Sementara, aku jadi keki sekali lihat kekonyolan teman-teman baruku ini. Ada-ada saja mereka, membuat wajahku jadi merah-padam. Namun, walau begitu aku harus tetap berusaha untuk tersenyum, mengatasi tekanan olok-olokan teman-teman baruku ini. Walau itu senyum kecut sekalipun. Biarlah, tiada guna aku berbantah-bantahan soal ini, malah bisa saja aku semakin terpojok nantinya. Aku memilih diam. Mungkin ini resep mujarab mengatasi tekanan olokan teman-temanku ini, membiarkan mereka berceloteh, menghamburkan rasa riang-gembira. Tak ada salahnya aku larut dan masuk dalam kekonyolan ini. Toh, tanpa menampilkan tindakan reaktif, malah ada keuntungannya bagiku, yaitu akan mendapatkan jantung teman-temanku, semakin dekat aku dengan teman-teman baruku ini, bisik hati kecilku.
“Kasihan amat kau Enda jadi bahan olok-olokan.”
Ah! Tapi itu kan hal biasa. Olok-olokan jamak terjadi dalam dinamika kehidupan manusia. Mengapa musti heran?! Mengapa musti harus kebakaran jenggot kalau pas kebetulan jadi korban olok-olokan? Cetek sekali mentalnya kalau sampai turut kebakaran, habislah sudah. (cetek itu artinya dangkal atau tipis). Padahal, orang memancing olok-olokan tak lain hanya ingin menciptakan kekonyolan sebagai objek permainan jiwa untuk melepas rasa haus dahaga alam kejenakaan. Semakin tersudut korban, semakin mengasyikkan dinamika kejenakaan dan kenikmatanlah yang menjadi muara. Kali ini memang lagi apes, Enda Kiebo giliran jadi korban objeknya Indra Kesuma dan Suheng.
“Tenang kawan! Cerita ini bermula, dari negeri dongeng SD 120,” Indra Kesuma pun mendayu-dayu berkisah dengan suara diafragmanya yang berat, sembari menggerakkan kedua tangannya, mempermainkan melodi perhatian penonton. Penonton pun menahan nafas, sambil melekatkan sorot mata tak lekang pada mimik wajah Indra Kesuma. “Kebetulan aku kenal guru Erika Purnama Panjaitan. Konon dia berkata, kini telah lahir SANG PEMIMPI BESAR yang akan mengubah negeri paradoks di ranah Deli. Tiada yang memungkiri ranah Deli kesohor makmur di dunia. Namunnn…” Penonton semakin gemas lihat penampilan Indra Kesuma yang lebih gokill dari Peni Rose dalam membawakan acara infotainment “Silet”. Coba bayangkan kala itu gaya penyat-penyot wajah Indra Kesuma itu, laksana pembadut mempermainkan alunan melodi perasaan penonton. “…siapa sangka di balik kemakmuran ini menebar kantong-kantong ke-mis-kin-nan… Ini realistis kawannn! Gubuk-gubuk reot be-te-baran di selah-selah kemilaunya daun-duit itu kawan. Apa ini bukan merupakan bukti, kawan? Ke-mis-kin-nan itu ada di depan mata kita, kawannn! Namun, siapa yang peduli ‘tuk gali akar penyebab kemiskinan itu kawan, kalau bukan SANG PEMIMPI BESAR?!” Setelah mengatur ritme tempo dramatisir, lalu Indra Kesuma menjatuhkan matanya padaku, sambil menunjuk, “Dialah Enda Kiebo…Sang Pemimpi Besar itu, kawannn…”
Lantas, aku sambut banyolan Indra Kesuma tersebut dengan senyum kuda, hingga membuat suasana jadi tambah gemuruh.
“Huh, utopia!” lenguh Bogeld dari balik kerumunan, sambil berlalu.
“Wahai kawannn! Janganlah kau remehkan SANG PEMIMPI BESAR kami. Dia udah punya TEKAD and CARA untuk hapus VIRUS MENTAL KULI yang jadi akar masalah dan yang bersemayam di hati kalian. Inilah kisah dari negeri dongeng, kawannn…” sahut Indra Kesuma dengan bergaya mengakhiri tonil banyolannya.
