkan kami.
“Tapi Bu,” sergah Suheng, setengah berbisik.
Namun, Bu Nursyiah langsung memotong.
“Ibu mengerti ketakutan kalian. Kita belajar bertanggung jawab, bicara berdasarkan fakta dan data, bukan untuk menyebar fitnah atau mendiskreditkan seseorang tanpa bukti yang akurat. Soal Laksus menangkap orang, mungkin ada alasan lain yang kuat dan kalian atau kita ini tidak mengetahuinya.”
“Iya, ya Bu. Tapiii, mengapa pasukan Laksus suka bertindak sewenang-wenang Bu?” kejar Suheng penasaran.
“Sudahlah! Tentang Laksus ibu tak mau bahas. Itu biar sejarah saja nanti yang menilainya,” tukas Bu Nursyiah berdiplomatis, sembari melontarkan senyum manisnya yang menawan itu, lalu menepuk-nepuk bahu Suhermanto. Suhermanto langsung terkesima, merasa diterbangkan ke langit ke tujuh lihat senyum yang menawan Bu Nursyiah itu, makanya dia pun juga langsung lupa dengan persoalan Laksus yang dikemukakannya.
Sesaat kemudian, Bu Nursyiah beralih pandang pada Indra Kesuma, “Bagaimana Indra, kamu mau jawab pertanyaan ibu tadi?”
“Iya Bu. Merdeka juga berarti kebebasan mengeluarkan pendapat, berbicara dan berserikat. Bukan hanya kebebasan dari penjajahan saja-kan Bu?”
“Huuuh! Kalau itu semua orang dah tau, Indra. Itukan bunyi pasal 28 UUD 1945,” sambung Julbrito menyeletuk, sambil mencibir. Bu Nursyiah tersenyum dan mengangguk membenarkan.
“Iya, Indra ngaco!” cemooh Arif Budiman menambahkan.
“Huuuh!” koar panjang teman-teman sekelas mendukung cemoohan Julbrito dan Arif Budiman.
Dasar Indra Kesuma selengekan, dengar cemoohan teman-teman sekelas, bukannya terpukul dan malu diri, tapi malah cengar-cengir seperti wajah orang tak berdosa.
“Oke, ada yang lain mau jawab?” tanya Bu Nursyiah meluruskan suasana, sambil melontarkan pandangannya ke sekeliling kelas.
Tiba-tiba Suheng berdiri, sambil mengacungkan tangannya.
“Bu, mungkin yang bisa jawab pertanyaan ibu itu hanyalah Sang Pemimpi Besar kami,” ucap Suheng dengan gaya banyolannya, sambil menunjuk diriku dengan jari jempol, seperti gaya orang Yogyakarta.
Bu Nursyiah tercengang dan beliau seketika menutup mulutnya, menahan tawa gelinya yang hampir meledak dengar ucapan Suheng itu. Sementara, teman-teman sekelas pada tersenyum geli, akibat ulah Suheng yang sangat memojokkanku itu.
Sementara, ucapan Suheng itu, laksana dinamit yang tiba-tiba meledak di depan wajahku, membuat diriku hampir pingsan dengarnya. Wajahku pun langsung merah-padam, saking jengahnya. Rasanya aku ingin membungkam mulut besar Suheng itu, lalu mengulek-ulekinya dengan cabe rawit.
Aku pandang wajah Suheng, kupelototi dia. Tapi, dia malah meledekku dengan wajah penuh tanpa dosa. Buatku semakin gregetan padanya.
“Ayo Enda, coba kamu jawab dan jelaskan pertanyaan Ibu tadi!”
Permintaan Bu Nursyiah itu laksana suara halilintar yang menggelegar di telingaku, hingga aku tahan nafas dan membuatku semakin keki. Aku gugup banget. Apalagi, sempat kulirik Suheng dan Indra Kesuma melakukan tos tangan, meluapkan kegembiraannya habis mengerjai diriku. Terpaksa aku memberanikan diri merajut tahuku yang kudapat dari guru SD-ku sebelumnya.
“Iya Bu, secara fisik negara kita memang sudah merdeka. Tapi, kemerdekaan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang saja Bu. Sebahagian besar jiwa penduduk Indonesia masih terbelenggu dan tak mampu menjamah kemerdekaan yang telah diperoleh itu Bu.”
