Wow! Pagi itu, senyum cerah menghiasi wajahku, seiring dengan segarnya dedaunan rerumputan yang masih berlapis butiran-butiran embun dan sinar mentari pagi yang cerah. Aku senang sekali! Apalagi ini hari pertamaku sekolah di SMP 9, aku mengenakan setelan seragam putih-putih baru yang khusus dibuatkan Emak untukku. Begitu juga, aku mengenakan sepatu hitam baru, merek “Deli”. Walau terkesan sepatu murahan, tapi tak mengurangi kegembiraanku. Kegembiraan membuatku begitu semangat mengayuh kereta angin tuaku menuju sekolahan. Kegembiraan anak seorang kuli dengan harapan tidak ingin jadi kuli, seperti bapakku maupun kakekku lagi. Kata-kata wasiat Ibu Erika Purnama Panjaitan, guru kelas VI SD-ku masih terngiang-ngiang di telingaku:
“Kalau mau jadi orang jangan bermental kuli. Jadilah diri kamu yang memiliki kecerdasan dan berani mengejar mimpi…berani menentang segala rintangan apapun.”
Makanya, aku gembira sekali ketika dapat kesempatan menjejak tapak-tapak mimpiku. Aku tak boleh menyia-siakan kesempatan emas ini. Aku harus menghargai peluang sekecil apapun dan waktu yang ada di depan mataku ini. Kesempatan emas yang sama itu tidak bakalan datang untuk kedua kalinya, hanya orang-orang bodoh saja yang menyia-siakan kesempatan emas dan peluang apapun itu, kata orang. Bahkan, tidak semua orang memperoleh kesempatan emas. Buktinya, ribuan orang yang terhampar di ranah Deli ini, khususnya para anak kuli di kantong-kantong miskin yang ada di sekitar perkebunan eks Deli Matschapaij yang didirikan oleh Jacobus Nienhuijs tahun 1869, tapi kini telah dinasionalisasi oleh pemerintah dan dikelola atas nama PTP IX (yang kini telah berganti nama PTPN II). Juga, yang terserak di perkebunan-perkebunan swasta, anak kuli pabrik-pabrik, anak petani penggarap, bahkan anak nelayan yang seusiaku tidak seberuntung diriku hari ini, bisa sekolah.
Ternyata, kegembiraan bukan untukku seorang. Terlihat ada beberapa siswa turun dari mobil atau motor yang mengantarnya dengan ceria. Di antaranya, Benhart yang masih dengan gaya senyum angkuhnya yang gede rasa. Dia anggap dirinya berasal dari golongan yang berbeda, kaum borjuis, alias elit and tajir. Huh! Dia bergaya turun dari mobilnya, oooiii… Apalagi, gaya membusungkan dada dan cibirannya yang tersungging di sudut bibirnya itu, memandang rendah orang yang berada di sekelilingnya sungguh menyebalkan…
Tak berselang lama muncul Liem Bok dan Bogeld, tak jauh beda ama perangai Benhart. Begitu keluar dari mobilnya, dengan pringas-pringisnya, sambil menarik-narik membetulkan sabuk pinggang yang sudah betul itu menyapu 180 derajat sudut pandangnya. Dia berusaha melampiaskan egonya. Namun terlihat sebahagian besar siswa berjalan kaki memasuki gerbang sekolah dengan ceria dan tak menghiraukan Liem Bok maupun Bogeld. Liem Bok sedikit kesal, merasa tak diacuhkan. Sesaat kemudian, dia lalu menoleh dengan bahasa isyarat mengajak Bogeld memasuki gerbang sekolah dengan sok jumawa.
Terlihat sebahagian siswa naik kereta angin dengan semangat, khususnya yang rumahnya jauh dari sekolah, seperti diriku. Hari itu, tampak jelas wajah-wajah ceria menghiasi wajah siswa yang baru diterima masuk sekolah SMP 9 Pulo Brayan Medan ini. Setelah aku meletakkan kereta angin tuaku di tempat parkir sekolah, maka aku pun tak mau kalah bergegas ingin membaur bersama siswa lainnya di halaman sekolah.