“Huiii, ngaco kaliii!” koar cemoohan penonton berkumandang nyaring, sembari menjungkirkan acungan jempol ke bawah dan menjungkit-jungkitkan pinggulnya, laksana dikomando saja tuh anak-anak menciptakan gaya parodi khas anak SMP 9.
Indra Kesuma pun tak mau kalah bergaya, langsung cengengesan dan menampilkan gaya pantomim, laksana Septian Dwi Cahyo melakonkan orang yang tiba-tiba menahan sesak buang air kecil dengan mengapitkan kedua pahanya, sembari celingukan kesana-kemari dan beringsut-ingsut menyambut reaksi cemoohan anak-anak lainnya itu. Tentu anak-anak lainnya itu jadi keki juga lihat ulah Indra Kesuma dan langsung membubarkan diri, sambil mencemooh.
“Huuuh!”
Sebaliknya, Suheng, Yan Utama, Julbrito, Ratna Sari, Arif Budiman, Zainab Maria dan Elfi Zahara malah terbahak-bahak lihat kekonyolan Indra Kesuma. Bahkan, Zainab Maria dan Elfi Zahara sampai menahan sakit perutnya, saking gelinya.
Sementara itu, Liem Bok dan Bogeld sibuk wara-wiri menyusuri halaman maupun koridor sekolah cari keberadaan Benhart yang tak tahu di mana juntrungannya. Mereka sudah melongok di kelas Satu E tempat mereka ditempatkan. Bahkan, mereka sudah melacak pada setiap kelas Satu, namun Benhart tak kelihatan batang hidungnya juga. Di sela-sela deru nafas yang memburu, tersirat roman kecewa menghiasi wajah keduanya. Alhasil, mereka berdua terduduk lesu di bangku panjang depan kelas Satu E.
“Di mana sih Benhart ini,” gerutu Liem Bok terbata-bata. “Apa dia belum datang? Padahal sebentar lagi kan lonceng masuk.”
“Manalah aku tau,” sahut Bogeld tak kalah kesalnya.
Sesaat kemudian, mereka berdua terdiam dan larut dalam alam maya masing-masing. Mungkin kalau zaman kini, tidak perlu bingung mencari seseorang karena zaman Hp. Orang mudah dihubungi sebab hampir semua orang sudah memilikinya, tidak kecuali anak pelajar pun sudah pada demam genggam Hp. Namun ini terjadi di akhir tahun 70-an, zamannya HT (Handy Talky). Namun, orang yang memiliki HT dapat dihitung dengan jari, sangat sedikit sekali, sebab untuk memilikinya bukanlah perkara yang mudah, harus ada izin khusus.
Liem Bok dan Bogeld tak menyadari, Benhart yang mereka cari sebenarnya lagi asyik seorang diri menikmati nikmatnya makan pisang goreng pedas, tahu isi dan teh manis dingin, suguhan khas kantin sekolah SMP 9 masa itu. Wajarlah, kalau Liem Bok dan Bogeld tidak menemukan Benhart, sebab lokasi kantin sekolah ini terletak di belakang lokal kelas Tiga, sehingga tak kelihatan dari halaman sekolah. Untuk masuk ke sana harus melalui lorong yang terdapat di antara lokal kelas Tiga di sisi Timur. Mungkin saja mereka belum tahu keberadaan kantin sekolah ini, maklum ini hari pertama mereka bersekolah di SMP 9.
Tak lama berselang, lonceng pertanda masuk sekolah berbunyi nyaring. Terlihat, para siswa pun menyambut bunyi lonceng dengan gembira, lalu membentuk barisan di depan kelasnya masing-masing. Benhart pun segera menghabiskan teh manis dinginnya dan lalu bergegas tinggalkan kantin sekolah menuju barisan kelasnya, di kelas Satu E.
“Darimana saja si kau Ben?” tegur Bogeld, begitu dia lihat Benhart memasuki barisan di sebelahnya. Kebetulan mereka berada di barisan kelas Satu E paling belakang. “Capek kami cari kau, tau!”
