Aku memandangnya tak berkedip. Anak berambut agak ikal dan bertubuh sedikit agak kecil dariku ini, rupanya cerdas juga. Bahasanya sungguh berkelas, siapa dia, bisik hati kecilku.
“Hoya, namamu siapa? Kalau aku, Enda,” tanyaku setengah ragu-ragu. Aku takut dia hanya basa-basi, sok ramah padaku. Atau, hanya karena dia juga punya perasaan tak suka pada sifat dan kelakuan Benhart yang angkuh itu. Aku tak tahu, apa dia mau berteman denganku. Tapi…dugaanku ternyata salah. Aku jadi malu sendiri. Anak ini seperti membaca keraguan hatiku, makanya dia tersenyum padaku. Lagi-lagi aku mendapat pelajaran, ternyata jadi orang itu tak boleh su’uzon. Su’uzon atau berburuk sangka pada orang lain dapat mempersempit dunia. Aku pun jadi tak ragu lagi sodorkan tangan untuk berkenalan, setelah telapak tangan kananku kugosok-gosokkan ke celanaku.
“Yan Utama Nasution… Panggil aja aku, Yan,” sambutnya dengan hangat. “Kau Enda mau lihat hasil Test masuk juga, kan?”
Wooow! Dengar ucapan Yan Utama Nst begitu mantap, bersahabat, membuatku ketularan semangat. Lalu, aku pun mengangguk, sambil tersenyum. Hatiku senang sekali dapat teman baru yang cerdas dan berbudi ini. Dari namanya saja sudah ketahuan dia keturunan orang Tapanuli Selatan atau Mandailing, berbeda denganku yang keturunan Jawa dan sudah dua generasi di tanah Deli ini. Kami sama-sama pendatang di tanah Deli ini. Namun perbedaannya, kalau Yan Utama Nasution ini memang keturunan orang yang suka merantau, suka tantangan untuk mencari penghidupan yang lebih baik dengan menggunakan kekuatan otak. Sementara, keluargaku terdampar di tanah Deli dari tanah Jawa akibat tipu daya kolonial dengan sistem kuli-kontraknya. Orang menyebutnya keturunan jawa kontrak atau “Jakon”.
Semangat persahabatan yang diperlihatkan Yan Utama Nasution membuat kami cepat akrab. Lalu kami pun berjalan beriring menuju tempat pengumuman hasil test masuk SMP 9 itu. Aku jadi tertegun, kulihat orang-orang sudah pada tak sabar, rela berjubel-jubel, bahkan terjadi saling sikut dan dorong berebut tempat untuk melihat nama yang diterima masuk di SMP 9 ini di depan papan pengumuman yang terpampang di depan kantor TU itu. Ciri masyarakat bawah yang selalu tak sabar, suka berebut tempat.
Memang sungguh ironi, sekolah SMP 9 yang terletak di Pulo Brayan Medan ini masih sangat sederhana, lihat saja bangunannya sebahagian masih berdinding papan dan beratapkan seng, namun yang berebut ingin menggantungkan harapan merajut mimpi berjubel hampir duaribu tiga ratus orang. Sementara, daya tampung sekolah ini sebenarnya sangat terbatas, namun memaksakan diri menampung sembilan rombel (rombongan belajar) alias kelas. Wow! Coba bayangkan, pada waktu itu setiap rombel terdiri lebih dari 60 siswa, begitu penuh-sesaknya kelas. Itu pun hanya mampu menampung seperempat jumlah peserta yang berebut masuk ke SMP 9. Namun, alasan utama orang berbondong-bondong berebut masuk SMP 9 karena berbiaya murah dan masih dapat terjangkau oleh masyarakat bawah.
Tiba-tiba terjadi keributan kecil di tengah-tengah kerumunan orang di depan papan pengumuman, ketika pengawal pribadi Benhart memaksa, menghalau kerumunan dengan menghardik.