“Benar sekali itu Enda. Coba kamu berikan contohnya.”
Semangatku membuncah, begitu Bu Nursyiah mendukung pendapatku itu. Makanya, aku pun berani mengungkapkan unek-unek yang selama ini telah menghimpit keluargaku juga. Sementara, Suheng dan Indra Kesuma jadi meringis karena maksud mereka mengerjai diriku tak seperti yang mereka bayangkan hasilnya. Tentunya mereka berdua menginginkan munculnya kekonyolanku, biar sekelas jadi riuh menertawaiku karena tak mampu menjawab dengan benar pertanyaan Bu Nursyiah. Malah yang konyol luapan mimik wajah mereka berdua, kecewa.
“Contohnya, kemiskinan masih melekat di sekeliling kita. Salah satu sebabnya, penduduk Indonesia masih terbelenggu oleh budaya mental-kuli yang diciptakan pemerintah kolonial, hingga sebahagian besar penduduk kita hanya bisa jadi hamba sahaya. Lihatnya, sebahagian besar penduduk kita hanya bisa jadi kuli pabrik, kuli kebun, kuli bangunan, tukang becak, buruh tani, buruh nelayan…”
Tiba-tiba Yan Utama memotong bicara dengan mengacungkan jarinya pada Bu Nursyiah. Semua mata jadi terusik akan keberanian Yan Utama itu. Hati kami jadi ngeri, takut Bu Nursyiah tersinggung dan marah lihat ada siswanya yang berani memotong bicara. Namun, sekejap kemudian ternyata dugaan kami salah. Bu Nursyiah malah tersenyum, lihat begitu antusiasnya Yan Utama ingin mengemukakan pendapatnya. Ternyata Bu Nursyiah ini guru yang bijak, dia tak akan mematikan hasrat anak didiknya untuk berpendapat. Dia pun lantas menganggukkan kepalanya, mempersilakan Yan Utama bicara. Gaya mengajar Bu Nursyiah ini semakin memikat hati kami, hingga jiwa kami pun jadi menyatu dalam suasana belajar yang menyenangkan.
“Yang memalukan, mental kuli ini dijadikan komoditas ekspor, Bu. Buktinya, petinggi negara kita dengan bangga sudah mengekspor jutaan TKI ke luar negeri. Bahkan, para TKI itu disebut pahlawan devisa segala.”
“Betul sekali itu Yan Utama,” sambut Bu Nursyiah berapi-api, sambil menunjuk jarinya pada Yan Utama membenarkan pendapatnya.
“Tapi, taukah kalian apa penyebabnya itu?”
Semua terdiam.
Bu Nursyiah menyapu wajah kami satu persatu yang terpana dengar ucapannya. Wajah konyol Suheng dan Indra Kesuma pun tak luput dari sorot tajam mata Bu Nursyiah, hingga membuat keduanya kepanasan. Mereka berdua pun buru-buru merapikan duduknya, melipat kedua tangannya, sambil memaksakan diri nyengir, mesam-mesem jadi anak manis.
Selang selanjutnya, Bu Nursyiah melanjutkan perkataannya.
“Penyebabnya tak lain adalah karena kebodohan yang melekat pada kita. Sebahagian besar orang berusaha yang mengandalkan kemampuan fisiknya saja, tanpa didukung oleh kecerdasan yang memadai. Itu gunanya kalian sekolah, agar jadi orang pintar. Kelak kalian bekerja itu harus menggunakan otak dan keahlian atau keterampilan. Kalian dibayar bukan karena tenaga dan keringat kalian saja, tapi berdasarkan skills kalian.”
“Kalian ingat, orang yang bekerja mengandalkan tenaga dan keringat itu hanya dibayar murah. Bahkan, tak ubahnya laksana budak. Kalian perhatikan, banyak TKI asal Indonesia diperlakukan semena-mena di luar negeri, laksana budak belian jadi sapi perah. Berbeda kalau kalian bekerja berdasarkan skills yang kalian miliki, maka kalian akan mendapat perlakuan khusus, terhormat dan tentu akan dibayar mahal. Apalagi kalian mempunyai keahlian atau keterampilan tertentu, kalian pun bisa berusaha sendiri atau jadi pengusaha.”
