Home / Urban / DOWN UNDER DOWN / Chapter 141 - Chapter 150

All Chapters of DOWN UNDER DOWN: Chapter 141 - Chapter 150

157 Chapters

Pizza

Saat aku keluar dari kamar setelah mandi dan ganti baju –punya Wanda, sepasang kekasih itu terlihat duduk di sofa di depan TV layar datar besar yang menggantung pada dinding abu-abu. Di bawahnya ada meja panjangan rendah dengan warna hitam mengkilat polos di mana perangkat home theatre tersusun. Sekat-sekat di bawahnya masing-masing diisi dengan patung kayu kecil berbagai bentuk –pilihan mereka untuk pajangan ternyata sangat kaku “Apaan sih ini?!” tegur lelaki itu saat Wanda yang bersandar rendah menaikan sebelah kakinya ke sandaran sofa dan posisinya hampir berada tepat di atas kepala pacarnya yang duduk pada ujung lainnya. Dengan kasar, laki-laki itu menyingkirkannya hingga Wanda terkejut. Wanda mendecak keras. “Reseh ah!” gerutunya. Aku nggak menyangka kalau hubungan mereka seperti itu –saling seenaknya, alih-alih romant
Read more

Lowongan Kerja

Mataku masih berat dalam perjalanan menuju kantor. Aku dan Wanda bercerita semalam suntuk tentang apa saja –kecuali masa lalu. Akibatnya bangun lebih awal menjadi sangat menjengkelkan karena aku hanya tidur dua jam dan itu bukan tidur yang pulas. Dalam pikiranku, ‘besok harus kerja’ berputar-putar menjadi doktrin otomatis yang nggak bisa diabaikan sekalipun aku masih ingin tidur. Perasaanku tambah nggak nyaman saat mendengar Nial dan Wanda berdebat soal mengantarku ke kantor atau tidak yang akhirnya disetujui Nial. Status pagi ini adalah naik SUV, Nial menyetir dengan tampangnya yang biasa dan Wanda di sebelahnya terlihat menikmati perjalanan. Sementara aku gelisah di belakang karena sudah kupastikan aku terlambat. “Nanti kami jemput lagi ya,” kata Wanda berpesan padaku sebelum aku turun. “Gue sibuk!” celetuk Nial; dengan a
Read more

Mengintimidasi

Sosok Nial cukup mengintimidasi walaupun aku nggak pernah bicara langsung padanya. Ya, kalau aku jadi tuan rumah aku juga akan berpikir demikian terhadap orang asing yang datang ke rumahnya. Ia nggak berkomentar ketika aku duduk berhadapan dengannya dan makan dengan cuek saat aku juga mulai memilih makanan yang ingin aku makan –antara Sapo Tahu, Kentang Panggang Bumbu, salad buncis dengan tuna dan minyak zaitun, juga sayap ayam goreng. Dia memasak semuanya sendiri dan itu membuatku merasa nggak berharga jadi perempuan –aku sama sekali nggak bisa masak. Aku mengambil sepotong sayap ayam bersaus kecoklatan itu. “Enak banget,” kataku dengan girangnya dan kedua orang itu melihatku dengan ekspresi cukup kaget. Wanda menyambungnya dengan tawa sumringah. “Bener kan? Aku bilang masakannya enak,” katanya sambil menyikut Nial dan aku mengangguk-angguk lalu dengan cepat memakan sesuap lagi dengan send
Read more

Rasa Takut

Di tengah-tengah ruang keluarga yang tampak seperti ring tinju –alih-alih menjadi tempat berkumpul semua anggota keluarga, ia satu-satunya yang masih berdiri dengan tegak, memandang dengan bengis dan nafas terengah-engah setelah ‘menaklukan’ semua orang. Perabotan rumah berada di posisi yang nggak seharusnya; bahkan sebagian besarnya patah atau hancur –meja makan, kursi, pajangan kaca, pot bunga, apa pun yang sebelumnya tertata dengan rapi, sekarang berantakan. Aku seringkali mengira kami akan mati di tangan ayahku setiap ia marah dan mulai memukul dengan membabi buta. Di dalam keremangan, aku melihatnya seperti sesosok makhluk besar berotot dengan wajah menakutkan dan tato di sekujur badan; seorang monster. Sebelum malam itu menjadi akhir dari tirani ayahku, aku nyaris mati berkali-kali. Dan setiap mengingat rasa sakit yang disebabkan oleh keberingasannya, tubuhku menggigil; begitu hafal d
Read more