“Minggir…minggirrr!” teriaknya dengan garang, sambil menepuk bahu orang yang menghalangi langkahnya, lalu mendorong dengan kasar hingga sempoyongan orang yang menghalanginya itu, matanya pun melotot-mencorong memandang setiap orang yang menghalangi jalannya. Ternyata, tak ada yang berani menentangnya. Apalagi, beradu mata. Terutama para orangtua yang tahu siapa sebenarnya si tukang pukul yang bernama “Ronggur Sang Penakluk” centeng di Perkebunan tempat mereka menggantungkan hidup. Mereka tak mau berurusan dengan si centeng yang terkenal tak punya perikemanusiaan itu, maka buru-buru ditariknya anaknya untuk mencari aman. Mereka pada mengkeret, begitu tahu tukang pukul yang tinggi besar, berotot, galak dan beringas itu melangkah maju. Mereka pun menyibakkan diri beri jalan pada si tukang pukul itu. Sementara, Benhart dengan senyum jumawanya jalan di belakang si tukang pukul, sambil mempermainkan tongkat kecilnya.
Ratusan, bahkan mendekati seribu pasang-mata tertuju pada Benhart yang angkuh itu dengan diliputi berbagai macam keluhan, seperti perasaan jengkel, benci, iri dan gentar. Bahkan, tidak sedikit yang berharap Benhart tidak diterima di SMP 9 ini. Mereka takut, jika Benhart diterima di SMP 9 ini sudah terbayang dia bakal jadi biang kerok masalah atau biang keributan yang dapat menyulitkan mereka. Mereka pun sudah membayangkan tidak akan dapat belajar dengan tenang.
Sementara, Benhart tak peduli. Dia gunakan tongkatnya perlahan-lahan untuk memperhatikan deretan nama yang terpampang di papan pengumuman itu. Tak perlu waktu lama, senyum angkuh Benhart menghiasi wajahnya, setelah dia berhasil menemukan namanya terpampang di deretan kolom kedua, baris ketiga. Senyum Benhart bagai duri menyusuk ulu hati, berarti derita oleh banyak orang.
“Yesss!” Tiba-tiba, Benhart berteriak kegirangan dan berakrobat dengan melemparkan tongkatnya ke udara dan menangkapnya kembali pakai tangan kiri dan membalikkan tubuhnya. Disapunya seluruh wajah di sekelilingnya, sambil membusungkan dada menyombongkan diri. Lalu menyentilkan ujung jari jempol tangan kanannya pada ujung hidungnya dan menyunggingkan senyum jumawanya.
Ach!
Desah cemas terdengar lirih di antara kerumunan yang lihat tingkah pola kegirangan Benhart. Mereka tak habis pikir, mengapa seorang Benhart mau memilih sekolah rakyat ini untuk menempuh jenjang studinya. Bukankah ada sekolah elit di Kota Medan yang biasa dipilih oleh kaum borjuis seperti dia? Berbagai kecurigaan pun muncul di kepala mereka. Terror yang cukup kental di benak mereka adalah kecurigaan atau su’uzon, jangan-jangan kehadiran Benhart memang sengaja untuk membuat mereka tak mudah mengenyam pendidikan agar mereka tak betah sekolah. Putus sekolah jadi kuli?! Perkebunan butuh kuli. Yaaah…! mereka keturunan kuli tetap jadi kuli.
“Benharttt!” teriak seseorang yang sebayanya dan memiliki tubuh tinggi kurus, wajah lancip, berkulit kuning langsat, berbaju liris-liris tangan pendek dan bercelana ponggol bertali melingkar bahunya dengan girangnya, setelah dia berhasil menyeruak kerumunan yang mengelilingi Benhart. Dirinya diikuti seseorang yang sebaya juga dengannya. Tapi yang satu ini sebaliknya, anak ini gemuk pendek dan selalu menebar senyum-menyeringai.
“Hai Liem Bok, Bogeld!” balas teriak Benhart. Benhart begitu gembira lihat dua sahabatnya muncul. “Bagaimana kalian juga lulus?!”
“Ya, iyalah!” jawab Liem Bok dan Bogeld bareng. Mereka pun saling berpelukan melampiaskan kegembiraan mereka. Tak lama kemudian, mereka melepas temu-kangen hingga terlibat obrolan yang mengasyikan, sambil duduk di bangku panjang di bawah satu dari dua pohon Swietenia mahagoni yang ada di halaman sekolah yang telah berusia lebih 50 tahunan, kali. Wajarlah, kalau lingkar batang pohon Swietenia mahagoni ini mencapai lebih satu meter dan berdaun rindang meneduhi halaman sekolah.