“Hah!”
Liem Bok dan Bogeld langsung terperangah, tak percaya lihat diriku setengah berlari melintas di hadapan mereka. Liem Bok pun mengucek-ngucek kedua bola matanya yang sipit itu, penasaran, memastikan penglihatannya tak salah lihat. Lain lagi dengan Bogeld yang memutar-mutar kedua bola matanya dan mulutnya sedikit terbuka, memperhatikan diriku dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Mereka jadi merasa heran sekali lihat kehadiranku di SMP 9 ini.
“Bagaimana mungkin anak kuli yang satu ini bisa sekolah di sini, Geld?” tanya Liem Bok terbata-bata penasaran, sambil tangan kirinya menarik lengan baju Bogeld dan tangan kanannya menunjuk diriku.
“Manalah aku tau, Liem! Itu juga yang kuherankan,” sergah Bogeld tak habis pikir. “Bukankah kita lihat anak kuli itu kemarin lagi meratapi nasibnya tak lolos seleksi?!”
“Itulah masalahnya, ini pasti ada kecurangan Geld. Ini gak bisa dibiarkan,” timpal Liem Bok, masih terlihat terbata-bata. Lucunya, saking penasarannya, mata Liem Bok pun terlihat kedap-kedip makin sipit. “Benhart harus tau, Geld.”
“Betul Liem. Kita harus buktikan. Jangan biarkan penyusup masuk ke sekolah kita,” sahut Bogeld.
Mereka pun bergegas menuju halaman sekolah, cari Benhart di antara para siswa yang bergerombol lihat pengumuman daftar siswa di setiap depan kelas satu.
Sementara itu, aku mendapati Yan Utama Nst lagi bercanda-ria dengan beberapa teman barunya, sambil duduk-duduk di atas bangku panjang yang melingkar di bawah pohon Delonix regia dari famili fabaceae dan termasuk kelas magnoliopsida itu, orang Indonesia menyebutnya pohon flamboyan, yang di adaptasi dari kata flamboyan (bahasa Prancis) yang bermakna “cemerlang”. Saat bunga Delonix regia bermekaran menampilkan panorama yang luarbiasa menawannya, menggetarkan jiwa, hingga membuat orang selalu menanti dan merindukan nuansa kehadiran bunga Delonix regia ini. Apalagi, setiap kali bunga bermekaran, akan menciptakan suasana syahdu dan romantis, kata orang saat yang tepat untuk rendezvous, laksana memadu kasih sepasang merpati. Itulah flamboyan, pohon legendaris yang oleh kalangan pencinta tanaman hias menyebutnya sebagai “tanaman terindah di dunia”.
Getar-getar indahnya bunga Delonix regia ini, hingga membuat kalangan ilmiah pun menurunkan julukannya dengan Royal Poinciana. Orang India menyebutnya dengan gulmohar. Julukan lainnya adalah “flame of the forest”. Begitu ensiklopedia menyebutnya.
Entah secara kebetulan atau tidak, tapi nyatanya pohon Delonix regia ini memayungi kelas Satu A. Apakah ini pertanda, anak kelas Satu A akan menjadi pribadi-pribadi yang cemerlang dengan istilah yang keren flamboyant personality gitu, tetapi itu semua wallahu a’lam (Allah lebih tahu).