“Misalnya, Yan Utama jadi dokter, Indra Kesuma jadi pengusaha…kan bisa jadi orang kaya, bahkan enak dengarnya.”
“Wow!”
Tahu-enggak?! Ucapan Bu Nursyiah itu membuatku tertegun karena punya daya Magic yang luarbiasa di kelas kami. Sekelas jadi tersihir, hingga tanpa sadar desah dan riuh decak-kagum meluncur dari bibir anak-anak perempuan, terutama Ratna Sari dan Elfi Zahara, bola mata mereka pun berbinar-binar, sembari menoleh memandang Yan Utama dan Indra Kesuma secara bergantian. Bahkan, para anak lelaki pun turut hanyut dengan kegembiraan ini. Senyum lebar pun menghiasi wajah teman-temanku sekelas, sambil menjatuhkan bola mata pada Yan Utama dan Indra Kesuma. Seolah-olah di mata mereka, Yan Utama dan Indra Kesuma telah jadi bintang meraih bulan.
Yan Utama dan Indra Kesuma pun menyambut ucapan Bu Nursyiah yang laksana lantunan doa itu dengan sumringah. Siapa yang tak membuncah hatinya, dengar wejangan yang jadi fighting spirit mengukir mimpi. Hanya orang-orang bodoh saja yang tak berani bermimpi mau jadi apa dirinya setelah dewasa nanti. Makanya, kami semua jadi terbuai dan hanyut dalam bunga-bunga mimpi indah yang dihembuskan Ibu Nursyiah itu.
Minggu siang itu, walau bergumpal-gumpal awan hitam berarak-arak mulai menghapus langit biru dan lecutan petir sekali-kali menyentak bumi, namun tidak menghilangkan kegelianku lihat gaya Indra Kesuma berjoget kegirangan ala Michael Jackson di atas pematang sawah lagi. Tak berselang lama, giliran Suheng tak mau kalah, beratraksi ala breakkedend (eh…break dance maksudnya). Lanjut, Julbrito mesam-mesem berjoget ala kuda lumping. Ada-ada saja gaya teman-temanku ini setiap joran pancing dari batang bambu kecil yang panjangnya tiga meteran miliknya berhasil mengail ikan betik (semacam ikan bethok) di selah-selah padi di sawah. Sudah tentu akting teman sekolahku ini mengundang banyak perhatian anak-anak yang sebaya dengan kami dan juga kebetulan turut memancing ikan di sawah yang ada di kampungku ini. Mereka pun tak mampu untuk tidak menahan tawa, jadilah mereka terkekeh-kekeh lihat hiburan gratis ala teman-temanku. Aku pun merasa senang sekali lihat teman-temanku
“Wusss…wussss…wusss…!”Ich! Sejauh mata memandang butiran-butiran air menari-nari, menderu-deru bersama gulungan gelombang kawanan padi yang terhuyung-huyung tak tentu arah, laksana mengalunkan simfoni sakratul maut menjemput nyawa. Konduktor malaikat maut sedang bermain-memburu nyawa, menciutkan nyali. Hati siapa yang tak tercekam lihatnya? Matahari pun bermuram-durja, udara kelabu bagai tak tembus cahaya. Kabut air membasah, melembab, membungkam cericit burung-burung yang biasa hinggap di atas padi di sawah.Namun tak dapat dipungkiri, ulah teman-temanku ini ternyata dapat menyamarkan suasana yang mencekam. Tapi yang jelas, terlepas dari apa ulah temanku ini, aku ingin lihat Kakek tersenyum, lepas dari beban hatinya atau melepas sesaat rasa penyesalan yang telah menghantui dirinya sepanjang hidupnya.Tahun 1917. Hari Ahad pagi, tepatnya hari pekanan di Desa Karang Anyar, Madiun. Tak jauh dari lokasi pekanan, dan t