Benhart bukannya menjawab, malah dia mesam-mesem, sambil mempermainkan matanya.
“Payah kau!” gerutu Bogeld.
“Tenanglah kawan. Santai aja,” sergah Benhart ringan. “Aku tadi di kantin. Biasalah ingin tau bagaimana suguhan kantin baru kita.”
“Makan saja yang kau pikirkan Ben!” timpal Liem Bok terbata-bata.
“Itulah yang penting. Biar aku gak gagap kayak kau itu!”
Wajah Liem Bok sempat semburat merah, ulu hatinya langsung nyeri ditohok Benhart. Namun, Liem Bok hanya bisa tersenyum masam. Dia tak mungkin marah pada Benhart. Konyol itu artinya. Bisa celaka dua belas dirinya. Bahkan, seluruh keluarganya bisa binasa, kalau dia bermain-main dengan Benhart. Apalagi sempat menyakiti hatinya. Sebab, keluarganya sangat tergantung pada orangtua Benhart. Terutama ayahnya, sebagai Administrator di perkebunan Sampali itu yang menentukan hidup matinya roda ekonomi keluarganya. Maklumlah urat-nadi perekonomian keluarganya sebagai penyalur utama kebutuhan logistik di perkebunan Sampali.
Teringat akan hal itu, makanya Liem Bok berusaha membaiki Benhart. Apa namanya itu cari muka atau menjilat, entahlah. Tapi ach, persetan apapun namanya itu, masa bodoh! Jeritan dari bilik hatinya yang lain. Makanya, dia pun menebalkan mukanya.
“Ben, ada kabar gak sedap nih,” bisik Liem Bok.
Benhart langsung tertarik, makanya dia setengah menoleh, ingin dengar lebih lanjut omongan Liem Bok.
“Apa itu?”
“Kau tau kan anak kuli yang kita kerjai kemarin itu?!”
“Iya, kenapa rupanya?”
“Dia ternyata sekolah di sini sekarang. Di kelas Satu A lagi.”
“Apa?” Benhart terperanjat, secara refleks dia menarik baju Liem Bok dengan kasar. “Mungkin kalian salah lihat, kali!”
“Benar Ben,” tandas Bogeld tak mau ketinggalan untuk meyakinkan Benhart. “Kami gak salah lihat. Kalau gak salah mereka tadi nyebut namanya, Enda Kiebo.”
“Iya Ben, mereka tadi malah menjuluki dia, Sang Pemimpi Besar gitu,” sambung Liem Bok.
Benhart terdiam. Hati kecilnya merasa tak senang dia satu sekolahan dengan anak kuli yang satu ini. Walau kenyataannya anak yang sekolah di SMP 9 ini sebahagian besar dapat dikategorikan anak kuli. Namun entah mengapa Benhart merasa tak srek dengan anak kuli yang bernama Enda Kiebo ini.
“Ben, kurasa di sini ada kecurangan,” ucap Bogeld curiga.
Plokkk!
Tiba-tiba Benhart mengemplang kepala Bogeld.
“Bodoh!”
Bogeld terperangah, kayak orang dungu. Dia tidak habis pikir, kenapa Benhart malah menggaplok kepalanya, sambil memaki. Apa yang salah dengan ucapannya, pikirnya.
“Hei! Orang miskin kayak dia itu, mau curang gimana? Mau nyogok pakai apa dia, heh?! Mikir!”
Bogeld jadi nyengir, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu.
“Tapi, bukankah kemarin anak kuli itu meratap gak lulus?! Sekarang mengapa tiba-tiba anak kuli itu muncul, bahkan di kelas Satu A lagi?” Bogeld masih berkilah.
“Iya Ben. Kita gak boleh tinggal diam. Kita harus protes ama Kepala Sekolah,” timpal Liem Bok.