Kebetulan juga kelas Satu A yang di depannya terdapat pohon Delonix regia ini terletak di ujung, sehingga jika memasuki sekolah dari pintu gerbang belakang sekolah, maka kelas pertamalah yang ditemui. Memang, saban harinya setiap siswa di SMP 9 ini harus memasuki sekolah melalui gerbang pintu belakang sekolah. Sebaliknya, yang diperkenankan melalui pintu gerbang utama dan menikmati pesona panorama barisan pohon Delonix regia yang meneduhi jalan menuju depan sekolah hanya Kepala Sekolah, guru, staf sekolah maupun pengunjung sekolah. Kecuali, bagi siswa yang terlambat, maka tiada kata lain, wajib melalui pintu gerbang utama dan harus menghadap dan diinterogasi piket untuk mendapatkan izin masuk kelas.
Kebetulan juga Yan Utama lagi menoleh dan lihat diriku. Makanya, aku langsung saja bergabung dengan mereka.
“Hai En! Kau baru datang?!” sapa Yan Utama. Aku pun mengangguk dan tersenyum padanya. “En, ternyata kita sekelas di kelas Satu A lho!”
“Ohya!”sambutku dengan gembira. Aku pun menggenggam erat tangan Yan Utama, senang sekali. Apalagi, Yan Utama menunjukkan copy-an daftar nama-nama anak kelas Satu A padaku.
Yan Utama pun memperkenalkanku dengan teman-teman baruku sekelas, Suhermanto alias Suheng, Indra Kesuma, Elfi Zahara dan Zainab Maria.
“Oh, kaukah yang bernama Enda Kiebo sang pemimpi besar anak SD 120 itu?!” tiba-tiba celetuk Indra Kesuma padaku, sambil cengengesan.
“Ciileee… Sang Pemimpi Besar nih yeee…!” seru Elfi Zahara dan Zainab Maria terkekeh-kekeh, mengolok-olok.
Wow! Aku jadi terperangah dengar ucapan Indra Kesuma. Apalagi dengar olok-olokan Elfi Zahara, anak perempuan yang berkepang ekor kuda itu, membuatku jadi jengah. Semua mata teman-teman baruku ini jatuh pandang padaku, cengar-cengir tergelitik ucapan konyol Indra kesuma itu. Hati kecilku berbisik, darimana Indra Kesuma ini tahu julukanku saat di SD, sang pemimpi besar. Ah! Ini gara-gara kerjaan Bu Erika Purnama Panjaitan saja saat bercanda lihat penampilanku menggebu-gebu membawakan puisi, Kelabu Di Balik Bayang-Bayang Kemilauan Daun Duit ciptaanku sendiri, buatku jadi jengah begini.
“Tenang kawannn!” ujar Suheng maju tampil dengan gayanya, laksana mimik pemandu acara, Koes Hendratmo beraksi dalam acara Berpacu dalam Melodi, sebuah acara di TVRI.
Sementara teman-temanku yang lain jadi tersenyum-senyum geli lihat ulah Suheng mendramatisir suasana. Dia pun lalu menarik tanganku dan mendudukkan aku di bangku panjang bekasnya. Kemudian, dia menarik Indra Kesuma berdiri untuk bercerita.
“Darimana kau tau Ind, teman kita ini Sang Pemimpi Besar? Mengapa pula dia dijuluki Sang Pemimpi Besar?”
Gara-gara ulah Suheng ini, jadi menarik perhatian anak-anak lainnya. Makanya, mereka pada mengerubuti ingin tahu. Tidak ketinggalan Julbrito, Ratna Sari dan Arif Budiman pun langsung turut bergabung dengan kami, ingin menyaksikan aksi Indra Kesuma. Gayung pun bersambut, Indra Kesuma lantas berakting dengan melebarkan senyumnya dan melontarkan senyum kudanya ke kanan-kiri pada hadirin, memancing suasana agar semakin konyol. Memang klop Suheng dan Indra Kesuma pencipta banyolan. Tentu suasana pun jadi heboh sekali lihat Indra Kesuma memainkan tonil satu babaknya.