Orang dari Solo itu kini membusungkan dadanya, sambil warawiri di hadapan orang-orang desa yang polos dan lugu itu. Pendek kata, bola mata orang-orang desa itu terus mengikuti ke mana gerak langkah Orang dari Solo itu.“Lihat diriku! Bandingkan dengan kalian! Lihat Kakek tua itu!” Orang dari Solo itu menunjuk lelaki tua tadi. Matanya mencemooh, ”Lihat apa yang dia punya setua itu? Kasihan, kasihan sekali dia itu, lelaki tua miskin lagi. Hidupnya sia-sia.”Orang-orang melirik ke arah lelaki tua itu.“Lihatlah dia, enggak ada bedanya dengan kalian. Sama miskinnya. Tapi, kalian lebih beruntung dari Kakek tua itu. Kalian masih muda, masih punya kesempatan. Mau miskin terus sampai tua, seperti dia? Mikir?!”Orang-orang menundukkan kepala. Sebahagian menelan ludah. Mau tidak mau, mereka memperhatikan apa saja yang melekat di tubuh mereka. Hati mereka terpukul, terpojok. Marto Kapuk muda pun merasakan hal yang sama. Mereka mer
Cerita tanah Deli, negeri gemah ripah loh jinawi tempat tumbuhnya pohon-pohon dari surga dan daunnya dapat berubah jadi uang itu laksana gemuruh lebah bertebaran dibawa angin, langsung menyebar ke seluruh penjuru Desa. Di pojok desa, di warung, di tepian sungai, di sawah, di beranda rumah, di tempat-tempat orang bertemu dan berkumpul, semua memperbincangkan negeri dongeng itu.Sementara itu, Marto Kapuk muda wajahnya begitu sumringah. Dia memacu kereta angin jantannya yang reot itu sekencang-kencangnya di antara hamparan sawah yang kering kerontang akibat kemarau panjang yang sedang melanda desanya. Hatinya membuncah. Dia sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah. Dia ingin tumpahkan hasratnya. Dia ingin merantau ke negeri dongeng…negeri harapan. Dia ingin cerita pada kedua orangtuanya tentang negeri dongeng yang baru dia dengarnya itu. Dia ingin berbagi kegembiraan dan harapan, terutama pada ibunya.Teriknya sinar Matahari tidak dihiraukan oleh Marto Kapuk
Wow! Keesokan hari, ternyata orang-orang desa terlihat berbanjar-banjar dengan wajah riang pada mengantre di depan Kantor Desa Karang Anyar. Padahal, tengah hari itu matahari lagi melontarkan angkara-murkanya ke bumi, sinar teriknya begitu menyengat, membakar kulit orang-orang desa itu, hingga peluh mengucur deras di sekujur tubuh. Angin kemarau pun berhembus terasa kering menyayat kulit, menghempaskan debu-debu ke udara. Sementara, beberapa burung gagak dengan angkuh terbang berputar-putar di udara dan ada juga yang hinggap di pucuk dahan pohon jati yang melanggas. Sorot matanya liar mengintai orang-orang desa. Konon kehadiran burung gagak, memberi isyarat akan ada prosesi kematian, pertanda sakratulmaut akan segera tiba. Yeah! orang-orang desa itu tak menyadarinya. Mereka telah dibutakan oleh angan-angan yang melambung tinggi meniti pengharapan, termasuk Marto Kapuk muda.Satu-persatu orang-orang desa itu mencatatkan diri pada Orang dari Solo itu yang terus-menerus menyungg
Surabaya. Kisah tragis ini mulai mengiringi perjalanan Marto Kapuk muda dan orang-orang desa itu. Mereka tak sadar, kalau sebenarnya mereka saat ini laksana budak belian dalam prosesi menuju Pulau Neraka. Yeah! Janganlah dikira neraka itu hanya ada di alam akhirat saja loh, namun neraka sesungguhnya ada di alam dunia yang tidak disadari oleh manusia, baik itu dalam konteks tempat maupun konteks rasa. Tempat mereka menerima azab di dunia, ketika mereka tunduk pada hawa nafsu mereka. Benar saja, hawa panas efek neraka dunia itu mulai menyelinap ke dalam rongga hati Marto Kapuk muda dan orang-orang desa itu. Bukti, begitu mereka sampai di Stasiun Pasar Turi Surabaya, tiba-tiba perasaan gelisah menghampiri mereka. Apalagi ketika menjejakkan kaki di Stasiun Pasar Turi itu, jantung Marto Kapuk dan orang-orang desa itu sekonyong-konyong berhenti berdetak beberapa saat, rasa nyeri langsung menyusuk hati. Ternyata mereka telah dinanti dan disambut sepasukan