Sementara, aku menyaksikan pemandangan kontras yang sempat menyiutkan hatiku juga di saat Benhart meneriakkan kegembiraannya karena diterima masuk di SMP 9 ini. Kulihat di salah satu bangku panjang di depan kelas yang di pojok terdapat seorang anak perempuan duduk menangis sesenggukan, sambil menutupi wajahnya dengan saputangan bermotif sulaman kembang-kembang. Di sampingnya duduk seorang ibu berbaju lusuh kain belacu, ciri khas buruh petik daun duit alias Tobacco di perkebunan PTP IX yang sedang mengeluh, memiris hati. Wajah ibu yang penuh dengan guratan derita itu kelihatan bertambah kelam oleh jeritan hati yang nelangsa yang sedang menggelayuti hatinya. Jadinya, rasa ingin tahuku pun semakin besar, hingga aku pun mendekat, ingin tahu.
Ah! Aku terperanjat, gadis manis itu kan Sundari, temanku sekelas di SD 120. Bahkan, rumah Sundari ini tadinya tak begitu jauh dari rumahku di Pasar 11. Namun kini, rumah Sundari sudah dipindahkan oleh pihak perkebunan entah ke mana. Dulu, kakek Sundari ini dan kakekku telah berikrar jadi saudara senasib sepenanggungan. Maklumlah, pembentukan ikatan saudara ini biasa terjadi di kalangan para kuli-kontrak karena adanya perasaan senasib-sepenanggungan, tanpa sanak-saudara dan sekapal yang dibawa Belanda dari tanah Jawa.
Ketika aku mendekat, aku jadi tertegun, lapat-lapat dengar keluhan pilu Bibi Sumirah, ibunya Sundari.“Sun, Emak itu gak mau lihat dirimu turut menderita kayak Emak ini. Cukup Emak ajalah yang mengalaminya. Sakittt…Sun jadi buruh, buruh apapun namanya!’’ keluh Bibi Sumirah lirih. Terbayang di pelupuk matanya, bagaimana derita buruh petik daun duit di perkebunan Sampali tempatnya menggantung harapan hidup. Dirinya dibayar dengan upah yang murah yang tak adil untuk kehidupan yang layak hingga tak memiliki harkat, apalagi martabat. Sementara, suaminya sudah sakit-sakitan dan tidak bisa banyak diharap. Subuh-subuh buta, dirinya bersama-sama buruh lainnya sudah harus meninggalkan rumah menuju tanah perkebunan daun duit. Seharian tenaga mereka diperas habis-habisan untuk menyiapkan lahan, menanam, merawat maupun memetik daun duit. Setelah jam kerja berakhir, dirinya juga masih harus kerja lembur untuk mendapatkan premi (uang tambahan), sebagai cara
“Huh, tulang miskin bagaimana mau sekolah di sini! Mikirrr…gembel!” teriaknya. Lalu dia berseru pada temannya, “Iya, nggak kawannn?!” Suara ejekan yang tak enak didengar muncul tepat di belakang daun telingaku. Aku tahu itu suara Benhart yang melintas di belakangku bersama teman-temannya. Aku semakin menunduk dan tak dapat menyangkal ucapan hina Benhart yang menyakitkan itu. Memang sudah tak selayaknya aku bermimpi berada di sekolah ini, kali. “Iya Ben, kau gak salah lagi. Otak buruh ya tetap otak kuli. Bagaimana mau makan sekolahan?!” timpal Liem Bok terbata-bata, si muka pucat tak mau kalah. Dengan bergaya Liem Bok mengejekku tepat di belakang daun telingaku juga. Bogeld lihat Benhart dan Liem Bok bersuka-ria melepaskan keisengannya, maka dia tak mau ketinggalan. Dia pun dengan gaya berjingkrak-jingkrak di depanku turut mengejekku, “Memang, mental buruh itu hanya bisa jadi pesuruh, jongos, kuli…kuli…kuli, tauuuk!” Aaach! Aku hanya bisa menutup kedua