Sementara, aku jadi keki sekali lihat kekonyolan teman-teman baruku ini. Ada-ada saja mereka, membuat wajahku jadi merah-padam. Namun, walau begitu aku harus tetap berusaha untuk tersenyum, mengatasi tekanan olok-olokan teman-teman baruku ini. Walau itu senyum kecut sekalipun. Biarlah, tiada guna aku berbantah-bantahan soal ini, malah bisa saja aku semakin terpojok nantinya. Aku memilih diam. Mungkin ini resep mujarab mengatasi tekanan olokan teman-temanku ini, membiarkan mereka berceloteh, menghamburkan rasa riang-gembira. Tak ada salahnya aku larut dan masuk dalam kekonyolan ini. Toh, tanpa menampilkan tindakan reaktif, malah ada keuntungannya bagiku, yaitu akan mendapatkan jantung teman-temanku, semakin dekat aku dengan teman-teman baruku ini, bisik hati kecilku.“Kasihan amat kau Enda jadi bahan olok-olokan.”Ah! Tapi itu kan hal biasa. Olok-olokan jamak terjadi dalam dinamika kehidupan manusia. Mengapa musti heran?! Mengapa musti harus kebakaran jenggo
Wow! Kelas kami ini ternyata tidak tepatlah kalau dinamakan kelas, tidak layak untuk tempat belajar, namun lebih tepat kalau dinamakan ruang rapat warga di balai pertemuan di kantor Kelurahan Pulo Brayan yang kerap kali diisi oleh riuhnya suara protes maupun kegaduhan warga karena mempertanyakan dan memperebutkan jatah raskin (beras untuk rakyat miskin) yang dirasa tak adil dalam pembagiannya, bahkan tak tepat sasaran. Atau, protes warga mempertanyakan raibnya uang Bangdes. Memang mirip, coba bayangkan kelas kami yang beratapkan seng, berdinding papan yang disusun bersirip, tanpa jendela, namun berventilasi jaring-jaring kawat si sisi barat, bahkan tanpa plafon ini dijejali penuh sesak oleh siswa, pengap. Jangan bayangkan atau berharap tentang kelas ideal untuk belajar, apalagi kelas internasional yang berpendingin air conditioning alias AC, seperti yang ditemukan kelas-kelas di sekolah Singapura. Bahkan, jangan dibandingkan dengan kelas-kelas yang ada di
Eh! Tiba-tiba Indra Kesuma memecah kesenyapan dengan mengangkat jari telunjuknya, namun wajahnya itu memperlihatkan mimik yang tak sedap dipandang, laksana orang sedang meringis, setengah ketakutan. Dia angkat tangan, sambil melirik kanan-kiri.“Bagus Indra! Ini dia yang ibu mau. Hanya Ksatria yang berani mengatakan kemerdekaannya, seperti kamu ini.”Kami terperangah, dengar ucapan pujian yang luarbiasa maknanya. Semua mata pun langsung menoleh ke pojok kiri kelas, memandang Indra Kesuma. Apalagi, lihat Indra Kesuma langsung tersenyum, bungah banget. Keberaniannya dapat dukungan dari Bu Nursyiah. Kami jadi iri dan penasaran, sebenarnya apa sih yang ingin dikatakan Indra Kesuma itu, sampai-sampai Bu Nursyiah sebegitunya memuji laksana Ksatria. Atau memang orang yang berani mengatakan pendapatnya itu ibarat Ksatria gagah berani ya?! Lantas, kami yang tak berani membuka suara apa namanya? Ah, entar kami malah dimasukkan golongan orang-orang yang tak punya nyal