Benhart malah mendelik, memelototi Liem Bok. Dia tentu tidak setuju dengan ide konyol Liem Bok. Ide konyol Liem Bok ini bisa buat dia benar-benar jadi konyol, rahasia besar dirinyapun bisa saja terbongkar, bisik hati kecilnya. Belum lagi kalau dia bayangkan, jika kecurigaan teman-temannya ini tidak terbukti. Wow! Sulit dia bayangkan kemarahan kepala sekolah padanya, karena dituduh telah menyalahgunakan jabatannya. Benhart menggeretakkan giginya. Sementara, Liem Bok dan Bogeld jadi mengeret, kecut, lihat bos mereka merasa gerah dengar kabar tak sedap yang mereka bawa itu.
Benhart diam, berpikir keras. Namun, tak lama dia menyentilkan jarinya. Dia menemukan ide. Lalu, dia menembak dengan jarinya ke arah Bogeld dan Liem Bok, geram. Lalu dia pun berjalan maju mengikuti barisan di depannya memasuki kelas Satu E. Liem Bok dan Bogeld saling pandang, cari tahu apa maksud bos mereka itu. Tapi, keduanya saling mengangkat bahunya, tak mengerti. Lantas, mereka berdua berlari mengikuti barisannya memasuki ruang kelas.
Wow! Kelas kami ini ternyata tidak tepatlah kalau dinamakan kelas, tidak layak untuk tempat belajar, namun lebih tepat kalau dinamakan ruang rapat warga di balai pertemuan di kantor Kelurahan Pulo Brayan yang kerap kali diisi oleh riuhnya suara protes maupun kegaduhan warga karena mempertanyakan dan memperebutkan jatah raskin (beras untuk rakyat miskin) yang dirasa tak adil dalam pembagiannya, bahkan tak tepat sasaran. Atau, protes warga mempertanyakan raibnya uang Bangdes. Memang mirip, coba bayangkan kelas kami yang beratapkan seng, berdinding papan yang disusun bersirip, tanpa jendela, namun berventilasi jaring-jaring kawat si sisi barat, bahkan tanpa plafon ini dijejali penuh sesak oleh siswa, pengap. Jangan bayangkan atau berharap tentang kelas ideal untuk belajar, apalagi kelas internasional yang berpendingin air conditioning alias AC, seperti yang ditemukan kelas-kelas di sekolah Singapura. Bahkan, jangan dibandingkan dengan kelas-kelas yang ada di
Eh! Tiba-tiba Indra Kesuma memecah kesenyapan dengan mengangkat jari telunjuknya, namun wajahnya itu memperlihatkan mimik yang tak sedap dipandang, laksana orang sedang meringis, setengah ketakutan. Dia angkat tangan, sambil melirik kanan-kiri.“Bagus Indra! Ini dia yang ibu mau. Hanya Ksatria yang berani mengatakan kemerdekaannya, seperti kamu ini.”Kami terperangah, dengar ucapan pujian yang luarbiasa maknanya. Semua mata pun langsung menoleh ke pojok kiri kelas, memandang Indra Kesuma. Apalagi, lihat Indra Kesuma langsung tersenyum, bungah banget. Keberaniannya dapat dukungan dari Bu Nursyiah. Kami jadi iri dan penasaran, sebenarnya apa sih yang ingin dikatakan Indra Kesuma itu, sampai-sampai Bu Nursyiah sebegitunya memuji laksana Ksatria. Atau memang orang yang berani mengatakan pendapatnya itu ibarat Ksatria gagah berani ya?! Lantas, kami yang tak berani membuka suara apa namanya? Ah, entar kami malah dimasukkan golongan orang-orang yang tak punya nyal
Minggu siang itu, walau bergumpal-gumpal awan hitam berarak-arak mulai menghapus langit biru dan lecutan petir sekali-kali menyentak bumi, namun tidak menghilangkan kegelianku lihat gaya Indra Kesuma berjoget kegirangan ala Michael Jackson di atas pematang sawah lagi. Tak berselang lama, giliran Suheng tak mau kalah, beratraksi ala breakkedend (eh…break dance maksudnya). Lanjut, Julbrito mesam-mesem berjoget ala kuda lumping. Ada-ada saja gaya teman-temanku ini setiap joran pancing dari batang bambu kecil yang panjangnya tiga meteran miliknya berhasil mengail ikan betik (semacam ikan bethok) di selah-selah padi di sawah. Sudah tentu akting teman sekolahku ini mengundang banyak perhatian anak-anak yang sebaya dengan kami dan juga kebetulan turut memancing ikan di sawah yang ada di kampungku ini. Mereka pun tak mampu untuk tidak menahan tawa, jadilah mereka terkekeh-kekeh lihat hiburan gratis ala teman-temanku. Aku pun merasa senang sekali lihat teman-temanku