Wow! Pagi itu, senyum cerah menghiasi wajahku, seiring dengan segarnya dedaunan rerumputan yang masih berlapis butiran-butiran embun dan sinar mentari pagi yang cerah. Aku senang sekali! Apalagi ini hari pertamaku sekolah di SMP 9, aku mengenakan setelan seragam putih-putih baru yang khusus dibuatkan Emak untukku. Begitu juga, aku mengenakan sepatu hitam baru, merek “Deli”. Walau terkesan sepatu murahan, tapi tak mengurangi kegembiraanku. Kegembiraan membuatku begitu semangat mengayuh kereta angin tuaku menuju sekolahan. Kegembiraan anak seorang kuli dengan harapan tidak ingin jadi kuli, seperti bapakku maupun kakekku lagi. Kata-kata wasiat Ibu Erika Purnama Panjaitan, guru kelas VI SD-ku masih terngiang-ngiang di telingaku: “Kalau mau jadi orang jangan bermental kuli. Jadilah diri kamu yang memiliki kecerdasan dan berani mengejar mimpi…berani menentang segala rintangan ap
Sementara, aku jadi keki sekali lihat kekonyolan teman-teman baruku ini. Ada-ada saja mereka, membuat wajahku jadi merah-padam. Namun, walau begitu aku harus tetap berusaha untuk tersenyum, mengatasi tekanan olok-olokan teman-teman baruku ini. Walau itu senyum kecut sekalipun. Biarlah, tiada guna aku berbantah-bantahan soal ini, malah bisa saja aku semakin terpojok nantinya. Aku memilih diam. Mungkin ini resep mujarab mengatasi tekanan olokan teman-temanku ini, membiarkan mereka berceloteh, menghamburkan rasa riang-gembira. Tak ada salahnya aku larut dan masuk dalam kekonyolan ini. Toh, tanpa menampilkan tindakan reaktif, malah ada keuntungannya bagiku, yaitu akan mendapatkan jantung teman-temanku, semakin dekat aku dengan teman-teman baruku ini, bisik hati kecilku.“Kasihan amat kau Enda jadi bahan olok-olokan.”Ah! Tapi itu kan hal biasa. Olok-olokan jamak terjadi dalam dinamika kehidupan manusia. Mengapa musti heran?! Mengapa musti harus kebakaran jenggo
Wow! Kelas kami ini ternyata tidak tepatlah kalau dinamakan kelas, tidak layak untuk tempat belajar, namun lebih tepat kalau dinamakan ruang rapat warga di balai pertemuan di kantor Kelurahan Pulo Brayan yang kerap kali diisi oleh riuhnya suara protes maupun kegaduhan warga karena mempertanyakan dan memperebutkan jatah raskin (beras untuk rakyat miskin) yang dirasa tak adil dalam pembagiannya, bahkan tak tepat sasaran. Atau, protes warga mempertanyakan raibnya uang Bangdes. Memang mirip, coba bayangkan kelas kami yang beratapkan seng, berdinding papan yang disusun bersirip, tanpa jendela, namun berventilasi jaring-jaring kawat si sisi barat, bahkan tanpa plafon ini dijejali penuh sesak oleh siswa, pengap. Jangan bayangkan atau berharap tentang kelas ideal untuk belajar, apalagi kelas internasional yang berpendingin air conditioning alias AC, seperti yang ditemukan kelas-kelas di sekolah Singapura. Bahkan, jangan dibandingkan dengan kelas-kelas yang ada di
Eh! Tiba-tiba Indra Kesuma memecah kesenyapan dengan mengangkat jari telunjuknya, namun wajahnya itu memperlihatkan mimik yang tak sedap dipandang, laksana orang sedang meringis, setengah ketakutan. Dia angkat tangan, sambil melirik kanan-kiri.“Bagus Indra! Ini dia yang ibu mau. Hanya Ksatria yang berani mengatakan kemerdekaannya, seperti kamu ini.”Kami terperangah, dengar ucapan pujian yang luarbiasa maknanya. Semua mata pun langsung menoleh ke pojok kiri kelas, memandang Indra Kesuma. Apalagi, lihat Indra Kesuma langsung tersenyum, bungah banget. Keberaniannya dapat dukungan dari Bu Nursyiah. Kami jadi iri dan penasaran, sebenarnya apa sih yang ingin dikatakan Indra Kesuma itu, sampai-sampai Bu Nursyiah sebegitunya memuji laksana Ksatria. Atau memang orang yang berani mengatakan pendapatnya itu ibarat Ksatria gagah berani ya?! Lantas, kami yang tak berani membuka suara apa namanya? Ah, entar kami malah dimasukkan golongan orang-orang yang tak punya nyal