Minggu siang itu, walau bergumpal-gumpal awan hitam berarak-arak mulai menghapus langit biru dan lecutan petir sekali-kali menyentak bumi, namun tidak menghilangkan kegelianku lihat gaya Indra Kesuma berjoget kegirangan ala Michael Jackson di atas pematang sawah lagi. Tak berselang lama, giliran Suheng tak mau kalah, beratraksi ala breakkedend (eh…break dance maksudnya). Lanjut, Julbrito mesam-mesem berjoget ala kuda lumping. Ada-ada saja gaya teman-temanku ini setiap joran pancing dari batang bambu kecil yang panjangnya tiga meteran miliknya berhasil mengail ikan betik (semacam ikan bethok) di selah-selah padi di sawah. Sudah tentu akting teman sekolahku ini mengundang banyak perhatian anak-anak yang sebaya dengan kami dan juga kebetulan turut memancing ikan di sawah yang ada di kampungku ini. Mereka pun tak mampu untuk tidak menahan tawa, jadilah mereka terkekeh-kekeh lihat hiburan gratis ala teman-temanku. Aku pun merasa senang sekali lihat teman-temanku
“Wusss…wussss…wusss…!”Ich! Sejauh mata memandang butiran-butiran air menari-nari, menderu-deru bersama gulungan gelombang kawanan padi yang terhuyung-huyung tak tentu arah, laksana mengalunkan simfoni sakratul maut menjemput nyawa. Konduktor malaikat maut sedang bermain-memburu nyawa, menciutkan nyali. Hati siapa yang tak tercekam lihatnya? Matahari pun bermuram-durja, udara kelabu bagai tak tembus cahaya. Kabut air membasah, melembab, membungkam cericit burung-burung yang biasa hinggap di atas padi di sawah.Namun tak dapat dipungkiri, ulah teman-temanku ini ternyata dapat menyamarkan suasana yang mencekam. Tapi yang jelas, terlepas dari apa ulah temanku ini, aku ingin lihat Kakek tersenyum, lepas dari beban hatinya atau melepas sesaat rasa penyesalan yang telah menghantui dirinya sepanjang hidupnya.Tahun 1917. Hari Ahad pagi, tepatnya hari pekanan di Desa Karang Anyar, Madiun. Tak jauh dari lokasi pekanan, dan t
Orang dari Solo itu kini membusungkan dadanya, sambil warawiri di hadapan orang-orang desa yang polos dan lugu itu. Pendek kata, bola mata orang-orang desa itu terus mengikuti ke mana gerak langkah Orang dari Solo itu.“Lihat diriku! Bandingkan dengan kalian! Lihat Kakek tua itu!” Orang dari Solo itu menunjuk lelaki tua tadi. Matanya mencemooh, ”Lihat apa yang dia punya setua itu? Kasihan, kasihan sekali dia itu, lelaki tua miskin lagi. Hidupnya sia-sia.”Orang-orang melirik ke arah lelaki tua itu.“Lihatlah dia, enggak ada bedanya dengan kalian. Sama miskinnya. Tapi, kalian lebih beruntung dari Kakek tua itu. Kalian masih muda, masih punya kesempatan. Mau miskin terus sampai tua, seperti dia? Mikir?!”Orang-orang menundukkan kepala. Sebahagian menelan ludah. Mau tidak mau, mereka memperhatikan apa saja yang melekat di tubuh mereka. Hati mereka terpukul, terpojok. Marto Kapuk muda pun merasakan hal yang sama. Mereka mer
Cerita tanah Deli, negeri gemah ripah loh jinawi tempat tumbuhnya pohon-pohon dari surga dan daunnya dapat berubah jadi uang itu laksana gemuruh lebah bertebaran dibawa angin, langsung menyebar ke seluruh penjuru Desa. Di pojok desa, di warung, di tepian sungai, di sawah, di beranda rumah, di tempat-tempat orang bertemu dan berkumpul, semua memperbincangkan negeri dongeng itu.Sementara itu, Marto Kapuk muda wajahnya begitu sumringah. Dia memacu kereta angin jantannya yang reot itu sekencang-kencangnya di antara hamparan sawah yang kering kerontang akibat kemarau panjang yang sedang melanda desanya. Hatinya membuncah. Dia sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah. Dia ingin tumpahkan hasratnya. Dia ingin merantau ke negeri dongeng…negeri harapan. Dia ingin cerita pada kedua orangtuanya tentang negeri dongeng yang baru dia dengarnya itu. Dia ingin berbagi kegembiraan dan harapan, terutama pada ibunya.Teriknya sinar Matahari tidak dihiraukan oleh Marto Kapuk
