Sydney International Elementary School, sebuah kebetulan kalau seandainya perawat rumah sakit tidak salah menulis namaku. Tapi, sekolah dasar bertaraf internasional itu memang dikelola di bawah yayasan yang didirikan oleh perusahaan ayahku. Tujuan Reggina memintaku mengajar di sini adalah agar aku bisa menemukan orang-orang yang tepat untuk membuat sebuah program bagi anak-anak miskin. Hanya itu yang terpikirkan oleh orang yang tidak akan bisa memiliki anak seperti diriku. Awalnya aku berharap aku bisa mengerjakan hal ini dengan Magisa, tapi melihat sikapnya aku yakin dia tidak bersedia merepotkan dirinya mengurus sesuatu yang tidak ada hubungan dengan dirinya. Melihat caranya memarahi Lucky beberapa hari lalu, membuatku sangat yakin bahwa kami tidak sejalan lagi untuk urusan kegiatan amal ini.
Magisa lebih mementingkan dirinya saat ini. Aku teringat ketika pagi-pagi sekali pintu kamar terbuka dan aku melihatnya duduk di sis
“Semua orang mengalaminya, Dar,” ujar Anna yang menemukanku sedikit gugup saat di kelas tadi. Dia sangat ramah padaku dan beruntung aku satu ruangan dengannya. “Dan pastinya kamu dengan pengalaman yang masih terlalu sedikit pasti bingung dengan mereka.” “Yah, ini sesuatu yang baru,” jawabku. Anna kemudian memberikanku sebuah map yang sepertinya penting, “Itu adalah data siswa di kelas IA,” dia menjelaskan. “Kamu bisa mempelajarinya dan sedikitnya pasti bisa menilai seperti apa sifat mereka dari latar belakang keluarga. Kebanyakan dari anak-anak itu sedikit paranoid dengan orang yang baru dikenal.” “Oh ya?” aku membuka sebuah map bertuliskan sebuah nama Adeline Maple Marlow, putri seorang duta besar Amerika untuk Indonesia, kemudian fokus kepada Anna yang akan memberikanku informasi penting. “Ya, sekolah dijaga sangat ketat.
Bell pulang akhirnya berbunyi. Seperti dikomando anak-anak keluar kelas di dampingi oleh guru mereka. Dari pengamatanku sekilas, tampaknya sekolah ini begitu disiplin dan ketat. Aku memperhatikan Anna dan Retha mengantar anak-anak yang supirnya telah datang menjemput. Mereka sempat berbicara dengan supir-supir itu dan sepertinya mereka sudah saling kenal; mungkin itulah yang disebut dengan terverifikasi. Anak-anak itu kelihatan gembira saat menaiki mobil jemputan. Mereka sempat melambaikan tangan pada guru mereka dengan riangnya dengan menyerukan ‘Sampai bertemu besok!’. Setelah itu para guru menemani anak-anak yang belum dijemput. Sayangnya aku belum terbiasa menghadapi anak kecil. Itu kedengaran lucu. Aku belum mendapatkan selah untuk mendekati satu anak pun karena kebanyakan mereka kelihatannya lebih suka dengan guru perempuan. Lihat saja Anna dan Retha yang berbicara dengan lemah lembut
“Jangan berharap banyak. Aku nggak akan naik mobil seorang laki-laki beristri,” kata Saira menegaskan saat aku berhenti di depannya dengan mobilku.Dia membuatku sedikit gusar, karena itu terdengar seperti umpatan. Namun dia membuatku seperti orang bodoh yang akhirnya turun dari mobil dan setuju untuk ikut dengannya. Pertemuanku dengannya selalu seperti itu. Di mana aku selalu berjalan di belakangnya; pergi ke mana pun yanng ingin dia tuju. Tetap saja, walaupun kembali bertemu, sosoknya yang kurus dan dibalut warna gelap, selalu memunculkan banyak misteri.Selama berjalan bersamanya, aku sudah memikirkannya; terutama tentang Sunny. Apakah Saira menjalin hubungan dengan seorang pria setelah aku?“Mama nggak pernah ngizinin aku ketemu sama Sunny, kalau kamu mau tahu,” Saira memulai saat ia memilih duduk di sebuah halte bus yang kami lewat
Magisa tidak berubah sejak dari rumah hingga kami tiba di sebuah restoran Italia untuk makan malam. Pelayan sudah menyiapkan tempat khusus dengan lilin yang menyala dan diringi suara biola yang mendayu-dayu. Dia makan hidangannya dengan sangat pelan namun tampak tidak menikmatinya. Padahal makanan Italia adalah salah satu favoritnya. “Kamu nggak suka makanannya?” tanyaku. Magisa tidak menjawab; malah cenderung mengabaikanku dengan tidak mau menatap wajahku. Dia mulai memainkan spageti nya dengan garpu dan sepertinya tidak lagi tertarik untuk makan. Seolah mendengar suaraku membuatnya kehilangan nafsu makan. “Gi?” tegurku, sambil menggenggam tangannya di atas meja. Tapi dia menariknya. “Sampai kapan kamu mau seperti ini?” Lagi-lagi, dia bungkam. Menghindari wajahku adalah bentuk pertahanannya. Aku tidak tahu apa betul yang membuatnya sedemikian marah. “Kamu harus melepaskannya...,” ujarku. Akhirnya Magisa menatapku juga, namun tajam. “K