Setelah tiga hari mereka diinapkan di barak penampungan AVROS, maka tibalah jadwal keberangkatan mereka ke Tanah Deli. Dari barak penampungan itu, Marto Kapuk dan orang-orang kontrak yang senasib dengannya itu dinaikkan ke atas gerbong-gerbong kereta api uap yang bergerak menuju pelabuhan Tanjung Perak.Tak berselang lama, mereka sudah disambut oleh udara pantai yang panas, angin laut beraroma garam-pekat dan deru ombak memecah batu karang di pantai pelabuhan Tanjung Perak. Walau terik matahari membakar kulit. Berulang-kali suara klakson kapal memekakkan gendang telinga dan menggetarkan jantung terdengar memberi tanda keberangkatan kapal di dermaga. Namun tidak mengurangi keriuhan dan kesibukan di dermaga.Kereta api uap yang membawa Marto Kapuk dan orang-orang senasib dengannya berhenti bergerak tak jauh dari dermaga. Pasukan Opas bersama Kerani perusahaan AVROS dengan sigap mengatur, mengawasi dan mengawal proses pemberangkatan Marto Kapuk maupun yang lainnya.
Orang itu berlarian dengan membabi-buta, mendekati orang yang ada di dekatnya dan mencengkeram bajunya. Dia begitu panik.“Tolonglah aku, turunkan aku! Aku harus pulang. Aku harus mengurus anak-isteriku, kerbauku!”Dia mengguncang-guncang tubuh orang di depannya itu. Namun, orang yang diharap diam membisu karena dia pun tak tahu harus berbuat apa, sama dia pun jiwanya sedang terguncang hebat.“Aku gak mau pergi! Tolong turunkan aku!”Di sekitarnya, orang-orang memandangnya jadi terharu. Kini mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat, mereka senasib. Kini mereka sudah berada di tengah laut Jawa, daratan sudah hilang dari pandang mata, hanya menyisakan garis semu melingkar laksana pembatas lautan luas, ujungnya dunia.Seorang anak buah kapal berbadan tambun dan seorang bayaran yang berpenampilan berbeda, laksana pendekar dari dunia hitam, tiba-tiba datang menembus kerumunan di geladak kapal itu.“Minggir semua! A
Hari ini merupakan hari akhir bagi kami untuk tuntaskan hasil investigasi pemahaman dan cara pengembangan networking. Hari akhir pengumpulan hasil investigasi ini kami laksanakan di bawah pohon Delonix regia (Plamboyan) yang ada di halaman sekolah. Kami pun membentuk lingkaran, agar satu sama lain dapat saling pandang. Semua temanku sekelas turut hadir, baik yang jadi penyampai hasil investigasi maupun yang jadi pengamat.Sebelas. Pada poin kesebelas ini disajikan tentang percaya diri. Daryanto didaulat untuk menyampaikan pandangannya. Dia pun dengan penuh percaya diri menyampaikan pendapatnya, “Aspek kepercayaan diri juga sangat diperlukan dalam membina relasi. Ketika kamu mulai memasuki suatu perkumpulan di mana banyak orang yang berbeda sifat, berbeda status ekonomi sosialnya, kamu harus siapkan diri. Jauhkan sifat minder dalam diri kamu dan yakinkan diri kamu bahwa kamu sebenarnya sama saja dengan orang lain. Kamu harus memiliki kepercayaan diri untuk mula
Kali ini aku tidak sendiri dalam merangkum investigasi pemahaman tentang networking. Aku ditemani oleh Yan Utama, Zulbrito, Syamsul Bahri dan Indra Kesuma. Rumah pohonku pun sedikit berayun diisi lima orang sekaligus. Namun, batang pohon jambu monyet sebagai penyangga dan pelindung, aku rasa masih kuat dan amanlah untuk kami berlima. Kami pun sudah siapkan hasil investigasi masing-masing.Kedelapan. Syamsul Bahri membuka pembicaraan. Dia ulas tentang kemampuan untuk mendengarkan. Katanya, “Kemampuan untuk mendengarkan sangat diperlukan dalam membina suatu hubungan. Dalam hal ini kamu dituntut untuk menjadi seorang pendengar yang baik terhadap lawan bicara kamu. Pada awal hubungan biarkan lawan bicara kamu bicara dan bebas utarakan isi pikirannya. Kamu hanya bertugas untuk memasang telinga baik-baik dan perhatikan isi pembicaraannya. Kamu bisa berikan tanggapan terhadap isi pembicaraan lawan bicara kamu, namun kamu harus perhatikan jedanya. Pemb