“Wusss…wussss…wusss…!”Ich! Sejauh mata memandang butiran-butiran air menari-nari, menderu-deru bersama gulungan gelombang kawanan padi yang terhuyung-huyung tak tentu arah, laksana mengalunkan simfoni sakratul maut menjemput nyawa. Konduktor malaikat maut sedang bermain-memburu nyawa, menciutkan nyali. Hati siapa yang tak tercekam lihatnya? Matahari pun bermuram-durja, udara kelabu bagai tak tembus cahaya. Kabut air membasah, melembab, membungkam cericit burung-burung yang biasa hinggap di atas padi di sawah.Namun tak dapat dipungkiri, ulah teman-temanku ini ternyata dapat menyamarkan suasana yang mencekam. Tapi yang jelas, terlepas dari apa ulah temanku ini, aku ingin lihat Kakek tersenyum, lepas dari beban hatinya atau melepas sesaat rasa penyesalan yang telah menghantui dirinya sepanjang hidupnya.Tahun 1917. Hari Ahad pagi, tepatnya hari pekanan di Desa Karang Anyar, Madiun. Tak jauh dari lokasi pekanan, dan t
Orang dari Solo itu kini membusungkan dadanya, sambil warawiri di hadapan orang-orang desa yang polos dan lugu itu. Pendek kata, bola mata orang-orang desa itu terus mengikuti ke mana gerak langkah Orang dari Solo itu.“Lihat diriku! Bandingkan dengan kalian! Lihat Kakek tua itu!” Orang dari Solo itu menunjuk lelaki tua tadi. Matanya mencemooh, ”Lihat apa yang dia punya setua itu? Kasihan, kasihan sekali dia itu, lelaki tua miskin lagi. Hidupnya sia-sia.”Orang-orang melirik ke arah lelaki tua itu.“Lihatlah dia, enggak ada bedanya dengan kalian. Sama miskinnya. Tapi, kalian lebih beruntung dari Kakek tua itu. Kalian masih muda, masih punya kesempatan. Mau miskin terus sampai tua, seperti dia? Mikir?!”Orang-orang menundukkan kepala. Sebahagian menelan ludah. Mau tidak mau, mereka memperhatikan apa saja yang melekat di tubuh mereka. Hati mereka terpukul, terpojok. Marto Kapuk muda pun merasakan hal yang sama. Mereka mer
Cerita tanah Deli, negeri gemah ripah loh jinawi tempat tumbuhnya pohon-pohon dari surga dan daunnya dapat berubah jadi uang itu laksana gemuruh lebah bertebaran dibawa angin, langsung menyebar ke seluruh penjuru Desa. Di pojok desa, di warung, di tepian sungai, di sawah, di beranda rumah, di tempat-tempat orang bertemu dan berkumpul, semua memperbincangkan negeri dongeng itu.Sementara itu, Marto Kapuk muda wajahnya begitu sumringah. Dia memacu kereta angin jantannya yang reot itu sekencang-kencangnya di antara hamparan sawah yang kering kerontang akibat kemarau panjang yang sedang melanda desanya. Hatinya membuncah. Dia sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah. Dia ingin tumpahkan hasratnya. Dia ingin merantau ke negeri dongeng…negeri harapan. Dia ingin cerita pada kedua orangtuanya tentang negeri dongeng yang baru dia dengarnya itu. Dia ingin berbagi kegembiraan dan harapan, terutama pada ibunya.Teriknya sinar Matahari tidak dihiraukan oleh Marto Kapuk