Wow! Keesokan hari, ternyata orang-orang desa terlihat berbanjar-banjar dengan wajah riang pada mengantre di depan Kantor Desa Karang Anyar. Padahal, tengah hari itu matahari lagi melontarkan angkara-murkanya ke bumi, sinar teriknya begitu menyengat, membakar kulit orang-orang desa itu, hingga peluh mengucur deras di sekujur tubuh. Angin kemarau pun berhembus terasa kering menyayat kulit, menghempaskan debu-debu ke udara. Sementara, beberapa burung gagak dengan angkuh terbang berputar-putar di udara dan ada juga yang hinggap di pucuk dahan pohon jati yang melanggas. Sorot matanya liar mengintai orang-orang desa. Konon kehadiran burung gagak, memberi isyarat akan ada prosesi kematian, pertanda sakratulmaut akan segera tiba. Yeah! orang-orang desa itu tak menyadarinya. Mereka telah dibutakan oleh angan-angan yang melambung tinggi meniti pengharapan, termasuk Marto Kapuk muda.Satu-persatu orang-orang desa itu mencatatkan diri pada Orang dari Solo itu yang terus-menerus menyungg
Hari ini merupakan hari akhir bagi kami untuk tuntaskan hasil investigasi pemahaman dan cara pengembangan networking. Hari akhir pengumpulan hasil investigasi ini kami laksanakan di bawah pohon Delonix regia (Plamboyan) yang ada di halaman sekolah. Kami pun membentuk lingkaran, agar satu sama lain dapat saling pandang. Semua temanku sekelas turut hadir, baik yang jadi penyampai hasil investigasi maupun yang jadi pengamat.Sebelas. Pada poin kesebelas ini disajikan tentang percaya diri. Daryanto didaulat untuk menyampaikan pandangannya. Dia pun dengan penuh percaya diri menyampaikan pendapatnya, “Aspek kepercayaan diri juga sangat diperlukan dalam membina relasi. Ketika kamu mulai memasuki suatu perkumpulan di mana banyak orang yang berbeda sifat, berbeda status ekonomi sosialnya, kamu harus siapkan diri. Jauhkan sifat minder dalam diri kamu dan yakinkan diri kamu bahwa kamu sebenarnya sama saja dengan orang lain. Kamu harus memiliki kepercayaan diri untuk mula
Kali ini aku tidak sendiri dalam merangkum investigasi pemahaman tentang networking. Aku ditemani oleh Yan Utama, Zulbrito, Syamsul Bahri dan Indra Kesuma. Rumah pohonku pun sedikit berayun diisi lima orang sekaligus. Namun, batang pohon jambu monyet sebagai penyangga dan pelindung, aku rasa masih kuat dan amanlah untuk kami berlima. Kami pun sudah siapkan hasil investigasi masing-masing.Kedelapan. Syamsul Bahri membuka pembicaraan. Dia ulas tentang kemampuan untuk mendengarkan. Katanya, “Kemampuan untuk mendengarkan sangat diperlukan dalam membina suatu hubungan. Dalam hal ini kamu dituntut untuk menjadi seorang pendengar yang baik terhadap lawan bicara kamu. Pada awal hubungan biarkan lawan bicara kamu bicara dan bebas utarakan isi pikirannya. Kamu hanya bertugas untuk memasang telinga baik-baik dan perhatikan isi pembicaraannya. Kamu bisa berikan tanggapan terhadap isi pembicaraan lawan bicara kamu, namun kamu harus perhatikan jedanya. Pemb