Kini aku berada di rumah pohonku kembali. Aku ingin merangkum pengetahuan yang dijabarkan oleh Pak Bambang, Ibu Nursyiah dan teman-temanku tentang networking ini berdasarkan investigasiku.Pertama, Pak Bambang pernah menyatakan pada kami, “Seseorang dikatakan baru sukses belajar, tentunya apabila dirinya mampu membuktikan atau mengimplementasikan hasil belajarnya di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja. Sementara, kesuksesan di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja sangat ditentukan oleh kemampuan membangun relasi (networking). Begitu juga, keberhasilan dalam mengimplementasikan hasil belajar tentu harus didukung oleh bagaimana kemampuan dirinya membangun relasi yang berkualitas dengan orang atau sekelompok orang.“Kedua, kata Pak Bambang berikutnya, “Makanya, kamu harus ingat dan tak boleh meremehkan atau mengabaikan keterampilan membangun relasi, terutama sangat dibutuhkan di saat kamu tel
Bagi anak yang ingin mengubah nasib keluarga, ucapan Pak Bambang tentu mengusik hatiku. Terpikirkan terus olehku. Aku ingin mengungkap makna dari penjelasan Pak Bambang itu. Makanya wahai sahabat, biasanya kalau aku ingin cari pencerahan, aku suka nyepi. Tempat ideal bagiku adalah rumah pohon. Kebetulan di belakang rumahku itu ada pohon jambu monyet. Pohon jambu monyet ini tinggginya ada kali 15 meter. Usia pohon jambu monyet itu sekitar 50 tahun. Lihat saja lingkar pohon sudah mencapai hampir 1 meter. Di atas pohon jambu monyet itulah aku buat rumah pohon dengan ketinggian 10 meter dari tanah. Dari atas rumah pohon, aku dapat memandang seluruh penjuru kampungku. Pemandangan kampungku itu ternyata cukup menawan dilihat dari atas. Aku bisa lihat semua aktivitas warga yang berada di luar ruang. Aku merasa nyaman berada di atas rumah pohon ini dan membuat pikiranku jadi plong. Hatiku pun jadi damai. Nah, ini yang tidak dapat kucegah, pikiranku jadi liar menjelajah entah apa saja yang m
Sementara itu, Pak Bambang beranjak ke depan. Dari tengah kelas dia melanjutkan petuahnya.“Hukum alam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat itu sangatlah kejam bagi mereka yang tidak menyadarinya. Setiap individu akan terseleksi berdasarkan kemampuannya beradaptasi. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan yang memadai, maka akan tersisih.”Aku sempat menoleh memandang Yan Utama sang barometer kelas kami. Aku lihat Yan Utama begitu serius dengar petuah dari Pak Bambang ini. Seolah-olah dia ingin menyibak kunci rahasia kehidupan.“Ingat, hanya orang-orang yang piawai yang mampu untuk mensiasati diri agar dapat eksis di dalam masyarakat,” ujar Pak Bambang dengan lugas. “Kalian harus sadar belajar keras saja belumlah cukup bagi kalian untuk dapat bertahan hidup. Apalagi mendapatkan tempat utama di tengah-tengah masyarakat.”Kami terhenyak dengar perkataan Pak Bambang itu.‘Apa belajar keras saja belum cuk