Wow! Keesokan hari, ternyata orang-orang desa terlihat berbanjar-banjar dengan wajah riang pada mengantre di depan Kantor Desa Karang Anyar. Padahal, tengah hari itu matahari lagi melontarkan angkara-murkanya ke bumi, sinar teriknya begitu menyengat, membakar kulit orang-orang desa itu, hingga peluh mengucur deras di sekujur tubuh. Angin kemarau pun berhembus terasa kering menyayat kulit, menghempaskan debu-debu ke udara. Sementara, beberapa burung gagak dengan angkuh terbang berputar-putar di udara dan ada juga yang hinggap di pucuk dahan pohon jati yang melanggas. Sorot matanya liar mengintai orang-orang desa. Konon kehadiran burung gagak, memberi isyarat akan ada prosesi kematian, pertanda sakratulmaut akan segera tiba. Yeah! orang-orang desa itu tak menyadarinya. Mereka telah dibutakan oleh angan-angan yang melambung tinggi meniti pengharapan, termasuk Marto Kapuk muda.Satu-persatu orang-orang desa itu mencatatkan diri pada Orang dari Solo itu yang terus-menerus menyungg
Surabaya. Kisah tragis ini mulai mengiringi perjalanan Marto Kapuk muda dan orang-orang desa itu. Mereka tak sadar, kalau sebenarnya mereka saat ini laksana budak belian dalam prosesi menuju Pulau Neraka. Yeah! Janganlah dikira neraka itu hanya ada di alam akhirat saja loh, namun neraka sesungguhnya ada di alam dunia yang tidak disadari oleh manusia, baik itu dalam konteks tempat maupun konteks rasa. Tempat mereka menerima azab di dunia, ketika mereka tunduk pada hawa nafsu mereka. Benar saja, hawa panas efek neraka dunia itu mulai menyelinap ke dalam rongga hati Marto Kapuk muda dan orang-orang desa itu. Bukti, begitu mereka sampai di Stasiun Pasar Turi Surabaya, tiba-tiba perasaan gelisah menghampiri mereka. Apalagi ketika menjejakkan kaki di Stasiun Pasar Turi itu, jantung Marto Kapuk dan orang-orang desa itu sekonyong-konyong berhenti berdetak beberapa saat, rasa nyeri langsung menyusuk hati. Ternyata mereka telah dinanti dan disambut sepasukan
Hari ini merupakan hari akhir bagi kami untuk tuntaskan hasil investigasi pemahaman dan cara pengembangan networking. Hari akhir pengumpulan hasil investigasi ini kami laksanakan di bawah pohon Delonix regia (Plamboyan) yang ada di halaman sekolah. Kami pun membentuk lingkaran, agar satu sama lain dapat saling pandang. Semua temanku sekelas turut hadir, baik yang jadi penyampai hasil investigasi maupun yang jadi pengamat.Sebelas. Pada poin kesebelas ini disajikan tentang percaya diri. Daryanto didaulat untuk menyampaikan pandangannya. Dia pun dengan penuh percaya diri menyampaikan pendapatnya, “Aspek kepercayaan diri juga sangat diperlukan dalam membina relasi. Ketika kamu mulai memasuki suatu perkumpulan di mana banyak orang yang berbeda sifat, berbeda status ekonomi sosialnya, kamu harus siapkan diri. Jauhkan sifat minder dalam diri kamu dan yakinkan diri kamu bahwa kamu sebenarnya sama saja dengan orang lain. Kamu harus memiliki kepercayaan diri untuk mula
Kali ini aku tidak sendiri dalam merangkum investigasi pemahaman tentang networking. Aku ditemani oleh Yan Utama, Zulbrito, Syamsul Bahri dan Indra Kesuma. Rumah pohonku pun sedikit berayun diisi lima orang sekaligus. Namun, batang pohon jambu monyet sebagai penyangga dan pelindung, aku rasa masih kuat dan amanlah untuk kami berlima. Kami pun sudah siapkan hasil investigasi masing-masing.Kedelapan. Syamsul Bahri membuka pembicaraan. Dia ulas tentang kemampuan untuk mendengarkan. Katanya, “Kemampuan untuk mendengarkan sangat diperlukan dalam membina suatu hubungan. Dalam hal ini kamu dituntut untuk menjadi seorang pendengar yang baik terhadap lawan bicara kamu. Pada awal hubungan biarkan lawan bicara kamu bicara dan bebas utarakan isi pikirannya. Kamu hanya bertugas untuk memasang telinga baik-baik dan perhatikan isi pembicaraannya. Kamu bisa berikan tanggapan terhadap isi pembicaraan lawan bicara kamu, namun kamu harus perhatikan jedanya. Pemb