Minggu siang itu, walau bergumpal-gumpal awan hitam berarak-arak mulai menghapus langit biru dan lecutan petir sekali-kali menyentak bumi, namun tidak menghilangkan kegelianku lihat gaya Indra Kesuma berjoget kegirangan ala Michael Jackson di atas pematang sawah lagi. Tak berselang lama, giliran Suheng tak mau kalah, beratraksi ala breakkedend (eh…break dance maksudnya). Lanjut, Julbrito mesam-mesem berjoget ala kuda lumping. Ada-ada saja gaya teman-temanku ini setiap joran pancing dari batang bambu kecil yang panjangnya tiga meteran miliknya berhasil mengail ikan betik (semacam ikan bethok) di selah-selah padi di sawah. Sudah tentu akting teman sekolahku ini mengundang banyak perhatian anak-anak yang sebaya dengan kami dan juga kebetulan turut memancing ikan di sawah yang ada di kampungku ini. Mereka pun tak mampu untuk tidak menahan tawa, jadilah mereka terkekeh-kekeh lihat hiburan gratis ala teman-temanku. Aku pun merasa senang sekali lihat teman-temanku
“Wusss…wussss…wusss…!”Ich! Sejauh mata memandang butiran-butiran air menari-nari, menderu-deru bersama gulungan gelombang kawanan padi yang terhuyung-huyung tak tentu arah, laksana mengalunkan simfoni sakratul maut menjemput nyawa. Konduktor malaikat maut sedang bermain-memburu nyawa, menciutkan nyali. Hati siapa yang tak tercekam lihatnya? Matahari pun bermuram-durja, udara kelabu bagai tak tembus cahaya. Kabut air membasah, melembab, membungkam cericit burung-burung yang biasa hinggap di atas padi di sawah.Namun tak dapat dipungkiri, ulah teman-temanku ini ternyata dapat menyamarkan suasana yang mencekam. Tapi yang jelas, terlepas dari apa ulah temanku ini, aku ingin lihat Kakek tersenyum, lepas dari beban hatinya atau melepas sesaat rasa penyesalan yang telah menghantui dirinya sepanjang hidupnya.Tahun 1917. Hari Ahad pagi, tepatnya hari pekanan di Desa Karang Anyar, Madiun. Tak jauh dari lokasi pekanan, dan t
Hari ini merupakan hari akhir bagi kami untuk tuntaskan hasil investigasi pemahaman dan cara pengembangan networking. Hari akhir pengumpulan hasil investigasi ini kami laksanakan di bawah pohon Delonix regia (Plamboyan) yang ada di halaman sekolah. Kami pun membentuk lingkaran, agar satu sama lain dapat saling pandang. Semua temanku sekelas turut hadir, baik yang jadi penyampai hasil investigasi maupun yang jadi pengamat.Sebelas. Pada poin kesebelas ini disajikan tentang percaya diri. Daryanto didaulat untuk menyampaikan pandangannya. Dia pun dengan penuh percaya diri menyampaikan pendapatnya, “Aspek kepercayaan diri juga sangat diperlukan dalam membina relasi. Ketika kamu mulai memasuki suatu perkumpulan di mana banyak orang yang berbeda sifat, berbeda status ekonomi sosialnya, kamu harus siapkan diri. Jauhkan sifat minder dalam diri kamu dan yakinkan diri kamu bahwa kamu sebenarnya sama saja dengan orang lain. Kamu harus memiliki kepercayaan diri untuk mula
Kali ini aku tidak sendiri dalam merangkum investigasi pemahaman tentang networking. Aku ditemani oleh Yan Utama, Zulbrito, Syamsul Bahri dan Indra Kesuma. Rumah pohonku pun sedikit berayun diisi lima orang sekaligus. Namun, batang pohon jambu monyet sebagai penyangga dan pelindung, aku rasa masih kuat dan amanlah untuk kami berlima. Kami pun sudah siapkan hasil investigasi masing-masing.Kedelapan. Syamsul Bahri membuka pembicaraan. Dia ulas tentang kemampuan untuk mendengarkan. Katanya, “Kemampuan untuk mendengarkan sangat diperlukan dalam membina suatu hubungan. Dalam hal ini kamu dituntut untuk menjadi seorang pendengar yang baik terhadap lawan bicara kamu. Pada awal hubungan biarkan lawan bicara kamu bicara dan bebas utarakan isi pikirannya. Kamu hanya bertugas untuk memasang telinga baik-baik dan perhatikan isi pembicaraannya. Kamu bisa berikan tanggapan terhadap isi pembicaraan lawan bicara kamu, namun kamu harus perhatikan jedanya. Pemb
Kini aku berada di rumah pohonku kembali. Aku ingin merangkum pengetahuan yang dijabarkan oleh Pak Bambang, Ibu Nursyiah dan teman-temanku tentang networking ini berdasarkan investigasiku.Pertama, Pak Bambang pernah menyatakan pada kami, “Seseorang dikatakan baru sukses belajar, tentunya apabila dirinya mampu membuktikan atau mengimplementasikan hasil belajarnya di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja. Sementara, kesuksesan di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja sangat ditentukan oleh kemampuan membangun relasi (networking). Begitu juga, keberhasilan dalam mengimplementasikan hasil belajar tentu harus didukung oleh bagaimana kemampuan dirinya membangun relasi yang berkualitas dengan orang atau sekelompok orang.“Kedua, kata Pak Bambang berikutnya, “Makanya, kamu harus ingat dan tak boleh meremehkan atau mengabaikan keterampilan membangun relasi, terutama sangat dibutuhkan di saat kamu tel
Bagi anak yang ingin mengubah nasib keluarga, ucapan Pak Bambang tentu mengusik hatiku. Terpikirkan terus olehku. Aku ingin mengungkap makna dari penjelasan Pak Bambang itu. Makanya wahai sahabat, biasanya kalau aku ingin cari pencerahan, aku suka nyepi. Tempat ideal bagiku adalah rumah pohon. Kebetulan di belakang rumahku itu ada pohon jambu monyet. Pohon jambu monyet ini tinggginya ada kali 15 meter. Usia pohon jambu monyet itu sekitar 50 tahun. Lihat saja lingkar pohon sudah mencapai hampir 1 meter. Di atas pohon jambu monyet itulah aku buat rumah pohon dengan ketinggian 10 meter dari tanah. Dari atas rumah pohon, aku dapat memandang seluruh penjuru kampungku. Pemandangan kampungku itu ternyata cukup menawan dilihat dari atas. Aku bisa lihat semua aktivitas warga yang berada di luar ruang. Aku merasa nyaman berada di atas rumah pohon ini dan membuat pikiranku jadi plong. Hatiku pun jadi damai. Nah, ini yang tidak dapat kucegah, pikiranku jadi liar menjelajah entah apa saja yang m
Sementara itu, Pak Bambang beranjak ke depan. Dari tengah kelas dia melanjutkan petuahnya.“Hukum alam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat itu sangatlah kejam bagi mereka yang tidak menyadarinya. Setiap individu akan terseleksi berdasarkan kemampuannya beradaptasi. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan yang memadai, maka akan tersisih.”Aku sempat menoleh memandang Yan Utama sang barometer kelas kami. Aku lihat Yan Utama begitu serius dengar petuah dari Pak Bambang ini. Seolah-olah dia ingin menyibak kunci rahasia kehidupan.“Ingat, hanya orang-orang yang piawai yang mampu untuk mensiasati diri agar dapat eksis di dalam masyarakat,” ujar Pak Bambang dengan lugas. “Kalian harus sadar belajar keras saja belumlah cukup bagi kalian untuk dapat bertahan hidup. Apalagi mendapatkan tempat utama di tengah-tengah masyarakat.”Kami terhenyak dengar perkataan Pak Bambang itu.‘Apa belajar keras saja belum cuk