Tak terasa, kini kami telah duduk dibangku kelas tiga. Ternyata, perjuangan kami belumlah usai, masih jauh menggapai mimpi. Apalagi, kami harus waspada hukum alam senantiasa mengintai setiap langkah dan banyak orang tidak menyadarinya. Kemenangan kami dalam ajang kontes Karya Ilmiah Remaja itu hanya merupakan bagian kecil, tapi sangat bermakna dalam proses pendewasaan cara berpikir, maupun cara menyusun sebuah proyek kerja yang berdaya guna. Kami menyadari, tidak banyak orang yang beruntung memperoleh kesempatan emas ikut dalam sebuah ajang kompetisi yang bergengsi tersebut. Kesempatan emas untuk mengasah kompetensi diri dan mengangkat kepermukaan kualitas diri yang tanpa kami sadari sangat berguna untuk kemudian hari. Walau demikian, masih banyak tantangan berikutnya dalam pendewasaan kami untuk mengarungi dinamika kehidupan. Tantangan apa lagi yang mungkin akan kami hadapi kemudian?Pagi itu, kata guru kami dari balik meja kerjanya, “kalian harus
Kami sempat terkejut dengar pertanyaan yang tidak kami duga itu. Dewan juri ingin menelanjangi kami, meruntuhkan moral kami. Bagaimana mungkin kami mau mengungkapkan kelemahan hasil karya ilmiah kami ini di depan dewan juri maupun tim lawan? Bahkan, di hadapan suporter lawan yang sedang menanti-nanti kelemahan tim kami. Aku dan Yan Utama saling pandang. Begitu juga dengan Zulbrito dan Daryanto. Kami langsung mendiskusikan secara kilat pertanyaan itu. Bukan karena kami tak mampu menjawab pertanyaan itu, tapi kami kuatir arah pertanyaan juri keempat itu merupakan pertanyaan jebakan yang dapat meruntuhkan penyajian tim kami.Dewan juri tersenyum-senyum lihat kami jadi kelabakan dengan pertanyaan sederhana itu. Mereka menguji kerja sama tim kami dalam memecahkan pertanyaan sederhana yang mereka ajukan itu dengan memberi ruang waktu sejenak pada kami.“Pertanyaan ini bukan jebakan?” bisik Zulbrito kuatir.Mereka memandangku karena aku yang punya ide awal
Yan Utama pun memperlihatkan gambar sketsa bentuk alat modifikasi energi gelombang laut menjadi penggerak bandul ganda yang membentuk huruf “A” dihubungkan dengan as roda gigi besar. Lalu dari roda gigi besar dihubungkan dengan transmisi putar menggunakan rantai ke double freewheel yang kemudian rantai kedua dihubungkan kembali pada fly wheel (roda gila) untuk memperbanyak putaran (rpm) dan dihubungkan ke dynamo listrik. Yan Utama pun menjelaskan gambar sketsa itu secara detail pada dewan juri maupun hadirin menggunakan slide proyektor (OHP).“…energi gelombang laut itu secara sederhana dapat dimodifikasi menjadi penggerak atau pengayun bandul ganda di atas perahu. Lalu, poros as bandul ganda dapat dihubungkan dengan as yang dapat memutar roda gigi besar. Dari roda gigi besar itu dibangun transmisi putaran yang dihubungkan dengan double preewheel menggunakan rantai. Kemudian rantai kedua dari preewheel dihu
Dalam sebuah gedung Gelanggang Remaja Medan yang terletak di Jalan Sutomo Medan, suasananya sungguh mencekam. Wakil regu kami, aku, Yan Utama, Zulbrito dan Daryanto dicecar habis dewan juri.Kali ini buah pikiran kreatif kami diuji untuk mempertaruhkan reputasi. Lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami yang baru melek ilmu berhadapan dengan raksasa yang punya nama besar dalam ajang perlombaan bergengsi seperti ini, sebut saja: sekolah Sutomo, Methodist, St. Thomas, Budi Murni maupun SMP 1 Medan. Baru lihat kostum penampilan peserta yang punya nama besar di kota Medan itu saja sudah buat kami berkecil hati. Jantung kami jatuh bangun dibuatnya. Kalau boleh dibilang, kami ini tak ubahnya seperti anak kemarin sore atau anak bawang.Walau dianggap anak bawang, namun sekolah, guru-guru, maupun siswa lainnya menaruh harapan besar di pundak kami. SEBUAH MIMPI. Kami diharapkan dapat membuka sejarah SMP 9 Medan, jadi pemenang lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami diharapkan dapat mengangka