Kini aku berada di rumah pohonku kembali. Aku ingin merangkum pengetahuan yang dijabarkan oleh Pak Bambang, Ibu Nursyiah dan teman-temanku tentang networking ini berdasarkan investigasiku.Pertama, Pak Bambang pernah menyatakan pada kami, “Seseorang dikatakan baru sukses belajar, tentunya apabila dirinya mampu membuktikan atau mengimplementasikan hasil belajarnya di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja. Sementara, kesuksesan di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja sangat ditentukan oleh kemampuan membangun relasi (networking). Begitu juga, keberhasilan dalam mengimplementasikan hasil belajar tentu harus didukung oleh bagaimana kemampuan dirinya membangun relasi yang berkualitas dengan orang atau sekelompok orang.“Kedua, kata Pak Bambang berikutnya, “Makanya, kamu harus ingat dan tak boleh meremehkan atau mengabaikan keterampilan membangun relasi, terutama sangat dibutuhkan di saat kamu tel
Bagi anak yang ingin mengubah nasib keluarga, ucapan Pak Bambang tentu mengusik hatiku. Terpikirkan terus olehku. Aku ingin mengungkap makna dari penjelasan Pak Bambang itu. Makanya wahai sahabat, biasanya kalau aku ingin cari pencerahan, aku suka nyepi. Tempat ideal bagiku adalah rumah pohon. Kebetulan di belakang rumahku itu ada pohon jambu monyet. Pohon jambu monyet ini tinggginya ada kali 15 meter. Usia pohon jambu monyet itu sekitar 50 tahun. Lihat saja lingkar pohon sudah mencapai hampir 1 meter. Di atas pohon jambu monyet itulah aku buat rumah pohon dengan ketinggian 10 meter dari tanah. Dari atas rumah pohon, aku dapat memandang seluruh penjuru kampungku. Pemandangan kampungku itu ternyata cukup menawan dilihat dari atas. Aku bisa lihat semua aktivitas warga yang berada di luar ruang. Aku merasa nyaman berada di atas rumah pohon ini dan membuat pikiranku jadi plong. Hatiku pun jadi damai. Nah, ini yang tidak dapat kucegah, pikiranku jadi liar menjelajah entah apa saja yang m
Sementara itu, Pak Bambang beranjak ke depan. Dari tengah kelas dia melanjutkan petuahnya.“Hukum alam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat itu sangatlah kejam bagi mereka yang tidak menyadarinya. Setiap individu akan terseleksi berdasarkan kemampuannya beradaptasi. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan yang memadai, maka akan tersisih.”Aku sempat menoleh memandang Yan Utama sang barometer kelas kami. Aku lihat Yan Utama begitu serius dengar petuah dari Pak Bambang ini. Seolah-olah dia ingin menyibak kunci rahasia kehidupan.“Ingat, hanya orang-orang yang piawai yang mampu untuk mensiasati diri agar dapat eksis di dalam masyarakat,” ujar Pak Bambang dengan lugas. “Kalian harus sadar belajar keras saja belumlah cukup bagi kalian untuk dapat bertahan hidup. Apalagi mendapatkan tempat utama di tengah-tengah masyarakat.”Kami terhenyak dengar perkataan Pak Bambang itu.‘Apa belajar keras saja belum cuk