Kini aku berada di rumah pohonku kembali. Aku ingin merangkum pengetahuan yang dijabarkan oleh Pak Bambang, Ibu Nursyiah dan teman-temanku tentang networking ini berdasarkan investigasiku.Pertama, Pak Bambang pernah menyatakan pada kami, “Seseorang dikatakan baru sukses belajar, tentunya apabila dirinya mampu membuktikan atau mengimplementasikan hasil belajarnya di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja. Sementara, kesuksesan di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja sangat ditentukan oleh kemampuan membangun relasi (networking). Begitu juga, keberhasilan dalam mengimplementasikan hasil belajar tentu harus didukung oleh bagaimana kemampuan dirinya membangun relasi yang berkualitas dengan orang atau sekelompok orang.“Kedua, kata Pak Bambang berikutnya, “Makanya, kamu harus ingat dan tak boleh meremehkan atau mengabaikan keterampilan membangun relasi, terutama sangat dibutuhkan di saat kamu tel
Bagi anak yang ingin mengubah nasib keluarga, ucapan Pak Bambang tentu mengusik hatiku. Terpikirkan terus olehku. Aku ingin mengungkap makna dari penjelasan Pak Bambang itu. Makanya wahai sahabat, biasanya kalau aku ingin cari pencerahan, aku suka nyepi. Tempat ideal bagiku adalah rumah pohon. Kebetulan di belakang rumahku itu ada pohon jambu monyet. Pohon jambu monyet ini tinggginya ada kali 15 meter. Usia pohon jambu monyet itu sekitar 50 tahun. Lihat saja lingkar pohon sudah mencapai hampir 1 meter. Di atas pohon jambu monyet itulah aku buat rumah pohon dengan ketinggian 10 meter dari tanah. Dari atas rumah pohon, aku dapat memandang seluruh penjuru kampungku. Pemandangan kampungku itu ternyata cukup menawan dilihat dari atas. Aku bisa lihat semua aktivitas warga yang berada di luar ruang. Aku merasa nyaman berada di atas rumah pohon ini dan membuat pikiranku jadi plong. Hatiku pun jadi damai. Nah, ini yang tidak dapat kucegah, pikiranku jadi liar menjelajah entah apa saja yang m
Sementara itu, Pak Bambang beranjak ke depan. Dari tengah kelas dia melanjutkan petuahnya.“Hukum alam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat itu sangatlah kejam bagi mereka yang tidak menyadarinya. Setiap individu akan terseleksi berdasarkan kemampuannya beradaptasi. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan yang memadai, maka akan tersisih.”Aku sempat menoleh memandang Yan Utama sang barometer kelas kami. Aku lihat Yan Utama begitu serius dengar petuah dari Pak Bambang ini. Seolah-olah dia ingin menyibak kunci rahasia kehidupan.“Ingat, hanya orang-orang yang piawai yang mampu untuk mensiasati diri agar dapat eksis di dalam masyarakat,” ujar Pak Bambang dengan lugas. “Kalian harus sadar belajar keras saja belumlah cukup bagi kalian untuk dapat bertahan hidup. Apalagi mendapatkan tempat utama di tengah-tengah masyarakat.”Kami terhenyak dengar perkataan Pak Bambang itu.‘Apa belajar keras saja belum cuk
Tak terasa, kini kami telah duduk dibangku kelas tiga. Ternyata, perjuangan kami belumlah usai, masih jauh menggapai mimpi. Apalagi, kami harus waspada hukum alam senantiasa mengintai setiap langkah dan banyak orang tidak menyadarinya. Kemenangan kami dalam ajang kontes Karya Ilmiah Remaja itu hanya merupakan bagian kecil, tapi sangat bermakna dalam proses pendewasaan cara berpikir, maupun cara menyusun sebuah proyek kerja yang berdaya guna. Kami menyadari, tidak banyak orang yang beruntung memperoleh kesempatan emas ikut dalam sebuah ajang kompetisi yang bergengsi tersebut. Kesempatan emas untuk mengasah kompetensi diri dan mengangkat kepermukaan kualitas diri yang tanpa kami sadari sangat berguna untuk kemudian hari. Walau demikian, masih banyak tantangan berikutnya dalam pendewasaan kami untuk mengarungi dinamika kehidupan. Tantangan apa lagi yang mungkin akan kami hadapi kemudian?Pagi itu, kata guru kami dari balik meja kerjanya, “kalian harus