Stupid Girls

Sebenarnya tadi aku ingin menolak –lagi-lagi karena alasan segan pada Nial. Tapi, Wanda benar-benar memaksa. Dia bersikeras ketika Nial keberatan. Nial terpaksa menyetujui itu. Dia nggak lagi berkomentar. Walaupun terlihat nggak suka dari caranya kembali duduk di sofa dengan mendecak kesal, dia nggak mempermasalahkannya lagi. Kadang aku ingin tahu bagaimana rasanya punya sahabat laki-laki yang benar-benar pengertian –ya walaupun, secara kasat mata Nial memang jutek dan judes. Aku mengerti, dia nggak ingin Wanda terjebak dalam hubungan yang toxic dengan pacarnya. Aku rasa dia mengizinkanku untuk menginap karena saat ini aku bisa membuat Wanda sedikit lebih tenang. Wanda meminjamkan bajunya lagi untuk bisa dipakai tidur. Ketika aku selesai mandi dia sedang tiduran di ranjangnya sambil main handphone.
Read more

Intruders

Darahnya sudah berhenti –sepertinya. Aku memandangi ujung telunjukku yang dibalut perban putih tanpa noda darah. “Benar-benar ya... aku ada di sana, lho...,” suara Wanda membuatku tersadar kalau dia sedang berbaring di sampingku dan kami sama-sama mencoba untuk tidur karena sudah jam satu dini hari. “Tapi, kalian bertingkah seolah-olah aku nggak ada di situ.” Aku menoleh ke samping di mana Wanda mulai lagi menggodaku. Kuharap keremangan kamar Wanda yang lampunya sudah dimatikan menyembunyikan wajahku yang tersipu. Nial meninggalkan kesibukannya hanya untuk mengurus luka sekecil ini –memang sayatannya dalam tapi goresan ini bukan pertama kali dalam hidupku. Biasanya aku hanya membiarkannya kering sendiri. Jadi ini nggak seperti luka parah yang bisa terkena infeksi kalau nggak dirawat. Aku pernah mengalami yang lebih buruk da
Read more

Jebakan

“Aku pikir... sebaiknya... nggak usah diperban lagi,” kataku pada Nial setelah dia membuka perban di jariku untuk menggantinya dengan yang baru. “Luka itu harus ditutup supaya bakteri dan kuman nggak masuk dan bikin infeksi,” katanya. “Biasanya juga kering sendiri,” kataku. “Jangan keras kepala!” suaranya meninggi. Ah ya, Wanda sudah memberitahuku kalau dia otoriter. Semua kata-katanya harus dipatuhi. Aku menjerit kesakitan lagi ketika obat cair berwarna coklat itu mengguyur luka sayatanku yang masih sedikit menganga. “Cengeng...,” gumamnya. “Itu sakit...,” keluhku. Dia menatapku lalu mendengus. Dia nggak lagi bicara sampai perban yang baru terpasang di jari telunjukku.
Read more

Repeat the days

Aku nggak punya pilihan lain setelah mandi air hangat lagi selama hampir setengah jam untuk menenangkan pikiran. Aku membongkar koper Wanda untuk menemukan baju ganti baru. Tapi, semua pakaian yang Wanda miliki  terlalu seksi untukku. Celana pendek, kaos ketat sementara sisanya tanktop dan gaun-gaun dengan belahan dada rendah. Adapun jeans panjang, itu juga kedodoran dan dalam. Walaupun begitu, semuanya bermerek. Kemarin dia yang memilihkan baju untukku karena aku bingung. Aku bilang padanya di rumah biasanya aku sering mengenakan kaos longgar atau piyama bergambar boneka. Pada akhirnya, aku pun memilih celana pendek bahan katun warna krem dan kaos v-neck warna ungu yang bahannya nggak tembus pandang –rata-rata kaos Wanda transparan. Selain baju, Wanda juga punya barang-barang bagus seperti alat make up dan parfum. Semua it
Read more

Mesin Cuci

“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cuma  mau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp
Read more

Three Steps Back

Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
Read more
PREV
1
...
111213141516
DMCA.com Protection Status