Tak terasa, kini kami telah duduk dibangku kelas tiga. Ternyata, perjuangan kami belumlah usai, masih jauh menggapai mimpi. Apalagi, kami harus waspada hukum alam senantiasa mengintai setiap langkah dan banyak orang tidak menyadarinya. Kemenangan kami dalam ajang kontes Karya Ilmiah Remaja itu hanya merupakan bagian kecil, tapi sangat bermakna dalam proses pendewasaan cara berpikir, maupun cara menyusun sebuah proyek kerja yang berdaya guna. Kami menyadari, tidak banyak orang yang beruntung memperoleh kesempatan emas ikut dalam sebuah ajang kompetisi yang bergengsi tersebut. Kesempatan emas untuk mengasah kompetensi diri dan mengangkat kepermukaan kualitas diri yang tanpa kami sadari sangat berguna untuk kemudian hari. Walau demikian, masih banyak tantangan berikutnya dalam pendewasaan kami untuk mengarungi dinamika kehidupan. Tantangan apa lagi yang mungkin akan kami hadapi kemudian?Pagi itu, kata guru kami dari balik meja kerjanya, “kalian harus
Kami sempat terkejut dengar pertanyaan yang tidak kami duga itu. Dewan juri ingin menelanjangi kami, meruntuhkan moral kami. Bagaimana mungkin kami mau mengungkapkan kelemahan hasil karya ilmiah kami ini di depan dewan juri maupun tim lawan? Bahkan, di hadapan suporter lawan yang sedang menanti-nanti kelemahan tim kami. Aku dan Yan Utama saling pandang. Begitu juga dengan Zulbrito dan Daryanto. Kami langsung mendiskusikan secara kilat pertanyaan itu. Bukan karena kami tak mampu menjawab pertanyaan itu, tapi kami kuatir arah pertanyaan juri keempat itu merupakan pertanyaan jebakan yang dapat meruntuhkan penyajian tim kami.Dewan juri tersenyum-senyum lihat kami jadi kelabakan dengan pertanyaan sederhana itu. Mereka menguji kerja sama tim kami dalam memecahkan pertanyaan sederhana yang mereka ajukan itu dengan memberi ruang waktu sejenak pada kami.“Pertanyaan ini bukan jebakan?” bisik Zulbrito kuatir.Mereka memandangku karena aku yang punya ide awal
Yan Utama pun memperlihatkan gambar sketsa bentuk alat modifikasi energi gelombang laut menjadi penggerak bandul ganda yang membentuk huruf “A” dihubungkan dengan as roda gigi besar. Lalu dari roda gigi besar dihubungkan dengan transmisi putar menggunakan rantai ke double freewheel yang kemudian rantai kedua dihubungkan kembali pada fly wheel (roda gila) untuk memperbanyak putaran (rpm) dan dihubungkan ke dynamo listrik. Yan Utama pun menjelaskan gambar sketsa itu secara detail pada dewan juri maupun hadirin menggunakan slide proyektor (OHP).“…energi gelombang laut itu secara sederhana dapat dimodifikasi menjadi penggerak atau pengayun bandul ganda di atas perahu. Lalu, poros as bandul ganda dapat dihubungkan dengan as yang dapat memutar roda gigi besar. Dari roda gigi besar itu dibangun transmisi putaran yang dihubungkan dengan double preewheel menggunakan rantai. Kemudian rantai kedua dari preewheel dihu
Dalam sebuah gedung Gelanggang Remaja Medan yang terletak di Jalan Sutomo Medan, suasananya sungguh mencekam. Wakil regu kami, aku, Yan Utama, Zulbrito dan Daryanto dicecar habis dewan juri.Kali ini buah pikiran kreatif kami diuji untuk mempertaruhkan reputasi. Lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami yang baru melek ilmu berhadapan dengan raksasa yang punya nama besar dalam ajang perlombaan bergengsi seperti ini, sebut saja: sekolah Sutomo, Methodist, St. Thomas, Budi Murni maupun SMP 1 Medan. Baru lihat kostum penampilan peserta yang punya nama besar di kota Medan itu saja sudah buat kami berkecil hati. Jantung kami jatuh bangun dibuatnya. Kalau boleh dibilang, kami ini tak ubahnya seperti anak kemarin sore atau anak bawang.Walau dianggap anak bawang, namun sekolah, guru-guru, maupun siswa lainnya menaruh harapan besar di pundak kami. SEBUAH MIMPI. Kami diharapkan dapat membuka sejarah SMP 9 Medan, jadi pemenang lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami diharapkan dapat mengangka