Tak terasa, kini kami telah duduk dibangku kelas tiga. Ternyata, perjuangan kami belumlah usai, masih jauh menggapai mimpi. Apalagi, kami harus waspada hukum alam senantiasa mengintai setiap langkah dan banyak orang tidak menyadarinya. Kemenangan kami dalam ajang kontes Karya Ilmiah Remaja itu hanya merupakan bagian kecil, tapi sangat bermakna dalam proses pendewasaan cara berpikir, maupun cara menyusun sebuah proyek kerja yang berdaya guna. Kami menyadari, tidak banyak orang yang beruntung memperoleh kesempatan emas ikut dalam sebuah ajang kompetisi yang bergengsi tersebut. Kesempatan emas untuk mengasah kompetensi diri dan mengangkat kepermukaan kualitas diri yang tanpa kami sadari sangat berguna untuk kemudian hari. Walau demikian, masih banyak tantangan berikutnya dalam pendewasaan kami untuk mengarungi dinamika kehidupan. Tantangan apa lagi yang mungkin akan kami hadapi kemudian?Pagi itu, kata guru kami dari balik meja kerjanya, “kalian harus
Kami sempat terkejut dengar pertanyaan yang tidak kami duga itu. Dewan juri ingin menelanjangi kami, meruntuhkan moral kami. Bagaimana mungkin kami mau mengungkapkan kelemahan hasil karya ilmiah kami ini di depan dewan juri maupun tim lawan? Bahkan, di hadapan suporter lawan yang sedang menanti-nanti kelemahan tim kami. Aku dan Yan Utama saling pandang. Begitu juga dengan Zulbrito dan Daryanto. Kami langsung mendiskusikan secara kilat pertanyaan itu. Bukan karena kami tak mampu menjawab pertanyaan itu, tapi kami kuatir arah pertanyaan juri keempat itu merupakan pertanyaan jebakan yang dapat meruntuhkan penyajian tim kami.Dewan juri tersenyum-senyum lihat kami jadi kelabakan dengan pertanyaan sederhana itu. Mereka menguji kerja sama tim kami dalam memecahkan pertanyaan sederhana yang mereka ajukan itu dengan memberi ruang waktu sejenak pada kami.“Pertanyaan ini bukan jebakan?” bisik Zulbrito kuatir.Mereka memandangku karena aku yang punya ide awal
Yan Utama pun memperlihatkan gambar sketsa bentuk alat modifikasi energi gelombang laut menjadi penggerak bandul ganda yang membentuk huruf “A” dihubungkan dengan as roda gigi besar. Lalu dari roda gigi besar dihubungkan dengan transmisi putar menggunakan rantai ke double freewheel yang kemudian rantai kedua dihubungkan kembali pada fly wheel (roda gila) untuk memperbanyak putaran (rpm) dan dihubungkan ke dynamo listrik. Yan Utama pun menjelaskan gambar sketsa itu secara detail pada dewan juri maupun hadirin menggunakan slide proyektor (OHP).“…energi gelombang laut itu secara sederhana dapat dimodifikasi menjadi penggerak atau pengayun bandul ganda di atas perahu. Lalu, poros as bandul ganda dapat dihubungkan dengan as yang dapat memutar roda gigi besar. Dari roda gigi besar itu dibangun transmisi putaran yang dihubungkan dengan double preewheel menggunakan rantai. Kemudian rantai kedua dari preewheel dihu
Dalam sebuah gedung Gelanggang Remaja Medan yang terletak di Jalan Sutomo Medan, suasananya sungguh mencekam. Wakil regu kami, aku, Yan Utama, Zulbrito dan Daryanto dicecar habis dewan juri.Kali ini buah pikiran kreatif kami diuji untuk mempertaruhkan reputasi. Lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami yang baru melek ilmu berhadapan dengan raksasa yang punya nama besar dalam ajang perlombaan bergengsi seperti ini, sebut saja: sekolah Sutomo, Methodist, St. Thomas, Budi Murni maupun SMP 1 Medan. Baru lihat kostum penampilan peserta yang punya nama besar di kota Medan itu saja sudah buat kami berkecil hati. Jantung kami jatuh bangun dibuatnya. Kalau boleh dibilang, kami ini tak ubahnya seperti anak kemarin sore atau anak bawang.Walau dianggap anak bawang, namun sekolah, guru-guru, maupun siswa lainnya menaruh harapan besar di pundak kami. SEBUAH MIMPI. Kami diharapkan dapat membuka sejarah SMP 9 Medan, jadi pemenang lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami diharapkan dapat mengangka