Aku harus bertanya pada Saira saat bertemu nanti dan dia harus menjawabnya kali ini setelah kemarin dia memberiku ekspresi yang misterius; diam dan bersikap tak ingin membahasnya. Walaupun itu akan terlihat konyol. Setidaknya, perasaan ini tidak menggelisahkanku. Dia tidak tahu seberapa besar keinginanku akan seorang anak.Hanya saja bagaimana dengan Magisa? Apa dia bisa menerimanya? Tapi, mau tidak mau itulah kenyataannya. Bukankah Sunny juga sudah hadir sebelum kami menikah, bahkan sebelum kami berpacaran. Pikiranku semakin kacau saat aku memandang ke pagar itu. Aku menunggu dengan penuh harapan; terlebih Sunny yang kembali berwajah cemberut.“Apa biasanya Mama telat?” aku bertanya, tak berharap dia akan menjawabku.Bisa saja Saira mempunyai urusan lain ‘kan? Tapi, aku juga tidak yakin. Dia tentu tidak akan melewatkan kesempatan sekecil apa
Sudah tiga hari Saira tidak datang. Aku dan Sunny selalu menunggu di halaman belakang. Mencapai hari ketiga ini, Sunny semakin murung dan tak kalah muram dengan hari-hari sebelumnya. Seandainya saja aku tahu Saira berada di mana, aku akan membawanya ke sana. Bodohnya aku tidak bertanya di mana dia tinggal. Aku juga tidak meminta nomor telepon; aku sendiri juga ragu Saira punya telepon genggam. Dia benar-benar kelihatan seperti orang yang tak punya apa-apa. Ya, sepertinya harta berharga satu-satunya bagi Saira adalah Sunny. Tapi, kenapa dia menghilang lagi setelah dia berjanji padaku akan kembali lagi? Paling tidak demi putranya. “Mama pasti sakit...,” kata Sunny. Suaranya yang pelan terdengar merengek. “Mama nggak bisa datang....” Sunny seolah mengatakan bahwa sakit adalah satu-satunya hal yang menghentikan Saira. Selain itu tak ada lagi yang bisa menghalanginya untuk datang menemui Sunny.
Saat bel pulang berbunyi lagi, tak ada yang berubah dari halaman belakang di mana aku dan Sunny menunggu Saira muncul. Anak itu kembali kecewa; kali ini padaku. Dia menangis tersedu-sedu; sebelumnya tidak pernah. Aku berusaha menenangkannya namun tidak sanggup lagi berjanji. Aku tidak bisa menjamin ibunya akan menemuinya; aku bahkan tidak berdaya. Didukung oleh cuaca mendung, kesedihan rasanya makin pekat saja. Pak Didi terlihat cemas melihat Sunny menangis sampai matanya bengkak. Aku tidak menjelaskan banyak karena ini rahasia kecil kami. Meski pun Pak Didi sepertinya bisa dipercaya karena dia jelas ikut sedih saat melihat Sunnya terisak-isak. “Dia kangen Mamanya,” aku menjelaskan ke Pak Didi. “Sunny selalu kangen Mamanya. Kalau saya tahu Non Saira ada di mana pasti saya antar dia ke sana...,” kata Pak Didi. “Walaupun saya bakal dimarahin Nyonya, tapi saya
Sunny kelihatan gembira saat dia tidak perlu harus naik mobil Pak Didi dan pulang ke rumah. Pak Didi pergi lebih dulu dan dia lega saat aku mengatakan bahwa aku akan membawa Sunny ke ibunya. Dia bilang padaku bahwa dia akan mengurus segala sesuatu di rumah sehingga Nyonya rumah tidak tahu bahwa cucunya belum pulang. Kemarin Saira memohon padaku agar dia mempertemukan aku dengan putranya. Aku tidak bisa menolaknya. Saat aku bilang bahwa aku sempat berbicara dengan Pak Didi dia memintaku untuk mengatakannya pada Pak Didi. Saira tahu bahwa pria itu tidak akan bilang tidak menyangkut dirinya. Saira tahu bahwa Pak Didi orang yang bisa dia andalkan. Saira menunggu di sudut jalan yang tidak jauh dari sekolah. Saat akhirnya mereka bertemu, aku ikut gembira. Saira memeluk putranya erat bahkan sampai meneteskan air mata. “Mama kangen sama Sunny,” dia berkata sambil m
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp