“Bell?”
Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.
“Ya?” sahutku.
Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.
“Kenapa?” tanyaku, heran.
“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.
Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.
“Kamu mimpi?”
Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
1 Januari 2016 JALANAN Kota Banda Aceh mulai sepi. Padahal ini adalah malam yang special. Ya, malam pergantian tahun. Jam menunjukan pukul 00.02 dini hari. Baru beberapa detik tahun berganti. Di televisi, suara kembang api meletus berulangkali terdengar. Warga Jakarta bersorak gembira. Muda-mudi menyambut letusan tersebut dengan suka cita. Seorang pembawa acara wanita, tampil seksi. Ia berkoar-koar soal harapan dan doa di tahun baru ini. Ia diapit oleh dua pembawa acara pria yang memakai jas hitam. Acara itu di live satu jam yang lalu. “Semoga Allah Swt memberi rezeki yang lancar di tahun baru ini. Rezeki yang halal serta bermanfaat bagi nusa bangsa dan agama,” teriak perempuan tadi bersamaan dengan layar kamera yang menyorot kembang api meledak di udara. “Tum, tum, tum.” “Tum, tum, tum….tum.” Suara itu terdengar berulang kali. Kamera kemudian kembali menyorot si perempuan seksi tadi. Ia sangat rupawan dan memiliki postur tubuh
Haidar tersentak. Kata ‘Thoyib’ membangunnya dari lamunan. Haidar mencoba tersenyum. Ia memang memiliki nama keren di Warkop tempatnya numpang jualan burger itu. Di sana ia dipanggil dengan sebutan Bang Thoyib.Panggilan Bang Thayib disematkan padanya karena ia jarang pulang kampung. Toh, ia kini memang tak memiliki kampung halaman. Konflik telah merampas seluruh kehidupannya. Ia telah kehilangan segalanya.Haidar mencoba tersenyum ke arah pelanggannya tadi.“Tunggu sebentar ya. Saya buati dulu,” ujarnya kemudian.Tangan Haidar kemudian bergerak cekatan. Ia mengambil roti serta mentega. Dalam sekejab, burger telur yang menjadi menu andalannya pun siap. Ia kemudian mengantarnya ke meja yang memesan tadi. Lelaki muda yang duduk di sana pun tersenyum melihat pesanannya tiba.“Makasih Bang. Mantap nih bau-nya,” ujar lelaki muda tadi.Mendengar hal itu, Haidar tersenyum. Ia senang jika pengunjung Warkop menyuka
MALAM kian larut. Haidar baru saja selesai bersih-bersih. Rak burger miliknya kini terlihat kinclong. Dika tak lagi terlihat di meja pesanan tadi. Mungkin ia sudah pulang. Ia biasa membayar burger di kasir.Sementara Reda, salah seorang pelayan di Warkop pinggir kali, terlihat sibuk dengan telepon di sudut warung. Ia sedang menelpon pujaan hatinya yang ia kenal melalui akun Facebook. Padahal ia dan wanita pujaan yang diteleponnya tiap dini hari tadi, belum pernah ketemu langsung.“Da, aku pulang dulu ya,” kata Haidar mencoba basa-basi dengan Reda dari kejauhan.Basa basi Haidar dibalas dengan acungan jempol oleh pemuda berwajah ‘Batak’ itu.“Iya bang. Bang Thoyib dapat salam nih dari Dina,” ujar Reda.“Iya. Salam balik sama pacarmu itu. Tiap malam kau ajak dia ngeronda. Sakit nanti,” balas Haidar sambil terkekeh.Haidar tak lagi mendengar omelan Reda karena candaannya tadi. Ia bergegas ke arah
MALAM kian larut. Jam menunjukan pukul 03.15 WIB dini hari. Namun mata Haidar tak kunjung terpejam. Perkataan Insani seolah terus berulang di telinganya.“Dia datang bersama pria muda berbaju loreng. Mereka terlihat mesra.”Kalimat ini membuatnya gelisah. Ada rasa cemburu yang amat sangat muncul dari dalam tubuhnya. Jujur, perempuan cantik berkulit mulus itu menempati posisi istimewa dalam hatinya. Wanita itu adalah perempuan kedua yang membuatnya semangat menanti pagi beberapa tahun lalu. Tentu saja, perempuan nomor satu adalah almarhum ibunya.Namun Darussalam menjadi saksi tentang akhir dari cerita itu.“Semoga kini ia bahagia. Ia pantas mendapatkan pria yang lebih baik dari aku,” gumam Haidar dalam hati. Kalimat itu terlalu pahit untuk diucapkan. Namun ia mencoba tegar dan berpikir realitis.Ya, tak ada satu pun orangtua yang menginginkan anak perempuannya menikah dengan pria yang bekerja serabutan seperti Haidar. Apalag
ANGIN meniup sepoi-sepoi. Bantaran surgai Lamnyong mulai ramai dipenuhi para muda-mudi. Keramaian terjadi tiap sore-nya. Termasuk hari ini. Melihat matahari terbenam. Mayoritas adalah mahasiswa dari tiga kampus berlokasi di Darussalam, Kota Banda Aceh. Ada Univeristas A, UIN B serta Universitas C.Nama kampus terakhir adalah tempat dirinya menimba ilmu selama dua tahun ini. Ia lulus dengan program Bidikmisi yang diselenggarakan pemerintah sejak 2010. Ia lolos di Jurusan Sejarah FKIP Umayah.“Kress…kress.”Perutnya berbunyi. Namun tak ia hiraukan. Ia cuma berbaring dengan tas jinjing miliknya yang dijadikan alas kepala. Ia rebahan di sana sejak sejam lalu. Tempat ini jadi lokasi favorit baginya di sore hari. Selain pustaka kampus tentunya.Menikmati angin sepoi-sepoi hingga magrib tiba.“Kress..kress…kress.” Suara itu kembali muncul. Kali ini lebih kencang dan kuat. Sepertinya, perut tak lagi bisa mentoleril ras
LAPANGAN Tugu Darussalam ramai di pagi hari. Sejumlah sepeda motor lalu lalang hampir tiap detik. Haidar berhenti pas di pintu masuk tugu. Di sinilah ia janji dengan Sefti untuk bertemu dan kembali tukaran sepeda motor.Mereka janji bertemu pukul 09.00 WIB. Tapi ia tiba di lokasi pukul 08.30 WIB. Ia tak ingin membuat gadis itu menunggu.Haidar mengamati sekeliling, gadis itu ternyata memang belum datang. Gadis itu tak salah. Hanya dirinya yang datang lebih cepat dari jadwal semestinya. Ia kemudian melangkah mendekati Tugu Darussalam.Di sana terdapat tulisan yang kini menjadi catatan emas untuk tiga kampus terbesar di Aceh. Umayah, UIN B serta Chik Pante Kulu.“Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata.Darussalam menuju kepadapelaksanaan cita-cita.Ir. Soekarno, 2 September 1959.”Ia sepakat dengan kata-kata yang tertera di sana. Kalimat inilah yang menghipnotis ribuan warga di sekitaran Dar
Haidar keringatan. Beberapa butir peluh turun dari rambutnya membasahi wajah. Padahal suasana masih pagi.Matahari juga tak sedang menyengat anak adam seperti biasanya.Haidar keringatan karena ia dan Sefti duduk saling berhadapan. Mereka hanya dipisahkan dengan meja kecil setinggi lutut pria dewasa. Apalagi Sefti menatapnya berulangkali tanpa dosa. Gadis itu sepertinya tak sadar jika pesonanya mampu membuat setiap pria mabuk kepayang.“Enak ya Mas, mie Aceh. Rempahnya terasa banget. Beda dengan mie di daerah kelahiran Sefti,” ujar dia memulai percakapan. Hampir 10 menit mereka saling diam. Si Abang pedagang berulangkali tersenyum melihat Haidar.“Oya Mas, kita kenalan dong. Dari kemarin cuma kenal nama saja,” kata dia lagi.“Saya Sefti Rahmawati. Mahasiswi semester dua Fisipol Umayah. Asal Ngawi, Jawa Timur. Baru setahun lebih sedikit di Aceh.”Haidar mencoba tersenyum. Ternyata memang benar jika Sefti as
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp