Magisa terlihat di teras depan. Entah apa yang dia pikirkan, namun matanya memandang jauh ke ujung gang di mana sesekali tetangga atau gerobak pedagang makanan melintas. Malam cukup sunyi ketika aku memberanikan diri untuk menghampiri, setidaknya menyampaikan apa yang sudah aku rencanakan untuk kami selanjutnya. Yang pasti kami akan menetap di Jakarta dan aku akan mencari pekerjaan yang cocok; ya, pekerjaan yang sesuai dengan hasratku. “Ini sudah jam sebelas, kamu nggak dingin?” tegurku. Magisa menoleh. Namun tatapannya hampa, demikian pula bibirnya yang tertutup rapat. “Aku menjadi nggak berguna kalau kamu stress hanya gara-gara pekerjaan,” ujarku. “Maksudku ..., kamu ingin bekerja karena aku terlalu sibuk dan sering nggak pulang. Tapi, sekarang, aku sudah nggak sesibuk dulu lagi. Artinya, kita akan punya lebih banyak waktu bersama. Jadi kamu ng
Read more