Kami sempat terkejut dengar pertanyaan yang tidak kami duga itu. Dewan juri ingin menelanjangi kami, meruntuhkan moral kami. Bagaimana mungkin kami mau mengungkapkan kelemahan hasil karya ilmiah kami ini di depan dewan juri maupun tim lawan? Bahkan, di hadapan suporter lawan yang sedang menanti-nanti kelemahan tim kami. Aku dan Yan Utama saling pandang. Begitu juga dengan Zulbrito dan Daryanto. Kami langsung mendiskusikan secara kilat pertanyaan itu. Bukan karena kami tak mampu menjawab pertanyaan itu, tapi kami kuatir arah pertanyaan juri keempat itu merupakan pertanyaan jebakan yang dapat meruntuhkan penyajian tim kami.Dewan juri tersenyum-senyum lihat kami jadi kelabakan dengan pertanyaan sederhana itu. Mereka menguji kerja sama tim kami dalam memecahkan pertanyaan sederhana yang mereka ajukan itu dengan memberi ruang waktu sejenak pada kami.“Pertanyaan ini bukan jebakan?” bisik Zulbrito kuatir.Mereka memandangku karena aku yang punya ide awal
Yan Utama pun memperlihatkan gambar sketsa bentuk alat modifikasi energi gelombang laut menjadi penggerak bandul ganda yang membentuk huruf “A” dihubungkan dengan as roda gigi besar. Lalu dari roda gigi besar dihubungkan dengan transmisi putar menggunakan rantai ke double freewheel yang kemudian rantai kedua dihubungkan kembali pada fly wheel (roda gila) untuk memperbanyak putaran (rpm) dan dihubungkan ke dynamo listrik. Yan Utama pun menjelaskan gambar sketsa itu secara detail pada dewan juri maupun hadirin menggunakan slide proyektor (OHP).“…energi gelombang laut itu secara sederhana dapat dimodifikasi menjadi penggerak atau pengayun bandul ganda di atas perahu. Lalu, poros as bandul ganda dapat dihubungkan dengan as yang dapat memutar roda gigi besar. Dari roda gigi besar itu dibangun transmisi putaran yang dihubungkan dengan double preewheel menggunakan rantai. Kemudian rantai kedua dari preewheel dihu
Dalam sebuah gedung Gelanggang Remaja Medan yang terletak di Jalan Sutomo Medan, suasananya sungguh mencekam. Wakil regu kami, aku, Yan Utama, Zulbrito dan Daryanto dicecar habis dewan juri.Kali ini buah pikiran kreatif kami diuji untuk mempertaruhkan reputasi. Lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami yang baru melek ilmu berhadapan dengan raksasa yang punya nama besar dalam ajang perlombaan bergengsi seperti ini, sebut saja: sekolah Sutomo, Methodist, St. Thomas, Budi Murni maupun SMP 1 Medan. Baru lihat kostum penampilan peserta yang punya nama besar di kota Medan itu saja sudah buat kami berkecil hati. Jantung kami jatuh bangun dibuatnya. Kalau boleh dibilang, kami ini tak ubahnya seperti anak kemarin sore atau anak bawang.Walau dianggap anak bawang, namun sekolah, guru-guru, maupun siswa lainnya menaruh harapan besar di pundak kami. SEBUAH MIMPI. Kami diharapkan dapat membuka sejarah SMP 9 Medan, jadi pemenang lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami diharapkan dapat mengangka